APAKAH KITA SUDAH MERDEKA
Monolog
Putu Wijaya
BEKAS PEJUANG ITU MENDENGARKAN LAGU-LAGU PERJUANGAN DARI KASET..
Saya senang mendengar lagu-lagu perjuangan kemerdekaan. Di dalamnya ada pengabdian yang tulus untuk membangun bersama-sama negara dan bangsa, untuk merdeka, berdaulat dan berkembang mencapai cita-cita. Menjadi negara kesatuan yang benar-benar ingin mensejahteraan rakyat. Menghormati perbedaaan dalam kesetaraan. Menjadi Indonesia yang satu dan baru. Bukan hanya cari untung, memburu sukses, menjadi nomor satu dengan menghalalkan segala cara, seperti yang dilakukan hampir semua orang sekarang. Termasuk oleh saya sendiri yang tergerus arus.
Sekarang tidak ada lagi lagu-lagu seperti Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera dibuat. Akibatnya lagu-lagu perjuangan menjadi kuno. Milik masa lalu, menandai kehidupan yang sudah kedaluwarsa. Tidak mewakili ekspressi manusia kini yang gaul dan keropos semangat kebangsaannya.. Hanya Gombloh yang menyeruak dari belantika musik pop dengan Gebyar-Gebyar berhasil merebut hati kawula muda dan diterima baik generasi tua.
TERDENGAR LAGU GEBYAR-GEBYAR.
Gombloh yang mati muda itu bagi saya seorang pejuang.
TIBA-TIBA LAGU PUTUS. ORANG TUA ITU MENOLEH.
Tiba-tiba cucu saya datang dan bertanya. Kek apa boleh aku bertanya. Bertanya apa? Tapi kakek jangan marah. Kenapa harus marah? Bertanya sajalah. Pertanyaan menunjukkan siapa kamu. Dengan bertanya jelas kamu suka berpikir. Kamu mau menanyakan apa? Ah nanti Kakek marah. Tidak! Kenapa harus marah? Ayo bertanya saja, apa? Nanti Kakek marah. Tidak! Betul? Iya! Masak orang bertanya dimarahi. Tanya saja. Apa? Apakah kita? Apakah kita apa? Apakah kita? Ya apakah kita apa, jangan ragu-ragu, tanya saja terus terang! Nanti Kakek marah! Tidak! Ayo apa? Aku jadi tidak sabar. Apakah kita, apakah kita, apakah kita? Apakah kita apa? Apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Saya terkejut. Apa? Kamu nanya apa? Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Ya. Apakah kita sudah merdeka?
Darah saya tersirap. Saya tarik cucu saya itu. Duduk di sini, kata saya sambil menunjuk ke kursi. Mengapa kamu menanyakan itu? Dari mana kamu dapatkan pertanyaan itu?
Ya dari koran. Dari radio. Dari televisi. Semua orang menanyakannya. Masak Kakek tidak pernah dengar itu? kakek tiak pernah baca koran?
Darah saya langsung menggelegak. Saya yang pernah berjuang waktu revolusi.masuk hutan keluar hutan hanya dengan senjata bambo runcing. Saya lawan Belanda, Jepang hanya untuk mengibarkan sang saka yang sekarang megahberkibar itu. Saya bertempur diburu-buru sampai kaki tertembak pincang tapi terus melawan. Sekarang cucu saya yang sering saya popokin ini bertanya, apa kita sudah merdeka. Edhan! Saya jadi naik darah.
Dengerin, teriak saya sambil menahan perasaan. Apa guru-guru kamu di sekolah tidak pernah mengajarkan sejarah. Apa mereka tidak bilang pada kamu bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur pada jam 10 pagi? (MENGUCAPKAN TEKS PROKLAMASI) Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal mengenai pemeindahan kekuasaan dan lainliannya diselenggaraklan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno-Hatta! Nggak pernah?
Ya mereka selalu mengajarkan begitu. Tapi kalau betul kita sudah merdeka, mengapa kita masih miskin? Mengapa ada orang mengemis. Ada yang tidak punya rumah. Ada yang tidak bisa makan. Ada yang tidak mampu bayar sekolah? Tidak bisa beli mobil. Padahal orang lain punya kapal terbang, punya ribuan hektar dan uang trilyunan, punya pabrik dan beli apa saja. Mengapa
Stop. Diam kamu! Saya tidak sanggup lagi menahan diri. Saya tidak peduli lagi itu cucu saya atau tuyul. Saya tersinggung. Apa kamu tidak lihat itu bendera merah putih sekarang berkibar dengan gagah di angkasa. Kalau kita belum merdeka, kita tidak akan bisa mengibarkan bendera.itu. Apa kamu tidak tahu, kalau kita merdeka, berarti mulai saat kita merdeka itu, kita tidak lagi menjadi urusan pemerintah kolonial. Sejak saat setiap orang merdeka, maka dia jatuh-bangun harus mengurus nasibnya sendiri. Sejak kamu merdeka, kamu tidak lagi dikasih makan, minum, pakaian dan rumah apalagi kendaraan oleh majikan kamu. Tapi oleh kamu sendiri. Kalau kamu ingin pintar kamu harus belajar sendirti, kepintaran itu tidak akan masuk sendiri ke otak kamu. Kalau kamu sakit, jatuh, kamu harus bangun sendiri, tidak ada lagi yang nolong. Kalau kamu ingin kaya, kamu harus bekerja keras mencari kekayaan sendiri, tidak ada lagi yang kasih kamu segala-galanya gratis seperti waktu kamu dijajah! Jadi karena kita sudah berdikari sekarang itu berarti kita sudah merdeka tahu?!!!!
Tapi kalau betul kita sudah merdeka, mengapa banyak orang ditangkap? Mengapa orang dilarang berbicara? Mengapa tidak boleh berbeda pendapat? Mengapa kita tidak bebas memilih apa yang kita suka. Mengapa koruptor dilepaskan, orang-orang yang tidak bersalah dihajar? Mengapa orang-orang kaya dimanjakan dan orang-orang miskin ditindas?
Dengerin! Kalau kamu merdeka, maka orang-orang di sekitar kamu, saudara kamu, tetangga kamu, teman-teman kamu, bahkan orang-orang lain yang tidak kiamu kenal juga merdeka. Negara mengatur supaya kemerdekaan setiap orang terjaga dengan melarang orang melakukan yang mengganggu kemerdekaan orang lain. Dengan merdeka, kamu tidak boleh bablas. Dengan merdeka kemerdekaan kamu dibatasi oleh kemerdekaan orang-orang di sekitar kamu yang sama merdekanya dengan kamu. Dengan merdeka, sebenarnya kamu tidak merdeka. Mengerti?
Cucu saya tidak menjawab.
Mengerti?!!!!
Tidak!
Nah dengan mengatakan tidak berarti kamu sudah merdeka. Hanya orang-orang yang merdeka yang bisa mengatakan tidak. Orang yang tidak merdeka tidak akan bisa, tidak berani dan tidak boleh berkata tidak!
O ,jadi kalau begitu kita benar sudah merdeka? Selamat! Cucu saya mengulurkan tangan dan mejabat tangan saya. Selamat! Kita sudah merdeka! ZCucu saya mengguncang-guncang tangan saya.
TERDENGAR LAGU: “KULIHAT IBU PERTIWI SEDANG BERSEDIH HATI …. . “
Tangan saya lemas. Hati saya luluh. Saya teringat bagaimana saya dikejar musuh. Tertembak. Tapi meskipun pincang saya terus berjuang, sampai sang saka bebas berkibar dan kita merdeka. Setelah merdeka, saya meletakkan senajata, membawa kaki saya yang pincang pulang kampung dan menjadi petani. Saya berjuang tidak untuk cari untung tapi hanya untuk kemerdekaan. Sepuluh tahun saya jadi petani, tiba-tiba saya terkejut, ketika menoleh ke Jakarta. Di situ saya lihat orang-orang yang dulu berkhianat, menentang bahkan menghalangi perjuangan, orang yang menyebabkan ribuan sahabat-sahabat saya sekarang tulang-belulang, medapat kedudukan dan jadi pimpinan. Saya cepat mengenakan pakaian bersih dan pergi ke Jakarta. Saya mau adukan mereka-mereka yang tak pantas menikmati kemerdekaan itu. Tapi baru sampai di batas kota, niat saya tercium. Langsung saya ditangkap, dibungkam dan dilemparkan ke dalam penjara, tanpa diadili. Duapuluh tahun saya mendekam dalam penjara. Ketika saya dilepaskan kembali, saya sudah menjadi manula yang tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada yang peduli lagi pada saya. Saya pulang dengan hati hancur luluh. Saya lihat orang-orang yang tidak pantas duduk di sana, malah semakn jaya, semakin kaya, semakin berkuasa, semakin merajalela. Sementara saya hancur tercabik-cabik. Entah berapa banyak orang yang nasibnya busuk seperti saya.
Saya tak sanggup lagi menahan pedih. Aitr mata saya bercucuran sebesar kelereng. Cucu saya terkejut. Dia memeluk saya. Lalu membujuk. Kek kenapa menangis. Kita kan sudah merdeka. Kakek tidak perlu berjuang lagi. Lihat merah putih berkibar gagah sekali. Kita sudah merdeka! Kita sudah merdeka. Kenapa sedih. (MENYANYI) Sorak-sorak bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdekan ……….
Cukup! Cukup! Cukup! Saya memukulkan tongkat menghajar kursi supaya dia berhenti. Tapi dia terus juga menyanyi sambil beteriak-teriak merayakan kemerdekaan untuk menghibur saya.
LAGU DITERUSKAN. TIBA-TIBA KAKEK ITU MEMBANTING KURSI. MENGHANCURKAN RADIO. LALU MENANGIS LEBIH KERAS.
Cucu saya terkejut. Kenapa kakek histeris. Katanya kita sudah merdeka? Jangan-jangan kita tidak benar-benar merdeka. Apa betul kita sudah merdeka? Kalau sudah merdeka, mengapa kakakek menangis?
Saya terkejut. Saya telan tangis saya. Tapi malah menerobos keluar. Air mata saya nyemprot sebesar bola tenis. Tapi saya tidak boleh memberikan pembelajaran membele pada generasi muda. Saya seorang pejuang. Dengar! Teriak saya mengatasi kesedihan. Aku menangis, karena aku sudah merdeka. Hanya orang-orang yang merdeka yang mampu untuk menangis Bombay seenak perutnya kapan saja dia suka. Hanya orang yang betul-betul merdeka mampu menangis cengeng seperti aku. Kita sudah merdeka!
Saya ulurkan tangan hendak menjabat tangannya. Tapi cucu saya menolak. Dia memandang saya dengan jijik. Kalau kemerdekaan berarti hanya bebas bilang tidak dan gratis menangis, kalau kemerdekaan hanya berisi tidak dan air mata, lebih baik aku tidak merdeka. Kata cucu saya. Aku tidak perlu tidak dan menangis. Aku ingin kaya, sukses, sejahtera dan menang. Kalau kemerdekaan tidak bisa memberikan aku kekayaan dan kemenangan lebih baik aku tidak merdeka.
Itu dia!!!!!! Teriak saya mengatasi suara cucu saya dengan suara menggeledek. Dia terkejut mendengar raungan saya . Kami berpandangan. Dan tiba-tiba saya merasa untuk pertama kalinya, kami tidak lagi dipisahkan oleh usia. Jurang itu sudah disberangi. Dengar kata saya. Hanya orang yang betul-betukl merdeka yang mampu, bisa, mau, berani dan boleh mengatakan bahwa dia tidak ingin merdeka. Kamu, aku kita semua adalah orang yang sudah merdeka!
Saya ulurkan tangan. Dan untuk pertama kalinya, cucu saya menyambut. Dia tersenyum lalu mengguncang-guncang tangan saya. Berarti rasa sudah bertemu. Inilah rupanya kemerdekaan itu. Tapi alangkah sulit dan lamanya. Untuk menyamakan pengertian atas satu kata merdeka saja, memerlukan marah, benturan dan air mata. Hanya untuk satu kata kemerdekaan saja, diperlukan 30 menit, 30 tahun berdebat. Padahal begitu banyak kata dalam kemerdekaan yang masih harus dijelaskan. Kebebasan, keadilan, kebenaran, kesetetaraan, kesejahteraan, keamanan, kenyamanan , demokrasi …. kata-kata itu akan liar dan jadi senjata pembunuh yang menusnahkan, kalau kita berkhianat pada sumpah pemuda, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
TERDENGAR LAGU SATU NUSA SATU BANGSA SATU BAHASA
Jakarta 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar