CERPEN 2010 – KARYA PUTU
WIJAYA
|
Tak terasa 2010 datang. Semua orang
bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik
para koruptor, manipulator tertidur pulas semuanya. Negara kita akan aman.
Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun
kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan
korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir,
segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab
saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para
cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata,
jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan,
pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa
ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak
mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah
kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk
pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak
bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga
itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di
rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga
segala rongrongan yang sudah terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa.
Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan
pasang terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh
pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato
di depan siapa lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama
sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi
di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu
juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu
payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan
itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk
mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk
kepentingan diri sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah
panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname
itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa
lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum
pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau terlambat, nanti didahului
keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia
pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti
pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya
keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu
terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi.
Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena
tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar
berhenti, seperti anjing yang tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan
macet. Bahkan angkot sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang
angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di
rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang menurut istri saya dihuni tetangga
kami, orangnya sudah pergi. Di tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata
perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang.
Saya langsung ke rumah tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi.
Kata yang jaga rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput.
Amat membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya
masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke
rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan
heran, perawat yang sama memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar
dari rumah sakit. Untuk mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera
pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba
menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa
mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah membunuh
pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat
jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika
masuk restoran mau makan ayam goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan
tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak
habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok
Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di
mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah
sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong.
Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang
tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit
lain. Di situ tidak betah. Perawatnya judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah
sakit, saya pingin makan burger. Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang
direndam air comberan. Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya
sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa kita banting tulang cari uang melulu.
Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari
lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya
mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit.
Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit
mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah
makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu
pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang sering dikutuk sebagai sampah
dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,”
komentar hati kecil saya, “orang ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi
karena mau istirahat dan dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang
sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah
bersenang-senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya
kembali ke rumah. Istri saya tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu
pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan
ngobrol dengan perasaan saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit.
Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang
berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya
memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak?
Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya
bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain yang datang dari planet lain.
Bukan sejenis saya atau istri saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu
kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu
membiarkan perbedaan itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran
kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami
berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba
berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang
mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan
lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap
mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil
adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan
bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan
adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk
mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai
luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah
luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang
tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai
membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian
istri saya muncul. Rupanya ia sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung
menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada
kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya.
Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil memberikan saya tamparan yang telak.
Padahal, kendati memang saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya
datang dari dia juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah
ini, terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih
masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang
lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah
sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia
makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah
sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan
itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan
anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya
mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan.
Cukup asal para koruptor, manipulator dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur,
negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya
dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum
mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk
diberikan kepada para satpam sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka
24 jam bertugas tiap hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka
moral pengemis. Bukan etos kerja profesional. Mereka harus bangga sebagai
petugas keamanan, sebab itu profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya
bekerja untuk menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan
sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan
pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada
pekerjaannya dan menjadi profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut.
Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang dulu, pertama dan paling getol
menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena saya lihat mereka semua
pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana
caranya menjawab dengan telak, saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu.
Ketika melintas di depan gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada
keenam satpam yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50
ribuan. Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti
masuk ke telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya
selalu berpikir bahwa tak ada obat yang mujarab. Semua memerlukan proses.
Banyak lubang yang akan terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya
satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang
memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang
diramalkan suku Maya yang keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris
dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi
banyak khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,”
komentar hati kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel,
seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu
namanya malas. Sabar itu adalah tahan banting sembari terus mencari peluang
untuk membuat istrimu selalu senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan
para tetangga menyapa ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau
kita hanya mau menerima separonya. Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti
menerima itu setuju atau tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu
menyelesaikannya secara jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih
akan terbit setiap hari di timur dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap
silih bergantian dengan siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan
dengan yang buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado?
Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya
dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada
kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti
akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan
peranan dan menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak
memutuskan riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu
tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah datang sebelum datang. Dan sudah
pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak
mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri
bagaimana cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk
membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin terjadi. Baik Djojobojo,
Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan
lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi
semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir,
selama kita masih mau berpikir. ***
Jakarta,
16 Desember 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar