PENDIDIKAN
Monolog
Putu Wijaya
Bagaimana aku tidak mencak-mencak, masak biaya pendidikan sekarang menjadi selangitl. Biaya sekolah kata kakek dulu gratis, sekarang kok diinjak-injak oleh segala macam biaya, sehingga membuat masyarakat kelelap. Banyak orang yang makan saja tak cukup, pastilah keok menghadapi biaya pendidikan. Uang pendaftaran, bayaran tiap semester dari Kelompok Bermain sampai Perguruan Tinggi terus meroket! Asem!
Kalau begini caranya, hanya orang-orang kaya yang akan bisa jadi orang pintar! Yang miskin terus bodoh. Dan karena bodoh, mereka akan bertambah miskin, menjadi manusia kelas kambing selamanya. Bila pemerintah mendiamkan, itu tindakan yang harus disesalkan. Diam itu bukan emas. Diam itu tidak peduli. Diam itu diam-diam setuju!
“Stop!” potong Bapakku
“Lho Bapak setuju?”
“ Bukan soal setuju atau tidak setuju, tapi jangan melotot begitu!”
“Melotot bagaimana? Mataku memang belok, kalau lagi emosi!”
“Itu dia! Boleh mengeluarkan pendapat, tapi jangan digulai dengan emosi, nanti intinya hilang!”
“Berarti kita beda pendapat!”
“ Bukan, bukan beda, tunggu dulu! Pendidikan itu tidak ada yang murah. Ilmu itu mahal. Yang murah itu ilmu yang rendah. Makanya karena mahal, negara lalu mensubsidi rakyat dengan membebankan biaya pendidikan itu pada orang yang punya harta. Itu yang namanya subsidi silang! Jadi pendidikan, ilmu itu tetap mahal, harus selalu mahal dan dimulytakan, tapi karena ada subsidi silang, tidak mencekek orang miskin, tapi dibayar oleh orang kaya, yang miskin tetap dapat menikmati. Hanya saja kalau otaknya memang karatan, biar kaya, biar miskin, itu bukan salah pemerintah atau pendidikan, itu memang sudah bawaan orangnya! Ya tidak usah dididik ngabis-ngabisan duit saja!”
Aku terpaksa menatap Bapakku dengan mata lebih melotot. Bapak malah tertawa.
“Tidak usah membesarkan mata. Kalau tidak bisa menjawab ngaku saja kalah.”
“Bapak sudah keblinger!”
Lalu aku pergi. Bapakku geleng-geleng kepala. Dan sambat seperti biasanya:
“Anak muda kalau sudah kalah, langsung marah dan pergi, “katanya sambil menegak kopi, “Anak-anak muda kebiasaan tak berani menatap kekalahannya, maunya hanya menang. Itu artinya mereka masih perlu pembelajaran. Itu bukti bahwa pendidikan sangat diperlukan. Dan apa-apa yang diperlukan pasti mahal. Puluhan tahun kita didik anak kita, dia tetap saja alot berkembang, untuk menyadari bahwa kekalahan itu bukan hanya kekalahan. Kekalahan adalah peluang untuk maju. Karena hanya dengan kekalahan, kita akan beringas berusaha untuk tampil lebik baik. Menerima kekalahan itu penting! Untuk menyadari itu perlu pendidikan. Makanya pendidikan jadi mahal dan harus mahal!”
“Jadi harus mahal?”
Bapakku menoleh menoleh, ternyata istrinya. Ibuku.
“Lho, Ibu dengerin to?”
“Ya dong! Masak pendidikan harus mahal? Gimana sih?”
“Harus! Harus! Dan harus! Kalau tidak mahal, nanti disepelekan. Nanti kualitasnya kambing! Coba lihat di sekitar kita, apa saja yang digratiskan pasti dihambur-hambur. Coba lihat kalau ada hajatan di rumah orang. Lihat bagaimana tama-tamu sering memakai air putih botolon yang sekarang harganya makin ngaceng itu, lho, lho kok dipakai untuk cuci tangan seenaknya. Aku pernah ngintip bagaimana mimik muka orang yang punya hajatan yang diam-diam memperhatikan tamu-tamunya memakai aqua untuk cuci tangan. Buat para tamu, enak saja main cuci tangan dengan aqua sebab itu disusuhkan gratis. Tapi bagi tuan rumah itu duit, duit. Darah dan air mata. Beda sekali dengan kue dari bakery Prancis, yang harganya mahal. Pasti yang beli makannya sedikit-sedikit, karena sulit mendapatnya dan mahal!”
Ibuku meriongis sinis.
“Jadi pendidikan memang sengaja dimahalkan supaya dihargai?”
“Ya, iyalah!”
“Apa betul, kalau sudah mahal akan dihargai?”
“Pasti!”
“Bukan karena pendidikan sekarang sudah dijadikan barang dagangan?”
‘Apa?”
“Pendidikan mahal karena didagangkan!”
“Bukan!”
“Bukan karena pendidikan sudah jadi dagangan?”
“Bukan! Ibu nggak usah ngulang-ulang, jawabanku tidak akan berubah. Pendidikan harus mahal, supaya orang sadar bahwa pendidikan itu penting!”
“Jadi segala yang diperlukan harus mahal?”
“Persis! Jadi orang akan menghargainya! Kalau tidak akan disepelekan!”
“Kapitalis!”
Amat tercengang. Setelah berteriak keras begitu, Ibuku langsung ngeloyor ke dapur. Bapak kembali hanya geleng-geleng kepala.
“Pendidikan harus mahal! Harus mahal! Mahal! Mahal! Dan mahal!” kata bapak kemudian pasang omong di rumah tetangga. “Kalau tidak mahal, pendidikan mutunya akan kelas kebo. Yang dididik juga akan mengkambingkan dirinya, karena menganggap ilmu itu murahan.”
Tetangga heran.
“Lho Bapak kok kelihatan sengit amat hari ini?”
“Habis, anak saya itu kelakuannya aneh.”
“Aneh bagaimana?”
“Masak dia mengajari ibunya mengecap saya kapitalis, gara-gara bilang pendidikan itu harus mahal. Saya baru saja kaget, dibentak istri saya kapitalis! Istilah kapitalis kok seenaknya saja dilepaskan untuk ngeplak orang. Itu tandanya tidak ada penghormatan kepada ilmu. Kapitalisme itu kan idiologi yang memulyakan materi. Tapi tanpa kapital orang juga tidak akan bisa maju. Rusia, Cina saja sudah mulai jadi kapitalis sekarang! Lha saya bukan memulyakan materi. Saya hanya mau bilang, ilmu itu harus dimulyakan dengan cara memberinya harga yang mahal! Ya nggak?”
Tetangga mencoba mengerti, tapi wajahnya nampak gelap.
“Begini maksud saya, “kata Bapak menjelaskan, “ilmu yang tinggi, benar dan terus berkembang mengikuti perubahan itu, memerlukan biaya, agar dia tidak kedaluwarsa. Ada biaya riset, biaya penelitian, percobaan, eksperimen dan sebagainya, sehingga nantinya bisa menemukan kesimpulan-kesimpulan baru yang mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Nah, semua itu kan harus dibiayai? Yang membiayai siapa? Ya orang yang akan dibuat pintar oleh ilmu itu. Para murid, para mahasiswa, siapa saja yang ingin ngelmu. Jadi kalau pendidikan itu mahal, jangan marah, itu wajar!”
“Tapi Pak maaf, kalau sekolah mahal, anak saya tidak akan mampu masuk perguruan tinggi!’
“Kalau tidak mampu masuk ke perguruan tinggi, ngapaian masuk perguruan tinggi?”
“Kalau begitu, anak saya tidak boleh belajar di perguruan tinggi?”
“Siapa bilang tidak boleh?! Tidak usah! Kenapa mesti ke perguruan tinggi? Ah? Cari ilmu di tempat yang lain. Ilmu itu kan tidak hanya di perguruan tinggi. Di kursus-kursu ada ilmu. Di dalam bekerja ada ilmu. Dalam bergaul ada ilmu. Di bawah meja, di kolong tempat tidur, di jalanan, bahkan dalam mimpi pun ada ilmu. Kalau anaknya memang mau dan berusaha, ya pasti dapat. Kecuali kalau mau dapat diploma atau gelar. Nggak usah belajar, beli juga bisa sekarang. Mau professor atau doctor, siapkan tiga milyar saja, besok sudah bisa pakai toga. Tapi jangan salah, banyak orang punya gelar tidak bisa bekerja sekarang. Jadi jangan mengejar-ngejar gelar. Ilmu itu jadi mahal, karena orang banyak memaksakan dirinya, mau dapat gelar. Bukan cari ilmu. Ilmu dan pendidikan itu bisa didapat di mana-mana, asal orangnya cerdas dan mau berusaha menangkap ilmu itu!”
Wajah tetangga tambah gelap.
“Terus terang Pak, anak saya mau masuk perguruan tinggi. Tapi kalau biayanya terlalu tinggi, saya tidak mampu. Dan kemaren dia sudah mau bunuh diri, karena cita-citanya tidak akan kesampaian untuk jadi dokter.”
Bapak terkejut.
“O ya? Mau bunuh diri?”
“Ya. Untung ketahuan ibunya. Lalu kami berusaha membujuknya, tapi dia tetap saja tidak mau. Jadi kami putuskan, akan jual rumah dan pindah ke rumah kontrakan, agar anak saya itu bisa meneruskan sekolahnya. Saya tidak mengerti mengapa ilmu jadi mahal sekali sekarang, Pak. Kenapa Pak? Apa negeri kita tidak suka, atau takut kalau banyak orang jadi p-intar?”
Bapak langsung mau bicara lagi, tapi tetangga itu menghindar.
Belum terlalu malam ketika Bapak kembali ke rumah. Tapi aku sudah tidur. Begitu juga Ibu. Maksudku, kami pura-pura tidur sebab bosan mendengar propaganda pendidikan harus mahal itu.
Diam-diam aku ngintip. Bapak mendekati Ibu dan berbisik mesra.
“Bu, Bu, bangun. Malam ini kan jadwalnya.”
Ibu sama sekali tidak bergeming.
“Bu, Bu, ayo bangun. Janjinya tadi kan sekarang?”
Ibu tetap tidak tidak bergerak sama sekali. Berkali-kali Bapak mencolek dan berbisik, tapi Ibu tetap saja bungkam. Akhirnya Bapak putus asa, dengan kesal, dongkol, uring-uringan, senewen dan pasti pusing tujuh keliling dia tidur di kursi di ruang tengah sambil menggerundel: sialan!
Esoknya Bapak bangun telat. Ketika Ibu lewat Bapak menegur
“Baik aku kalah. Tanpa dijual mahal pun aku selalu menghargai, menghormati, dan membutuhkannya!”
Ibuku tersenyum.
“Maksud Bapak pendidikan?”
Jakarta, 29 April 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar