GOTONG-ROYONG
monolog
Putu Wijaya
Aku minum kopi di warung dengan nikmat sekali. Lalu berpikir tentang kemerdekaan. Turun sebuah rumusan. Kemerdekaan adalah minum kopi pagi tanpa ada yang melarang. Tanpa ada yang membatasi. Tanpa rasa takut menodai kehidupan.
Tapi giliran harus bayar, muncul persoalan. Dompetku ketinggalan. Aku rogoh semua kantung, termasuk kantung-kantung rahasia. Tapi ketinggalan tetap ketinggalan. Kemerdekaanku mulai terganggu, karena aku sudah akan mengganggu kemerdekaan tukang warung.
Akhirnya aku terpaksa guyonan.
“Pak Amat, tahu nggak, Panca Sila bisa diperas jadi tri sila: Ketuhan Yang Masa Esa, Sosio demokrasi dan sosio nasionalisme. Bisa diperas lagi jadi eka sila: gotong-royong, “
Amat tukang warung itu bengong.
“Bisa dua kali diperas Pak?”
“Lho itu kata Bung Karno sendiri, waktu pidato Lahirnya Panca Sila.”
Amat manggut-manggut.
“Jadi bisa diperas ya?”
“Jadi gotong-royong itu bukan main-main. Bukan sekedar kata-kata.”
“Bukan?”
“Itu muatannya besar. Itu ikrar bersama bahwa yang miskin membantu yang kaya, yang kaya membagi harta buat yang miskin. Yang jualan merelakan langganannya ngebon kopi dulu, karena saya lupa bawa dompet. Ya?“kataku bercanda.
“Itu gotong-royong, Pak?”
Aku ketawa.
“Ya! Itu gotong-royong!”
Amat kontan menggeleng.
“Wah kalau begitu, saya tidak mendukung Panca Sila. Habis, janjinya mau bayar kalau gajian. Tapi begitu gajian, hidungnya tidak pernah kelihatan. Ini ada bukunya, ada yang ngebon tiga bulan belum bayar-bayar!”
Lalu Amat menunjukkan buku tulis yang sudah lusuh. Memang ada tiga orang yang nunggak. Semuanya mahasiswa. Aku kenal nama itu, sebab beberapa kali ikut belajar bersama Ami di rumahku.
Yang lucu, juga ada namaku. Ternyata aku sudah sempat ngebon kopi 3 kali dan makan 2 kali, semua belum bayar. Cepat aku rogoh kocek dan bayar. Amat heran.
“Lho Bapak tidak usah bayarin mereka. Itu hutang mereka. Bapak tidak usah bergotong-royong hutang anak-anak nakal itu!”
Aku jadi malyu. Akhirnya aku keluarkan dompetku, lalu membayar sekalian dengan hutang ketiga mahasiswa itu.
“Itu bukan nakal dalam arti jahat, tapi pasti para mahasiswa itu pasti bener-bener bokek. Mana ada mahasiswa yang tidak bokek. Mereka semua teman-teman anak saya. Orangnya baik dan pinter, tapi namanya juga mahasiswa, kadang punya duit kadang tidak. Klkaslau punya duit dia juga lebih suka pakai untuk beli buku atau nraktir pacarnya. Pasti dia bukan tidak mau bayar, tapi memang tidak mau bayar. Habis tidak diingetin sih Pak Amat. Anak-anak muda, kalau tidak ditegur dikira kita seneng dan dia akan melakukan lagi. Makanya jangan segan, diingetin saja. Ini kan juga pendidikan karakter!”
Aku pulang membawa sejumlah pikiran. Di rumah aku geber pikiran itu di meja. Lalu minta pendapat Ami.
“Ami, coba apa pendapatmu tentang gotong-royong.”
Ami mengangkat pikirannya dari buku novel.
“Ada masalah apa dengan gotong-royong?”
“Menurut kamu, apa gotong-royong itu masih cocok dengan kehidupan kita sekarang?”
“Kenapa tidak dan kenapa ya?”
“Sebab ada mahasiswa teman kamu, ngebon di tukang warung tidak bayar. Karena segan, tukang warung membiarkan saja. Tapi karena dibiarkan sekali, anak-anak muda itu jadi tuman, lalu ngerjain tukang warung itu terus. Ada yang sampai 3 bulan belum bayar. Akhirnya Bapak yang tadi bayarin mereka.”
Ami kembali membaca.
“Ami!”
“Apa Pak?”
“Apa gotong-royong itu begitu?”
“Terserah!”
“Gotong-royang itu kan kesepakatan berdasarkan perasaan rela. Bukan akal-akalan. Bukan paksa-memaksa seperti itu. Memang dengan cara begitu, tukang warung jadi ikut membantu para mahasiswa itu untuk terus kuliah meskipun duitnya pas-pasan. Tapi tukang warung itu kan juga berhak untuk dapat untung lebih banyak. Masak sudah 10 tahun jualan, sampai sekarang tidak ada kemajuan. Malah warungnya sudah hampir roboh? Apa gotong-royong itu mau menginjak rakyat kecil yang segan bicara?”
“Nggak tahu!”
Aku terkejut. Langsung berdiri kesal, meninggalkan Ami yang dikunyah novel best sellernya.
“Ada apa Pak?”
“Anakmu kalau lagi baca novel otaknya di dengkul. Masak ditanya apa gotong-royong itu memperbolehkan pemaksaan atau penipuan, jawabnya kok nggak tahu. Mahasiswa kok jawabnya begitu. Nanti kalau jadi pemimpin bagaimana?"
Istriku ketawa saja. Hanya ketawa. ku tambah kesal. Ia ngerumpi ke tetangga sambil menggerutu.
“Tidak ada orang serius sekarang. Ini semua akibat tayangan-tayangan sinetron sampah dan infoteinmen-infoteinmen yang hanya ngurus artis yang kawin-cerai itu,”
Tetangga menyambutku hangat. Kopi dihidangkan dengan singkong goreng.
“Saya ini sedang memikirkan arti gotong-royong,”kataku ngajak tetangga itu diskusi,”apakah gotong-royong itu bisa dipaksakan? Atau gotong-royong itu baru sah atas dasar kesepakatan?”
Tetangga tersenyum.
“Yang mana?’
“Ya terserah sampeyan.”
Singkong goreng di tangan aku letakkan kembali. Ternyata tidak nyambung lagi. Aku kembali ke rumah dan merenung. Bergadang semalaman. Aku ingin bertemu dengan Bung Karno. Menanyakan langsung, apa beliau sadar. Enam puluh lima tahun setelah kelahiran itu, Panca Sila dapat dipakai untuk merugikan orang lain? api walau pun hanya dalam khayalan, bahkan khayalan pribadiku sendiri, Bung Karno sulit dijumpai. Banyak orang ingin bertemu dengan Penyambung Lidah Rakyat itu. Bahkan rebutan, sodok-menyodok. Aku berusaha menerobos kerumunan massa itu. Aku menusuk masuk. Tapi akhirnya tersikut, tertendang, terpelanting, 65 tahun jauhnya Proklamator itu..
Subuh hari aku bangkit mau masuk rumah. Tetapi di depanku ternyata sudah duduk seorang pengemis. Mukanya lusuh, pakaiannya kotor. Dia menatapku seperti mengatakan bahwa dia memerlukan makanan. Aku jadi tertegun. Tangan, kaki, orang itu nampak sehat, mengapa dia mengemis?
Lalu aku raih sapu dan mengulurkannya.
“Ini negara yang merdeka. Di sini sudah tidak ada lagi yang gratis,”kataku ketus.
Orang itu menyambut sapu, lalu membawanya pergi.
“Sialan! Merdeka membuat orang menjadi malas. Dia pikir dengan menjual sapu baruku itu, dia sudah menyelesaikan persoalannya untuk sarapan. Tapi beberapa jam lagi dia sudah akan ketemu persoalan yang sama! Dasar!”
Dengan dongkol aku masuk rumah. Hbis mandi aku kembali ke teras. Heran. Ada terasa sesuatu yang lain. Apakah berpikir membuatku jadi sehat? Tak lama kemudian istriku muncul membawa kopi sambil tersenyum.
“Apa yang terjadi Bu?”.
“Lihat saja, rumah sederhana kalau dipelihara dan dibersihkan, disapu tiap hari jadi segar dan baru. Terasa tidak?”kata istriku sambil menunjuk ke halaman sembari senyum.
Betul sekali. Halaman kelihatan bersih dan asri. Aku takjub.
“Siapa yang membersihkan?”
Istriku menunjuk ke samping rumah. Aku lihat pengemis itu sedang mengganyang sarapan dengan air putih dan secangkir kopi di dekatnya.
“Katanya namanya Gotongroyong.”
Jakarta 5 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar