by Putu Wijaya
SEEKOR PERKUTUT tua, yang tidak mampu lagi bersuara merdu, mendapat anugerah. Juragannya yang kejam, tiba-tiba membuka pintu sangkar dan memberikannya tawaran lucu. Kemerdekaan.
"Aku sudah menyangkarkan kamu bertahun-tahun. Aku sudah memperkosa fitrahmu sebagai satwa bebas yang berkelana di cakrawala. Kini aku berikan kamu hadiah, atas pengabdianmu selama ini sudah menyanyi merdu setiap hari. Kau kuberikan kemerdekaan. Terbanglah setinggi-tingginya Nikmatilah dunia ini sebebas-bebasnya," kata tuannya dengan tersenyum lebar.
Perkutut tua itu bingung, la melihat ke mata tuannya.
"Kebebasan? Bapak memberikan saya kebebasan?"
"Ya burungku sayang Aku hadiahkan sekarang kamu kemer-dekaan. Sesuatu yang dipuja-puja oleh setiap orang. Berbahagialah, sebab kini kau mendapatkannya "
Perkutut itu bertambah bingung.
"Kemerdekaan? Kemerdekaan apa?"
Tuannya tertawa
"Ah kamu jangan berlagak pilon begitu. Mulai sekarang hidup- mu adalah milikmu sendiri. Kau dapat membuat rencana. Kau bisa menggantungkan cita-citamu di awan yang paling tinggi. Kamu bisa berkoar-koar sesukamu untuk dirimu sendiri. Kau bisa merajalela mela- kukan apa saja yang kamu mau.Terbanglah.”
Pintu sangkar terbuka lebar. Tetapi perkutut itu jadi gentar. Dia memandang keluar dengan hambar. Hatinya berdebar-debar. Lalu ia menatap nanar
"Tidak. Aku tidak memerlukan kemerdekaan itu. "
Tuannya tercengang.
"Lho kenapa? Bukannya itu yang kamu nyanyikan? Meskipun suaramu merdu, tetapi aku tahu di balik itu menjalar keperihan dan dendam karena kamu tidak bebas. Bukannya kamu memaki-makiku selama ini, karena kamu anggap aku sebagai pemerkosa hak azazimu?“
Perkutut itu menggeleng.
"Aku tidak akan menyanyikan kebebasan seperti yang ada di luar itu. Karena kebebasan itu penuh dengan bahaya. Lihat saja. Begitu aku keluar dari sarang ini, aku akan ditembak oleh siapa saja yang menganggapku sebagai burung liar. Tetapi kalau aku diam, setiap saat akan ada kucing masuk dan menerkamku. Dan lagi, kalau aku sudah bebas, kamu tidak akan memberiku makan lagi. Bagaimana aku akan bisa hidup tanpa air dan makanan, karena aku tidak terlatih untuk mencarinya? Ogah. Aku menolak kemerdekaan ini. Sebab ini bukan kemerdekaan tetapi pembunuhan, ” bisiknya di dalam hati.
Juragan perkutut itu tahu isi hati perkututnya
"Ah, kenapa pula kau Tut? Kemaren kamu menyanyikan kebebasan dan kemerdekaan. Sekarang setelah aku berikan, kamu kok menolak? Gue jadi bingung. Apa sebenarnya yang kamu inginkan?"
Perkutut itu gemetar.
"Astaga kenapa badan kamu gemetar“? Kenapa? Apa kemerdekaan itu menakutkan? Jangan percaya takhayul itu. Kemerdekaan itu memang menakutkan. Tetapi tidak berarti kamu harus menolak. Karena semua yang menakutkan akan menjadi sesuatu yang lezat sesudah kamu bisa merasakan nilainya. Dan untuk itu, kamu harus mencoba. Kalau ingin merdeka, kamu harus berani menderita. Kemerdekaan adalah penderitaan. Semua orang yang merdeka akan menderita, tetapi hanya sementara. Setelah penderitaan itu terbiasa penderitaan itu akan jadi gula-gula yang enak. Hanya orang-orang yang sudah pernah menderita yang bisa menikmati kenikmatan dengan maksimal. Ayolah. Tumbuhkan kepercayaanmu Tut. Jangan malas. Rentangkan sayapmu dan terbanglah sekarang. Jangan takut ditembak oleh pemburu binatang liar. Sebab belum tentu pemburu-pemburu itu mahir menembak. Lagipula kamu belum tentu mati kalau ditembak.” bujuk juragan perkutut itu.
Namun perkutut itu tetap tidak bergerak. Badannya semakin gemetar. Dan tiba-tiba saja burung tua itu meloncat menabrakkan dirinya ke dinding sangkar. Akibatnya fatal. Ia terpental ke dasar sangkar, tak mampu hetkutik lagi.
“Astaga!" teriak juragan. "Lihat! Dia kaget karena kemerdekaan yang mendadak. Dia mati oleh ketakutannya sendiri. Dia belum siap untuk merdeka. Kemerdekaan memerlukan persiapan dan pelajaran. Hanya orang-orang yang terdidik merdeka akan bisa menikmati kemerdekaan. Mereka yang tidak terdidik justru akan mati ketika mendapatkan kemerdekaan" desis juragan perkutut, sambil memegang bangkai perkututnya.
Lantas ia menoleh kepada sangkar-sangkar perkututnya yang lain. Burung-burung itu sedang berbunyi serentak, sehingga suaranya riuh. Entah pertanda lagu duka memandai kematian rekannya. Atau protes karena desakan untuk merdeka sudah tidak tertahankan lagi.
Pemilik perkutut takjub.
"Kemerdekaan memerlukan persiapan. Kemerdekaan memerlukan pendidikan. Aku takut, kalau nanti kalian semua sudah tua dan tak sanggup lagi menyanyi merdu, pada saatnya aku memerdekakan kamu-kamu semua, kamu akan mati seperti dia. Jadi biarlah sekarang, aku latih kamu untuk merasakan kemerdekaan. "
Dagan pikiran itu ia kemudian membuka semua pintu sangkar perkututnya. Ia yakin, tak seekor perkutut pun akan berani terbang, karena bisa mati, sebagaimana yang sudah terjadi pada rekannya yang pertama.
"Lihatlah kebebasan itu. Simak. Cium baunya. Belajarlah untuk merdeka. Kelak setelah tua aku akan lepaskan kamu semua, karena aku tidak sanggup lagi menyediakan makanan buat burung-burung tua yang tak mampu menyanyi merdu. Pelajari. . . . "
Tetapi begitu pintu sangkar terbuka, semua burung perkutut itu serentak terbang. Bahkan burung perkutut tua yang mati bunuh diri itu, meloncat kembali, hidup dan terbang ke alam bebas bersama rekan-rekannya Temyata ia hanya mengecoh.
“Kemerdekaan inilah yang kami rindukan. Kemerdekaan bersama. Bukan kemerdekaan sendiri-sendiri seperti yang sudah kamu berikan tadi, "koar perkutut tua itu keras-keras, sambil berak ke atas kepala juragan yang sudah memenjarakannya bertahun-tahun.
Sunter Mas, Jakarta, 16-8-1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar