CERPEN HARKITNAS – KARYA
PUTU WIJAYA
|
ALI bangun tiba-tiba. Jam masih
menunjuk ke angka 2. Saat semua orang baru masuk ke jantung lelap yang paling
dalam. Satu dua kendaraan masih kedengaran mendengus jauh di jalanan. Tetapi
Jakarta yang sibuk dan gelisah, nampaknya sudah berbaring melepas lelah.
Mengambil napas untuk mendengus lagi dengan keriuhan dalam panas terik, debu
dan hiruk-pikuk metropolitan.
“Bangun, bangun, bangun semua!” kata
Ali dengan suara keras membangun seluruh isi rumah.
Suara Ali keras mengejutkan beberapa
ekor cicak yang sedang berburu nyamuk di dinding. Tetapi semua yang tidur tetap
tak bergerak. Istrinya, anaknya, neneknya dan pembantunya, juga seorang anak
tetangga yang keasyikan main, nampak berbaring lena.
Ali mencoba lagi. Sekali ini
disertai dengan gebrakan pada meja.
“Bangun! Bangun! Bangun!”
Suara Ali yang cempreng, tercekik,
tinggi jelek menyakitkan, membelah meretakkan kesunyian. Tetapi suara itu
bahkan seperti musik yang tambah menyemplungkan semua yang tidur untuk jatuh ke
lubangnya dengan lebih terperosok lagi. Pembantu yang tertidur di depan
televisi malah ngelindur.
“Terus, terus, terus!”
Ali jadi senewen. Ia cepat
menyalakan lampu.
Seluruh ruangan menjadi
terang-benderang bagaikan teriakan yang lantang dalam malam yang gelap-gulita
itu, karena para tetangga semuanya memadamkan listrik akibat ancaman tarif
listrik yang baru. Perut rumah kelihatan berantakan. Anak-anak tidur di lantai.
Istri Ali hampir jatuh dari balai-balai karena ditendang oleh kaki anaknya yang
paling kecil. Tapi sambil tidur tangannya masih sempat terjulur menahan
badannya. Ruang tamu yang kecil itu serasa tong sampah manusia.
Ali membentak sekalian menggebrak.
“Bangunnnnnnnnnn!”
Pembantu yang ngelindur itu
menjawab.
“Terus, terus, terus ...”
Ali mulai senewen. Ia menghidupkan
televisi dan radio keras-keras. Suara itu langsung memenuhi ruangan lalu
terlontar keluar rumah, menyerbu keheningan para tetangga. Berserak juga ke pos
penjagaan.
Satpam yang sedang main domino untuk
mencoba mengubah nasibnya secara kecil-kecilan, paling tidak untuk belanja sari
hari besok, tak menoleh.
“Ada apa lagi pak Ali ini?” kata
salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang tertarik untuk
berdiri dan menghampiri rumah Ali. Mereka malah merasa ditolong, karena suara
itu sekan-akan menggantikan tubuh mereka yang ronda setiap empat jam sekali.
Ali tercengang oleh kebebalan seisi
rumah. Lalu ia masuk ke kamar mandi dan membuka semua kran. Beberapa buah kran
mucrat dengan tajamnya mengebor air dalam bak. Bunyinya berisik riuh. Kucing
yang tertidur di bawah kursi terkejut, lalu ia mondar-mandir dengan gelisah.
Tetapi penghuni rumah, masih terpaku dengan harga mati.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!”
teriak Ali kalap, karena sudah tidak tahan lagi menghadapi kebekuan yang
mengerak itu.
Anak Ali yang paling kecil
terbangun. Ia memekik terkejut, lalu menangis. Jeritnya menyelusup di keributan
kamar menggapai ibunya. Lalu tangan ibunya bergerak membuka kutang dan menarik
kepala anaknya untuk menetek, tapi dengan sama sekali tidak membuka mata.
Begitu puting tetek ibunya menyumpal
mulut, anak itu langsung terdiam, seperti bekicot yang menarik lagi tubuhnya
masuk ke dalam rumah pelindungnya. Lalu meneruskan tidur sambil merintih-rintih
manja.
Ali mendekati orok itu dengan
dongkol. Lalu ia merengutkan tetek istrinya keluar dari mulut anaknya. Tapi si
kecil membangkang tidak mau melepaskan. Ali memegangi tetek istrinya dan
memijit pipi anaknya. Tapi tiba-tiba tangan kiri istrinya bergerak dan
menampar.
“Udah ah, kan baru kemarin!”
Ali terkejut memegangi pipi.
Tamparan itu keras sekali.
“Makanya bangun! Ini Hari Peringatan
Kebangkitan Nasional tahu! Kita kan sudah janji untuk memperingati dan berdoa
bersama-sama agar negeri kita yang sedang terpuruk ini bangkit lagi. Ayo! Anak
itu sudah besar nggak usah ditetekin lagi nanti kena Oedipus Complex!”
Ali kembali meraih tetek istrinya
untuk dicabut dari mulut anaknya. Tapi tiba-tiba anak itu menendang kuat. Ali
berteriak kesakitan karena tepat mengenai buah ampulurnya.
Istri Ali bangkit. Ia mengendong
anaknya pindah ke kamar, lalu mengunci dari dalam. Dari radio terdengar sapa
mesra dari pembawa acara banci yang serak-serak basah.
“Hallo sayang, bagaimana perasaanmu
sekarang, masih kurang. Ini gua tambahin!”
Lalu terdengar suara Elly Kasim.
Aduh duh-duh-duh-duh.
Ali meringis lalu menghampiri radio
dan membungkamnya..
“Bangunnnnnnnnnnnnn!” teriak Ali
lantang kalap.
Teriakan Ali melenting keluar rumah.
Membumbung dan kemudian berserak. Masuk ke jendela rumah tetangga. Terhempas
juga ke pos penjagaan satpam. Tetapi tidak seorang pun yang peduli. Setelah
kejadian 14 mei 1998, segala kehebohan menjadi hambar.
“Sialan! Tak ada lagi orang terkejut
oleh bunyi letusan, letupan, teriakan atau lolong minta tolong. Apalagi hanya
teriakan bangun, bangun dari hanya seorang guru SMP yang kebanyakan membaca
koran yang sudah dikuasai oleh kelompok, partai dan orang-orang kaya yang tidak
lagi menyuarakan kebenaran tetapi kepentingannya untuk merebut posisi dalam pilkada,”
umpat Ali.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!”
teriak Ali kalap menirukan suara John Lennon dalam lagu ‘’Mother’’.
Tapi tak ada gunanya.
Bahkan satpam yang semula masih
hirau, ketika teriakan itu semakin keras, kini berbalik menjadi kian tuli. Ia
mengurungkan niatnya untuk keliling kompleks. Karena suara Ali sudah mengganti
bunyi tiang listrik yang dipukulnya, tanda ia lewat.
Ali mengintip ke balik celana.
Setelah yakin tidak ada yang pecah, kemudian ia berdiri perlahan-lahan. Ia
menebarkan matanya ke seluruh ruangan, seperti seorang jendral yang kalah dalam
pertempuran. Mukanya nampak sangat rusak oleh kecewa.
“Inilah yang sudah menyebabkan kita
tidak pernah merdeka,” katanya dengan suara berat yang sangat berbeda.
Ia mengeluh, berfilsafat dan
memberikan kesimpulan, seperti seorang kandidat doktor yang mengucapkan puncak
dari disertasinya sesudah membeberkan pembuktian dengan tumpukan data dan
fakta.
“Inilah yang menyebabkan kemerdekaan
tidak ada gunanya, karena kemerdekaan sudah diartikan kebablasan. Boleh berbuat
apa saja. Boleh tidur seenak udel karena sudah tidak ada lagi majikan yang
marah. Boleh malas, karena tidak takut lagi akan ditindak, karena bukan hanya
kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan pun dilindungi oleh undang-undang karena
itu bagian dari hak azasi manusia. Prek! Telek kebo!”
Ali, guru SMP yang dipecat karena
muridnya semua tidak lulus UN itu kemudian keluar dari rumahnya. Ia langsung
menuju ke pos satpam. Ketika melihat para petugas itu sibuk main domino, ia
kontan menangis.
“Ya Tuhan, jadi inilah sebabnya kami
tidak pernah maju. Satpam-satpam kami mabok semua! Para petugas tidak
melaksanakan tugasnya. Kami semua amatir dalam segala hal. Guru amatir,
politikus amatir, budayawan amatir, agamawan amatir, pemerintah dan rakyat
semua amatir. Tidak ada yang peduli lagi ini Hari Kebangkitan Nasional. Tidak
ada yang peduli hari ini, 100 tahun yang lalu, cita-cita Indonesia dilahirkan.
Tidak ada yang peduli lagi apa itu Indonesia. Semua orang hanya peduli
kepentingan pribadi! Bangsa ini sudah tidur dan bangkrut! Hanya guru SMP yang
miskin, tidak punya rumah sendiri, yang merangkap jadi tukang ojek dan pemulung
untuk hidup, yang dijerat utang dan tidak tahu apa yang akan dimakan besok
pagi, yang dipecat karena menolong anak didiknya lulus UN, hanya kecoak seperti
aku ini yang masih ingat apa itu Kebangkitan Nasional, apa itu Indonesia. Minta
ampunnnnnn! Aku berhenti! Aku tidak bisa berjuang sendirian! Ini kebangetan!!!”
Suara Ali keras, tapi satpam itu
sama sekali tidak peduli. Menoleh pun tidak.
Putus asa Ali berjalan keluar dari
kompleks perumahan sangat sederhana itu. Beberapa ratus meter, ia berhenti di
perempatan yang lengang. Lalu berteriak-teriak keki membangun seluruh kota,
sampai habis suaranya.
“Bangunnnnn! Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!”
Pukul empat subuh, Ali jatuh karena
lelah. Ia tertidur di beton perempatan, seperti layangan putus yang tersangkut
di kabel listrik.
Langit disemprot warna merah. Seekor
burung seperti menembakkan dirinya ke arah laut. Lalu bumi sekan-akan bergerak.
Lamat-lamat terdengar suara azan. Merdu dan indah sekali.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar....
Ashadu Allah....’’”
Suara itu melayang masuk ke rumah
Ali. Mengusap lembut telinga semua yang tidur. Hanya beberapa detik terlambat,
kemudian setiap orang membuka mata. Tak seorang pun yang tidur lagi. Tanpa ada
yang memerintah apalagi menggertak, serentak mereka bangkit. Bahkan anak kecil
itu tersenyum.
Kendaraan mulai berderak. Ibu Kota
gemeletuk bangkit. Tetapi Ali semakin tertanam jauh di lorong tidurnya yang
yang dalam.***
Astya Puri , 4 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar