PEREMPUAN
Monolog
Putu Wijaya
“Berdasarkan undang-undang, kaum perempuan sekarang dimanjakan oleh adanya cuti hamil dan 2 hari pertama haid kalau merasa sakit. Kemanjaan-kemanjaan lain menyusul. Itu alamat bahaya!” kata seorang tetangga.
Saya tercengang.
“Kok bahaya? Itu kan kemajuan?”
“Bahaya! Tetap saja bahaya!”
“Bahayanya di mana?”
“Keponakan saya yang melamar pekerjaan dengan pakai ijazah yang sudah jatuh-bangun direbutnya, dikalahkan oleh pelamar-pelamar laki-laki yang tidak punya ijazah!”
“Ya itu mungkin karena perusahaan mengutamakan pengalaman.”
“Keponakan saya berpengalaman kerja di beberapa perusahaan lain.”
“Jadi keponakan Ibu sebelumnya sudah bekerja?”
“Sudah!”
“Di beberapa perusahaan?”
“Di lima perusahaan dengan gaji bagus sekali karena dia memang pintar.”
‘Lho kalau sudah punya pekerjaan kenapa cari pekerjaan lagi?”
“Habis dikeluarkan!”
“Dikeluarkan karena apa?”
“Itulah lucunya. Bukan karena perusahaannya bangkrut. Bukan karena dia tidak becus bekerja. Malah dia dipuji-puji oleh semua atasannya. Bukan karena dia membuat kesalahan. Wong dia pintar kok. Bukan karena malas. Rajinnya bukan main. Dia sudah masuk sebelum orang lain datang dan pulang setelah semua orang sudah meninggalkan kantor. Rajin, bersih dan pintar. Itu keponakan saya. Tapi dia dikeluarkan.”
“Karena persaingan atau fitnah?”
“Antara lain. Tapi bukan!”
“Lalu kenapa?”
Tetangga itu senyum mengejek.
“Karena dia perempuan!”
Saya terkejut lagi.
“O ya, sampai sebegitu-begitunya?”
“Ya! Itu sebelum ada aturan cuti hamil dan haid itu. Perempuan dianggap mengacaukan kantor karena banyak tidak cutinya. Apalagi sekarang ada aturan resmi begini. Jelas lapangan pekerjaan akan makin sempit buat perempuan!”
Saya termenung. lalu buru-buru pulang. Sampai di rumah kontan mencecer suami saya.
“Pak, coba jawab dengan terus-terang!”
Suami saya terkejut.
“Ada apa?”
“Jawab saja, jangan tanya. Aku sekarang yang tanya!”
Suami saya jadi gugup dan cemas.
“Ada apa? Anak kita kena apa?”
“Ini bukan soal keluarga. Ini soal dunia! Seandainya Bapak menjadi direktur perusahaan …. .”
Suami saya langusng angkat tangan.
“Sudah jangan mengkhayal yang bukan-bukan. Aku tidak punya bakat dagang. Aku ini guru, kalau kamu mau ikut-ikutan mau buka usaha, jangan, lebih baik jangan. Pasti bangkrut! Jangan dengarkan hasutan tetangga itu!”
“Denger dulu, kok belum apa-apa sudah menjawab!”
“Pokoknya aku tidak mau jadi direktur!”
“Seandainya!”
“Seandainya juga tidak mau!”
Saya mulai kesel.
“Ah, Bapak ini kalau diajak berunding mesti membantah duluan. Seandainya! Seandainya!”
“Sudah Bu, aku ini tidak suka mengkhayal. Lebih baik menerima kenyataan saja. Seandainya-seandainya, untuk apa? Hidup ini nyata. Yang biasa-biasa saja. Itu akibat Ibu suka nonton sinetron! Jadi suka melamun!”
Suami saya cepat-cepat ngacir. Saya hampir saja mau mengejar. Tapi kemudian muncul Ami, anak saya.
“Seandainya Ami yang jadi direktur bagaimana?” tanya Ami sembari mendekat.
“Tidak bisa.”
“Lho kenapa tidak? Apa perempuan tidka berhak jadi direktur. Sekarang perempuan sudah jadi mentri dan presiden. Apa salahnya kalau Ami jadi direktur?”
“Tidak bisa. Ibu mau Bapakmu!”
“Kenapa?”
“Karena dia laki-laki!”
Ami tertawa sinis.
“Nah iya kan! Ternyata Ibu sendiri juga membedakan antara laki-laki dan perempuan. Belum apa-apa perempuan sudah tidak boleh jadi direktur. Akibatnya begini. Negeri kita akan dikendalikan oleh laki-laki tok. Bodoh juga tetap dipercayakan kepada laki-laki, karena perempuan dianggap tidak mampu. Makanya kita tidak bisa maju!”
“Ami! Bukan begitu!”
Tapi Ami sudah keburu pergi. Saya terhenyak lagi. Berapa kali perempuan harus yterhenyak dan terkejut setiap hari. Tetapi kemudian apa yang dikatakan oleh Ami masuk ke dalam hati saya . Diam-diam suami saya masuk lagi, lalu menegur saya yang sedang termenung dengan suara mesra.
“Betul Bu. Kenapa bukan Ami saja? Kenapa mesti aku? Apa salahnya kalau Ami jadi direktur? Apalagi itu hanya umpama saja kan?”
Saya menggeleng.
“Bapak tidak mengerti. Laki-laki tidak pernah mengerti!”
“Tidak mengerti apa? Apa salahnya Ami jadi direktur. Apa karena dia perempuan? Itu diskriminasi! Atau bagaimana kalau Ibu sendiri?”
Saya tersenyum sedih.
“Bagaimana kalau seandainya Ibu sendiri yang jadi direktur?”
Saya makin dalam termenung.
“Kalau Ibu yang jadi direktur, apakah Ibu akan lebih memilih pegawai perempuan atau pegawai laki-laki?”
Tiba-tioba saya kaget.
“Lho Bapak tahu maksudku?”
“Kalau Ibu jadi direktur, mana yang akan Ibu prioritaskan untuk diterima, pegawai perempuan atau pegawai laki-laki. Sama-sama punya ijazah, pengalaman dan kepintarannya juga setaraf? Coba! Jujur saja! Pilih yang mana? Jangan bicara sebagai sebagai perempuan, juga jangan sebagai manusia. Tetapi sebagai seorang direktur yang berkewajiban kepada komisaris untuk memajukan perusahaan. Kalau perusahaan yang Ibu kelola tidak maju, Ibu akan dipecat! Coba pegawai perempuan atau pegawai laki-laki yang akan Ibu terima? Jujur!”
Saya terhenyak.
“Pegawai perempuan yang banyak izin dan liburnya, yang banyak perasaannya? Yang banyak menyindir dan ceriswis? Yang banyak cerewetnya? Atau pegawai laki-laki yang gesit dan tahan banting? Jujur saja! Jawab secara jantan!”
Saya bingung.
“Ayo jawab yang jujur!”
Saya menarik nafas panjang. Setelah berpikir lama, lama sekali, akhirnya dengan sangat sedih, sangat menyesal, jutga sangat sakit kemudian saya terpaksa menjawab dengan jujur:
“Ya.”
“Ya apa?”
“Ya betul!:”
“Betul apanya?”
Tiba-tiba saya tak bisa menahan air mata saya jatuh.
“Lho kok nangis?”
“Habis kenyataannya pahit begini!”
“Pahit bagaimana?”
“Kalau aku direktur dan harus memilih pegawai. Aku akan memilih pegawai yang lebih gesit, lebih kuat, lebih praktis. Aku akan memperioritaskan memilih pegawai laki-laki ketimbang perempuan”
Akhirnya saya menangis. Suami saya terkejut. Dia menggeleng-geleng. Lalu berbisik.
“Dalam sejarahnya, jarang pegawai perempuan yang korupsi. Dalam sejarahnya jarang pegawai perempuan yang berkhianat, menyebrang ke perusahaan lain, hanya karena gajinyta dan fasilitas lebih besar. Dalam sejarah, pegawai perempuan yang memiliki dedikasi dan kesetiaan pada perusahaan. Dalam sejarahnya pegawai perempuan yang membuat kantor menjadi nyaman, segar, bersih, berdesiplin, tertib, dan segala urusan lebih mudah. Maska untuk semua kelebihannya itulah hak-haknya sebagai perempuan diatur oleh negara dengan undang-undang. Kalau aku yang jadi direktur, aku tidak akan pernah ragu-ragu untuk lebih memilih pegawai perempuan ketimbang pegawai pria! Apalagi sekarang ini! Denhgan semua perlindungan yang diberikan undang-undang itu, pasti , pastidedikasinya akan lebih tinggi!”
Tangis saya semakin keras. Yang bicara itu suami saya. Apa yang bisa dia katakan lagi kecuali yang manis-manis untuk menghibur istrinya. Untuk memberi harapan pada anak perempuannya. Meskipun dia sendiri barangkali tidak percaya atau tidak setuju dengan apa yang dikatakannya.
Saya masih akan terus menangis. Bukan undang-undang yang saya perlukan. Kami tidak perlu dibela oleh undang-undang, meskipun perlu. Yang lebih, lebih kami perlukan adalah penghargaan dari hati nurani yang terdalam.
Jakarta 4 Mei 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar