PRIOK
Monolog
Putu Wijaya
Aku tertegun mendengar peristiwa berdarah di pelabuhan di Tanjung Priok.
Kenapa masih harus ada lagi bentrokan massa dan petugas yang yang ingin memindahkan makam untuk perluasan pelabuhan.
Istriku diam saja. Jadi aku kira dia tertarik, lalu aku terus nyerocos.
Aku setuju dengan Pak JK. Kalau memindahkan sesuatu, mestinya dibuat dulu penggantinya, supaya massa tidak merasa diabaikan. Dan massa jangan kalau ada apa-apa langsung beringas. Petugas kan juga manusia yang memerlukan perlindungan. Kita menghormati orang yang sudah meninggal, tapi orang yang masih hidup pun tidak boleh diabaikan. Kalau pelabuhan tidak disempurnakan sementara kebutuhan mendesak, kita akhirnya akan rugi semua nanti. Kenapa kalau ada kasus, kontan mau membubarkan aparat. Kan bukan aparatnya yang salah, tapi manusia-manusianya. Jadi harus pakai pikiran sehat! Ya tidak?
“Setuju!”
“Ibu setuju kan?!”
“Setuju sekali! Pikiran sehat itu tidak boleh sedikit pun diabaikan. Kalau pikiran sudah tidak sehat, macam-macam penyakit akan datang. Kalau pikiran sudah tidak sehat, semuanya rusak. Masakah enaknya seperti apa, kalau pikiran tidak sehat, rasanya seperti basi. Kalau pikiran tidak sehat, semuanya jadi serba salah. Orang sudah bekerja sungguh-sungguh dianggap malas. Orang bicara bener dianggap salah. Orang ingin membantu keluarga yang sakit, dianggap menghambur-hamburkan uang. Itu bukan menghamburkan uang, itu namanya kemanusiaan. Kita hidup harus tolong-,menolong. Siapa lagi yang akan menolong kita kalau bukan saudara. Kalau kita saja sudah acuh tak acuh, bagaimana orang lain. Makanya pikiran sehat itu penting. Mutlak!”
Aku terkejut. Lho, lho, kebablasa lagi. Aku sadar, masalahnya bukan lagi Tanjung Priok, tapi masalah perbedaan dalam seberapa jauh harus membantu keluarga. Aku merendahkan suaraku dan bicara dengan akal sehat.
“Tapi kita harus ingat. Membantu itu ada batasnya. Membantu jangan sampai kemudian menjerumuskan diri kita sendiri. Kalau ada orang kelelap, lalu kita bantu dengan membabi-buta sehingga kita ikut kelelap, itu namanya bukan pikiran sehat. Itu namanya bunuh diri. Ngawur!”
Istriku kontan marah.
“Ngawur? Bapak bilang membantu keluarga itu ngawur?”
“Bukan! Membantu keluarga itu wajib. Tapi kalau membantu dengan tanpa pakai perhitungan itu yang kurang waras. Membantu itu mesti ada batasnya, jangan sampai merugikan diri kita sendiri. Kalau kita punya uang seratus, jangan membantu duaratus, nanti kita makan dari mana? Hutang? Punya sertaus, ya membantu duapuluh juga sudah cukup. Tidak usah semuanya. Nanti malah orangnya jadi manja!”
“Manja! Bapak sampai hati menyebut-nyebut keluargaku manja. Mereka makan saja tidak bisa, apalagi menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Padahal anaknya kan jenius. Masak akan kita biarkan begitu. Kalau Bapak tidak rela membantu, ya tidak usah. Ambil saja duitnya kembali!”
Dengan muka seribu, istriku bergegas ke kamar. Lalu kembali dengan sebuah amplop.
“Membantu kalau pakai perhitungan untung rugi itu bukan membantu. Itu namanya tidak ikhlas. Dagang. Bapak simpan saja uangnya. Mau dikasih keponakan Bapak itu semua juga silakan. Biar aku saja yang mengurus keponakan-keponakanku!”
Aku terbelalak. Ingin sekali menjawab, menjelaskan dengan waras, tapi pintu kamar anakku terbuka. Dia berlari berlari ke belakang dengan dramatis. Istriku terkejut.
“Ami!”
Ami menunjuk ke belakang sambil memaki.
“Kurangajar mereka!”
“Kurangajar apa?”
“Itu lihat. Masak Ibu tidak tahu. Pohon rambutan kita dipanen lagi!”
Istriku melongok ke belakang. Kelihatan tetangga sedang dengan enaknya memetik rambutan yang ada di halaman belakang rumah. Sebagain dahannya menjorok ke tetangga. Kebetulan dahan yang berbuah paling lebat.
“Itu mencuri!”
Ami berteriak.
“Heeee!”
Istriku cepat menarik Ami.
“Ami! Sudah!”
“Kita dirampok, masak kita biarkan! Ini tidak adil!”
“Sudah Ami! Itu memeng rezeki mereka!:
“Rezeki apaan? Itu rambutan kita. Bapak yang nanam kan?!”
“Memang, tapi kan dahannya ke tetangga. Kalau ada pohon yang lewat dahannya ke tetangga, tetangga berhak untuk memanen hasilnya.”
“Tidak bisa!”
“Lho memang begitu Ami!”
“Setidak-tidaknya mereka harus minta izin kepada kita!”
“Tidak perlu. Mereka kan tiap hari kena sampah daun-daunnya, jadi mereka berhak menikmati!”
“Bukan-bukan hanya itu. Kalau mereka mau begitu, kenapa tidak dilakukan dengan lebih tenang. Itu lihat. Mereka sengaja menunjuk-nunjukkan, bahwa mereka tidak takut kepada kita. Ini bukan hanya masalah rambutan. Mereka memang sudah menantang kita! Aku tidak takut! Kalau perlu kita bunuh2an!”
“Ami!”
‘Tidak! Ami tersinggung. Kalau ini kita diamkan, lama-lama mereka akan menginjak kepala kita. Bukan tidak mungkin mereka akan mengambil buah yang ada di kebun kita. Ini harus diselesaikan. Kalau perlu lewat jalan hukum!”
Ami bergegas ke belakang sambil beteriak.
“Heeeee!”
Istriku kaget. Dia menolehku dan memberi isyarat..
“Pak, jangan dibiarkan! Lakukan sesuatu!”
Ami berteriak lebih keras:
“Heeee!”
Dengan sigap aku menghampiri dan mendahului Ami, lalu menutupkan pintu belakang.
“Ami!”
“Kita tidak boleh takut, Pak!”
“Takut? Takut apa?”
“Masak kita dihina, ditantang begitu, Bapak diam saja. Mentang-mentang mereka punya mobil. Kalau punya mobil, kenapa mesti mencuri rambutan kita. Mereka kan punya duit, bisa beli di super market. Kenapa mengganyang milik kita. Ini jelas menantang kita!”
“Ami dengerin!”
“Tidak! Aku takut sama mereka! Berani karena benar!”
“Bukan takut!”
“Lalu apa? Malu? Karena mereka kaya? Itu namanya takut!”
“Ami!”
“Tidak! Pokoknya Ami mau lawan mereka!”
Ami bergerak hendak membuka pintu. Tapi aku langsung memegang tangannya.
“Ami! Dengerin baik-baik! Mereka memanen rambutan kita, karena sudah Bapak izinkan! Bapak yang nyuruh mereka ngambilin. Karena pohon rambutan kita sudah mengotori halaman mereka. Jadi mereka bukan menantang, mereka hanya melaksanakan anjuran Bapak! Ngerti? Itu hukum tidak tertulis hidup bertetangga! Bukan hak, tapi kewajiban yang lebih penting untuk menjaga perasaan tetangga!”
Ami ternganga.
“O ya?”
“Ya!”
Ami menggeleng-gelengkan kepalanya dan berdecak sinis.
“ ………. .”
“Apa?”
“Saya kira itu bodoh!”
Lalu Ami berbalik, kembali ke kamar sambil marah-marah.
“Stupid!”
Aku jadi naik darah hendak mengejar, tapi istriku memegang tanganku. Menahan. Dia menepuk-nepuk pundak suaminya. Setelah aku bisa tenang, dia berbisik.
“Betul Bapak yang menganjurkan supaya mereka memetik?”
Aku menggeleng.
“O ya?”
“Ya. Aku juga marah. Tapi masak hanya karena itu kita berantem dengan tetangga. Masak hanya karena rambutan kita gasak-gasakan seperti wakil-wakil rakyat itu?”
Istriku manggut-manggut, lalu membelai dengan sayang.
Waktu itu aku dengar suara pintu terbuka. Sudut mataku melihat pintu kamar Ami terkuak sedikit. Kepala Ami nongol sambil mengejapkan dan mengacungkan jari jempol.
Aku membalas dengan kejapan mata, sebelum istriku menciumku dengan hangat.
Di televisi berita tentang insiden Priok terus dibahas melalap habis berita yang lain.
Jakarta 21 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar