Raja

R A J A

monolog

Putu Wijaya



BEL TANDA KANTOR MULAI AKTIF BERBUNYI

SEORANG PEGAWAI MUNCUL DENGAN PAKAIAN KANTOR LENGKAP DENGAN TASNYA. DIA MELIHAT KE JAM TANGANNYA LALU BERCERITA PADA PENONTON.




Kalau keberanian berarti kesanggupan untuk melaksanakan apa yang digagas, maka tindakan nyata menjadi amat penting. Karena itu aku berangkat menemui majikanku untuk menyampaikan langsung, bahwa aku tidak menyukai dia
.
"Pak terus-erang saya tidak suka kepada Bapak. Saya punya alasan mengapa saya tidak suka. Pertama, karena saya merasa Bapak ini tidak bisa memimpin. Bapak tidak bisa memutuskan sesuatu. Semuanya Bapak gantung sehingga terkatung-katung. Ada yang sudah sempat Bapak putuskan, tetapi esoknya cepat dilanggar lagi, sehingga menjadi mentah. Bapak tak memiliki prinsip. Tak memiliki rencana. Semuanya tergantung pada perasaan Bapak saja. Ini amat berbahaya sebab Bapak memimpin kami semua".

Aku sudah terengah-engah, dalam berondongan yang pertama itu. Tetapi meskipun dadaku masih sesak, tanpa memberikan kesempatan bicara, aku tancap lagi.

"Bapak juga penuh dengan hipokrisi. Bapak menghadapi semuanya dengan kepura-puraan. Ini namanya tidak punya karakter. Dan kalau Bapak sudah tak punya karakter boleh disimpulkan bahwa segala keputusan Bapak juga tidak memiliki kharisma lagi. Bagaimana Bapak akan memimpin, kalau Bapak sendiri tak sanggup mengatasi persoalan-persoalan Bapak sendiri ? Seringkali persoalan rumah-tangga Bapak masuk menjadi persoalan kita semua. Kelihatannya memang Bapak yang menjadi pemimpin kami di sini. Tapi sebetulnya Bapak selalu mengikuti tekanan-tekanan dari orang yang berpengaruh, orang yang bapak takuti ".
"Bapak juga sangat lemah. Baik terhadap wanita, maupun terhadap orang lain. Kelemahan Bapak dimanfaatkan oleh orang-orang yang pintar menjilat. Siapa di antara kami yang bisa memuji , menyenangkan, bisa berpura-pura menyokong Bapak, pasti akan mendapat tempat yang aman. Penempatan manusia di dalam kantor ini tidak lagi berdasarkan prestasi, tetapi berdasarkan rasa persahabatan pribadi. Ini admnistrasi yang tidak sehat dan boleh dikatakan konyol".
"Bapak juga tidak pernah bersungguh-sungguh memikirkan nasib kita semua. Bapak hanya memikirkan urusan Bapak sendiri. Bagi Bapak, kantor ini hanya sebagian kecil urusan Bapak, padahal kantor inilah yang memberi kami makan. Jelas ini tidak adil !"
"Coba lihat, terus-terang saja, kalau Bapak mau mencova mengakui. Banyak pegawai-pegawai yang pintar, berbakat, tidak pernah mendapat promosi, karena meereka tidak bisa menjilat. Hanya karena mereka kaku. Atau barangkali karena Bapak takut mempromosikan mereka, kalau-kalau pada akhirnya mereka menendang Bapak. Sebaliknya Bapak selalu memberi kesempatan orang-orang yang bodoh untuk menjabati jabatan penting, orang-orang yang bisa membebek dan tak berbahaya. Ini benar-benar tidak sehat !"
"Saya minta supaya Bapak mundur saja. Tidak ada jalan lain, sudah terlalu parah. Bapak letakkan saja jabatan baik-baik. Kemudian berikan kepada kami untuk menentukan siapa sebenarnya yang layak menjadi pemimpin. Siapa yang paling punya potensi membawa perusahaan ini ke puncak. Relakan saja. Buat apa mempertahankan kursi itu, kalau sudah jelas tidak ada jaminan sampai kapan pun, bahwa Bapak akan berhasil. Sudah, tenang saja, Bapak beristirahat saja. serahkan kepada kami yang lebih punya wawasan. Banyak di kantor ini yang bisa memimpin, tetapi jalan mereka buntu. Berikan mereka kesempatan sebelum terlambat betul !".

Aku menarik nafas panjang. Setengah unek-unekku sudah tumpah. Tetapi masih ada setengahnya lagi yang harus segera dikeluarkan. Aku tak mau menahan-nahan.

"Sebaiknya Bapak juga meminta maaf kepada kami semua. Bapak sudah menyebabkan kami semua menyia-nyiakan hidup kami selama ini. Beberapa tahun lewat begitu saja, hanya janji-janji kosong. Hidup kami semua melarat, karena kami sudah tertipu untuk berkorban-berkorban terus. Dedikasi kami luar biasa. Tapi hasilnya nol besar. Bapak berdosa bukan saja kepada kami, tetapi kepada seluruh keluarga kami yang ikut tersia-sia oleh ulah Bapak".
"Banyak pegawai-pegawai kelas satu, hanya karena fitnah, lalu dilepaskan. Banyak yang lain masuk padahal goblok-goblok, tetapi memang pintar menyerpis. Di kantor ini yang kerja betul, diperas sampai mati, sedangkan yang enak-enak, tetap saja malas dan bertambah gendut. Ini juga sebagian dosa. Kita harus berani membongkar dan mengakui bahwa semua ini sebetulknya berasal dari kesalahan kecil. Bapak yang tidak tepat memimpin kami".

Direktur itu tercengang. Sejak awal unek-unekku, ia sudah pucat-pasi. Kadangkala ia ingin menjawab, tetapi aku tak memberinyta kesempatan. Kini ia benar-benar seperti terbakar. Tetapi ketika ia seperti hendak menggerakkan mulutnya, aku cepat menyambar.

"Saya tahu, ini kurang-ajar. Saya tahu tidak seorang pegawai pun yang berani berbicara seperti saya. Semua mereka takut kehilangan pekerjaan. Mereka semua hanya tersenyum dan memuji, karena itu Bapak tidak pernah mendapat input yang sebetulnya. Bapak tidak pernah berhubungan dengan keadaan kita yang nyata. Mereka telah memasang filter di seluruh kantor ini, untuk melindungi diri mereka sendiri, dan sama sekali bukan perusahaan ini".
"Hanya saya, Mila ini, yang tidak peduli semua itu. Bapak boleh pecat saya sekarang. Bapak boleh tendang saya sekarang. Saya siap. Saya berani mengambil resiko apa saja, karena saya punya bukti, karena saya bicara atas kebenaran, karena semua ini nyata, fakta. Bapak boleh sakit hati, tapi Bapak harus berani melihat kenyataan. Lihat saja, ini betul atau tidak. Kalau salah, apa buktinya. Kalau betul, silakan ambil. Ini informasi pertama yang paling jujur yang Bapak terima selama ini, bukan. Tidak ada yang berani mengatakan sesuatu dengan jujur, semua orang takut, semua orang menyembah. Mala, anak bandel ini, tidak. Mala harus bicara dengan apa adanya, walaupun itu akan berakibat fatal".

Aku makin terengah-engah, tetapi dadaku sebenarnya sudah bertambah kempes. Semuanya sudah dimuntahkan. Namun masih ada peluru-peluru terakhir di situ.

"Saya bekerja di sini bertahun-tahun tanpa janji. Saya tidak pernah mendapat perhatian. Gaji saya dari dulu sampai sekarang tetap saja. Saya tak bisa hidup dengan pekerjaan ini. Bahkan saya sering memakai uang saya sendiri untuk membantu diri saya supaya bisa bekerja dengan baik di sini. Tapi itu semua tidak ada yang memperhatikan. Sementara orang-orang lain, semua diangkat satu per satu menjadi kepala, menjadi tangan kanan, menjadi berkuasa, padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka semua hanya cucunguk yang mengandalkan orang-orang seperti saya. Ini sama sekali tidak Bapak ketahui. Kasihan !"
"Saya tidak minta apa-apa. Saya hanya minta perlakuan yang lebih baik. Hargai orang yang sudah bekerja. Jangan orang-orang yang main politik. Berikan perhatian kepada kami orang kecil, jangan hanya mereka yang di atas yang ditarik yang diundang yang dihormati. Kami juga ikut memiliki perusahaan ini. Kalau tidak ada kami perusahaan ini juga tidak akan jadi apa-apa. Perusahan ini akan lumpuh tanpa kami !"

Bosku itu gemetar. Ia berusaha menenangkan dirinya dan menunggu apa lagi yang akan aku katakan. Aku memang masih berusaha untuk menembakkan peluruku yang terakhir
.
"Saya tidak terima ini. Saya tidak bisa terima semua yang tidak adil. Ini benar-benar di luar perhitungan akal sehat. Saya tidak terima. Betul ! Dan silakan kalau Bapak mau memecat saya. Hati saya sudah senang, sebab saya sudah bicara demi Tuhan dengan sejujur-jujurnya !"

Aku menggerakkan mulutku lagi, tetapi sudah kehabisan kata-kata. Akhirnya aku hanya diam saja, tegang, kaku, menunggu apa yang akan dikatakannya.
Tapi Bos lama membatu. Ia berusaha untuk menguasai dirinya, meskipun mukanya kelihatan bengkak, merah padam. Setelah ia bisa menyelesaikan itu dalam dirinya, lalu ia mengambil map dari laci mejanya dan melihat-lihat. Setelah itu ia meraih megaphone dan mencoba menanyakan sesuatu. Setelah itu ia berbalik membelakangiku dan menulis. Tidak terlalu lama, kemudian ia berbalik dan mengulurkan map itu.
.
"Ini".

Aku tertegun, memandangi map itu dengan tegang.

"Ya ini. Silakan!".
Aku mati langkah. Kemudian setelah menarik nafas panjang aku memandang dia kembali dengan kaku. Suaraku gemetar dan kering.

"Bukan ini yang saya harapkan Pak. Bapak jangan keliru. Saya bicara dengan hati-nurani saya mewakili kebenaran. Tidak ada yang berani bicara seperti ini kecuali saya, karena semua orang takut. Saya tidak mau menjilat. Saya bukan menantang untuk dipecat, tapi saya kira kalau begini terus, kita tidak akan maju. Harus ada orang yang berani bicara dengan jujur kepada Bapak, untuk membuktikan bahwa di kantor ini masih ada kejujuran, masih ada manusia yang punya perasaan waras. Tidak semua orang di sini takut dan menjilat!"

Aku perhatikan sekali lagi isi mapa itu. Tanganku gemetar. Dadaku seperti mau meletus. Lalu dengan hati-hati kumasukkan map itu ke dalam tasku.

"Baik. Saya terima semua ini dengan ikhlas. Sekarang saya tahu, saya puas, saya benar-benar ikut bekerja dan membina perusahaan ini. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya menerima baik semua ini bersama keluarga saya. Terimakasih Pak".

Aku berdiri, mengangguk memberikan hormat, lalu pergi ke luar ruangan dengan sempoyongan. Rekan-rekanku yang sejak tadi menunggu di luar ruangan, langsung menyerbu. Mereka semua sudah tahu, karena aku sudah berbulan-bulan menggerutu, mengutuk, menyumpah-nyumpah di belakang.

"Kamu dipecat ?"tanya mereka cemas.

Aku tak menjawab.

"Kamu dipecat ?"

Aku menggeleng.

"Jadi bagaimana ?"

Aku keluarkan map. Aku beberkan isinya. Ada surat perintah kerja untuk keliling dunia, guna melakukan study banding di berbagai perusahaan terkenal Disertai sebuah cek bernilai satu milyar yang boleh aku pakai untuk mengurus semua keperluan selama perjalanan, termasuk biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan pribadi dan keluarga.
Semua orang ternganga.

"Jailah! Wah, wah, wah, kamu hebat dong !"

Aku menggeleng.

"Aku akan minta berhenti. Orang itu tidak bisa diperbaiki lagi, dia bukan seorang pemimpin. Dia raja".

Lalu aku robek surat dan cek itu sampai berkeping-keping di depan mata mereka semuanya. Supaya mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri, aku berjuang tidak untuk kepentinganku, seperti yang sudah dilakukan para pemimpin zaman sekarang, tapi untuk memperbaiki nasib mereka.
Aku naik ke atas meja, lalu melemparkan kepingan surat perintah kerja dan cek itu, menaburi setiap kepala mereka. Lalu aku meloncat turun, mengambil semua barang-barangku dan pulang.

PERGI KELUAR. TAPI KEMUDIAN MASUK LAGI.

Sampai di rumah aku baru menyesal. Apa gunanya aku jadi pahlawan?!

BEL TANDA KANTOR BUBAR. LAMPU PADAM



Ithaca, 11 Maret 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar