SERATUS HARI
29 Januari 2010 pukul 9:54
Putu Wijaya
SERATUS HARI
“Seratus hari bukan ukuran untuk menilai kinerja 5 tahun yang belum terjadi, tetapi menerima sapa untuk meluruskan apa yang sedang bergolak, adalah kewajiban pemimpin sejati yang mencintai rakyatnya dengan jiwa besar sebagai pancaran kalibernya,” kata Amat.
Bu Amat mendekat sambil menyodorkan pisang goreng.
“Jangan suka bersembunyi di balik kata-kata. Bapak bicara saja terus-terang, apa maksudnya?”
Amat tertawa.
“Kalau bakul jamu bicara terus-terang, tidak akan ada yang mau membeli obat kuatnya, habis itu kan serbuk tepung biasa!”
“Ya itu bakul jamu. Kita kan bukan tukang obat. Bicara apa adanya saja! Coba cicipin pisang gorengnya, enak tidak? Nanti keburu dingin. Kalau sudah layu, apa saja nggak enak!”
Amat ketawa. Dia menerkam pisang goreng. Begitu dikunyah dia meringis. Pisang tanduknya asem. Ia terpaksa menelan yang sudah dimulutnya lalu meletakkan sisanya.
“Enak tidak?” teriak Bu Amat dari dapur.
Amat cepat menjawab.
“Enak!”
Kemudian Bu Amat muncul lagi dengan sepiring pisang goreng. Melihat pisang itu belum habis dilalap suaminya, ia tertegun.
“Betul enak?”
“Enak kok.”
“Kalau enak kok tidak habis?”
“Kan masih panas.”
“Ami tadi kok bilang asem?”
“Ah si Ami itu kan seleranya kacau. Dia tidak tahu kalau asem itu berarti mengandung vitamin C!”
“Jadi benar asem?”
“Ya, tapi kan baik untuk kesehatan?”
Bu Amat kontan mengambil lagi piring pisang goreng dan membawanya ke dapur sambil menggerundel.
“Aduh! Coba tadi bilang terus-terang asem!. Sekarang pisang gorengnya sudah dikirim ke tetangga! Malu-maluin saja! Makanya kalau ngomong jangan suka sembunyi di balik kata-kata. Bisa bingung kita semua!”
Amat terkejut. Ia cepat-cepat berdiri dan pergi ke tetangga. Mereka baru semalam menghuni rumah sebelah. Anak-anaknya banyak. Alat-alat rumah-tangganya belum datang. Bu Amat mungkin mencoba untuk memberikan kesan baik dengan mengirim pisang goreng untuk sarapan pada anak-anak itu. Kalau kesan pertamanya buruk, pergaulan selanjutnya bisa runyam.
“Permisiiii,”sapa Amat.
Tetangga keluar rumah dan menyambut dengan ramah.
“Selamat pagi, pak Amat.”
“Selamat pagi, bagaimana rumahnya enak?”
Belum sempat menjawab, istri tetangga keluar.
“Aduh pak Amat, terima kasih sekali pisang gorengnya. Enak sekali. Manis sekali. Belum apa-apa sudah diserbu anak-anak semua langsung habis. Alat-alat dapur kami belum datang. Mobilnya mogok di jalan. Untung ada kiriman dari Bu Amat, kalau tidak anak-anak bisa masuk angin tidak sarapan.
"Terimakasih banyak.”
Amat hanya bisa senyum-senyum pahit. Ekor matanya menerjang ke dalam rumah. Memeriksa apa betul pisang itu sudah diganyang habis. Atau itu juga permainan kata-kata, demi menjaga nama baik untuk pergaulan berikutnya bertahun-tahun sebagai tetangga.
“Terimakasih pak Amat. Kami sudah dengar Bu Amat pintar memasak. Kami beruntung jadi tetangga Pak Amat,”kata tetangga itu sambil mengguncang tangan Amat ketika hendak kembali pulang.
Bu Amat bengong mendengar suara suaminya di sebelah. Begitu Amat kembali dengan membawa piring bekas pisang goreng, ia langsung mengorek.
“Bapak ngapain ke situ?”
“Tadinya mau minta maaf, pisang gorengnya asem. Ternyata buat mereka enak.”
“Masak?”
“Ya, semuanya bilang enak. Sampai rebutan. Mungkin mereka jarang jajan. Habis kelihatannya keluarga sederhana. Pisang goreng asem saja sudah enak.”
“O ya?”
“Kata ibunya, begitu sampai langsung disikat habis sama anak-anak sampai mereka sendiri tidak kebagian. Kalau tidak enak, mereka tidak akan membalas dengan ini!”
Amat menunjukkan sebungkus dodol garut.
Bu Amat mengernyitkan alisnya.
“Memang selera orang lain-lain. Bapak kalau dimasakin di rumah, apa saja, pasti ada saja yang dicacad. Keasinankah, kepedesankah, tawarkah “kata Bu Amat sambil meraih dodol garut itu dan merobek bungkusnya.
Amat nyengir.
“Ya orang lain selalu bisa menilai lebih baik.”
Bu Amat mencicipi dodol garut. Tiba-tiba dia tertegun.
“Enak?”
Bu Amat mengangguk.
“Enak. Kalau tidak enak, tidak akan disimpan lama-lama sampai jamuran,”katanya sambil menyerahkan dodol garut itu ke tangan Amat.
Amat memperhatikan dodol itu. Tidak kelihatan ada tanda-tanda sudah jamuran. Mungkin itu hanya perasaan istrinya. Lalu ia mencomot dan mencicip.
“Enak?” tanya Ami yang hendak berangkat ke kampus.
Amat tak menjawab. Tapi mukanya menunjukkan bahwa dodol itu memang sudah kedaluwarsa.
“Kalau sudah jamuran, jangan dimakan Pak, bisa keracunan, muntahkan saja ke tempat sampah!”
Amat buru-buru mencari tong sampah dan memuntahkan apa yang ada dimulutnya. Kemudian dia membanting dodol itu sambil memaki.
“Sialan! Baru satu hari, belum seratus hari sudah bikin perkara! Ini tetangga busuk!”
“Sabar Pak! Jangan main cap begitu. Bertetangga juga belum ada sehari. Lihat niat baiknya saja!”
“Ya tapi, mereka juga tidak boleh ngukur kita dari pisang goreng yang asem itu, tapi dari niat baik kita yang sudah berusaha menolong anaknya sarapan. Masak kontan membalas dengan dodol jamuran! Kalau begini caranya, bagaimana kita tahan tahunan bertetangga dengan mereka!”
“Terus mau pindah? Atau mereka harus diusir?”
Amat bertambah dongkol.
“Putuskan hubungan, nggak usaha bertetangga dengan mereka!”
“Seratus hari bukan ukuran untuk menilai kinerja 5 tahun yang belum terjadi, tetapi menerima sapa untuk meluruskan apa yang sedang bergolak, adalah kewajiban pemimpin sejati yang mencintai rakyatnya dengan jiwa besar sebagai pancaran kalibernya,” bisik Bu Amat mengulangi permainan kata Amat.
Jakarta 29-01-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar