CERPEN MAYAT – PUTU WIJAYA
|
Sebuah mayat yang telah busuk keluar
dari liangnya sambil mengheluh. "Aku yang mati. Aku yang terdera. Aku yang
menjadi korban.Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang menanggung
seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjingkan, diselidiki,
dan dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai menyelidikan,
analisis-analisis, yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan
kaya."
"Aku sudah mencetak duit buat
banyak orang, yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peristiwa dahsyat ini,
sehingga mereka menjadi terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak, dan
akhirnya menang. Tetapi, aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja
hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala
manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!"
Ia bangkit dari kebisuan dan
kekakuannya, dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku semena-mena
tersebut, yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
"Peradaban sudah merosot.
Kebudayaan tidak lagi membuahbudikan keluhuran, tapi membuat manusia semakin
tamak dan tipis rasa kemanusiannya.Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar.
Semua orang berdagang."
"Dan dagang sendiri bukan lagi
menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling
bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat
bangkrut orang lain."
"Kehidupan sudah rusak. Aku
menginginkan pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat dunia dan kehidupan,
serta segala manusia berikut isinya ini, kiamat kobra," kata mayat itu.
Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu
mulai mengganggu setiap orang lewat, dengan berbagai keluhan, kemudian
sindiran-sindiran, dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak
bedanya dengan kutukan.
"Aku yang mati, kamu yang enak!
Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatannya saja menangis,
meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa. Kamu terus hidup ngakak."
"Kematianku sudah menghasilkan
lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk
menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih,
menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada, dan orasi-orasi, yang
meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keuntungan
dari orang yang mati!"
Mayat itu mengetuk pintu sebuah
media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan
foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar,
mengangkat bahu, dan menunjuk atasannya. Sedang atasannya yang paling atas
sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.
Akhirnya sekretaris redaksi terpaksa
membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menhadapi mayat itu dengan
senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.
"Silakan menuliskan semua
keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun
kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia meralatnya untuk kebahagiaan dan
ketenangan Anda di sana," katanya mempersilakan mayat itu menumpahkan
semua sumpah serapahnya.
Mayat itu langsung duduk di depan
komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya.
Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang
tidak adil, seluruh ketidakbenaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan
menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan
berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka, dan kesakitannya.
Berjam-jam mayat itu mencurahkan
segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat
itu, dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit
tengik. Moral, susila, tata krama,kapatutan, keluhuran budi, apalagi
kemanusiaan yang dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka
untuk membungkus kebiadaban.
"Semuanya busuk," erang
mayat itu. Dan, setelah itu komputer tersebut sepertinya tak mampu lagi
menampung semua kata-kata sumpah serapahnya. Ia terenyak di kursi ketika
seluruh unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati,
dan otaknya. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu
lelah, namun damai.
Penjaga kantor yang tua bangka
menghampirinya, menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air
dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa
disambar dari perempatan jalan di malam selarut itu. Sekaligus mengingatkan
bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.
Mayat itu menggelengkan kepalanya.
Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Semua bentuk protes dalam pikirannya sudah
tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong
dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.
Panjaga kantor itu mengerti. Tetapi
sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif itu, yang diwanti-wanti oleh
sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa, ia sempat mengerling ke atas
layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan
mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada
penjaga malam, yang sudah lancang itu, dengan mata berkilat-kilat.
"Kamu mengerti?"
"Ya, saya mengerti
sekali."
"Kamu bisa merasakan?"
"Kenapa tidak? Jelas
sekali."
"Apa kamu menganggap semua ini
neko-neko?"
"Tidak. Itu memang benar."
Mayat itu menjadi amat girang menemukan untuk pertama kalinya orang yang mampu
memahami segala tuntutannya.
"Jadi kamu percaya saya
sekarang, betapa tidak adilnya semua ini?"
"Saya percaya."
Mayat itu mengulurkan tangannya.
Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan,
seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi, tangan penjaga malam itu dingin
sekali seperti beku. Mayat itu terkejut.
"Kenapa tanganmu dingin sekali?
Kamu takut?
"Tidak."
"Kamu heran atau kaget karena
membaca semua ini?"
"Tidak."
"Lalu, kenapa tanganmu lebih
dingin dari es?"
"Ya, memang begini
keadaannya."
"Tapi, kenapa?"
"Karena inilah hidup
saya."
Mayat itu terkejut. Ia curiga
kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi.
Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi, ketika ia
memandangi mata penjaga malam itu, ia hampir terpekik, karena di kedua mata itu
nampak ruang kosong.
"Astaga, kamu tidak punya mata
lagi?"
"Tidak."
"Tapi, kenapa kamu masih bisa
melihat?"
"Saya harus bisa melihat
meskipun tidak punya mata."
"Kenapa?"
"Karena itu kewajiban
saya."
Mayat itu bergidik. Buku kuduknya
meremang.
"Apalagi kewajiban kamu?"
"Semuanya!"
Mayat itu tercengang.
"Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu
ngomong seperti seorang budak?!"
"Ya, memang."
"Apa? Kamu budak?"
"Betul. Saya budak."
"Budak apa? Budak siapa?"
"Budak segala-galanya. Saya
budak komplet."
Mayat itu bingung. Dia berdiri dan
memperhatikan penjaga malam itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu
menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu.
Tiba-tiba ia terpekik ngeri.
"Wow! Badan kamu seperti tak
punya tulang. Daging kamu bonyok!"
"Memang!"
"Bukan cuma itu. Aku jadi
curiga, jangan-jangan kamu ... Maaf, boleh aku kobok sekali lagi?"
"Silakan."
Mayat itu mendekat, lalu ngobok
sekali lagi badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar.
Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.
"Ya Tuhan, kamu kok sepertinya
tidak punya hati dan juga tidak punya otak."
"Memang begitu."
"Apa? Kamu betul-betul tidak
punya perasaan dan pikiran? Edhan!"
"Ya. Jangankan perasaandan
pikiran, apa pun saya tidak punya. Lihat, kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf,
ya ... "
Penjaga malam itu membuka seluruh
pakaiannya. Mayat itu menggigil dibuatnya. Orang itu memang sudah dikebiri
total. Ia tak punya segala-galanya.
"Kamu sudah bangkrut
sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa.Kamu sudah kalah komplet. Apa
kamu bukan manusia?"
"Saya manusia."
"Apa kamu sakit?"
"Tidak."
"Lha, kenapa kamu bisa hidup?"
"Ya, begitulah saya harus hidup
meskipun tidak punya semua itu lagi."
"Tidak mungkin!"
"Memang, tidak mungkin. Tetapi,
apa boleh buat, wong ini harus kok. Ini kewajiban saya."
Mayat itu berpikir keras, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Siapa sih sebenarnya
kamu?"
"Boleh panggil saya siapa saja.
Saya tidak milih-milih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja.
Silakan. Saya manut-manut saja." "Itu namanya pasrah. Apa kamu orang
Jawa?"
Penjaga malam itu berpikir.
"Nah sekarang kamu
berpikir!"
"Saya memang telmi, telat
mikir."
"Coba ceritakan sedikit
kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih? Pasti besar sekali karena kewajiban kamu
begitu berat. Berapa?"
"Tiga puluh."
"Tiga puluh juta?"
"Bukan, tiga puluh saja."
"Maksud kamu, gaji kamu seperak
satu hari?"
"Ya!"
"Gila! Bagaimana kamu bisa
hidup hanya dengan gaji segitu?"
"Itu juga diangap sudah terlalu
banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak
saya juga harus hidup."
Mayat itu duduk kembali. Ia tidak
bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak sehari, dengan
tanggungan istri dan sepuluh orang anak, bisa hidup. Pasti penjaga malam itu
korupsi.
"Kamu pasti korupsi?"
"Tidak, Pak. Saya hanya jualin
kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai."
"Kalau begitu,kamu
ngobyek!"
"Terserah, Pak."
Mayat itu termenung. Ia lupa pada
masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang, pada orang kecil sering muncul
sifat-sifat luhur yang dahsyat.
"Kamu luar biasa." gumam
mayat itu terpesona. "Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu
ini."
"Memang saya sudah mati."
"Ah! Apa?"
"kata saya, saya sudah
mati."
"Kamu sudah mati?"
"Ya."
"Jadi kamu ini mayat?"
"Betul sekali."
"Mayat seperti gua ini?"
"Benar!"
"Wow! Kalau begitu, kita sama
dong!" teriak mayat itu kegirangan, karena merasa mendapat seorang teman
secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.
Tetapi sekali ini, penjaga malam itu
tak menyambut uluran tangannya.
"Ayo, salaman. Kita sama!
Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain.
Sedikitnya, kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!"
Penjaga malam itu menggeleng.
"Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa? Kamu tidak
mau salaman? Ini hanya ekspresi, bukan kolusi. Jangan takut, tidak akan
dituntut."
"Tidak bisa. Saya tidak bisa
salam. Jangan keliru."
"Keliru bagaimana?"
"Saya bukan mayat seperti di
situ."
"Lho, tadi kamu bilang, kamu
mayat."
"Betul."
"Tetapi bukan?"
"Betul sekali. Saya memang
mayat, tetapi bukan."
"Kenapa bukan?"
"Karena, meskipun saya mayat,
tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini."
"O, kalau begitu kamu
hantu?"
"Boleh saja disebut
begitu."
Mayat itu berpikir.
"Kamu jangan main-main. Ini
bukan waktuna untuk guyonan." "Tidak. Sumpah, saya sungguh-sungguh.
Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercaya. saya
tidak tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya.
Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya
tetap harus bertugas."
Mayat itu bengong.
"Jadi, kamu mayat hidup?"
"Ya, itu."
"Kenapa kamu mau?"
"Kalau tidak, siapa yang harus
melakukan pekerjaan yang jahanam tidak mengunguntungkan dan menyakitkan ini?
Baiklah, saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Ini juga sudah menyalahi
aturan. Saya pasti akan kena hukuman. Selamat beristirahat. Kalau perlu
apa-apa, jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya tidak tidur. Mayat, kan, sudah
tidak perlu tidur lagi. Saya hanya parkir di situ supaya tidak
mengganggu."
Mayat itu terpesona.
"Ya Tuhan, kalau begitu,
nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak
mendingan dibandingkan dengan penjaga malam itu," desis mayat itu.
Ia mencuri-curi kesempatan untuk
melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam
itu mencair dalam gelap.
"Kasihan..."
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar
dari gelap. Dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Maaf, memanggil saya? Perlu
sesuatu?"
Mayat itu terkejut.
"O tidak, tidak, sudah cukup.
Aku tidak perlu apa-apa lagi!"
Penjaga malam itu mengangguk, lalu
kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat tersebut merasa malu hati.
Diliriknya komputer yang sudah dipenuhi dengan tumpahan tuntutannya.
Setelah melihat nasib penjaga malam
itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan seperti tidak ada artinya sama
sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.
Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu
kembali kepada komputer. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gerakan,
ia menyentuh keyboard komputer untuk menghapus semua keluh kesahnya.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan di
dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia
abadi. Mayat itu lalu mencoba mengalihkan pikirannya. Tetapi, apa yang barusan
ia tulis seperti berbunyi dengan sendirinya. Ternyata begitu panjang tuntutan
dan protesnya.
Kemudian ia merasa sangat malu.
Begitu malunya, karena ia nampak begitu rakus kalau dibandingkan dengan penjaga
malam itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar