Maya

M A Y A

monolog
Putu Wijaya


SUARA AZAN.
SUARA KETUKAN PINTU.

Hampir pagi,ketika kudengar pintu di ketok. Suara azan dari beberapa buah masjid disekitar kampungku, seperti panah-panah kecil masuk ke dalam kamarku yang gelap. Maya masih lemas di kasur dengan mulut menganga. Aku berguling ke tepi tempat tidur dan kemudian duduk.

KETUKAN TAMBAH KURANGAJAR

Suara ketokan itu bertambah seru kumencoba menduga-duga, siapa yang sampai hati merampas waktu istirahatku. Rasanya tidak mungkin mereka yang kuajak bergaul setiap hari. Mereka pasti tidak akan sekejam itu. Kukira pasti ada tamu yang tidak aku kenal. Seorang yang tiba-tiba membawa sesuatu yang harus disampaikan segera, karena ia tidak punya waktu menunggu lebih lama.
Kulongok dari teras loteng. Di bawah sana berdiri seorang lelaki memakai jaket biru. Bentuk kepalanya segera ku kenal Ia pasti Silur. Seorang sahabat lama dari Singaraja. Mulutku cepatsaja memuntahkan namanya.
''Silur!''
Orang itu kebingungan,tapi kemudian segera menatap ke atas.Ternyata bukan Silur. Entah siapa.
''Maaf mengganggu''.
''Ada apa?''
''Maya masih tidur ?''
''Ya''.
''Bisa ketemu dengan dia ? ''
''Maya masih tidur ''.
''Bangunkan saja''.
Aku heran. Orang itu kelihatan yakin sekali.
''Biasanya sulit dibangunkan. Bagaimana kalau nanti saja,kalau sudah agak siangan?''.
''O tidak bisa. Saya harus bertemu dengan dia sekarang.Sekarang!''
''Penting sekali?''.
''Penting!''
''Tunggu ya ''.
''Tapi cepat. Cepat ya! ''
Aku mengangguk.
''Akan saya coba ''.
Aku menarik diriku mundur, sehingga tak terlihat dari bawah. Aku termenung beberapa saat. Memandang ke sekitarku yang masih lelap. Rasanya tiap hari makin aneh saja. Tak terbayangkan bagaimana tiba-tiba muncul seseorang yang tak kukenalyang tidak mengenalku lantas menyuruhku dengan begitu yakinnya untuk membangunkan Maya istriku.
Hampir hampir saja aku menganggap semua itu hanya mimpi.Tapi waktu aku menongolkan kepalaku kembali, untuk memeriksa, orang itu segera nyemprot lagi.
''Bagai mana sudah ? Sudah? ''
''O ya sebentar.Sabar .''
''Cepat ! ''
Aku segera mundur dan masuk ke dalam kamar kembali. Suara nafas Maya terdengar memenuhi seluruh ruangan tidur. Ia tidak mengubah posisinya. Aku memandanginya beberapa lama, sampai kukalahkan keinginan untuk membangunkannya. Setelah itu aku membaringkan kembali tubuhku di sisinya. Kupingku kupasang baik baik.
Benar saja. Tak lama kemudian, pintu di ketok lagi. Bahkan ketokan kali ini lebih berani dan kurang ajar. Seperti ketukan tuan rumah kepada pelayannya yang lagi ngorok.

KETUKAN LIAR.

Dengan marah, kupejamkan mata. Kalau umpama Maya terbangun biar dialah yang mengurus kawanan itu. Aku akan pura pura tidak tahu. Barangkali memang penting barangkali berita keluarga. Atau panggilan mendadak untuk suatu keperluan yang mendesak. Mungkin juga calling untuk opname film, karena Maya baru saja mendatangani kontrak sebuah film.
Kurasa kemudian aku jatuh tidur. Tapi ketika kubuka mata kembali, baru beberapa menit saja berlalu, padahal rasanya begitu lama. Sementara itu ketukan itu makin menjadi jadi. Bahkand iiringi dengan panggilan.

DIDAHULUI KETUKAN.

''Maya......Maya......! ''

KETUKAN.

Aku merasa hal ini sudah keterlaluan. Aku khawatir kalau tetangga-tetangga ikut bangun dan menjadi saksi. Akhirnya aku bangun untuk kedua kalinya. Maya masih juga tidur. Kalau tidur ia tidak mendengar apa apa . Bahkan sesudah bangun, untuk seperempat jam ia biasanya masih belum benar-benar bisa mendengar.
Aku kembali ke teras. Orang itu terus mengentuk dan berseru makin kurangajar.

KETUKAN MARAH DAN KESAL. KETUKAN.

''Maya......Maya......! Bagaimana sih ! Maya! ''

KETUKAN. KETUKAN MARAH.

Beberapa detik aku berpikir. Kemudian kuambil vas bunga yang paling berat. Kuangkat dengan rasa dongkol yang bukan main. Kemudian kujatuhkan tepat keatas kepala bangsat itu.

SEBUAH POT BUNGA BESAR JATUH DARI ATAS. SUARANYA DAHSYAT. BERANTAKAN.
SEPI. SUNYI.
SUARA AZAN SEPERTI BERJALAN MAKIN JAUH.

Aku tak merasa perlu untuk melihat apa yang terjadi. Yang jelas ia tidak mampu mengetuk lagi. Tak ada panggilan Maya, Maya lagi. Sepi. Sebagaimana galibnya pagi hari. Hanya suara deru mobil lalu lalang sayup sayup terdengar arah jalan besar. Langit masih gelap. Dan aku mulai merasa udara agak lembab.
Di atas tempat tidur Maya masih bermimpi. Kupanggil lirih namanya. Tapi ia tak mendengar. Tidurnya pulas sekali, seperti seekor anak kucing.
''Maya......''
Kusentuhkan tanganku pada pipinya. Ia mengeluh kecil, tapi tak bangun. Waktu itu aku ingin sekali tersenyum. Tersenyum untuk kegelapan di dalam kamar yang ditikam oleh detik-detik jam dinding. Lama sekali aku tersenyum dalam sunyi itu, sebelum kubaringkan tubuh dan kembali tidur.
Esok paginya Maya melotot kepadaku .
''Gila ! '' teriaknya ''Serem sekali. Kau tadi malam menjatuhkan vas bunga lagi ke atas kepala orang yang mengetuk pintu di dalam mimpiku ! Edan !''
Aku tak menjawab. Aku tetap tenang. Semua itu sudah kuduga.

SUARA AZAN.

Jakarta 10 Januari 1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar