Dpr

DPR
PUTU WIJAYA

Dalam bedah buku “Menyemai Karakter Bangsa”, budaya kebangkitan berbasis sastra, yang ditulis Yudi Latif, seorang dosen menggugat:
“Kita memang sedang mengalami penuruan kualitas karakter bangsa sekarang, “katanya dengan beringas. “Coba lihat pembukaan UUD 45, simak dengan sungguh-sungguh, betapa hebatnya rumusan mukadimah kita. Arti kemerdekaan dihubungkan dengan hak azasi manusia secara filosofis. Dan dengan singkat, padat tapi jitu dan lengkap, kita diberikan pasal-pasal yang canggih. Bandingkan dengan apa yang ada sekarang. Makanya tak heran terjadi peristiwa memalukan di gedung terhormat tempat ngendon para wakil rakyat yang kelakuannya meniru bonek-bonek sepakbola!”
“Kita memang perlu pendidikan karakter!’ kata Ami di depan keluarga melanjutkan unek-unek itu. “Kebangkitan tidak berarti hanya membangun gedung-gedung dan kekayaan pribadi yang mentelantarkan alam dan masyarakat sederhana di pedalaman. Tetap membangun karakter. Apa artinya bangsa yang tidak punya karakter!”
Tak ada yang memberikan tanggapan. Mereka menganggap itu asap pembicaraan kampus, tidak cocok untuk dibicarakan dalam rumah. Kalau soal-soal arisan, selingkuhan para artis atau berita-berita kriminal itu baru makanan keluarga. Semua yang hadir hanya mengangguk. Lalu menyantap hidangan dan ganti pembicaraan.
Tapi di tempat tidur, Amat melanjutkan bertanya pada istrinya.
“Bu, apakah aku ini punya karakter?”
Bu Amat yang sudah hampir tidur menoleh.
“Ngomong begituan kok di tempat tidur?”
“Habis di mana?”
“Ya di kampus.”
“Terus di tempat tidur bolehnya ngomong apa?”
“Iiiiih Bapak ini, nggak habis-habisnya. Udah tidur saja. Besok!”
Bu Amat langsung berbalik dan ngorok. Amat jadi kesal. Dia bangun, lalu keluar rumah. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit untuk mencari kedamaian. Tetapi baru dua menit, nyamuk menyerbu, menghancurkan kedamaian itu.
“Memang, kita sudah kehilangan karakter,” bisik Amat esoknya pada Ami, “Ibu kamu itu misalnya.”
Ami tercengang.
“Bapak menuduh Ibu tidak punya karakter?”
“Ya. Sebab, dia tidak peduli lagi apa perasaan orang lain, apa yang dia rasakan enak buat dia, itu saja yang dilakukan. Itu kan sudah menyimpang dari kepribadian kita sebagai bangsa timur yang harus selalu menimbang perasaan orang lain.”
“Maksudnya, perasaan Bapak?”
“Ya, antara lain.”
“Perasaan Bapak yang mana yang tidak ditimbang oleh Ibu? Perasaan yang menganggap bahwa perempuan itu hanya budak nafsu dari laki-laki?”
Amat terkejut. Ami tersenyum.
“Bapak mungkin tidak tahu. Ibu sering mengeluh begitu. Beliau kan sudah tua, Pak. Siklus kehidupan libido laki-laki dan perempuan itu berbeda. Laki-laki tidak ada habisnya. Kalau perempuan, perubahan phisiknya yang menua memberi dampak pada mentalitas dan kehidupan seksualnya. Bapak harus mengerti. Kalau tidak, Bapak akan kelihatan seperti orang mau seenaknya sendiri. Tidak paham desa-kal-patra. Orang seperti itu … .”
“Tidak punya karakter!”
Ami tertawa.
“Persis!”
Amat tak menjawab lagi. Dia biarkan saja anaknya pergi dengan kemenangan.
“Ngapain harus menang berdebat sama anak,”kata Amat ketika curhat dengan tetangga, “ keberaniannya untuk mengeritik orang tuanya blak-blakan, sampai kepada masalah-masalah yang tak akan berani kita singgung pada orang tua kita, waktu kita masih seusia dia, itu sudah kemajuan luar biasa. Saya malah bersyukur, anak sekarang kok beraninya setengah mati. Bukan hanya pejabat yang korup dan pemimpiun yang mencla-mencle yang mereka hantam, orang tua juga dikritik habis!”
Tetangga Amat takjub.
“Itulah, Pak Amat. Itu yang membuat saya cemas!”
“Cemas bagaimana?”
“Keberaniannya anak-anak kita itu sekarang keterlaluan. Anak saya misalnya. Masak dia berani-beraninya mengatakan saya ini malas dan lambat bertindak. Terlalu banyak perhitungan katanya. Kalau ada yang mengecewakan dia, pasti yang dia tuding orang tuanya. Orang tuanya yang kurang tanggap, kurang sigap, ketinggalan jamahkah, ah banyaklah yang lain, yang sudah bikin saya kesel.”
Amat tercengang.
“O, jadi Bapak juga merasakan bahwa generasi sekarang itu aneh?”
“Betul!”
“Mereka terlalu banyak menuntut!”
“Ya!”
“Tapi tidak peduli pada kepentingan dan hak orang lain?”
“Persis, Pak Amat!”
“Lha itu namanya tidak punya karakter!”
“Saya kira itu! Lain dengan kita-kita dulu.l Kalau kita tidak paham, ya kita diam. Kalau kita paham tapi ada orang yang lebih paham, kita juga masih diam. Tapai kalau kita paham dan lebih paham dari orang lain, kita juga masih diam, kecuali kita diminta oleh semuanya untuk bicara. Kan begitu Pak Amat?”
Amat tidak menjawab. Tapi dalam hati dia ngedumel.
“Ya itu yang namanya malas dan kurang sigap!”
Malam hari di rumah, Ami kembali menganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibawanya dari kampus.
“Dalam bukunya Yudi Latif memujikan bangsawan pikiran. Bangsawan yang lahir karena ilmu pengetahuan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan sebagainya yang memelopori kemerdekaan. Sekarang para bangsawan pikiran kita, berkurang kegunaannya karena sistim pendidikan kita tak baik dan banyak meraka yang tergerus pengaruh multi media. Di koran yang ada hanya bahsa politik yang mencari siapa yang menang dan bahasa ekonomi yang hanya mencari apa untungnya. Yang diperlukan adalah bahasa kebenaran. Karena itu kita perlu strategi politik. Dan ujung-ujungnya berarti membangun karakter bangsa. Tapi kalau DPR nya saja kelakuannya begitu, bagaimana mau membangun karakter bangsa?”
Amat tidak menjawab. Baru di tempat tidur dia kembali bertanya pada istrinya.
“Bu, kalau aku ingin punya karakter yang baik, caranya bagaimana?”
Bu Amat berbalik lalu berbisik.
“Pijitin dulu punggungku.”
Dengan menahan rasa kesal, Amat terpaksa membunuh pertanyaannya dan kemudian mulai memijit.
Esoknya, Ami tercengang melihat bapaknya pagi-pagi sudah mandi berdandan dan bersiul-siul. Ami menegur curiga.
“Kok Bapak hari ini seger betul. Ada apa?”
“Bapak sudah dapat Ami!”
“Dapat Apaan?”
“Jawabannya. Ini bukan soal karakter, tapi penyelewengan biasa. Para wakil rakyat kita lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat Indonesia, bukan wakil partai mana pun”
“O itu, jadi jelas, kita perlu menggenjot pendidikan karakter!”


Jakarta Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar