RASA
monolog
Putu Wijaya
Pada suatu pagi saya terbangun dan tidak lagi merasa diri saya orang Asia. Mata dan rambut saya masih hitam, kulit coklat dan tulang pipi menonjol, tapi saya sudah terkontaminasi. Sebagai sebuah disket yang salah format, saya mengalami erosi dan abrasi. Nama saya menjadi beban, karena citra saya tidak sanggup mengangkat simbol-simbol dalam bunyi itu.
Di dalam kamar saya tertindih oleh pikiran-pikiran tentang kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kesetaraan dan kemanusiaan yang diagungkan di seluruh dunia, tetapi kadang terasa sangat bertentangan dengan cita-cita adat dan tradisi Asia. Bentuk saya pun sudah lain, karena saya mengkonsumsi dan dihiasi dengan asesoris yang tak lagi berasal dari lingkungan alam sendiri.
Saya adalah sebuah pasar hidup dari produk teknologi dan industri alam pikiran liberal dengan semangat individualisme yang membuat saya benci kepada keluarga dan semangat gotongroyong dalam masyarakat. Saya sudah menjadi sesuatu yang baru dan sekaligus juga virus.
Dengan ragu-ragu saya keluar dari kamar sambil membawa senjata, karena saya tetap harus membela diri kalau diserang oleh lingkungan, oleh saudara-saudara bahkan oleh anak-istri yang tak kenal karenanya tak bisa menerima kehadiran saya lagi. Hidup adalah sebuah peperangan dan itu mungkin dimulai dari depan pintu, waktu bangun tidur. Saya sudah memilih yang lain. Untuk itu saya masih memiliki hak untuk melawan dan akan saya pergunakan, karena masa depan tidak semestinya hanya ditentukan oleh masa lalu, tetapi seluruh pembaruan yang terjadi.
Lalu saya gebrak pintu dan meloncat keluar siap menembak.
Tetapi di depan pintu ternyata terbentang ruang yang lain. Bukan yang biasa saya kenal. Sesuatu yang masih asing karena saya mencium bau yang belum pernah saya hirup sebelumnya. Atmosfirnya begitu menggoda. Saraf-saraf dan kelenjar gairat saya terangsang, tiba-tiba saya ingin bersatu tubuh dengannya. Tetapi baru saya coba menjajaki, tubuh saya berontak. Ia tidak lagi berada di bawah kekuasaan saya. Walau saya tekadkan untuk berhenti beberapa saat, kaki saya terus melangkah dan jari telunjuk saya hampir saja menarik picu senjata, tepat ke arah kepala saya sendiri.
Terseret oleh kekuatan yang di luar kekuasaan saya, saya sampai ke pintu yang lain. Pintu yang perlahan-lahan terbuka ketika tubuh saya mencoba menerobosnya. Pintu yang menghantarkan saya keluar tetapi sekaligus ke dalam ruang yang lain.
Saya terpesona. Ruang itu lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Lebih menyerang dan lebih merangsang. Dari seluruh dindingnya keluar tenaga yang seperti menghisap seluruh tubuh saya. Senjata terlepas dari tangan dan tubuh saya tertarik dari segala arah. Saya bertahan. Pakaian saya tercabik sampai saya telanjang bulat. Kemudian bulu-bulu badan saya tercabut dari tubuh. Bukan main sakitnya. Saya menjerit untuk menutupi rasa pedih itu. Tapi kemudian jari-jari tangan, lengan, kaki, telinga, hidung, seluruh bagian tubuh saya tercabut dan ditelan dinding ruang yang buas itu.
Sekarang saya bukan lagi hanya kehilangan identitas Asia, saya bangkrut atas seluruh kehadiran saya. Tetapi satu hal yang menakjubkan, ternyata masih ada yang tersisa. Perasaan saya. Rasa itu tidak kelihatan, tidak berwarna, tidak memiliki volume. Rasa itu bisa tercerabut dan mengalir ke mana saja menerobos jarak, waktu dan segala hukum, tetapi ia selalu kembali, seperti bumerang.
Dengan rasa itulah saya menyaksikan ratusan, ribuan, berjuta-juta bahkan milyardan pintu menunggu di depan dalam era globalisasi. Saya takjub lalu yakin bahwa saya sedang memasuki alam pikiran orang lain. Saya sudah tersesat ke dalam rencana orang lain. Ini kekalahan terbesar Asia yang tak boleh lagi diulangi.
Lalu saya peluk rasa yang sekarang menjadi nyawa saya. Saya berbalik dan bergegas hendak kembali. Pulang dan bertahan adalah jalan terakhir yang terbaik. Tetapi begitu berbalik, saya kembali terpesona. Di depan saya, tepatnya di belakang saya, berdiri Asia.
Apa pun yang kamu lakukan, aku selalu berdiri di belakangmu, bisiknya.
Saya orang Indonesia, karena saya lahir di Bali dari keluarga Bali, tetapi apakah saya Bali? Wajah saya bulat, hidung pesek, tulang pipi menonjol. Mata sipit dan kulit sawo matang, tapi saya sudah dalam pikiran orang lain. Berhakkah saya menyebut diri saya Indonesia? Apakah saya sudah menjadi orang asing setelah saya tidak lagi memakai kain sarung, tetapi jean, sepatu kets dan referensi berpikir Barat?
Sekali kamu lahir sebagai orang Asia, kamu sudah terkutuk sebagai Asia. Apa pun yang kamu lakukan, topeng siapa pun yang kamu mainkan, aku tetap di belakangmu, kata Asia yang tiba-tiba masuk ke lubuk hati. Aku bukan bangsa, bukan ras, bukan teritorial, bukan idiologi, bukan paham, bukan agama, bukan hanya kekuatan moral dan politik, tetapi sebuah konsep sebagaimana juga Afrika, Eropa, Amerika, Australia dan Antartika. Asia adalah sebuah fenomena rasa.
Hari ini dengan seluruh rasa itulah kita bertemu. Entah tapa yang akan terjadi. Tapi saya percaya setiap rasa akan tetap rasa dan akan menjadi lebih rasa karena pertemuan ini.
Jakarta 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar