EMPU
monolog
Putu Wijaya
EMPU DUDUK DI KURSI MEMBERI WEJANGAN MURID-MURIDNYA:
Setelah seratus tahun menghajar kamu dengan pembelajaran, tiba saatnya sekarang aku menunjuk: siapa-siapa di antara kalian yang sudah pantas lolos. Karena belajar ada batasnya. Kamu tidak bisa terus-menerus menjadi murid, karena sampai batas tertentu, kalau kamu terus hanya –belajar doing, kamu bukannya akan tambah pintar, tapi tambah karatan. Goblok. Manja, tidak punya inisiatip, tidak berani bertanggungjawab apalagi mengambil keputusan. Maunya enak-enakan doang.
Tempat kamu ngendon sekarang itu, bukan milikmu. Sekarang giliran anak-anak dan cucu kamu yang sudah lama antre. Kamu kamu harushengkang. Kalau kamu masih terus ngetem di situ, aku perintahkan supaya polisi pamomgpraja menggebrak pantatmu. Kasep terlalu lama dalam perjuangan dan pembangunan adalah tindakan kriminal. Di samping merugikan bangsa dan negara, dari lubang pantatmu akan tumbuh akar yang akan melilit hidupmu sendiri sehingga kamu jadi buntalan. Padahal dengan pendidikan yang aku berikan mestinya dari kepalamu tumbuh pikiran-pikiran jernih yang bisa tidak hanya bikin kamu cerdas dna kompetitif tapi mampu mengayomi rakyat.
Jadi kepada kamu yang akan aku akan nyatakan lulus: bukan ijazah atau sertifikat yang kamu terima, tapi ultimatum penggusuran. Aku deportasikan kamu keluar dari padepokan ini. Aku sudah muak lihat muka kamu menganga menelan semua ketutku. Aku nek dengar kata ya,ya,ya dan injih, injih, injih. Sekarang aku mau lihat kamu beraksi tapi bukan bau terasi. Mengerti?!!!
Ayo yang ngumpet di belakang itu. Bukan. Bukan kamu. Itu yang kelihatannya paling rajin mencatat. Sudah habis berapa buku sudah kamu catat. Ke sini, berhenti mencatat, omonganku bukan untuk dicatat tok, tapi dipraktekkan. Cepet, jangan curi waktu! Tunjukkan reputasimu, itu baru catatan!
EMPU MENEPI, MEMBERI KESEMPATAN MURIDNYA BICARA.
Namaku Eko. Aku sudah bertahun-tahun di sini. Yang aku pelajari adalah bagaimana harus takut. Guru telah mengajarkan aku tentang kemerdekaan. Tetapi ketika aku merdeka, aku juga disadarkan bahwa orang-orang yang ada di sekitarku juga semuanya merdeka. Di dalam kemerdekaan, kemerdekaanku dibatasi oleh kemerdekaan ereka yang juga sama merdekanya dengan aku. Di dalam kemerdekaan, aku tidak pernah benar-benar bisa merdeka. Walhasil kemerdekaan itu hanya mimpi. Kemerdekaan yang sebenarnya adalah rasa takut yang membuat kita harus selalu bisa menjaga kemerdekaan orang lain. Jadi hakeket kemerdekaan adalah tidak merdeka.
EMPU MEMBUNYIKAN PECUTNYA UNTUK MEMOTONG.
Cukup! Aku baru saja mendengar kuliah dari seorang yang menjadi penakut setelah merdeka. Kamu tidak diperlukan di dalam keos seperti yang terjadi di mana-mana sekarang. Kamu hanya menambah bingung. Menetapkan posisi dan menjaga posisi orang lain, itu hanya akal-akalan orang yang mau selamat sendiri. Perkelahian itu dinamika, tahu?!. Hidup itu mencari harmoni tetapi bukan harmoni itu sendiri, ngarti?! . Hidup yang sejati adalah adalah berjuang mencari dan mencari terus. Kalau perlu ke lubang pantat kamu sendiri. Sementara kamu nampaknya lebih senang menikmati masa pension. Tidak! Kamu tidak lulus. Kamu boleh lulus tapi tidak diperlukan. Masuk kotak lagi. Minggir!
GURU MELIHAT KE SEKITARNYA.
Coba kamu! Ya, ya kamu yang kelihatannya dari tadi sudah gerasak-gerusuk. Jangan kasak-kusuk di belakang panggung. Itu namanya gerpol. Gelar suaramu di sini biar jelas. Apa saja yang sudah memberati kepalamu itu sampai hampir membentur tanah. Cepet bicara jangan cuma berani menghasut!
GURU MEMBERIKAN KURSINYA UNTUK DIDUDUKI. MURID ITU DUDUK DI KURSI GURU. TAPI KEMUDIAN DIA BERDIRI LAGI.
Namaku Dwi. Aku setuju, takut itu sama dengan pengecut. Buat apa memelihara rasa takut. Buiat apa menjadi pengecut! Tidak berani mengambil resiko sudah mati. Tapi jangan salah, mati pun tidak akan bisa mengurangi tanggungjawab. Tidak berani bertanggungjawab, tandanya bukan manusia tapi binatang. Bukan hanya tindakan, semua pikiran, walau baru ada di hati, semuanya mengandung resiko dan memberikan tanggungjawab. Tidak ada yang tidak beresiko, tidak ada yang tidak dibarengi tanggungjawab. Itu pikiran salah kaprah. Takut itu hanya kata lain dari malas. Aku sebaliknya. Di sini aku belajar berani, karena takut itu bukan jawaban. Hidup berarti kita harus bertindak, mengambil resiko. Menjawab tantangan. Berani menghadapi kekalahan, didera kegagalan, ketidakberhasilan, ketidaksempurnaan. Bahkan kekeliruan dan kesalahkaprahan sekali mpun bukan masalah. Itu semua bukan hasil akhir. Itu justru adalah enersi yang akan menggenjot kita dengan amunisi baru yang segar untuk tokcer meloncat lebih tinggi, lebih jauh, lebih dalam dan lebih mantap. Keberanian, kecepatan, dan keberlanjutan, tak peduli apa jadinya, karena itu soal nanti, itulah hakekat kehidupan yang sejati. Aku siap bertindak, mengambil inisiatip dan memikul resiko, apa pun yang akan terjadi. Yang penting genjot! Hajar! Gebrak! Dan cepat! Di balik setiap kegagalan selalau ada janji! (MENGUTIP SAJAK DIPONEGORO CHAIRIL ANWAR) Maju! Serang! Terjang!
MENGANGKAT KURSI DAN MEMBANTINGNYA. EMPU CEPAT MENGAMANKAN DAN MENENDANG MURID ITU.
Stopppppppp! Anarkhis! Ini bukan zaman revolusi! Tidak perlu lagi ada darah dan orang mati. Tidak perlu lagi ada pengrusakan dan mata gelap. Kalap itu bukan penumpahan enersi tapi babi buta! Tidak bisa. Tidak boleh lagi ada perang dan benturan-benturan yang menghancurkan kehidupan. Perempuan-perempuan, anak-anak, orang tua bahkan generasi muda sudah terlalu banyak jadi korban. Hentikan benturan! Perang sekarang tidak usah pakai senjata dan banting kursi. Tapi pakai otak. Kamu terlalu berani. Semua yang terlalu itu jahat. Masuk kotak cepat. Jangan keluar lagi dari asrama, tenangkan urat sarafmu. Eling, eling! Bukan hanya kecepatan, bukan pembongkaran yang kita perlukan, tapi kesinambungan. Diam!
Coba kamu. Ya kamu. Bukan kamu. Itu yang senyum-senyum dikulum seperti air danau di tengah hutan yang sepi. Haiku Basho bilang, di kolam sepi di tengah hutan tanpa penghuni, tiba-tiba katak pelompat, plung. Suaranya bagai bom atom. Ayo kamu, coba koar-koarkan apa kamu berhak lulus menggondol predikat cum laude. Cepet!
MEMBERIKAN KURSI. YANG DIPANGGIL CEPAT BERDIRI DI SAMPUING KURSI.
Namku Tri. Aku selalu belajar dari kesalahan orang lain. Aku sudah mengerti apa arti takut. Apa gunanya takut. Takut itu sangat berguna agar kita awas, waspada dan curiga. Takut membuat kita tidak pernah tidur dan tidak pernah tidur membuat kita tidak bisa alpa. Semuanya harus dicemaskan, dibimbangkan, ditakutkan, Kita berjalan dengan perhitungan yang sempurna, bukan hanya rasa. Tapi seperti kata guru, takut saja salah, Harus ada keberanian. Kita memerlukan api untuk terbakar, bergerak dan menerobos ke depan. Sebab di hadapan kita bukan hanya tembok kertas, tapi baja berlapis-lapis. Kita harus ngebor dengan dahsyat. Dengan berani. Kalau perlu membabi buta. Tetapi disertai rasa takut. Setiap langkah, setiap tembakan, setiap gebrakan, semuanya dikendalikan oleh ketakutan, sehingga tidak pernah meleset. Satu mili pun tidak boleh salah. Lop senjata lempeng pasti menancap sasaran. Tepat, cepat dan berhasil. Kombinasi. Itulah yang diperlukan. Semuanya harus dengan hitungan supaya hasil terjamin ada untung. Kursi ini hanya alat. Tetapi alat ini juga tujuan. Dengan alat dan tujuan ini, kita akan terjamin untung. Begitu guru!
EMPU BERTEPUK TANGAN. LALU BERSALAMAN.
Luar biasa. Luar biasa. Bukan hanya-kata-kata kamu saja terpilih, tapi cara kamu mengucapkan pun pas. Kamu benar-benar pakai perhitungan dan selalu membuat kepastian bahwa kamu pada akhirnya tidak pernah tidak beruntung. Kamu kawinkan antara takut dan berani. Jadi kamu tidak bisa rugi. Hebat. Hebat! Kamu betul-betul berjiwa interpreneur. Kamu pedagang. Kamu akan selalu berhasil mengeruk keuntungan. Kamu akan menang. Kamu akan mencapai puncak, bahkan di paling puncak. Kamu akan jadi pemenang.
NAIK BERDIRI DI ATAS KURSI.
Kamu akan jaya. Kaya. Kamu akan kuasai semuanya. Tanah, gunung, air, laut, angkasa, tambang-tambang, hutan, transportasi, pabrik, sandang-pangan, industri dan bank-bank dan media. Koran, majalah, televisi, bioskop, nite club, hotel, rumah pijat, pasar modal. Semuanya akan kamu kendalikan. Semuanya akan jadi milikmu. Sementara 220 juta rakyat lainnya hanya akan jadi penghuni pasar. Mulut mereka menganga. Tali pinggang mereka makin ketat. Dan akhirnya tali itu mereka pakai untuk gantung diri. Karena lebih baik mati daripada jadi budak di negerinya sendiri. Mereka kalah semua, hanya kamu yang menang. Sebagai pedagang, diktummu tidak peduli orang lain malang, yang penting ada uang. Dan uang tidak cukup hanya dipegang, tapi tidak boleh kelihatan oleh mata orang. Kau akan melalap segala-galanya.
TURUN LALU MENENDANG KURSI.
Bangsat! Sekali lagi bangsat! Pelajaranku sudah bikin kamu sesat. Aku tidak mau pemimpin itu pedagang. Pedagang itu harus dipimpin. Negara ini bukan perusahaan pribadi. Negara ini adalah cita-cita. Bukan hanya uang, bukan hanya untung yang dicari. Kita membangun kesejahteraan bersama. Dan pedagang bermusuhan dengan kesejahteraan. Karena kesejahteraan tidak akan pernah membuat seorang pedagang menang.
Kamu sudah keblinger. Salah kamar! Turun! Turun! Kalau tidak turun kubetot kamu.
Sialan! Ini kacau ini sudah kaliyuga. Betahun-tahun akan mengajar, hasilnya cuma pengecut, anarkhis dan pedagang. Kamu tiga-tiga brengsek. Lihat itru, rakyatmu, 220 juta bahkan sebentar lagi sudah 250, lebih cepat dari kereta Sinkansen di Jepang. Tapi semuanya tersengal-sengal karena O2 hnya kamu sadap. Bukan kelas menangah, bukan kelas elit, bukan hanya bangsawan-bangsawan pikiran, bukan hanya birokrat dan para maestro, bukan hanya empu-empu boleh beruntung. Kita adalah abdi 250 juta jiwa yang sudah ratusan tahun jadi korban.
Aku perlu pengecut! Aku tidak butuh anarkhis, aku emoh pedagang. (KEPADA PENONTON/RAKYAT) Ya tidak? (KEPADA PENONTON) : Jawab ya dong, yang keras. Yang keras. Sekali lagi yang kewerassssss!
Rakyat memerlukan seorang pemimpin sejati. Ya nggak? Kamu, kamu, coba kamu wakili kaummu, rakyat jelata. Sini cepat bicara. Bablas saja, jangan pakai sopan-santun tetek-bengek seperti wakil-wakil rakyat gadungan itu. Blak-blakan! Cepat. Jangan mentang-mentrang rakyat jelata yang melarat, kamu boleh ongkang-ongkang, harus gesit!
MEMBERIKAN KURSI
Aku rakyat jelata. Aku sudah muak sama pengecut, anarkis dan pedagang. Semua cuma dcari untung buat dirinya sendiri. Berikan kesempatan kepada aku, rakyat. Mulai sekarang dari rakyat untuk rakyat. Untuk rakyat oleh rakyat! Tidak perlu lagi pakai pemimpin. Rakyat memerintah untuk rakyat. Rebut! Jarah!
EMPU MEREBUT KURSI.
Cukup! Suara rakya harus didengarkan. Tapi kalau sudah mendem, alias ngawur tidak perlu dilaksanakan. Namanya juga unek-unek. Itu hanya muntahan busuk, karena mereka sudah terlalu lama sakit hati. Kalau itu didengarkan, bukannya sejahtera, malah remuk. Kita bisa hancur-hancuran. Dan itu akan membuat orang yang selama ini mau mencuri, membagi dan menghancurkan kita akan menang. Tidak. Cukup.
Pengecut, anarlhis, pedagang dan rakyat yang kalap, kalau sendiri-sendiri bisa bunuh diri. Kalian semua nya harus angkat tangan sama-sama. Gotong-royong! Tidak boleh masing-masing. Tidak bisa main kayu sendiri. Ke mari semua. Kalau lima tangan kalian terangkan dan memegang, tidak hanya nasib, dunia ini semuanya akan terangkat. Ke mari, ke mari semua, jangan besar-besarkahn perbedaan! Lihat persamaan kalian. Perbedaan hanya nuansa dan keragaman. Ke mari!
SEMUANYA DATANG KE SAMPING EMPU.
Ternyata belum ada yang lulus. Karena belajar kehidupan tidak ada sertifikatnya. Tapi sementara kerja tidak boleh ditunda. Ayo angkat jangan sendir, sendiri, tapi serentak. Hanya kalau kompak, kita akan bisa menjunjung dunia ini. Matahari dan bulan akan tetap bersinar. Siang dan malam akan terus-silih berganti. Kegagalan dan keberhasilan akan saling berpelukan. Hidup yang sebenarnya memang harus berwarna dan penuh dengan nuansa. Angkat!
EMPU MENGANTGAT KURSI. DAN DIA SENDIRI KEMUDIAN IKUT TERANGKAT (PAKAI SLING) LALU MELAYANG-LAYANG
Angkat terus. Jangan pernah turunkan tanganmu. Kompak! Hidup adalah kerja. Kerja adalah ibadah. Di balik semua kegagalan selalu ada janji!
EMPU MELAYANG MEMBUBUNG MAKIN TINGGI DENGAN KURSI TERANGKAT DI KEDUA TANGANNYA.
Jakarta 19 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar