Putu Wijaya
GURU SPIRITUAL
Ketika selesai menjalani hukuman, bromocorah itu ditanya sipir penjara.
“Mau jadi apa kamu setelah dibebaskan?”
Bromocorah itu menjawab mantap.
“Mau jadi pemimpin spiritual.”
Sipir penjara terkejut.
“Kalau begitu selamat bertemu lagi nanti.”
Bromocorah itu tersenyum. Sipir penjara langsung melapor kepada atasannya.
“Pak, saya kira tidak lama lagi orang yang baru kita lepas itu akan kembali ke mari?”
Lalu dia menceritakan percakapan tadi. Kepala Penjara kemudian menyampaikan hal itu pada polisi. Lalu polisi menguntit ke mana bromocorah itu pergi. Ternyata ia bertamu ke rumah Pak Amat.
“Pak Amat, saya sudah menjalani hukuman selama 5 tahun atas perbuatan saya yang bejat. Di dalam penjara, saya merenungkan apa yang sudah saya lakukan. Di situ saya bertapa. Berkat kesungguhan saya, saya mendapat pencerahan. Sisa hidup saya ke depan harus saya gunakan untuk penyucian jiwa. Saya ingin membimbing masyarakat untuk mendekatkan dirinya pada kasih sayang dan cinta. Saya akan memberikan pendidikan moral. Apa itu salah?”
Amat tertegun.
“Pertama,”kata Amat menjelaskan persoalan itu kemudian kepada polisi yang meminta keterangannya, “saya tidak kenal orang itu. Entah siapa yang menyuruhnya datang ke rumah saya. Kedua, dia menanyakan sesuatu yang sulit saya jawab. Apa mungkin bekas orang hukuman yang sudah melakukan kejahatan, bisa memberikan bimbingan moral kepada orang lain. Bukankah dia harus membuktikan moralnya sendiri sudah berubah setelah menjalani hukuman. Dia harus membuktikannya seumur hidup. Tidak mungkin, kalau dia sibuk memperbaiki dirinya, ada waktu meluruskan moral orang lain. Kalau toh punya waktu, apa dia bisa? Saya ragu. Dan yang ketiga, menurut pengalaman saya orang yang ingin berbuat kebaikan, tidak memperopagandakan perbuatannya tapi berbuat saja. Sebaliknya orang yang berniat jahat, akan mengobral janji membuat kebajikan untuk menyembunyikan maksud jahatnya.”
Polisi mencatat semua keterangan Amat.
“Jadi kesimpulannya, “ lanjut Amat, “orang itu berbahaya, dia harus diawasi! Kalau perlu tarik lagi ke penjara, karena dia belum siap terjun ke masyarakat!”
Ami cepat mengoreksi.
“Tidak bisa, Pak! Siapa pun tidak bisa dimasukkan ke penjara kalau belum melakukan tindakan kejahatan dan terbukti bersalah di pengadilan!”
“Kalau berbahaya?”
“Harus ada bukti!”
“Untuk apa menunggu bukti. Kita harus melindungi masyarakat!”
“Tetapi negara juga harus melindungi kepentingan individu warganya. Masyarakat tidak bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap individu warga, meskipun seandainya ada alasan yang kuat untuk itu, karena kita negara hukum. Masyarakat tidak boleh bertindak main hakim sendiri!”
Amat tertegun. Dia terpaksa melupakan kasus itu.
Tapi 5 tahun kemudian, ada kabar. Di desa ada guru spiritual yang menjadi sangat terkenal. Ia mengajarkan cinta-kasih kepada m asyarakat. Bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Guru itu tidak memunggut bayaran. Tetapi itu justru memancing masyarakat menghujaninya dengan berbagai hadiah.
“Ada yang membangun rumah buat guru. Ada yang membelikan mobil. Ada yang menyerahkan jiwa-raganya, mengabdi kepada guru, seperti abdi dalem, “kata seorangan ibu yang sempat berobat ke guru itu, tapi tidak berhasil..
“Penyakit Ibu apa?” tanya Amat.
“Saya tidak punya anak.”
“Jadi Ibu ke situ minta anak? Terus diobatin?”
Ibu itu termenung.
“Ya diobati.”
“Caranya?”
Ibu itu termenung. Tapi kemudian setelah didesak dia bicara.
“Saya disuruh duduk di pangkuannya.”
Amat terbelalak.
“Apa?”
“Duduk telanjang tanpa memakai pakaian selembar pun. Guru juga tidak pakaian apa-apa, sama dengan saya.”
“Terus?”
“Ya begitu saja.”
“Berapa lama?”
“Ya kira-kira seperempat jam.”
“Berhasil?”
Ibu itu tersenyum.
“Belum. Saya kan belum menikah lagi. Nanti kalau sudah kawin kata Guru pasti bisa punya anak. Tapi kata Guru, sebelum itu, saya harus rajin ke situ.”
Amat tak mampu lagi bicara. Darahnya mendidih. Tak sanggup menahan penasaran dan rasa geramnya, ia langsung pergi ke tempat guru itu. Ia tidak bisa menunggu sampai kejahatan itu menjadi kenyataan. Dia harus bertindak.
“Ini Pak Amat?” tanya guru itu ketika berhadapan.
“Betul.”
“Pak Amat sakit apa? Kenapa ke mari? Ini hanya untuk perempuan.”
Amat tidak dapat lagi menahan dirinya.
“Saya ingin punya anak.”
“Tapi Pak Amat kan sudah punya satu? Kurang?”
“Kurang!”
“Kalau Pak Amat sabar dan berusaha sungguh-sungguh, tidak usah berobat pasti akan punya anak lagi.”
“Tidak. Saya mau punya anak dengan cara berobat ke mari. Saya mau dipangku telanjang oleh Bapak yang juga telanjang tanpa selembar kain pun!”
Guru spiritual itu tertegun. Ia memandang Pak Amat.
“Pak Amat serius?”
“Lebih serius dari semua ibu-ibu dan para wanita yang sudah ke mari untuk kamu cabuli! Saya tidak percaya bromocorah yang pernah melakukan kebejatan seksual di masyarakat dan sudah diganjar hukuman 5 tahun, bisa menjadi guru spiritual. Kamu menipu masyarakat!”
Guru spiritual itu terhenyak. Tapi Amat sudah siap. Kalau harus diselesaikan dengan tawuran, dia tidak akan mundur. Harus ada orang yang berani menentang lintah masyarakat itu.
Tapi guru spiritual itu tidak marah. Ia tersenyum pahit. Lalu menjawab dengan sangat mengejutkan.
“Terimakasih Pak Amat. Sudah lima tahun saya di sini menjadi guru. Saya menunggu masyarakat akan bangkit untuk menentang perbuatan saya. Tapi masyarakat kita ternyata begitu bodohnya. Bukan hanya rakyat jelata yang miskin dan rendah pendidikannya, tapi orang-orang kaya yang terdidik, bahkan pejabat dan wakil rakyat sudah datang ke mari mempercayai semua tipuan-tipuan saya. Baru hari ini saya puas, karena Pak Amat datang. Jadi masih ada harapan, saya gembira sekali, ternyata masyarakat kita tidak tolol-tolol amat!”
Guru itu meraih tangan Amat lalu menciumnya.
Jakarta, 22 Pebruari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar