CERPEN POLIGAMI – PUTU
WIJAYA
|
DI akhir 2006, sebuah SMS muncul di
HP hampir semua orang:
"Banyak jalan untuk mencari
pahala, kenapa harus berpoligami. Karena pasti ada yang tersakiti. Dan adil
hanyalah milik Allah serta para nabi. Hilang sudah teladan suami yang setia di
mata ibu-ibu. Masih pantaskah kita mendengar ceramahnya tentang keluarga
sakinah? (Gerakan ibu-ibu antipoligami, tolong sebarkan lagi pada ibu-ibu yang
lain)."
Ami buru-buru meneruskan pesan itu
ke teman-temannya. Pernikahan dai kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan
Alfarini Eridani (37 tahun) memang telah menjadi badai di kalangan perempuan.
Kaum ibu marah, beringas, ngomel dari pagi sampai malam hingga para suami
kebingungan.
Pernikahan itu seakan-akan
mengguncang semua rumah tangga, karena bisa jadi lampu hijau bagi suami mereka.
Sebelum kena getahnya, mereka pun berteriak.
"Kalau itu terjadi, aku
benar-benar tak siap, Kang!"
"Lebih baik aku mati daripada
dimadu, Bang!" kata seorang istri sambil melotot kepada suaminya.
Memang konon Teh Ninih, istri Aa Gym
yang pertama menerima peristiwa itu dengan lapang dada. Sebuah koran ibu kota
mengutip komentarnya:
"Ternyata setelah Aa Gym
menikah... luar biasa, tidak seperti yang selama ini ditakutkan orang."
Istri beranak 7 yang dimadu itu pun
konon menambahkan bahwa ia telah menerima banyak sekali SMS yang isinya
sebagian besar mendoakan agar dia sebagai istri bisa bersikap ikhlas atas
perkawinan kedua suaminya. "Yang berat dirasakan sejak lima tahun yang
lalu itu, ternyata tidak terjadi," katanya sambil tertawa kecil.
Ami kemudian menunjukkan SMS itu
kepada bapaknya.
"Apa komentar Bapak?"
tanya Ami.
Amat, bapak Ami, membaca SMS itu
berulang-ulang.
"Kok mikir Pak?"
Amat tersenyum.
"Lho kok senyum?"
Amat tertawa.
"Bapak ketawa melihat nasib
perempuan diperlakukan semena-mena seperti itu? Terlalu!"
Amat cepat-cepat memotong.
"Ami, aku berpikir, tersenyum,
dan, kemudian, tertawa karena aku prihatin."
"Prihatin terhadap nasib
perempuan di negeri kita ini? Atau bersimpati pada kedudukan perempuan di
seluruh dunia? Bagus!"
Amat kembali mesem.
"Prihatin terhadap nasib
manusia di negeri ini. Karena semakin jelas bahwa kita tidak mampu berpikir
yang jernih. Tidak bisa berpikir proposional!"
"Maksud Bapak?"
"Maksudku, coba dengarkan
baik-baik, Ami. Renungkan dengan mendalam dan tenang, jangan pakai emosi. Kita
ini 'kan masih dikepung oleh berbagai bencana dahsyat. Lumpur Lapindo belum
beres, di Kalimantan ada lagi lumpur panas muncrat. Masalah pajak, kebakaran
hutan, sejumlah menteri memberikan jaminan terhadap bekas menteri yang ditahan
karena diduga korupsi. Masalah RUU APP yang juga tak jelas bagaimana
penyelesaiannya. Begitu banyak soal. Kenapa ada orang kawin saja kita kok sudah
ribut tidak ketulungan? Memangnya enggak ada soal lain? Itu 'kan soal tempat
tidur orang lain? Masalah pribadi? Kok kita jadi ikut sewot?"
Ami ternganga.
"O, jadi Bapak setuju?!"
Amat cepat senyum lagi.
"Rasanya kamu belum menangkap
apa yang Bapak katakan!"
"Ah, apaan! Ami menangkap!
Bahkan mengerti semua yang belum Bapak katakan! Itu semua memang reaksi
rata-rata laki-laki yang menganggap semua penderitaan perempuan adalah
lelucon!"
"Sabar, Ami."
"Sabar apa! Bagaimana bisa
sabar kalau bapakku sendiri setuju dengan poligami!? Ya? Bapak setuju?!"
"Bukan begitu Ami. Coba tenang
dulu. Coba baca dengan pikiran waras beritanya. Yang kawin lagi itu 'kan
nampaknya sudah lama memikirkan hal itu bersama keluarganya. Dan setelah kawin
lagi, dia berjanji akan bersikap adil. Lagipula istrinya 'kan sudah menerima
dengan lapang dada. Di samping itu, banyak SMS yang bukannya menghujat tetapi
malah mengajak istri yang dimadu itu berjiwa besar! Jadi...."
"Nah betul dugaan Ami, Bapak
setuju poligami!"
"Bukan soal setuju atau tidak,
kamu keliru Ami. Ini 'kan persoalan pribadi mereka yang kawin itu. Tidak bisa
kemudian kebahagiaan kita yang dijadikan ukuran. Kalau orangnya senang-senang
saja, kenapa jadi kita yang repot?"
"Karena ini bukan hanya
persoalan mereka, ini adalah juga persoalan kita. Persoalan dunia! Dan
persoalan Ibu!"
Amat terkejut.
"Ibu?"
"Ya! Ibu menangis ketika
membaca berita ini. Bapak tidak tahu?"
"Ibu kamu menangis?"
"Bercucuran air mata!"
Amat nampak bingung.
"Masak Bapak tidak tahu?"
Amat menggeleng lemah.
"Lho, kenapa sampai tidak
tahu?"
"Kenapa? Ya, Bapak 'kan tidak
mau kawin lagi?!"
"Memang! Tapi jangan lupa,
kalau yang berbuat itu adalah tokoh masyarakat, figur publik, maka seluruh
tindakannya akan secara langsung menyangkut perasaan kita semua. Itu bedanya
antara orang biasa dan pemimpin. Orang biasa bebas berbuat apa saja, sebab dia
tidak merupakan panutan. Tapi seorang tokoh masyarakat, salah ngomong saja dia
bisa bikin sakit hati semua orang. Itu presiden Bush pernah salah ngomong waktu
menara kembar rontok, langsung dunia marah dan menghardik, sampai dia bilang
maaf. Benar tidak?"
Amat mengangguk.
"Makanya! Kalau mau seenak
perut sendiri, jangan menjadi tokoh masyarakat. Kalau mau jadi tokoh
masyarakat, harus berani memikul perasaan seluruh rakyat, jangan seenak udel
sendiri! Itu pelajaran SD, masak seorang panutan masyarakat tidak tahu?"
Amat termenung, lalu menjawab lirih.
"Tapi, itu berarti tidak
manusiawi, Ami?"
"Apa?!"
"Aku bilang tidak
manusiawi."
"Maksud Bapak?"
"Seorang pemimpin 'kan juga
manusia, manusia biasa seperti penyanyi rock itu?"
Ami langsung meledak.
"Tidak! Siapa bilang!"
"Lho, berarti kamu sendiri
sudah tidak manusiawi lagi Ami. Apa hak kamu menghukum pemimpin itu bukan
manusia biasa?"
Ami tambah jengkel.
"Bapak jangan debat kusir!
Takaran kemanusiaan seorang pemimpin beda dengan ukuran kemanusiaan rakyat
jelata yang tak punya tanggung jawab! Kalau rakyat ukurannya hanya satu digit,
pemimpin bisa seratus digit atau seribu bahkan sejuta digit. Kalau rakyat tidak
boleh bicara kasar, pemimpin pun jangankan bicara kasar, berperasaan kasar yang
tidak diucapkan pun salah!"
"Wah itu diskriminatif namanya
Ami!"
"Memang! Karena itu susah jadi
pemimpin. Tidak sembarang orang bisa memimpin. Yang tidak memenuhi syarat
langsung rontok karena proses seleksi alam."
"Itu tidak adil Ami."
"Keadilan itu berlapis-lapis
sesuai dengan kapasitas manusia, Pak. Itu dia yang tidak dipahami oleh para
pemimpin kita. Sebab kualitas mereka hanya rata-rata. Para pemimpin kita semua
masih terlalu sayang sama perasaan-perasaannya sendiri, padahal dia sudah
menjadi idola. Kalau begini caranya, seorang pemimpin besar seperti Gandhi
tidak akan pernah lahir di Indonesia. Kita akan terus menjadi anak ayam yang
kehilangan induk!"
Amat mau menjawab lagi, tapi Ami
langsung membentak.
"Sudah! Ami sudah tahu apa yang
Bapak simpan dalam hati. Dan Ibu juga tahu!"
Ami berbalik dan pergi.
Amat terkesima. Kata-kata Ami itu
sangat menggetarkan. Badannya gemetar. Ia cepat menoleh kanan dan kiri lalu
diam-diam mengeluarkan dompetnya. Sambil membalikkan badan ke arah tembok, ia
lalu memeriksa dengan teliti.
Muka Amat pucat-pasi setelah
mengetahui yang dicarinya tak ada lagi di situ. Keringat dingin segera
berleleran. Seperti cacing kepanasan Amat memeriksa lagi dengan lebih teliti.
Ia menumpahkan seluruh isi dompetnya. Tapi yang dicari sudah hilang.
Tengkuk Amat basah. Ia melirik ke
arah dapur. Terdengar bunyi air mendidih di teko. Amat segera berbalik hendak
pergi ke kamar. Tetapi begitu hendak melangkah, Bu Amat sudah menghadang di
depannya.
"Aduh, jantungku!" teriak
Amat terkejut.
Bu Amat tersenyum.
"Kalau dibiasakan terkejut,
memang nanti jantung lama-lama bisa kuat, Pak," kata Bu Amat sambil
tertawa kecil.
Amat takjub memandang istrinya.
"Ibu kok ketawa?"
"Habis, apa lagi yang bisa
dilakukan oleh seorang istri yang mencintai suami dan anaknya, kalau suaminya
memang menghendaki itu? Perempuan 'kan hanya akan bisa tersenyum dan
tertawa."
Peluh dingin tambah deras mengucur,
telapak tangan Amat ikut basah. Apalagi ketika Bu Amat mengulurkan foto janda
kembang genit di samping rumah yang telah menggoda Pak Amat. Tangan Amat
gemetar menerima foto itu.
"Fotoku dan Ami tidak pernah
Bapak simpan di dompet seperti ini. Ya 'kan Pak? Kalau sebelum dinikahi saja
tak mampu berbuat adil, apalagi kalau sudah dinikahi!"
Bu Amat tersenyum, menepuk pundak
suaminya, lalu kembali ke dapur.
Amat menatap kelu. Foto di tangannya
terasa membakar. Lalu ia melihat seakan sekujur tubuh istrinya basah oleh air
mata karena hatinya luluh.
Ami menghampiri bapaknya.
"Jadi Bapak akan mengikuti
jejak?"
Amat menyabarkan perasaannya.
"Ini tidak adil Ami."
"Tidak adil bagaimana? Sudah
jelas foto janda itu ada di dompet Bapak."
"Tapi, foto ibu kamu juga
bertahun-tahun aku taruh di dompetku dulu, sebelum kami menikah."
"O ya?"
"Ya. Bahkan bukan hanya satu
foto. Sampai sepuluh foto. Zaman dulu dompet itu besar-besar. Foto ibu kamu
yang bapak simpan itu juga semua ukuran kartu pos."
Ami mengangguk.
"Ya kalau 22 tahun yang lalu
saja 10 foto Ibu Bapak simpan di dompet dengan ukuran kartu pos, sekarang 'kan
mestinya sudah ratusan bahkan ribuan. Kok masih ada tempat buat foto janda
itu?"
Amat tak bisa menjawab. Ami pun tak
perlu jawaban. Ia tersenyum lalu meninggalkan Amat. Lelaki itu jadi salah
tingkah. Seakan-akan mata istrinya mengintip dari dapur, Amat lalu membuang
foto janda itu ke tempat sampah.
Malam hari di meja makan, Amat
mencoba memperbaiki kesalahannya. Ia mulai hendak berkicau memberikan alasan
kuat, mengapa foto janda itu tersesat ke dompetnya. Itu adalah ulah salah
seorang koleganya yang memang mau bikin lelucon yang tidak lucu.
Tapi belum sempat ngomong, Ami sudah
mendahului memukul.
"Ami tadi sudah riset satu
harian di lingkungan kita ini," kata Ami sambil tertawa kecil. "Jadi
di samping janda yang cantik itu, masih ada lagi janda lain yang beranak tujuh.
Hidupnya sangat susah. Ia benar-benar memerlukan perlindungan, karena usianya
sudah manula. Ada juga yang masih perawan, tapi kurang diurus keluarganya
karena tergolong autis, jadi hidupnya pasti akan merana. Barangkali Bapak bisa
memasukkannya ke dalam nominasi. Tinggal pilih mau perawan tapi autis, atau
yang beranak tujuh tapi manula, atau tetap janda cantik yang sebenarnya
hidupnya sudah makmur itu, biar kita ikut makmur?"
Amat terpaksa tertawa lebar untuk
menutupi malu.
"Sudahlah, lupakan soal foto
itu, itu 'kan olok-olok kawan bapak yang mau bercanda. Nih lihat apa yang ada
di dompet bapak sekarang," kata Amat sambil menunjukkan dompetnya yang
berisi foto Bu Amat dan Ami.
Tapi begitu Amat menggeber
dompetnya, Bu Amat berteriak.
"Aduh kenapa dibuang ke tong
sampah orang cantik begini!"
Bu Amat muncul sambil membawa foto
janda yang tadi dibuang Amat.
"Kenapa dibuang ke tong sampah
Pak? Kasihan, apa salahnya orang cantik. Kecantikan itu 'kan karunia yang harus
disyukuri? Mbok simpan di dompet lagi. 'Kan sudah bagus di situ."
"Tidak bisa!"
"Kenapa?
Amat menggeber dompetnya ke arah
istrinya.
"Karena di sini sudah ada kamu
dan Ami!"
Bu Amat tertegun. Ia memandangi
potret itu. Amat tersenyum lebar, berharap akan dapat pujian. Tetapi tiba-tiba
di luar perhitungannya, muka istrinya berubah. Merah padam dan menyemprot.
"Potretku hanya kebagian tempat
di dalam dompet? Ih! Puluhan tahun aku hidup menemani Bapak, mengurus rumah,
mengurus anak. Hadiahnya hanya jadi pajangan di dompet! Itu tidak adil!"
Amat terkejut.
Bu Amat merebut dompet itu dari
tangan Amat. Sebelum sempat dicegah, tangan wanita itu sudah merenggutkan foto
itu, lalu membentak dengan suara keras.
"Ini tidak adil! Harusnya
tempatku sudah ada di dalam sini!"
Bu Amat meletakkan foto itu di dada
Amat.
"Jauh di dalam sana sehingga
tidak bisa dijangkau lagi!!!"
Sambil menghentakkan kaki, Bu Amat
kemudian melangkah ke ruang tengah dengan kesal. Ami mengambil foto janda itu
dan kemudian memasukkannya ke dompet Amat.
"Berarti Ibu tidak berkeberatan
kalau tempatnya di sini, hanya saja harus ada jaminan foto Ibu dan fotoku ada
di ruang dalam dada Bapak!"
Ami kemudian membanting foto itu ke
meja, lalu mengikuti ibunya. Amat tak mampu mengatakan apa-apa. Tak lama
kemudian dia mendengar televisi disetel keras-keras. Lagu dangdut menghempas
keras seperti hendak meletupkan ruangan.
Amat berpikir keras. Perlahan-lahan
kemudian ia menyusul ke ruang tengah. Istri dan anaknya duduk bersebelahan,
memandang ke layar televisi. Tetapi Amat tahu pikiran mereka tertuju ke
arahnya.
Amat mendekati pesawat tv lalu
mematikannya. Setelah menarik nafas panjang, ia menatap anak istrinya dan
berkata lirih.
"Aku bersyukur. Anak istriku
marah dan menentang, hanya gara-gara sebuah foto. Apalagi kalau aku benar-benar
mau poligami. Itu berarti aku sangat berharga. Masih cukup berharga dan
berguna. Aku terharu dan bangga karena dipertahankan. Aku merasa diriku
sekarang berarti lagi dan dicintai. Terimakasih. Memang kalianlah, istri dan
anak yang harusnya bertindak tegas, sebelum seorang lelaki tersesat."***
Jakarta, 14 Desember 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar