TOPENG
by PUTU WIJAYA
Topeng yang saya beli di Campuan (Ubud, Bali) tu, mulai tua. Gurat-gurat di sekitar mata dan bibirnya makin dalam. Dahinya melebar. Beberapa helai rambut berguguran setiap pagi. Alisnya mulai memutih. Menurut istri saya, tidak pantas lagi di pajang di ruang tamu rumah kami, karenaakan menakutkan setiap orang yang masuk pintu.
Lalu kami berunding. Apa tidak sebaiknya topeng itu dipindahkan ke ruang dalam. Kalau berada di antara keluarga yang sudah menghuni rumah sejak lama, ia tak akan jadi gangguan. Kontan istri saya membentak, kenapa tidak dijual saja, sebelum menjadi beban. Barangkali hasil penjualannya bisa dipakai untuk tambahan beli kursi tamu baru yang sudah lama kami idam-idamkan.
Ketika kami beli, topeng itu masih sangat muda. Catnya baru. Dari dalam wajah itu memancar optimisme, keceriaan, yang menjadi alasan kami buat membelinya, walaupun mahal. Kalau sekarang semua itu sudah pudar, sebetulnya fungsi yang kami beli itu tidak ada lagi. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankannya.
Istri saya memandangi saya dengan takjub. Saya tahu perasaannya. Ia selalu heran, kenapa saya begitu pusing dengan sebuah topeng. Dari dulu ia menganggap menyimpan topeng itu perbuatan yang salah. Baginya topeng itu semacam berhala.
“Kenapa sih soal topeng saja jadi seperti menghadapi anak,” katanya dengan ketus. “Kalau tidak mau dijual ya dibuang saja. Jangan tunggu sampai aku sendiri yang membantingnya. Dari dulu juga sudah aku bilang, di rumah ini jangan kebanyakan barang. Ada patung, ada lukisan, ada barang-barang souvenir. Ada topeng. Apa rumah rumah ini museum atau rumah dukun? Kalau mau hiasan dinding mengapa tidak menggantung potret keluarga saja? Atau potret presiden supaya memberi inspirasi kepada anak-anak kita supaya pintarnya seperti presiden?”
Saya tidak ingin bertengkar dengan istri. Karena dia akan selalu menang meskipun saya lebih benar. Dia adalah penguasa di dalam rumah. Apa katanya itulah akhir dari segalanya. Tetapi untuk menjual topeng itu, apalagi membuang, saya masih merasa sayang. Akhirnya menempuh jalan tengah, saya hanya memindahkannya ke dalam gudang. Saya simpan dalam kardus rapih.
Tetapi pada suatu ketika, anak saya yang paling kecil membawa topeng itu dari gudang. Diam-diam, supaya tidak didamprat ibunya, ia mencari saya yang sedang ngobrol di rumah tetangga untuk menyiapkan acara Agustusan.
“Pak, dia menangis Pak,” bisiknya ditelinga saya.
Saya terkejut.
“Siapa yang menangis?”
Anak saya menarik saya ke samping, ke tempat yang sepi. Lalu ia membuka bungkusan yang dari tadi disembunyikannya. Saya lihat kembali topeng itu. Wajahnya semakin tua. Seluruh alisnya telah putih. Sebagian rambutnya lepas, ia nyaris botak. Dan benar juga, dia seperti menangis.
“Mungkin dia tidak mau ditaruh di dalam gudang. Mentang-mentang sudah tua masak dibuang ke gudang, padahal dulu dibangga-banggakan,” protes anak saya itu, “lebih baik kita pasang lagi di kamar depan, Pak.”
Saya pandangi topeng itu. Tangisnya terasa tertahan-tahan. Ia berusaha untuk menyembunyikannya, tetapi tidak bisa. Jelas terasa bahwa ia sedang dalam keadaan tersedu-sedu. Saya jadi merasa bersalah. Anak saya nampak amat kasihan melihat topeng itu. Ia terus mendesak saya untuk meletakkannya di dinding kamar depan kembali. Tetapi saya menolak.
Akhirnya saya suruh anak saya membawa topeng itu ke jalan Surabaya. Di tempat penjualan barang-barang antic itu, ia akan tertampung dengan baik. Jual saja berapa, tak perlu jumlahnya, kata saya memberikan instruksi. Anak saya dengan segan pergi. Ia tidak berani membantah ketika saya katakana, ibunya bisa naik pitam, kalau melihat topeng itu tergantung lagi di dinding rumah.
Sore hari ketika saya pulang, ternyata anak saya belu kembali. Istri saya cemas, lalu menyuruh saya mencari. Saya langsung pinjam motor tetangga dan melesat ke jalan Surabaya. Di situ sudah mulai sepi. Anak saya dengan mudah saya temukan sedang termenung di bawah pohon di depan sebuah tokoh antik.
“Taksu? Kenapa masih di sini?” bentak saya agak penasaran.
Taksu, anak saya itu menunjukkan bungkusan topeng itu.
“Belum laku.”
“Ya sudah, ayo naik, kita pulang saja. Dan jangan bilang-bilang kamu sudah ke mari untuk jual topeng kalau nanti sampai di rumah. Kalau perlu kita buang saja di jalan. Ayo naik.”
Taksu langsung naik. Heran juga, saya bentak seperti itu, ia bukannya kesal, malahan gembira. Saya mulai curiga. Apalagi ketika motor hendak saya putar menuju arah rumah, pemilik toko antik itu tiba-tiba keluar dari tokonnya sembari memanggil.
“Hee tunggu!”
Saya menoleh.
“Terus saja,” kata anak saya.
Tapi saya menunggu, karena orang itu mendekat. Mukanya cekung, seperti patung-patung primitive.
“Empat saja ya!”
Saya tak menjawab, sebab matanya memandang mata anak saya.
Anak saya menggeleng.
“Empat setengah?”
Anak saya menggeleng.
“Ayo Pak, kita pulang saja.”
Saya bingung. Tapi kemudian saya menstater motor kembali. Orang itu cepat mencegat.
“Sudah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Tangan yang lain meminta supaya anak saya menyerahkan bungkusan topeng itu.
Anak saya kelihatan ragu-ragu. Saya heran.
“Ya sudah kasihkan,” bentak saya.
Orang itu sendiri yang kemudian mengambil bungkusan topeng itu dari tangan anak saya. Lalu ia menyerahkan uang itu ke tangan anak saya, karena anak saya nampaknya segan menerimanya.
Saya bengong menerima uang itu. Orang itu cepat-cepat membuka bungkusan topeng itu. Hati saya berdesir, ketika melihat topeng itu keluar dari bungkusan koran. Saya mendengar jeritannya, karena dipindahtangankan. Tapi saya tak peduli, karena saya lebih heran lagi melihat bungkusan uang di tangan saya, kenapa begitu tebal.
Karena hari sudah terlalu sore, saya masukkan bungkusan uang itu ke balik jaket, lalu menghidupkan kembali motor. Saya melambai kepada pemilik toko antik itu, tapi ia tak membalas karena terlalu asyik pada topeng di tangannya.
Di tengah perjalanan saya baru tahu, anak saya sudah menawarkan topeng itu terlalu tinggi. Terutama karena ia sebenarnya diam-diam berharap, tak seorang pun yang mau membelinya.
“Kamu tawarkan berapa?” teriak saya mengatasi suara motor dan deru lalu lintas.
“Lima.”
“Lima apa?”
“Ya lima ratus ribu.”
Hampir saja motor yang saya kendarai diserempet bus, ketika mendengar lima ratus ribu. Jadi uang yang saya kekep di dalam dada saya itu jumlahnya lima ratus ribu. Saya terpaksa memperbaiki letak jaket, takut kalau-kalau uang itu jatuh. Jumlah itu sangat meyakinkan. Cukup untuk menambah kekurangan tabungan kami membeli kuris baru yang sangat diidam-idamkan oleh istri saya.
Sementara Taksu terasa amat sedih oleh kehilangan topeng itu, saya berpesta dalam hati. Motor saya gas, supaya lebih cepat sampai. Begitu masuk ke pagar rumah, saya tak sempat lagi mengembalikan motor itu ke tetangga. Saya perintahkan saja agar Taksu yang membawanya disertai ucapan terima kasih. Saya sendiri lari ke dapur.
Saya langsung memeluk dan mencium pipi istri saya yang sedang menggoreng ikan asin. Dia terkejut. Sebelum dia melabrak saya, cepat-cepat saya rogoh dada dan keluarkan bungkusan uang itu.
Mata istri saya melotot.
“Apa itu?”
“Ya buka sendiri, apa!”
Istri saya menaruh sendok gorengannya, lalu membuka bungkus koran itu. Pada detik itu dada saya bertalu. Tiba-tiba saya merasa sangat bodoh. Kenapa bungkusan itu tidak saya buka tadi, ketika diserahkan. Bagaimana kalau sekarang isinya hanya gumpalan kertas tok?
Dengan perasaan dingin, seakan-akan tak ada yang bisa mengagetkan hatinya, istri saya membuka bungkusan. Ketika nampak isinya, ia baru terperanjat. Saya juga bengong. Ternyata di luar dugaan, uang di dalam bungkusan itu bukan lima ratus ribu.
Istri saya menghitungnya. Astaga ternyata bukan lima ratus ribu, tapi lima juta.
Kami berdua bingung. Ketika Taksu dating, ia juga ikut bengong. Serta-merta kesedihan yang tadi terbayang di mukanya hilang. Rupanya pembeli topeng itu menyangka nilai lima yang ditawarkannya itu lima juta. Rupa-rupanya sudah terjadi drama. Semakin tinggi harga yang ditawarkan, semakin tak rela kita melepaskannya, barang itu jadi semakin berharga di mata pembeli.
“Kau ini punya darah dagang tulen!” teriak saya memeluk Taksu. “Lima juta tak hanya cukup untuk membeli kursi yang dua kali bagusnya dengan mimpi ibumu, tapi juga bisa dipakai untuk liburan seluruh keluarga satu kali lagi ke Bali.”
Malam itu kami semua tertawa.
Dan sejak itu pula, istri saya, membiarkan dinding rumah kami digantungi topeng. Gudang dibongkar, topeng-topeng tua dipanjang kembali. Ada yang dari Kalimantan, Irian, Afrika dan tentu saja dari Bali. Istri saya yang dulu membenci topeng, kini rajin sekali merawat pajangan itu. Dengan harapan tersembunyi, nanti kalau sudah lapuk, topeng-topeng itu bisa dijual dengan harga lima juta di toko antik.
Kini rumah kami perlahan-lahan benar-benar menjadi semacam museum. Lebih merupakan toko antik daripada rumah tinggal. Apalagi pada suatu kali kemudian istri saya pulang membawa sebuah bungkusan yang berisi topeng, yang baru saja dibelinya.
“Dinding rumah sudah terlalu sesak, kita tidak perlu topeng lagi,” bantah saya.
Tapi istri saya tidak peduli.
“Ini lain,” katanya sambil membuka bungkusan. “Aku merasa topeng ini akan membawa keberuntungan, begitu aku lihat dipajang di toko, hatiku seperti diketuk, aku yakin sekali itu pertanda akan membawa hoki. Akhirnya aku ambil uang di bank dan membelinya.”
Saya terpesona.
“Kamu ambil uang berapa?”
“Ya, seharga topeng itu.”
“Ya berapa?”
“Sepuluh.”
“Sepuluh apa?”
“Sepuluh juta.”
Saya seperti hendak pinsan. Gila. Beli topeng sepuluh juta itu sinting. Saya langsung mau marah. Kami bukan orang kaya, bukan kolektor, bukan makelar topeng. Topeng tetap saja topeng, tidak perlu sampai sepuluh juta. Itu namanya bunuh diri. Tapi begitu mulut saya terbuka mau nyemprot, bungkusan di tangan istri saya terbuka. Tersembul wajah topeng yang dibelinya itu. Saya tercengang.
“Bagus kan?” kata istri saya, memperagakan topeng, sambil agaknya mengulangi apa yang sudah diucapkan oleh penjualnya. “Lihat rambutnya memutih. Tapi dari ketuaannya, terasa tidak, terasa ada pancaran kebijaksanaan yang kuat sekali. Ini bukan hanya topeng, tetapi inti kehidupan. Sesuatu yang bisa memberikan keseimbangan batin sehingga jiwa raga kita sehat dari berbagai kesulitan hidup yang makin ganas. Coba saja simak. Dan lebih dari itu, perhatikan, coba simak baik-baik ia terasa seperti tersenyum kan? Nah, kalau patung saja tersenyum, kita yang hidup mestinya juga begitu. Kalau hati kita tersenyum, hidup kita juga ikut tersenyum. Disitulah letak kehebatan topeng ini. Ia mengajak kita tersenyum melihat kehidupan, baru hidup itu akan berarti.”
Saya tak menjawab. Saya yakin kata-kata itulah yang sudah diucapkan oleh penjual topeng itu untuk merayu istri saya. Dan yang penting dari segala, sialan, topeng itu adalah topeng yang duul saya jual di jalan Surabaya dengan harga lima juta.
Sunter Mas, 19-71995
Kemarin Mas Subagio Sastrowardoyo meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar