GURU SPIRITUAL
Monolog
Putu Wijaya
Ketika selesai menjalani hukuman 20 tahun, aku ditanya sipir penjara.
“Mau jadi apa kamu setelah dibebaskan?”
Aku menjawab mantap.
“Mau jadi pemimpin spiritual.”
Sipir penjara terkejut.
“Kalau begitu selamat bertemu lagi nanti.”
Aku hanya bisa tersenyum. Sipir penjara langsung melapor kepada atasannya.
“Pak, saya kira tidak lama lagi orang yang baru kita lepas itu akan kembali ke mari?”
Lalu dia menceritakan percakapan tadi. Kepala Penjara kemudian menyampaikan hal itu pada polisi. Lalu polisi menguntitku siang malam, ke mana saja aku pergi. Padahal aku hanya mengunjungi dukun.
“Mbah Dukun, aku sudah menjalani hukuman selama 20 tahun atas perbuatanku yang bejat. Di dalam penjara, aku merenungkan apa yang sudah kulakukan. Di situ aku bertapa. Berkat kesungguhanku, akumendapat pencerahan. Sisa hidupku ke depan harus kugunakan untuk penyucian jiwa. Aku ingin membimbing masyarakat untuk mendekatkan dirinya pada kasih sayang dan cinta. Aku ingin memberikan pendidikan moral. Apa itu salah?”
Dukun palsu itu tertegun. Dia terkencing-kencing ketakutan.
“Pertama,”katanya menjelaskan persoalan itu kemudian kepada polisi yang meminta keterangannya, “Mbah tidak kenal orang itu. Entah siapa yang menyuruhnya datang ke rumah Mbah. Kedua, dia menanyakan sesuatu yang sulit Mbah jawab. Apa mungkin bekas orang hukuman yang sudah melakukan kejahatan, bisa memberikan bimbingan moral kepada orang lain. Bukankah dia harus membuktikan moralnya sendiri sudah berubah setelah menjalani hukuman. Dia harus membuktikannya seumur hidup. Tidak mungkin, kalau dia sibuk memperbaiki dirinya, ada waktu meluruskan moral orang lain. Kalau toh punya waktu, apa dia bisa? Mbah ragu. Dan yang ketiga, menurut pengalaman Mbah orang yang ingin berbuat kebaikan, tidak memperopagandakan perbuatannya tapi berbuat saja. Sebaliknya orang yang berniat jahat, akan mengobral janji membuat kebajikan untuk menyembunyikan maksud jahatnya.”
Polisi mencatat semua keterangan Mbah Dukun.
Jadi kesimpulannya aku dianggap manusia berbahaya, yang harus diawasi! Kalau perlu dengan segala cara harus ditarik lagi ke penjara, karena aku dianggap tidak pantas terjun ke masyarakat!
Aku terpaksa minta bantuan wartawan untuk membantah.
“Tidak bisa, Pak! Siapa pun tidak bisa dimasukkan ke penjara kalau belum melakukan tindakan kejahatan dan terbukti bersalah di pengadilan!”
“Kalau berbahaya?”
“Harus ada bukti!”
“Untuk apa menunggu bukti. Kita harus melindungi masyarakat!”
“Tetapi negara juga harus melindungi kepentingan individu warganya. Masyarakat tidak bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap individu warga, meskipun seandainya ada alasan yang kuat untuk itu, karena kita negara hukum. Masyarakat tidak boleh bertindak main hakim sendiri!”
Polisi bingung. Akhirnya mereka terpaksa melupakan kasusku karena kasus-kasus baru setiap hari susul-menyusul
Hanya dalam tempo 5 tahun kemudian aku berhasil. Di sebuah desa terpencil aku menjadi guru spiritual yang sangat terkenal. Aku mengajarkan cinta-kasih kepada m asyarakat. Aku juga bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Untuk semua itu aku sama sekali tidak memunggut bayaran. Tetapi itu justru memancing masyarakat menghujaniku dengan berbagai hadiah dan penghormatan.
Ada yang membangun rumah buat guru. Ada yang membelikan mobil. Ada yang menyerahkan jiwa-raganya, mengabdi kepada guru, seperti abdi dalem. Bahkan ada yang menyerahkan anak atau cucunya untuk menjadi istriku.
Pada suatu kali datang seorang perempuan. Seperti biasa aku tanya..
“Penyakit Ibu apa?
“Saya tidak punya anak.”
“Jadi Ibu ke sini minta anak?”
“Ya!”
“Ibu percaya aku bisa memberikan anak?”
“Antara percaya dan tidak.”
“ Bersedia diobatin?”
Ibu itu termenung
‘Bersedia atau tidak?”.
“Bersedia.”
“Tidak akan membantah?”
Ibu itu termenung. Tapi kemudian setelah didesak dia bicara.
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Hanya duduk di pangkuanku.”
“Hanya duduk?”
“Hanya duduk.”
‘Tidak bergerak?”
“Boleh, kalau merasa nyaman.”
“Kalau tidak?”
“Terserah. Tapi duduk tanpa memakai selembar benang pun.”
“Apa?”
‘Telanjang bugil!”
Matanya mendadak terbelalak.
“Apa?”
“Duduk telanjang tanpa memakai pakaian selembar pun. Aku juga tidak akan pakai apa-apa, jadi sama rata sama rasa seperti demokrasi..”
“Terus?”
“Ya begitu saja.”
“Berapa lama?”
“Ya kira-kira seperempat jam. Bisa juga sampai setengah jam kalau kuat.”
Perempuan itu gemetar.
“Kalau setuju, sekarang juga silakan buka baju.”
Perempuan itu kebingungan. Aku tidak punya banyak waktu ngurus orang bingung, sebab pasien ada ratusan yang antre di luar. Aku lebih dulu mempelopori mencopot baju dan celanaku. Begitu aku berbalik dalam keadaan telanjang, perempuan itu memekik. Lalu dia kabur keluar. Pakaiannya tersangkut di kursi, dia tarik saja dan robek. Setengah telanjang dia lari keluar.
Karena bingung dia menabrak tembok, lalu jatuh pinsan. Orang-orang lalu membantunya dan membawa masuk. Serta mendudukkan di atas pangkuanku.
Setelah peristiwa itu, perempuan yang ternyata belum pernah menikah itu, paling rajin datang. Setiap bulan dia muncul. Kemudian hampir setaip minggu. Akhirnya boleh dikatakan setiap hari.
Berhasil? Kalau perkara berhasil, tidak mungkin. Sebab dia belum menikah. Tunggu saja nanti kalau dia sudah kawin. Yang penting dia kelihatan bahagia. Tubuhnya bertambah sehat. Wajahnya makin berseri-seri. Dan akhirnya dia bertekad untuk pindah dan tinggal satu rumah dengakun.
Waktu itulah datang para wartawan. Mereka membawa kamera. Jeprat-jepret. Seluruh kawasan padepokanku dijepret. Semua pasien-pasien ditanyai. Lalu gambarku muncul di koran. Dan terjadilah geger.
Orang tua dan pacar perempuan itu datang. Mereka dikawal oleh tukang-tukang pukulnya. Tapi setelah tak berhasil memaksa anaknya untuk kembali pulang , aku langsung ditarik masuk ke dalam mobil mau diamankan. Dianggap telah mempraktekkan kecabulan.
Para pasisenku yang antre marah. Mereka mempertahakankanku. Sehingga terjadi bentrokan. Darah tumpah. Beberapa orang cidera. Aku tidak berhasil dibawa karena masyarakat membela. Orang-orang itu terpaksa pulang dengan tangan kosong.
Sejak itu penduduk secara bergiliran berjaga-jaga. Mereka mempersenjatai dirinya dengan benda-benda tajam. Siang malam rumahku dikawal. Mereka tidak sudi menyerahkan aku. Karena mereka sama sekali tidak menganggap aku sudah membuat kecabulan. Mereka malah percaya aku ini orang suci. Tentara satu kompi pun akan mereka lawan, karena mereka tidak sudi membiarkan aku dijamah.
Tapi kemudian bukan tentara yang datang. Tapi seorang gadis yang mengaku mahasiswi salah satu perguruan tinggi yang sedang mengambil S2. Cantik sekali. Sebagaimana biasa, aku terima sesuai dengan prosedur biasanya.
“Penyakitmu apa?
“Aku ingin terkenal dan sukses”
“Jadi kamu ke mari mau kesuksesan?”
“Ya!”
“Sukses jasmani atau rohani?”
“Komplit.”
“Kamu percaya kepadaku?”
“Antara percaya dan tidak.”
“Bersedia diobatin?”
Dia diam
‘Bersedia atau tidak?”.
“Bersedia.”
“Tidak akan membantah?”
Dia termenung. Tapi kemudian setelah didesak dia bicara.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Hanya duduk di pangkuanku.”
“Hanya duduk?”
“Hanya duduk.”
‘Tidak bergerak?”
“Boleh, kalau merasa nyaman.”
“Kalau tidak?”
“Terserah. Tapi duduk tanpa memakai selembar benang pun.”
“Apa?”
‘Telanjang bulat!”
Matanya mendadak terbelalak.
“Apa?”
“Duduk telanjang tanpa memakai pakaian selembar pun. Aku juga tidak akan pakai apa-apa, jadi sama rata sama rasa seperti demokrasi..”
“Terus?”
“Ya begitu saja.”
“Berapa lama?”
“Ya kira-kira seperempat jam. Bisa juga sampai setengah jam kalau kuat.”
Perempuan itu gemetar.
“Kalau setuju, sekarang juga silakan bukan baju.”
Mahasiswi itu kebingungan. Aku tidak punya banyak waktu ngurus orang bingung, sebab pasien ada ratusan yang antre di luar. Aku lebih dulu mempelopori mencopot baju dan celanaku. Begitu aku berbalik dalam keadaan telanjang, tapi perempuan itu ternyata sudah menghunus gunting rumput yang tadi disembunyian di dalam ranselnya.
“Kalau berani maju aku potong sekarang!”
Aku tertegun.
“Kamu ke mari bawa gunting rumput?”
“Ya!”
“Bukannya kamu mau sukses dan berhasil?”
“Tidak!”
“Jadi kamu hanya mau motong?”
“Tidak!”
“Lalu apa?”
“Aku mau kamu kembali ke penjara. Aku tidak pernah percaya bromocorah yang pernah melakukan kebejatan seksual di masyarakat dan sudah diganjar hukuman 20 tahun, bisa menjadi guru spiritual. Kamu menipu masyarakat!”
Aku terhenyak. Tapi aku tidak marah. Aku justru tersenyum.
Sudah lima tahun aku menjadi guru spiritual. Aku sudah bosan menunggu masyarakat akan bangkit untuk menentang perbuatanku. Tapi masyarakat ternyata begitu bodohnya. Bukan hanya rakyat jelata yang miskin dan rendah pendidikannya, tapi orang-orang kaya yang terdidik, bahkan pejabat dan wakil rakyat sudah datang ke padepokanku mempercayai semua tipuan-tipuanku. Baru hari ini aku puas, ada seorang mahasiswi datang membawa gunting rumput mau memotongku.
Terimakasih. Ternyata masih ada harapan, aku gembira sekali, ternyata masyarakat kita tidak tolol-tolol amat! Bawa aku pergi sekarang. Dengan rela aku akan ikut. Tempatku di dalam bui bukan di tengah masyarakat.
Aku kenakan lagi pakaianku. Lalu mencium tanah di depan kakinya, untuk menghormati mahasiswi yang gagah berani itu.
Jakarta, 22 Pebruari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar