Becak

BECAK

Monolog

Putu Wijaya


MUNCUL KAMI MENDORONG BECA.

Kami tukang becak yang baik. Kami memiliki persyaratan yang tepat untuk seorang pekerja kasar. Tubuh kami gempal. Napas panjang, kaki kuat, tidak mudah kena penyakit, muka kami membaja akan tetapi tidak menakutkan. Kami rajin. Dapat dipercaya. Tidak suka mencampuri urusan orang lain, mudah tersenyum dan kelihatannya sedikit bodoh.
Majikan kami menganggap lelaki seperti kami ini contoh tukang becak teladan. Setorannya selalu tepat, pas. Tidak suka utang, tidak pernah merusakkan becak, tidak pernah absen. Ia tidak mengenal hari Minggu. Siang malam kendaraan roda tiga ini kami genjot, tidak peduli panas atau hujan.
Kata Bos: "Kalau saja aku punya seratus tukang becak seperti si Amin, masa depanku cerah, aku bisa tenteram menjadi pengusaha becak, tidak usah lagi memikirkan sumber lain.
Setelah genap 10 tahun menerima nasib sebagai abang becak, entah kenapa tiba tiba kami merasa malang. Mata kami membuka lebih lebar, kuping lebih mencorong lalu kami memutar leher kami keliling tigaratus enampuluh derajat.
Langsung kepala kami jadi pusing. Kaki kami yang kukuh mulai enggan. Cahaya matahari yang biasa ramah tiba tiba menggigit. Hujan pun tak bisa dianggap teman lagi. Di hidung kami mulai ada gangguan kalau menghirup bau orang orang lain yang lebih berduit.
"Ya Tuhan, kenapa aku tetap miskin sampai sekarang, sedangkan orang lain pada punya milik ? Ada yang istrinya sudah empat. Keluh kami kalau pikiran lagi ngelantur..
Sejak itulah kami mulai berubah. Tak jelas siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap perubahan itu. Apa teman teman main gaplek kami ? Apa karena disengat oleh bola liar yang disepak tiba tiba dari sononya ? Apa lantaran usia kami yang sudah semakin tua ? Atau karena jatuh cinta ?
Yang pasti, Bos kami tak berani lagi memujikan kami sebagai anak buah teladan.
"Ini adalah hal yang wajar karena setiap orang harus berkembang, akan tetapi perkembangan itu membuat kamu tidak cocok pada pekerjaanmu lagi. Aku sudah memikirkan untuk memberikan becak itu pada orang lain, karena sekarang kamu hanya mau narik siang. Malamnya becak jadi mubazir, kata Bos menggerundel.
Persoalan kami berhenti narik malam itu ada sebabnya. Kami sudah mencoba untuk berjudi. Pasalnya begini. Kalaui kami hitung hitung, kami menyimpulkan, 10 tahun melebar ke depan, kalau kami terus brtahan natrik. tidak mencoba cari tambahan, nasib kami tidak akan berubah. Genkot terus. Padahal sekarang sudah zamannya motor. Punya duit 500 sudah bisa pegang kunci. Kredit kan?
Karena itulah kami mulai mencoba apa saja ihktiar yang lain. Dan barangkali berkat rakhmat Gusti Allah Yang maha Pemurah dan Kuasa Yang lihat segala-galanya dari atas sana, meskipun mula-mula kalah, tapi suatu kali kami berhasil menang banyak. Betul betul langkah kanan. Asyik! Kata orang fantastik.
Sampai sampai kami sendiri tak percaya bisa pegang duit sebanyak itu.
Barangkali inilah buah hasil dari orang yang kerja 10 tahun dengan jujur, pasrah dan nrimo, kata kami kepada istri-istri kami. Maksud kami, istri kami. Baru satu soalnya.
Nah jadi begitu. Esoknya kami kontan bertamu ke rumah Bos. Jalannya agak miring sebelah, karena di kantong kanan keberatan dompet yang penuh dengan uang. Begini.

MEMPERAGAKAN JALANNYA

Bos kaget. Datangnya kok agak siang. Pakai sandal japit lagi. Mana sepatu kets yang biasa dipakai nggenjot?
Begini Bos. Terus-terang, Bos jangan marah. Terhitung mulai hari ini, Selasa, Pon, kami berhenti narik becak bapak, kata kami kalem.
Bos tambah kaget. Dahinya berkerut tidak percaya. Dikiranya itu hanya gertakan.
Lalu kami memngeluarkan dompet kami yang susah dikeluarkan dari kantong akrena penuhnya, lantas meletakkan uangnya di atas meja.
Bos, maaf, kami mohon kami diizinkan untuk membeli becak yang bisa kami genjot itu untuk jadi milik kami, karena kami ingin berwiraswastai. Maaf, tolong, anggaop ini sebagai imbalan kami bekerja dengan jujur selama 15 tahun ini.
Bos tabah kaget lagi. Biarin saja. Itu memang resiko kalau orang mau maju.
Bagaimana Bos, boleh?
Anehnya, setelah kaget Bos berpikir sebentar. Tapi kemudian dia mulai menghitung uang yang kami sodorkan itu. Tak bedanya dengan harga pasaran becak. Cofcok. Memang dari rumah sudha tak pas-paskan.
Bagaimana Bos?
Bos manggut manggut sehingga kami deg-degan juga. Kalau dia marah, itu normal. Siapa yang tidka marah kalau tukang bevcak teladannya mau berhenti. Asal kamu jangan tiba-tiba naikkan harganya, itu namanya lintah darat, kami kami dalam hati.
Eh ternyata semuanya tokcer-tolcer saja. Tanpa banyak cingcong, Bos mengambil uang itu dan memasukkan ke sakunya.
Oke Amin, hebat kau, katanya sambil menepuk-nepuk pundak kami. Bawalah becak itu dan kerja baik baik. Sekarang kita sama-sama pemilik becak. Kita boleh bersaing. Tapi bersaing dengan jujur ya, kata Bos sambil tersenyum.
Lalu kami berjabatan tangan. Itu mestinya difoto. Sebab itu sebuah sejarah, babak baru bagi seorang buruh kecil yang dengan usahanya banti8ng-tulang selama 15 tahun sekarang mencoba menjadi pemilik.
Rasanya kaki kami narik becak seratus kali lebih ringan dari sebelumnya. Padahal kaki yang itu-itu juga.. Tapi mengayuh becak dengan perasaan yang berbeda. Bangga. Tidak ada lagi perasaan diuber-uber atau ditekan-tekan. Plong. Kami merasa punya jiwa, roh, tubuh, kepala, otak, masa depan, dunia dan tentu saja beca. Jadi begitu rupanya rasanya orang punya milik.
Kami sekarang boleh nggenjot becak dengan bersiul-siul. Kalau capek berhenti, jajajn dulu sambil menghirup kopi panas dan mengebulkan asap rokok. Jalau penumpangnya terlalu rewel nawar, ya ditinggal saja, tidka peduli. Jadi bebas. Ini baru negara merdeka yang beneran.

KETAWA PUAS

Sebagai dampak dari semua itu, karena kami sekarang pemilik beca, kami merasa sudah tidak zamannya lagi kerja setengah mati untuk mengejar setoran. Kenapa mesti ngoyo. Itu hanya bikin badan cepat rusak dan usia cepet lengser. Biasa-biasa saja. Tenang. Cukup asal dapat makan. Kalau sudah cape harus istirahat dan kalau segan tidak usah narik demi kesehatan jasmani dan rohani.
Walhasil kami bekerja dengan rileks, bukan ongkang ongkangan. Santai-santai saja. Untuk apa mengejar gunung yang tidak lari. Dikejar pun tidak ada gunanya. Gunung bagusnya dilihat dari jauh. Kalau ada matahari terbit dan terbenam, langit merah dan burung-burung terbang. Kalau dekat gunung ya hanya tanah tinggi, hutan, belum lagi lahar panas kalau meletus.
Jadi hidup lebih realistis. Ini nama nya kami ngewongake diri sendiri. Habis siapa lagi yang akan ngewongkan kami kalau bukan kami sendiri. Orang kecil seperti kami harus bisa ngewongke dirinya sendiri, begitu jalan pikiran kami.

TIDURAN DI JOK BECA SAMBIL NGANGKAT KAKI

Jadi alon-alon asal klakon itu, memang maknanya adalah kami harus bisa menjaga kesehatan sendiri. Sebab kalau tidak, kalau sakit siapa yang akan ngurus. Rumah Sakit sekarang tidak akan terima kalau kita tidak punya askes. Ya bagaimana mau bikin askes, kalau bikin asap dapur saja sudah Senen-Kamis?

MENGELUARKAN HP DAN MEMUTAR LAGU

Ini bukan barang mewah. Ini untuk bekerja. Kalau ada langganan dicatat di sini. Kalau daia datang, tinggal kontrak lewat HP, kita lantas jemput di stasiun atau di hotel.

MENEKAN NOMOR NGONTAK SESEORANG. LALU BICARA.

Mariah? Gimana? Lho kok begitu. Gua kan sudah minta maaf, maska begitu sih ….. (NGOBROL GAUL, NGALOR-NGIDUL, CEKAKAK-CEKIKIK)

TIBA-TIBA MEMATIKAN HP

Tapi anehnya, kalau premilik beca mulai malas narik beca sendiri, walau pun alasannya ngurus kesehatan jasmani dan rohani, otomatis rezekinya pun seret. Alasannya nampak sombong karena narik becanya sendiri, lalu belum-nelum mereka ogah nyamperin. Lho apa salahnya orang punya beca sendiri. Sombong? Salah! Itu kan harga diri kami? Apa kami-kami yang miskin dan hanya punya beca ini tidak boleh sombong sedikit? Ini kan bukan sombong, ini kan tanda kami punya gengsi. Masak nggenjot 5 Km hanya bayar seperak. Coba ini nggenjot sendiri tak bayarin seratus satu kilometer di tanjakan!

MENUNGGU PENUMPANG TAPI APES TERUS, KARENA DIA TIDAK BERUSAHA KERAS UNTUK MENDAPATKAN, HANYA MENUNGGU DISAPA DENGAN KAKI NAIK KE ATAS SEHINGGA PENUMPANG MALAS MENDEKAT

Dalam tempo hanya 1 bulan sejak kami punya beca sendiri, hutang sudah menumpuk Istri marah-marah. Anak-anak menangis mau dibelikan jajanan di warung. Dan rokok pun sudah tidak kuat lagi dibeli, terpaksa munggutin puntung-puntung di jalanan.
Masuk bulan kedua terus-terang, kami bangkrut. Sepatu kets kebanggaan yang dihadiahkan oleh Bos ketika jadi tukang beca teladan, sudah dijual. Beca pun sudah setengah digadaikan. Satu bulan lagi, kalau rezeki tetap seret, beca bisa pindah tangan.
Di situ kami mulai berpikir lagi. Berpikir dan berpikir lagi. Tapi berpikir juga menghabiskan waktu.. Tidak bisa narik sambil berpikir, nanti ditabrak truk. Berpikir memang bagus, tapi banyak juga tidka bagusnya, sebab membuat rezeki tipis. Bahkan kalau konslet bisa hilang ingatan.
Walhasil, kami akhirnya berhenti berpikir. Sekarang yang jelas-jelas saja. Untuk apa punya beca kalau rezeki tambah seret? Untuk apa jadi wiraswastawan kalau yang numpuk hanya hutang. Jadi lebih baik banting stir kembali. Back to Bang Becak.

KETAWA

Hari itu, dengan terpaksa kami datang lagi ke rumah Bos untuk menjual becak itu kembali. Dengan harga setengah dari harga pembelian dulu, karena sudah banyak yang rusak. Akibat kurang diopeni oleh siapa, ya oleh kami sendiri. Seperti istri, dulu waktu belum jadi milik, kami selalu ngelap beca supaya mengkilap, jadi penunpamngnya seneng. Lho meskipun beca kok necis rasanya seperti mobil Mercy?
Tapi setelah jadi milik, bannya kempes, peleknya bengkok, remnya tidak makan, bempernya peyot nabrak tiang, tak biarin saja. Habis masak pemilik mesti jadi budak miliknya. Pemilik kan mestinya menikmati.
Pokoknya susah. Susahnya lagi, hasil penjualan beca itu kembali pada Bos tak cukup untuk menutup utang. Lalu terpaksa kami minta pertolongan agar diberikan kesempatan untuk menarik becak kembali. Dan pinjam duit untuk membebaskan lilitan hutang yang nanti dibayar cicil dengan menaikkan setoran.
Bagaimana Bos, boleh?
Bos hanya manggut-manggut.
Boleh Bos?
Kenapa tidak boleh, kata Bos akhirnya. Mengapa tidak, persis sebagaimana yang sudah aku ramalkan. Bahkan lebih cepat. Aku bilang sama teman-teman kamu, lihat si Amin sudah mulai kurangajar. Tidak mau lagi melihat kenyataan, nrimo dan pasrah pada nasibnya. Mau jadi pemilik. Emang jadi pemilik itru enak? Berani taruhan tidak sampai 3 bulan dia akan kembali jual becanya k emari. Tapi kamu jauh lebih cepat, Amin. Baru dua bulan kamu sudah, balik. Kami cepat dan banyak belajar! Kamu memang tukang beca teladan!

TERTAWA

Ya kami hanya bisa tertawa. Meskipun di dalam hati menangis, karena setoran dianikkan dua kali lipat. Ini pelajaran buat kamu Amin, kata Bos.
Sejak itu kami mulai narik beca lagi. Rajin, ulet dan mati matian. Maaf, itu ada penumpang. Sorry ya!

MELONCAT KE SADEL BECAK DAN GENJOT BECAKNYA SAMBIL MEMBUNYIKAN BEL.

Jakarta 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar