YA DAN TIDAK
Monolog
Putu Wijaya
SATU
Wajahku seperti Arif yang baru pulang dari luar negeri. Pucat, bingung dan frustasi. Betapa tidak.
Aku selalu harus mengatakan ya-ya-ya, satu ketika waktu dapat kesempatan mengatakan tidak, ternyata aku mengatakan ya juga. Tahu-tahu hasilnya, tidak.
Aku yang selalu harus mengatakan ya-ya-ya, satu ketika dapat kesempatan mengatakan tidak. Ketika kukatakan tidak, tahu-tahu orang tak mendengarnya. Aku tetap disangka mengatakan ya.
Aku yang selalu mengatakan ya-ya-ya satu ketika dapat kesempatan mengatakan tidak. Jebulnya hasilnya betul-betul tidak. Aku kaget, dapat serangan jantung dan mati.
Aku yang selalu harus mengatakan ya-ya-ya, satu ketika dapat kesempatan mengatakan tidak. Tahu-tahu aku mendengar suaraku sendiri seperti meneriakkan: yaaaa
Orang yang lain yang selalu juga mengatakan ya-ya-ya, satu ketika dapat kesempatan mengatakan tidak. Tapi ia tetap memilih mengatakan ya. Ternyata tak ada yang peduli, mereka menganggapnya tak penting.
Ada orang yang mengatakan tidak-tidak-tidak selalu. Satu ketika ia tidak mengatakan apa-apa. Semua orang menganggap ia untuk pertama kalinya mengatakan ya.
Banyak orang yang tidak bilang tidak dan tidak bilang ya. Tetapi orang sudah tahu bahwa sebenarnya yang dibilang pasti ya.
Ya dan tidak adalah rimba yang ruwet.
DUA
Aku stress dalam lalu-lintas ya-tidak dan tidak-ya yang amburadul tersebut. Lalu aku tidak berani lagi mengatakan apa-apa. Kalau ada orang bilang ya, atau bilang tidak, bahkan bilang tidak-ya atau ya-tidak, akuf tak dapat lagi mempercayainya
Aku celaka ketika percaya ya itu ya dan tidak itu tidak. Bisnisku bangkrut, hidupnya dikucilkan masyarakat. Aku dimusuhi banyak orang karena dianggap kurang lentur. Aku dicap terlalu individualistik, karena terlalu banyak bilang tidak. Diajak arisan jawabnya tidak. Diajak masuk kelompok jawabannya mesti tidak. Apa saja yang bersifat sosial dan mengeluarkan uang ekstra, aku selalu bilang tidak.
Aku sakit karena terhimpit. Hidup buatku tak ramah dan mengancam. Masyarakat seperti tak punya budaya dan kejam. Setiap hari aku berselisih dengan tetangga karena soal ya dan tidak. Bahkan dengan anggota keluargaku sendiri, aku sempat tak saling menyapa bertahun-tahun, karena soal ya dan tidak.
Tukang becak naik pitam hampir membacoknya karena ya dan tidak.
Lantaran takut, kalau harus menjawab antara ya dan tidak, aku memilih diam. Apa pun persoalannya, aku akan berusaha untuk tidak menjawab. Aku berlagak gagu, bodoh atau sakit. Setiap detik aku hidup dengan ilmu mengapung. Aku hidup tiarap sejak matahari terbit sampai tenggelam, karena tak mau mati konyol.
TIGA
Satu ketika salah seorang tetanggaku - pengurus R.T, mengetok pintu, menanyakan apakah aku akan ikut tarik tambang dalam acara menyambut 17 Agustus. Aku kebingungan, tiba-tiba karena gugup aku memberikan uraian.
''Perayaan ini penting sekali untuk menyadarkan kita sebagai sebuah kelompok. Manfaatnya bukan hanya peringatan, tetapi juga penyadaran kembali bahwa kita memiliki kepentingan yang sama. Bahwa kita juga memiliki arah yang sama meskipun pekerjaan kita berbeda-beda. Dengan ikut tarik tambang, kita mengingatkan kepada diri kita sendiri bahwa kita adalah bagian dari keutuhan. Semua warga harus ikut menghayati kesempatan yang hanya datang sekali setahun ini. Tetapi tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Ada orang yang harus bekerja, melakukan yang lain-lain, meskipun tidak berarti ia tidak setuju dengan apa yang terjadi. Ada orang yang di dalam batinnya tetap mengikuti semua gerak-gerik peringatan itu, meskipun tidak ikut melaksanakannya. Kita harus mempertimbangkan keduanya. Jadi tarik tambang mungkin bisa diartikan menarik tambang di lapangan, tetapi juga bisa menarik tambang di dalam hati. Ya kan ?''
Pak RT tak sabar mendengar penjelasan itu. Ia merasa sudah cukup memberitahukan. Lalu ia pergi dan mengetuk pintu rumah lainnya. Di beberapa rumah ia mendapat jawaban ya, di beberapa rumah lain tidak. Setelah dijumlahkan ternyata jumlah jawaban tidak, lebih banyak. Hanya terkumpul sekitar tujuh jawaban ya. Padahal musuh -- RT lain -- yang akan menarik tambang ada 20 orang. Di atas kertas lomba tarik tambang antar RT itu gagal.
Tetapi kemudian perlombaan tarik tambang itu berlangsung sukses. Di luar dugaan, tak kurang dari 25 orang tampil dari RT-ku, termasuk aku sendiri. Aku nampak menarik dengan sungguh-sungguh, seakan-akan akhir pertandingan itu menentukan hidup dan mati.
Dari pengalaman itu, aku dapat pelajaran. Setiap pertanyaan ya dan tidak, yang penting bukan jawabannya. Karena toh kalau bilang tidak, nyatanya harus ya.
EMPAT
Demikianlah aku mulai paham, ya dan tidak, tak berbeda. Ya atau tidak, tidak berseberangan. Keduanya berjajar bersinggungan dalam gradisi yang amat nyelimet, sehingga pada akhirnya hanya bunyinya yang lain, tetapi alurnya, maknanya sama.
Orang punya hak untuk bilang ya atau tidak, untuk menyembunyikan ya di balik tidak dan tidak di balik bunyi ya. Bahkan tak ada celaan buat yang diam membisu terkatung-katung antara ya dan tidak.
Aku pun sadar, juga tak ada soal kalau aku terus hidup mengapung. Menghindar makin jauh. Bersandiwara. Pokoknya tak mengganggu, tak mempersoalkan ya dan tidak. Karena makin jelas, setiap pertanyaan ternyata bukan pertanyaan, itu hanya penghalusan dari perintah. Semua orang sebenarnya memerintah, meskipun kelihatan bertanya. Dan perintah yang di-iya-kan tidak mengharuskan orang menuruti. Itu semua hanya aturan alias basa-basi permainan bersama.
LIMA
Hidup bermasyarakat buatku kemudian enteng dan tak serius. Aku tidak melihat lagi pertentangan antara binis pribadi dengan kewajibanku sebagai warga masyarakat. Walhasil aku mulai merasa aman. Dan itu awal dari bahagia.
Aku berubah. Aku mulai sabar. Santun. Masyarakat pun menyukainya. Mereka menganggap aku seorang warga yang baik. Seorang pintar yang juga bijaksana - kombinasi yang dianggap sudah amat langka.
ENAM
Kini aku kembali berani mempergunakan jawaban ya atau tidak. Karena toh jawaban itu tak ada artinya. Tak ada pengaruhnya sama sekali di belakang. Mungkin yang penting adalah kehadirannya sebagai bunyi. Pokoknya kalau ditanya, tidak usah pikir terlalu panjang. Langsung saja dijawab. Ya atau Tidak.
Semua pertanyaan bisa dijawab dengan: kadang-kadang ya dan kadang-kadang tidak, sesuai dengan kebutuhan mulut - bagaimana enaknya waktu sedang bicara. Karena bagaimana pun, rencana sudah dibuat tak akan bisa berubang. Apa yang terjadi sudah harus terjadi, tidak bisa dibendung. Jawaban ya atau tidak, tidak terlalu perlu, kecuali sebagai catatan bahwa yang diajak bicara sudan mendengar. Dan komunikasi dianggap sudah berlangsung. Cukup.
Ini bukan sandiwara, tetapi terowongan yang menerobos zaman. Resep satu-satunya yang paling manjur saat ini. Belum kelihatan ada jalan lain, kalau mau hidup selamat.
Ah aku mulai mapan.
TUJUH
Kalau ada tetangga datang dan menanyakan apa aku akan ikut tarik tambang, aku tak ingat lagi bilang ya atau tidak. Aku jawab asal mangap saja, asal cepat. Itu perlu, kalau tidak, bisa dianggap tak punya perhatian. Pokoknya asal kemudian kalau tarik tabang dilangsungkan, aku selalu menarik paling di depan dan belepotan debu. Dan kalau seandainya tidak jadi dilaksanakan, aku pun ikut tak muncul di lapangan.
Sekarang aku hidup sehat. Makmur dan terkenal. Ilmu ya-tidak atau tidak-ya, sudah aku kuasai. Inilah sejatinya seni hidup!
Tapi kemudian harus disambungnya lirih: ''tapi jangan menyangka aku menyukainya, kalau bisa memilih, aku lebih doyan sebaliknya''.
Aku adalah wajahmu, wajah kita. Dosa kita bersama.
Ithaca, 22 Mei 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar