Estafet

ESTAFET

monolog
Putu Wijaya



Anjing yang biasa kulempari makanan di bawah tiang listrik, di depan pasar, menggigit orang. Binatang itu tersengal-sengal kehabisan nafas karena dikejar-kejar keamanan pasar. Seisi pasar naik pitam karena yang jadi korban putera Pak Gun dermawan yang selalu menyokong kegiatankampung. Dan ini bukan dosanya yang pertama kali. Ali, tukang daging juga sudah sampai pada puncak kesabarannya karena dagangannya sering dicuri, padahal dulu ia sendiri meminta anjing itu diampuni, ketika pertama kali menggigit warga.
Aku sendiri tak menyetujui pembunuhan itu, karena alasan-alasan pribadi. Aku kenal anjing itu. Setiap kali lewat pagi-pagi untuk berangkat ke kantor, ia mesti menunggu di bawah tiang listrik di depan pasar, memandang dan mengibaskan ekornya. Mula-mula aku tak peduli. Tapi entah bagaimana mulainya, aku kemudian selalu membawa sedikit sisa makanan, tulang-tulang atau apa saja, kalau hendak ke kantor.
Hampir setahun aku selalu melambatkan mobil di depan pasar, membuka kaca jendela dan melempari anjing itu sisa-sisa sarapan. Kegiatan itu seperti bagian dari upacara berangkat ke kantor. Jadi bagaimana mungkin aku melihatnya terbunuh ?
Aku bersyukur ia tak berhasil ditangkap. Ia masuk ke bawah tumpukan kayu. Tak seorang pun berhasil menyuruhnya keluar. Orang-orang berusaha melempar-lempar dan menyodoknya dengan galah,tetapi binatang itu tak terjangkau. Semua orang jadi kesal. Mereka berkumpul di sekitar tumpukan kayu,sambil mencaci-maki.
Ada yang mengusulkan untuk memindahkan kayu-kayu itu. Tetapi ketika dicoba, baru satu balok, semuanya putus-asa. Satu balok saja memerlukan tiga orang. Tak akan kurang dari satu hari untuk memindahkan semuanya. Satu hari lagi untuk mengembalikan ke tempatnya semula, hanya untuk seekor anjing, ah semua mengangap itu tolol.
Namun kebencian orang tak lenyap karena terhalang, nafsu membunuh mereka malah makin menggebu-gebu. Setiap orang memegang alat pemukul. Ada juga yang menembak-nembak dengan senapan angin, untung tak berhasil.
Lalu muncul cerita-cerita yang mengobarkan kebencian. Ternyata Ali hampir setiap minggu kehilangan daging. Pak Budiman, pemilik warung mekehilangan ikan asin, tempe, bahkan tape, telor dan sekalian ayamnya. Dari beberapa ibu rumah tangga ada pengaduan,ikan yang sedang hendak digoreng tiba-tiba lenyap. Seorang anak mengatakan anjing itu kalau sudah malam meraung memanggil setan.
Pemilik mobil yang biasa parkir depan pasar mengadu,setiap pagi mobilnya selalu basah, karena dikencingi. Warga lain menemukan tai anjing di sudut rumah. Ada juga yan melaporkan ada tai anjing di atas meja. Bahkan seseorang selalu mencium bau anjing di tempat tidurnya.
"Bunuh saja daripada selalu ngerusuhi,mungkin membawa rabies !"kata Pak Mantri membawa linggis."Kalau dibiarkan terus dia nanti malah beranak. Bayangkan saja, satu kali beranak bisa tiga-empat ekor. Setahun lagi, kampung ini penuh dengan anjing. Kita saja susah cari makan, masak harus bersaing dengan anjing !"
Semua orang makin mantap untuk membunuh. Seharian, berganti-ganti,s emuanya menunggu sambil menggertak-gertak agar anjing itu keluar. Namun sampai malam, binatang itu tak menyerah, hanya suaranya saja mengerang-ngerang seperti minta tolong, atau minta ampun. Anehnya makin sedih lolongannya, makin marah orang-orang itu.
Malam-malam, seorang anak mencoba diam-diam masuk ke bawah tumpukan kayu.Tetapi baru satu meter, ia menjerit-jerit karena anjing itu mengeram.Celakanya lagi, ia bisa menyelusup masuk, tapi sulit keluar. Orang-orang mencoba menolong. Hampir satu jam baru bisa. Kepala anak itu berdarah. Orang banyak menganggap itu bagian dosa anjing.
"Bunuh saja sekarang !"teriak bapak anak itu.
Semua orang setuju. Tapi bagaimana caranya?
Di rumah, aku sebut-sebut anjing itu pada suamiku. Tetapi ia tak peduli, karena sibuk mengikuti acara film tv. Ia tidak suka pada anjing, Ia tidak suka pada semua binatang. Akhirnya hanya aku yang termangu-mangu. Aku ngeri karena tak dapat menolak khayalanku sendiri, seakan-akan aku sendiri anjing itu. Bayangkan, apa yang akan aku perbuat seandainya aku yang terkepung mau dibunuh ?
Tengah malam aku terjaga, seperti ada yang menangis. Ketika aku perhatikan, itu suara lolong anjing itu. Ia meratap putus asa. Tak seorang pun yang akan menolongnya lagi. Ia menggapai-gapai putus asa seperti maut sudah meraihnya.
Aku tak bisa mendengar suara itu sendirian. Kubangunkan suamiku. Aku ajak ia mendengar. Tetapi suamiku marah-marah, karena ia ingin tidur enak. .Terpaksa aku mendengar sendirian. Kemudian datang anakku, ia ketakutan mendengar ratapan anjing itu.
Pagi hari di meja makan, pikiranku penuh dengan soal-soal kantor. Ada perselisihan dalam organisasi,yang menyebabkan aku memecah persahabatan dengan seorang kolega yang sebenarnya sudah aku anggap saudara .Kami bekerja bersama-sama seperti tangan kiri dan tangan kanan.Tetapi tiba-tiba entah kenapa, kami mulai tak akur setelah berhasil. Perselisihan semacam itu amat menyakitkan.
Tiba-tiba aku terkejut. Anakku menyerahkan buntalan kecil,sisa-sisa sarapannya. Setiap pagi, ia selalu urun menyumbang, kadang-kadang bagian terbaik sarapannya direlakan untuk anjing itu. Sambil tertawa kutolak. Lalu menjelaskan bahwa sejak hari itu tak usah ada bungkusan untuk anjing lagi .Aku ceritakan anjing itu akan dibunuh karena sudah mengigit.
Anakku bengong. Aku tahu ia tidak setuju. Ia tak ngomong apa-apa, hanya meletakan bungkusan itu di mobil, kemudian cepat-cepat pergi dipanggil teman-temannya yang biasa sama-sama ke sekolah, memanggil.
Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan pikiran kusut. Aku yakin suasana kantor tak akan pernah lagi damai, karena api sudah mulai menyala. Salah satu di antara kami harus keluar, kata kepala bagian pengembangan perusahaan dalam rapat yang terakhir.
Dengan pikiran teler aku jalankan mobil milik perusahaan,yang mungkin tak lama lagi harus aku lepaskan. Di depan pasar, karena sudah terbiasa, mobil kujalankan lambat. Lalu berhenti di samping tiang listrik. Jam menunjukkan pukul delapan seperempat. Dan seperti tak sadar, dengan pikiran masih di dalam konflik kantor, aku menoleh ke kanan sambil membuka kaca jendela.
Tiba-tiba aku terkejut. Di situ. Persis di tempat biasanya, anjing itu sudah menunggu.Mulutnya terbuka,lidahnya terjulur, serta matanya berkilat-kilat penuh persahabatan. Darahku tersirap. Tetapi hanya sebentar sekali, .sebelum aku sempat berpikir, seluruh orang-orang di pasar serentak maju dengan bermacam-macam senjata dan membetot anjing itu. Mati seketika di depan mataku ,tanpa sempat mengeluarkan suara.
Anak-anak masih tetap melempar-lempar meskipun binatang itu sudah tidak berkutik lagi. Aku bengong, lalu perlahan-lahan menjalankan mobil ke kantor. Sekarang seluruh pikiranku sama sekali tak ada di kantor lagi.
Esok paginya, ketika selesai sarapan,waktu hendak berangkat, anakku menyerahkan bungkusan urunan sebagaimana biasanya. Aku amat terharu. Lalu kutolak sambil menjelaskan itu tak perlu lagi, karena binatang itu sudah mati. Anakku bengong memandangku seperti hendak memprotes. Untung teman-teman sekolahnya berteriak memanggil. Aku hanya gedek-gedek, dasar anak kecil.
Tetapi tak lama kemudian, di depan tiang listrik, di tempat biasa berhenti, tak sadar aku menginjak rem. Otomatis hampir saja tanganku hendak merogoh bungkusan makanan yang biasa ada di bawah kaki. Lalu menoleh. Astaga.
Tiga ekor anjing lain sudah menunggu di situ.
Dan sepatuku menyentuh bungkusan sisa makanan yang diletakkan anakku.


Madison,Pebruari
Ithaca,12 Mei 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar