MULUT
monolog
karya
PUTU WIJAYA
(ada beberapa versi, ini versi terbaru)
SEMUA PROPERTI YANG DIPAKAI DALAM LAKON INI PALSU. DIBUAT DENGAN DENGAN UKURAN DAN BENTUK BOMBAS YANG BERLEBIH-LEBIHAN.
SEBUAH KURSI SEDERHANA YANG DIIKAT DENGAN TAMBANG YANG TERJULUR DARI ATAS. UJUNG TALI DIKENDALIKAN OLEH SEORANG PETUGAS.
SEBUAH BONEKA RAKSASA TANPA MULUT YANG PADA AKHIR ADEGAN NANTI AKAN TURUN.
SEORANG PEREMPUAN DENGAN MULUT YANG DISEGEL LAKBAN DUDUK DI KURSI.
PERLAHAN-LAHAN LAMPU TERANG, DIIRINGI DENGAN SUARA SEMPRITAN DARI MULUT PEREMPUAN YANG TANPA MULUT ITU.
BUNYI SEMPRITAN MAKIN MENGGANGGU.
PETUGAS MUNCUL MENCOPOT LAK BAN DI MULUT PEREMPUAN ITU. NAMPAK DI MULUT PEREMPUAN ITU ADA SEMPRITAN YANG TAK HENTI-HENTINYA DI TIUP. DENGAN PAKSA SEMPRITAN ITU DITARIK. SETELAH ITU PETUGAS KELUAR
PEREMPUAN ITU MULAI MEMBERIKAN KESAKSIANNYA:
Di desa kami ada seorang perempuan tidak punya mulut. Di bawah hidungnya kosong melompong tidak ada bibir. Tidak ada yang tahu apakah ia punya gigi dan lidah di balik wajahnya yang terkunci itu. Dalam keadaan yang tuna mulut itu ia membingungkan desa. Warga mempersoalkan kehadirannya tak habis habis. Apakah ia mahluk yang cantik atau mengerikan.
Kedua matanya membelalak seperti mata ikan koki, tetapi kerlingannya tajam seperti cakar harimau. Hidungnya bangir namun tidak kepanjangan seperti Petruk. Kulitnya lembut dan hangat. Wajah dan air mukanya bagi semua kami, baik laki maupun perempuan, sangat cantik. Kata tukang jual siomay, tanpa mulut, perempuan itu justru seperti bidadari. Siapa saja yang memandangnya dengan bebas dan rahasia dapat menempelkan dalam angan angannya jenis mulut yang dia sukai. Wajahnya itu begitu luwes diberikan mulut apa pun cocok. Mulut dower, yang sempit, yang tebal, yang tipis, yang monyong, yang sedikit nyakil pun cocok. Asal amit-amit jangan sumbing saja.
Tukang ojek yang biasa nonton film India dan gila dangdut sukanya bibir dower. Dia melihat di bawah hidung perempuan itu bergantung dua baris daging empuk, seperti dua ekor lintah yang sudah kenyang. Tebal, melimpah tapi penuh dan basah. Tukang kredit yang doyan bibir tipis, menempelkan dalam angan angannya kue lapis yang lembut, tipis tapi empuk, lincah, legi dan lengket. Pokoknya karena tak ada mulut, bibirnya malah bisa digonta ganti seenake dewe, mau bibir kowel-kowel model orang hutan atau bibir bekicot yang nyerep dan becek, terserah.
Tak urung banyak juga yang menilai wanita itu elek. Mesaake. Bahkan menakutkan. Ngeri kata mereka. Semolek apa pun mata dan potongan-potongan wajahnya, sebening dan sesempurna apa pun perasaan yang terlontar dari wajah itu, tanpa ada mulut, ia adalah mahluk yang cacad, manusia yang tidak sempurna. Seperti sayur asam yang kurang asem. Bukan saja tawar, tetapi menyakitkan dan serem. Hanya setan yang bisa mencampur kecantikan dengan yang mengerikan. Artinya perempuan itu mungkin setan. Hanya setan yang bisa menikmati setan. Umpama bom perempuan itu tak punya sumbu peledak. Jadi mapat, sesak, berteriak kesakitan tapi tak sanggup berbuat apa apa. Kawah gunung yang mapat sewaktu-waktu pasti akan meledak dahsyat. Jadi, memang bahaya.
Pro dan kontra berlangsung lama, makin lama makin panas. Hampir memicu bentrokan. Ada kelompok yang mau mendepaknya, karena dianggap membawa sial. Ini kiriman ibklis, kata meraka Lawannya mempertahankan atas nama kemanusian yang adil dan beradab. Jangankan wanita, cacing pun harus dilindungi dari ketidakadilan, kata mereka.
Untung kemudian harga BBM naik deras. Tidak cuma naik, edhan dan lenyap. Diperintahkan turun oleh pemerintah, bandel. Ancaman keras bagi siapa yang menjual dengan harga lewat tarip resmi tidak digubris. Malah harganya membubung tambah gila. Denger-dengar itu permainan orang dalam juga. Katanya ini politik untuk mempersiapkan kemenangan nanti dalam Pemilu.
Kami terpaksa berhenti berantem perkara wanita tak bermulut itu. Perlahan lahan kami jadi terbiasa. Bahkan kemudian terasa dia sudah jadi bagian dari desa kami. Tak ada yang terganggu lagi. Tak ada pro dan kontra. Diterima wae, seperti kami menerima siang dan malam, panas dan hujan, matahari dan bulan, malaikat dan iblis, nyamuk dan cecak. Mulanya kami memang berdebat, tetapi itulah membuat kami semakin mendekat dan akhirnya bersatu. Tidak ada lagi yang ingin mengusirnya dari desa, bahkan kalau lama dia tidak lewat di jalan, mungkin sakit atau apa begitu, kami jadi gelisah. Lalu kami sowan ke rumahnya.
Kami orang desa, rasa bebrayatan masih tebal. Gotong royong kami bukan bohong, belum luntur seperti orang kota. Bergiliran kami membantu wanita itu, kalau ia perlu pertolongan.
Wanita tanpa mulut itu adalah harta desa, milik seluruh warga.
Tetapi ada masalah.
MENIUP SEMPRITAN. MENJADI PETUGAS
Atas nama keamanan dan kenyaman bersama, demi ketenteraman masyarakat, apa saja yang sudah mengganggu stabilitas akan kita tindak tegas! Tidak pandang bulu !
Tangkap! Tangkap! Biang keladinya!
MEMBUNYIKAN SEMPRITAN
Tangkap, tangkap, tangkap cepat! Goblok! Mana mulut kamu?! Mana mulut kamu! Kamu sembunyikan di mana mulut kamu! Kamu! Mana congor kamu simpan. Keluarkan!?! Bangsat jangan diam melulu! Buka bacot kamu! Buka lebar-lebar muluit kamu!
MENGUMPAT-UMPAT.
Oke! Demi menjaga keamanan bersama, perempuan ini akan kita amanken dulu, sampai jelas betul asal-usul dan peranannya dan siapa dalangnya. Siapa aktor intelektualnya?! Kenapa dan mengapa ia tak punya mulut. Apa maksudnya? Dan yang lebih penting dari semua itu, dari mana asalnya dan siapa yang sudah mengatur sampai semua warga resah sehingga menerima begitu saja tanpa mampu mempersoalkan, kenapa ia tidak punya mulut. Ini pengacauan! Ya ini subversif!
Tapi, pak. Maaf…..?
Sudah diam! Siapa berani menghalangi-halangi perintah pusat berarti ikut berkomplot! Kita ini negara hukum. Ketertiban nomor satu, mengerti? Apa kalian mau ditangkap?!
Heee, mau ikut ditangkap?
Tidak, Pak.
Makanya, diam lhu, jangan ikut campur!! Asu! Kenapa kalian semua diam saja diajarken untuk membenarkan yang salah? Ah? Kalian semua sudah membiasakan yang tidak normal. Ini keliru. Itu bisa dituntutt! Tahu?! Diam!!!!
MENIUP SEMPRITAN. PETUGAS MASUK GESIT MAU MEMBANTU.
HAMPIR SAJA NGOMONG , LANGSUNG DIBENTAK
Diam lhu, jangan ikut campur! Ini kan monolog. Yang ngomong gue aja!
PETUGAS MUNDUR MALU DAN TAKUT.
PEREMPUAN ITU MENERUSKAN KESAKSIANNYA:
Seluruh warga keberatan. Orang tak bersalah, kenapa mesti diamankan. Kenapa orang tak punya mulut dianggap bersalah. Namanya juga nasib. Belum tentu perempuan itu sendiri suka ia tidak punya mulut. Seorang warga memberanikan diri menyapa:
Tapi kami sama sekali tidak terganggu oleh dia, Pak. Mbak itu warga baik. Dengan tidak punya mulut, ia bukan orang yang cacad. Ia justru seorang tetangga yang santun.
SSalah kaprah! Saudara salah! Jangan memutar balik fakta. Kenapa saudara saudara diam diam saja dilatih membenarkan kesalahan? Ah?! Memperlakukan orang cacad sebagai orang normal, apalagi memujikannya sebagai warga yang baik dan patuh, itu tindakan kriminal. Itu kejahatan pikiran!
Tapi Pak, Mbak itu tidak bersalah. Bapak tanya saja Pak Rt dan Pak RW. Mbak itu tidak pernah mengganggu. Bikin gosip tidak pernah, bagaimana bikin gosip kalau mulutnya saja tidak ada?"
Saudara tertipu! Ya Tuhan! Aku sudah menanyai dia empat jam empat mata. Aku tahu, dalam keadaan tidak punya mulut dia justru bicara banyak sekali. Saudara kan tahu, kita sedang belajar demokrasi, belajar berbicara dengan terbuka dan bebas. Nah dalam keadaan tidak punya mulut, bagaimana dia bisa terbuka dan bebas? Buka mulut saja tidak bisa. Ini bahaya, bisa mengganggu stabilitas, tidak bisa kita diamkan. Untuk sementara wanita ini kami amanken sampai kami merasa ia cukup aman kembali untuk dilepasken hidup bebas di antara saudara saudara warga yang perlu hidup nyaman. Kami wajib mengamankan saudara- saduara karena sudah membayar pajak dengan setia. Semuanya sudah bayar PBB belum?!
Tak ada yang menjawab. Kami memang semuanya jarang membayar PBB
Tapi meski pun tak berani membantah, kami sangat mempersoalkan tindakan sewenang-wenang itu. Keputusan petugas yang kami anggap senakan dewe itu menjadi bahan cercaan. Masak petugas seperti prokem. Masak atas nama tugas, sudah membenarkan segala yang keji. Mana mungkin pusat memilih srigala untuk melindungi rakyat. Petugas itu hanya ingin menjilat pantat atasannya. Itu bukan petugas tapi tikus. Buat apa negara memelihara tikus.
Lama ketidakadilan itu kami bahas. Maklum desa kecil. Kelapa disambar petir saja bisa dihebohkan setahun, apalagi ada kepala warga disamber petugas. Tapi kemudian BBM naik lagil. Ada warga yang memprotes sukat, rentangan kabel listrik tegangan yang melewati desanya, dengan cara menjahit mulut. Televisi sibuk mengurus korupsi dan artis-artis selingkuh. Perempuan tanpa mulut yang diciduk aparat itu kalah pamor.
Alhamdulillah, setahun kemudian, wanita itu pulang.
Tapi kami terkejut. Astaga, ia sudah punya mulut. Sepasang bibir mungil bergantung di wajahnya. Dua baris giginya seperti iklan pasta gigi. Gigi gigi sehat yang sempurna. Dan kalau ia menjulurkan lidahnya, daging itu merah sehat dan gesit seperti lidah kadal. Mulut yang benar-benar kelas satu.
Ia sekarang sudah bisa bercerita dengan pasih dan panjang lebar. Suaranya terdengar merdu seperti penyiar penyiar radio. Ketika menjelaskan bagaimana ia sudah menjalankan operasi plastik di mancanegara dengan tanggungan biaya yang seratus prosen dari kocek sponsor, bulu kuduk kami meremang. (MENIRUKAN WANITA TAK BERMULUT YANG SUDAH PUNYA MULUT)
Kini aku sudah punya mulut. Aku tidak minder lagi. Aku sama dengan kalian yang lain. Bahkan mulutku ini sudah terlatih dalam banyak hal. Bisa menyanyi. Bisa bahasa Inggris. Bahkan juga bisa menyanyi (MENYANYI) atau baca puisi (BACA PUISI) kalau diperlukan berpidato (PIDATO) …… dan maaf sekarang saya sudah bisa cipokan. (KETAWA DAN KEMUDIAN TERUS NGOCEH. NGOMONGNYA SEMAKIN CEPAT)
NGOCEH CEPAT DAN TIDAK BISA DI MENGERTI. BERISIK. BISING.
PETUGAS MELONCAT MASUK HENDAK MENYEGEL MULUTNYA
DENGAN LAKBAN. TAPI PEREMPUAN ITU KEBURU BERHENTI
NYEROCOS.
PEREMPUAN ITU MELOTOT KE ARAH PETUGAS NYANG MAU IKUT
CAMPUR. PETUGAS ITU BERBALIK DAN NGIBRIT KELUAR.
PEREMPUAN ITU MELANJUTKAN KESAKSIANNYA:
Berbeda dari semula, wanita itu cepat berubah jadi kebanyakan mulut. Ia ngoceh terus, meskipun tidak ditanya. Tak peduli kami sudah babak-belur mendengar, dari pagi sampai malam dia terus ngomong. Mungkin karena kemaruk. Kami mengerti juga. Tapi malam hari sementara semua sudah tidur, suaranya masih saja kedengaran ngomel. Barangkali ia terlalu gembira. Siapa tahu, sebenarnya tersiksa sendiri juga, sebab mulutnya ngomong terus, sementara ia sendiri sudah mengantuk. Sering kami lihat matanya sudah terpejam, tapi mulutnya nyerocos seperti ban bocor.
Ia masih ngomong terus walaupun tidur, lapor tetangganya.
Penilaian kami berubah sesudah wanita itu memiliki mulut. Yang dulu menganggap dia cantik tapi sayang tanpa mulut, sekarang berbalik merasa terganggu karena dia kelebihan mulut. Perempuan cerewet, bawel, menyebalkan, mulutnya merusakkan kecantikan menodai kepribadian. Yang dulu membencinya pun jadi semakin jijik. Mereka menganjurkan supaya perempuan itu menutup mulutnya kembali seperti dulu, sebelum orang lain yang melakukan dengan kekerasan.
Namun, seperti biasa, hal itu juga tak berlangsung lama.
Kembali demam berdarah metrebak, flue burung menyerang. Hidup semakin gila. Para pemimpin bukannya prihatin, malah cakar-cakar berebutan kursi yang berarti rezeki. Judi, narkoba merajalela. Korupsi makin membabi buta. Hukum dikencingi. Pendidikan merosot. Rasa kebangsaan menipis. Krisis moral. Orang-orang pinter sibuk membicarakan bagaimana caranya menyelamatkan generasi muda sementara dmereka juga sedang tenggelam. Dikhawatirkan inilah akhir kisah Jamrut Khatulistiwa.
Dalam tempo satu bulan kami kami mulai terbiasa dengan wanita tak bermulut yang sekarang kebanyakan mulut itu. Kami berikan ia tempat yang khusus dalam pergaulan desa. Kalau mulut sudah membuat dia berubah, ya sudahlah, mau apa lagi. Lalu kami sibuk menggarap kesulitan sehari hari yang terus datang beruntun, entah apa saja yang sudah dikerjakan oleh para pemimpin yang waktu kampanye mengobral janji sorga semua itu.
Kami sudah diajarkan oleh nenek-moyang untuk cepat melupakan apa saja, karena terlalu banyak yang datang. Nrimo begitu. Habis, kalau semuanya diingat belum sebulan kami sudah gila semua.
Tapi dilalah petugas dari pusat itu, datang lagi.
MEMBUNYIKAN SEMPRITAN. MENGANGKAT KURSI SEPERTI SENJATA.
Tangkap perempuan yang kebanyakan mulut itu, tangkap sekarang juga! Subversif! Pengacau! Tangkap!
Kami semua terkejut.
Kenapa Pak? Apa kesalahannya?
Merusakkan citra bangsa. Masak ngomong terus, itu namanya memancing di air keruh. Membakar bakar itu bukan jiwa orang Timur. Itu pengacau. Dikasih mulut itu bukan untuk berkicau, tetapi untuk menjawab kalau ditanya, tahu?! Mengapa kalian diam diam saja, apa kalian yang sudah mempergunakan dia untuk mendongkel kami? Kami kan wakil yang kalian pilih langsung! Percaya dong! Jangan biarkan kepribadian kalian dihancurkan oleh pengaruh asing. Kepribadian kalian akan sesat semua!"
Tapi katanya mulutnya itu Bapak yang memberikan?"
Memang. Tapi maksud kita bukan untuk dipakai obral begitu. Begini jadinya kalau orang yang tidak punya mulut tiba tiba punya mulut, jadi ngawur. Main gosip, memfitnah, membakar bakar, itu bukan demokrasi tahu! Ayo cepat ! Amanken dia!
MENIUP SEMPRITAN. MENARIK TAMBANG. KURSI TERGANTUNG. MENGAYUN-AYUNKAN KURSI YANG TERGANTUNG ITU.
Setahun perempuan itu menghilang. Kami tidak sempat memprotes karena baru mau bergerak tahu-tahu tarif listrik naik. Beras mahal. Walah, kami terpaksa melupakan perempuan itu, karena tuntutan mengisi perut lebih penting.
Ketika wanita itu kemudian pulang kembali tanpa mulut, kami terima seperti kejadian biasa. Kami sudah dengar bagaimana mulutnya diratakan, dikembalikan kepada asalnya. Di bawah hidungnya yang cantik itu sekarang kembali tegalan yang penuh dengan misteri. Kosong tapi sesak dengan suara suara terpendam seperti dulu.
Bedanya, semuanya tidak bisa dikembalikan persis seperti semula. Banyak yang berubah. Antara lain matanya. Meskipun bentuk mata itu ukurannya seperti dulu, tapi sinarnya sudah lain. Ada bayangan gelap. Sinar mata orang yang biasa bebas ngomong seenaknya tapi ujug-ujug dibungkam dengan kekerasan. Ya sakit bukan main. Mata itu menyala, marah dan dendam.
Kami sedih. Kami ingin menolong. Tapi sekali lagi muncul halangan. Uang pendaftaran anak-anak sekolah naik. Tarif listrik juga ikut ngaceng. Kembali kami tak sempat ikut memikul beban perempuan tak bermulut itu. Kami sendiri nyaris terkubur nasib hidup-hidup. Untung kami sudah dilatih berkali-kali oleh pemerintah jadi orang miskin. Jadi kami cepat terbiasa menahan sakit, tetap mampu mengencangkan tali pinggang, tidak boleh mengeluh dan kalau perlu makan batu.
Tapi
KURSI JATUH. PEREMPUAN ITU NAIK BERDIRI DI ATAS KURSI . MENGIKATKAN UJUNG TAMBANG KE LEHERNYA.
Pada suatu pagi, seorang tetangga kami menjerit
MENJERIT
Ya Tuhan wanita yang tak bermulut itu, bergantung di cabang pohon nangka dalam keadaan sudah tak bernyawa. Di kakinya, ada surat pengakuan. Suara yang tak mampu ia katakan sendiri.
TURUN DARI KURSI DENGAN TAMBANG MELILIT LEHERNYA. MENARIK ATAU BERJALAN SEHINGGA KURSI KEMBALI MELAYANG.
PETUGAS DENGAN AGAK RAGU DAN TAKUT DATANG MENGULURKAN SURAT. PEREMPUAN MEMBACA SURAT.
Surat wasita. Kepada siapa saja, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Aku minta maaf. Barangkali ini salah. Aku minta maaf. Tapi aku sudah putuskan menjalani kesalahan ini, untuk menghentikan segala kejadian yang berulang ulang dengan buas menimpa diriku. Kalau tidak percaya silakan baca.
MEMBERIKAN SURAT PADA SALAH SATU PENONTON, LALU MELANJUTKAN KESAKSIANNYA
Warga desa gempar. Kami ketakutan. Kami memerlukan penjelasan. Seharusnya setelah itu, petugas dari pusat itu muncul. Tapi seperti biasa, kalau sudah diperlukan aparatnya absen. Bangsat.
Tapi beliau sudah lama sakit sakitan. Dan kemudian sebenarnya sudah mati lebih dulu dari perempuan tak bermulut kalian yang mati menggantung diri itu, bunyi surat dari pusat.
Kami bingung oleh kejadian beruntun itu.
Kemudian kami menunggu, bersiap siap kalau kalau harga BBM atau tarif listrik akan naik lagi. Atau ada bom meledak, agar kami bisa mengalihkan pikiran, mengelak, berpegang, supaya tidak dikubur pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada jawabannya.
Tapi semua itu tidak terjadi. Kami terpaksa mengulum pembunuhan perempuan yang tak bermulut itu lama lama, sampai kenyang. Sampai gembung. Sampai bosan muak. Lalo muntah. Akhirnya menerima.
Bertahun tahun kami masih tetap dihantui wanita tak bermulut yang mati dibunuh dengan kejam itu.
TERDENGAR BUNYI PANGGILAN HP YANG ANEH DAN KERAS BERULANG-ULANG. IA MENCARI–CARI. PETUGAS MASUK MEMBERIKAN SEBUAH HP RAKSASA
Sekarang bukan hanya anggota DPR, tukang beca juga punya HP.
MENJAWAB HP
Ya? Rumah sakit melahirkan? Oh! Ah? Apa? (MENGUCAP) Astaga! Ada lagi? Oke. Aku ke situ sekarang.
MEMBUANG HP. DISERTAI BUNGI TANGISAN BAYI DARI ATAS TURUN BONEKA BAYI RAKSASA YANG TANPA MULUT. (ATAU KALAU ADA KENDALA TEKNIS DIBAWA MASUK OLEH PETUGAS). PEREMPUAN ITU ZMRMRLUK, MEMANGKU BAYI RAKSASA YANG LEBIH BESAR DARI TUBUHNYA ITU.
Astaga! Seorang bayi perempuan sudah lahir lagi di Puskesmas tapi tidak punya mulut! Kami warga, rebutan menengok ke sana. Sampai sampai kaca pintu Puskesmas pecah, karena semua berlomba ingin memandangi bayi itu dari dekat.
Ya Tuhan, betul. Tidak ada mulutnya. Kami tidak melihat ada mulut bayi, hanya dataran yang buntu. Dataran buntet yang meskipun kecil, pasti akan menyimpan rahasia. Lalu kami mengerling matanya. Kami harap mata bayi itu akan mampu bicara mengggantikan mulutnya yang tak ada, seperti almarhumah.
Tapi yang kami harapkan tak terjadi. Sekali lagi ya Tuhan, bayi tak bermulut itu, ternyata seorang bayi cacad biasa. Memang betul tanpa mulut, tetapi matanya, matanya itu. Aduh sialan, ya Tuhan matanya itu kok kosong, kosong-melompong, ternyata itu bukan mata yang mencakar seperti wanita yang digantung itu. Mata bayi yang tidak bermulut itu, hanya mata manusia biasa. Matanya tidak bisa bicara seperti almarhumah. Beda seratus persen! Kami jadi amat sangat betul-betul kecewa sekali.
Kenapa mata bayi itu kosong?
Ia sudah kulino, bisik perawat, sudah terbiasa!”
Apa?
Dokter bilang, ini generasi kedua. Jadi sudah lancar, meskipun ia tidak punya mulut, ia tetap tenang karena sudah biasa. Alah bisa karena biasa. Ia sudah nrimo nasibnya.
KURSI JATUH. PEREMPUAN ITU BERDIRI DI ATAS KURSI UNTUK MEMAMERKAN BAYI RAKSASA TANPA MULUT ITU KEPADA KALANGAN YANG LEBIH LUAS SAMBIL BERTERIAK.
Sudah biasa! Sudah biasa! Sudah biasa?
MENIUP SEMPRITAN TERUS MENERUS. PETUGAS MUNCUL DAN MENGUPAYAKAN DAN KEMUDIAN MEMAKSA PEREMPUAN ITU DUDUK. LALU MENUTUP MULUTNYA DENGAN LAKBAN. KEMUDIAN MENIMBUNINYA DENGAN BERBAGAI PERALATAN RUMAH TANGGA YANG DIANGGAP SUDAH MERUPAKAN KEWAJIBAN PEREMPUAN: PERALATAN MEMASAK, MENCUCI, NGEPEL DSB.NYA SEHINGGA PEREMPUAN ITU KELELAP.
PEREMPUAN DUDUK DI DENGAN MEMIKUL SEABREK “PERALATAN PEREMPUAN”, DALAM KEADAAN MULUT DISEGEL LAKBAN. SUARA SEMPRITANNYA TERUS TERDENGAR SAYUP SEPERTI NAFAS JERITAN YANG JAUH
LAMPU MEREDUP.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar