BURUH
Monolog
Putu Wijaya
Pada Hari Buruh, terjadi unjuk rasa di mana-mana. Ada yang beringas, ada yang hanya sekedar peringatan. Ada juga semata unjuk gigi, agar para majikan keder. Tujuannya jelas, berharap akan kemenangan kaum buruh.
“Boleh aku bertanya? Kalau buruh menang berarti majikan akan keok?”
Langsung ada yang menjawab
“Sebenarnya tidak kalah, tapi mengurangi kemenangannya.”
“Jadi majikan tetap menang?”
“Tetap.”
Aku tercengang.
“Maksudnya? Apa itu berarti majikan itu tidak akan bisa dikalahkan?”
“Tidak bisa!”
“Wah kamu sudah jadi kapitalis Bung!”
Yang sudah menjawab itu tak mau menjawab lagi, terus pergi. Aku jadi mikir
“Kalau tidak mungkin menang, lalu buat apa kaum buruh seluruh dunia unjuk rasa, buang-buang waktu, tenaga dan juga duit?”
Aku samperin karyawan pabrik tekstil yang selalu getol demo itu.
“Kalau kaum majikan tetap akan menang, buat apa lagi demo?”
Karyawan penggemar demo itu kontan senyum sinis.
“Habis bagaimana lagi, Pak! Bapak lihat sendiri kelakuan para majikan itu makin kurang ajar. Yang dikejar hanya untung. Tidak peduli pada hak-hak kami. Kalau diikuti maunnya, pasti dia mau embat kgiliran bayar, dia nggak mau. Ada buruh yang mati, sakit, dia tidak peduli. Jangankan memperhatikan kesejahteraan kami. Duit kami juga kalau bisa dia embat. Dia lupa, tanpa kami, mereka bukan apa-apa. Tanpa buruh, pabriknya akan modar.”
“Jadi kalian mau mengalahkan majikan?”
“Jelas!”
“Tapi kalau majikan itu kalah, bangkrut, lalu berhenti jadi majikan, pabrik tutup, kalian juga akan kehilangan pekerjaan bukan?”
“Tidak bisa!”
“Tidak bisa bagaimana?”
“Dia tidak berhak, tidak boleh menutup pabrik seenaknya. Dia bertanggungkjawab terhadap kesejahteraan kami! Dia berkewajiban!”
“Jadi majikan bertanggungkawab dan berkewajiban terhadap kesejahteraan kalian kaum buruh?”
“Ya dong! Jelas!”
“Lalu siapa yang bertanggungjawab atas kesejahteraan majikan?”
“Tidak ada. Tidak usah! Tidak perlu!”
“Kenapa?”
“Karena mereka sudah sejahtera. Nggak ada majikan yang kagak sejahtera! Semuanya kaya-raya kan?!!”
Aku tidak setuju. Tapi tidak bisa berbantah dengan orang yang sedang marah. Jadi aku diam saja. Aku teringat pada seorang kawan yang punya hotel kecil. Karyawannya sekitar 50 orang. Meskipun dia termasuk majikan, tapi keluhannya lebih panjang dari sinetron Indonesia. Seabrek-abrek. Meskipun majikan, ternyata hidupnya tidak berkelimpahan.
“Kami memang punya 10 mobil Bung,”kata kawan itu, “tapi itu semua inventaris hotel, untuk bekerja. Rumah kami memang tembok, bertingkat dua, karena keluarga kami banyak. Supaya tidak panas, pakai AC, kalau tidak, waktu istirahat yang pendek tidak akan bisa dimanfaatkan maksimal, sementara pekerjaan menumpuk. Kalau lesu dalam bekerja, rezeki bisa lari. Ya kalau untuk kami sendiri, tidak apa. Kami sudah biasa menderita dan ambil resiko. Makan tidak makan sudah biasa. Tapi karyawan itu barang pecah-belah. Mereka bisa menjerit lebih tinggi dari Monas, kalau gajinya tidak dibayar tepat waktu. Kita bisa didemo. Salah dikit hotel dibakar. Dan nyawa tidak penting lagi dalam sebuah pergerakan. Ngeri kan?!”
“Kalau begitu apa enaknya jadi majikan?”
“Nggak ada!”
“Ah masak. Majikan kan berarti punya kekuasaan?!”
Juragan hotel kecil itu ketawa.
“Bung, kami memang pegang duit tiap hari. Kadangkala jumlahnya ratusan milyar. Tapi itu hanya setan yang numpang lewat saja. Itu duit orang. Kami ini hanya perempatan, tempat duit lalu-lalang. Salah sedikit, pakai duit orang yang ada di tangan, bisa masuk penjara. Enakan juga jadi buruh, tak perlu memikul tanggungjawab. Kalau tak puas bisa teraik, demo, bakar! Ya nggak? Kaum majikan tidak bisa mengcopy itu. Hidup majikan tegang 24 satu hari. Buruh enak, kalau tidak puas, hajar! Kalau kurang fasilitas maki-maki pemerintah!”
“Ah masak?”
“Ya, Pak. Jangan salah! Tidak ada yang lebih enak dari jadi buruh yang bisa mencak-mencak menuntut seenak perut. Orang yang lagi tidur dan tidak ikut-ikutan apa-apa pun bisa dia tuntut.”
“O ya? Kalau begitu, kenapa tidak jadi buruh saja?”
Kawan itu tertawa.
“Lho kenapa tidak. Coba disimak. Sebenarnya saya ini buruh Pak. Buruh! Sama dengan mereka. Kami juga pekerja. Bukan majikan. Hanya lingkungan kami lain.Kebetulan saja kami pegang duit. Tapi kami juga makan nasi, sama dengan mereka. Malah makan kami lebih sedikit. Tapi resikonya sama bahkan bisa lebih fatal.”
“Jadi kalau begitu sebenarnya Ente lebih seneng jadi buruh saja?”
“Jelas!”
Aku geleng-geleng. Waktu anakku yang mahasiswi pulang dari kampus, aku panggil.
“Ami, tadi pagi ada yang bilang majikan itu pasti menangan terus. Kamu setuju atau tidak?”
Anak saya menjawab tegas.
“Setuju! Revolusi mana pun masih belum bisa mengalahkan majikan itu.. Makanya kaum buruh harus bersatu, terus berjuang di seluruh dunia supaya bisa menang, meskipun kalah!”
“Tetapi dengerin. Seorang kawanku, majikan hotel itu bilang, kalau dia boleh memilih lagi dia mau berhenti jadi majikan. Katanya enak jadi buruh!”
“O ya? Kenapa?”
“Karena dia bilang nggak ada enaknya jadi majikan. Tanggungjawabnya berat. Dia lebih senang jadi buruh biar bisa demo terus.Dibela dan dimenangkan oleh media massa. Dilindungi negara!”
Anakku tertegun.
Malam hari dia nelpon tetangga yang punya hotel itu.
“Terus-terang, kalau boleh bertanya Oom, kata orang tua saya, Oom tidak senang masuk kelompok majikan. Kata Bapak saya Oom ingin masuk ke dalam
organisasi kaum buruh. Apa itu betul, Oom?”
Tetangga pemilik hotel itu tak menyangka akan dapat pertanyaan behitu. Tapi dia jujur, lantas membenarkan.
“Yes!”
“Kalau Oom merasa senasib dengan kaum buruh, kenapa tidak masuk partai saja, Oom? Kan ada partai yang membela kaum buruh,”
“Sudah!”
Anak saya terkejut.
“Lho Oom sudah masuk organisasi kaum buruh?”
“Ya. Oom malah ketuanya! Sekaligus pelindung! Sekalian penyandang dananya!”
Anak saya tercengang.
“Wah itu surprise, tak nyangka! Organisasi mana itu Oom?”
“Persatuan Pemilik Hotel Kecil. Disingkat Perphok.”
“Ah? Anggotanya?”
“Ya istri oom, anak Oom, cucu-cucu Oom, keponakan-keponakan Oom. Mereka juga punya hotel-hotel, losmen atau rumah indekosan. Kami ini buruh-buruh menghadapi para pemilik modal yang memberikan kami pinjaman uang untuk mengembangkan usaha. Kalau kami tidak bersatu, kami akan ditekan terus dalam soal pembayaran bunga, jatuh tempo dan sebagainya.”
Ami anakku tak meneruskan pertanyaannya. Ia kontan bungkam.
“Perjuangan kaum buruh harus dilipatgandakan seribu kali!” teriak anak saya dengan beringas..
“Kenapa? Yang ada sekarang saja kan sudah banyak. Galak-galak lagi. Kalau sudah demo mereka tidak takut apa pun. Semua dilabrak!.”
“Itu bukan mereka! Itu para majikan yang menyamar jadi buruh untuk memfitnah agar pergerakan buruh dihadang dan dibasmi!”
“Kita tidak melawan majikan. Kita menghadapi buruh-buruh gadungan! Buka kedoknya! Kaum buruh sekarang tidak hanya diperintah, ditekan agar tidak mampu bernafas, tapi terancam, direbut posisinya sebagai buruh. Ini perampokan! Kaum buruh tidak boleh berhenti berjuang, tetapi berjuang bukan untuk menang, berjuang hanya supaya tidak kalah!”
Aku terpesona
“Asyik! Mari jabat tangan! Entah siapa di antara kita yang tumbuh, tapi aku setuju itu. Kita sekarang sedang digerayangi oleh musuh dalam selimut! Kita berjuang bukan untuk menang, kita berjuang supaya tidak kalah!”.
Jakarta, 4 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar