Damai

DAMAI

monolog

Putu Wijaya



Di sebuah padang lepas, lautan rumput hijau merentang sampai ke kaki langit. Bunga-bunga semak liar, bergetar dikibas angin yang ramah dari penjelajahannya yang ribuan kilometer. Langit yang terbuka dengan warna biru yang medok, terang benderang, menurunkan hujan damai. Hidup terasa tenteram. Pekik burung yang menoreh angkasa merambat panjang memasuki telinga khewan-khewan yang mencari makan tanpa ketakutan.
Barangkali ketenteraman itu hanya sebuah lamunan. Memang. Namun keindahannya begitu nyata, sehingga kehadirannya sulit untuk ditolak. Memimpikannya saja, sudah cukup untuk sedikit meredam segala kecemasan yang semakin hari semakin gila dalam kehidupan nyata yang membuas ini, karena perang berkecambuk di mana-mana.
Tetapi aneh, walau hanya mimpi, kecantikan itu tetap saja sudah terjamah. Para pemimpin jeli yang memburu wilayah yang masih bisa dimanfaatkan, telah menciumnya. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara entakan kaki mendekat. Mula-mula hanya telinga-telinga rusa yang bergetar menyadari kehadirannya. Lalu serangga-serangga kecil menggetarkan sayap karena habitatnya terganggu.
Tiba-tiba ratusan ribu bahkan mungkin berjuta-juta kaki menapak ke atas padang, membawa wajah-wajah manusia yang sedang dahaga oleh berbagai harapannya tentang kedamaian, keadilan, kesejahteraan serta masa depan yang lebih bahagia. Semuanya bagaikan terhisap oleh magnit raksasa yang dipancarkan dari dia yang akan menyampaikan orasi.
Baru beberapa kejap, padang tak terbatas itu sudah tak punya ruang lagi. Di mana-mana wajah manusia yang penuh pertanyaan, memandang ke atas altar di tengah. Kepala-kepala mendongak seperti mau lepas dari lehernya, ketika aku naik untuk berbicara. Pekik-sorak gemuruh mengelu-elu. Semua mata nyalang membidik ke depan.
Dengan wajah sebersih bocah, nyaris tanpa dosa, aku berdiri di depan massa. Aku bagaikan sebatang pohon mengkudu dengan daun-daun yang gembur berwarna hijau rimba, menjanjikan penawar bagi seribu macam penyakit. Mataku yang adem membuat matahari tersipu, lalu menghindar ke balik awan-awan tipis, membiarkan peristiwa itu lewat sendirian dengan kodratnya.
Ketika kuangkat tanganku, seluruh padang mendadak mati. Tak ada lagi yang berani bertepuk dan berbicara. Bahkan nafas pun ditahan, takut menganggu ucapanku.
“Hari ini kita berkumpul lagi di sini untuk menyatukan tekad kita untuk menyerukan kepada seluruh dunia, kepada seluruh umat manusia, kepada saudara-saudaraku di seluruh dunia, di mana saja kini kau berada, dunia berada di dalam bahaya, kita semua sedang di tebing keruntuhan!”
Kuangkat tangan, seperti hendak mengangkat nasib buruk itu.
“Bangkitlah, saudaraku, waspada, bangunkan dirimu untuk menyongsong dunia yang lebih baik, yang lebih damai, sejahtera dan membahagiakan. Dengarkan suaraku, sebagai wakil dari hasrat batinmu yang mengharapkan masa depan yang lebih damai. Di masa lalu, seorang yang sangat besar, berjasa, luhur jiwa dan mulia perbuatannya telah mengucapkan sebuah tonggak yang sampai kini menjadi kajian dunia. Kata beliau: Perang adalah alat yang berguna untuk memelihara perdamaian dunia. Senjata, kekuasaan, pembunuhan diperlukan untuk membuat manusia takut kehilangan damai, sehingga ia akan senantiasa memuja, memeluk dan mengupayakan perdamaian sepanjang hidupnya. Perang adalah anjing penjaga perdamaian. Perang adalah benteng terakhir perdamaian.”
Orang-orang itu tertegun. Tak percaya pada apa yang mereka dengar. Aku sudah tahu, pertanyaan itulah yang akan melanjutkan ucapanku. Lalu kutembakkan suaraku kembali.
“Tetapi ini dulu, ratusan tahun lalu. Ketika kita semua masih lugu. Ketika banyak orang belum tahu. Sekarang aku sangsi, aku bertanya kepada diriku, sebab aku tidak bisa lagi bertanya kepada beliau. Lihatlah kenyataan di atas dunia ini. Perang di mana-mana tidak hanya membunuh para serdadu, tidak hanya melukai orang-orang bersenjata yang berperang. Perang zaman sekarang lebih banyak lagi melukai dan membunuh rakyat sipil, anak-anak, orang tua dan khususnya para perempuan. Benar tidak?”
Semua mengangkat tangan dan menjawab serentak.
“Benar!!!!!’
“Benar sekali! Seandainya beliau, tokoh sejarah dunia yang besar itu, sempat melihat betapa buasnya perang, aku yakin beliau tidak akan sampai hati mengucapkan apa yang sudah digariskannya dan menjadi panutan manusia untuk membenarkan peperangan sampai sekarang. Perang ternyata bukan anjing gembala penjaga perdamaian, tetapi anjing-anjing srigala liar yang gila yang kelaparan membunuh umat manusia lebih cepat, lebih keji. Perang adalah binatang liar yang menghancurkan perdamaian!”
Aku angkat suaraku lebih keras:
“Perang adalah binatang buas pemakan perdamaian!”
Bagaikan kena hipnotis, seluruh tangan terangkat dan mulut terkuak, melontarkan seruan yang sama:
“Perang adalah binatangt buas pemakan perdamaian!”
Mereka bersorak.
“Banyak orang bunuh-bunuhan, untuk merebut kemerdekaannya. Banyak orang berkelahi untuk menegakkan keadilan, membela kebenaran. Agar mencapai kesetaraan di masa depannya yang lebih baik. Banyak orang berkelahi untuk membela kemanusian yang diinjak kekuasaan. Lalu mereka mengangkat senjata, mengobarkan perang, untuk membunuh lawan sampai ke akar-akarnya. Tetapi sekali perang berkobar, dia akan menjadi mesin buas yang tidak puas hanya membunuh, perang juga akan memusnakan segala-galanya. Karena itu aku menentang. Aku mengangkat tangaku dan berseru: tidak!!!!”
Langsung semua memantulkan suaraku lebih keras:
“Tidak!!! Tidak!!! Tidak!!!!”
Tidak ada yang tidak setuju. Itu berarti jiwa mereka benar-benar merindukan damai. Tapi aku selalu curiga selalu ada udang di balik batu. Kutu-kutu busuk perang masih gentayangan
“Ingat saudara-saudara! Masih ada orang-orang di sekitar kita yang dengan pongah mengatakan bahwa Perang dan Damai adalah dua wajah di satu mata uang. Perang untuk damai, kata mereka. Damai hanya mungkin lewat perang, hasutnya menjual peperangan ke mana-mana! Maka tak heran kalau bagaikan narkoba, perang mulai menggigit, menjangkiti dan meracuni jiwa. Semua orang jadi gemar berperang! Kawula muda mudah beringas. Orang-orang tua cepat tersinggung. Semua mengepalkan tangan mau main pukul, main bunuh untuk mengakkan perdamaian, tak peduli itu salah-kaprah. Aku jadi muak! Dengar: Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai bertentangan! Ayo, sebagai manusia yang sadar dan beriman, sebagai manusia yang masih waras yang mencintai sesama sesuai dengan perintahNya, katakan sama-sama seratus kali dengan suaramu yang mantap, gegap-gempita: Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai, bertentangan!”
Mereka serentak berkoar:
“Perang adalah perang, damai adalah damai. Perang dan damai bertentangan!”
Pada seruan yang kesembilan, aku menarik nafas lega, lalu mengangkat tangan membungkam suasana. Kembali lautan padang hijau itu hening sepi. Semua menanti. Tetapi tepat ketika tercipta lorong sunyi itu, nyeletuk suara anak anak kecil tajam.
“Perang adalah damai, damai adalah perang, dua kubu yang selalu bertemu!”
Suara itu tidak keras, tetapi isinya yang menantang. Semua langusng memalingkan muka. Siapa dia? Seorang pelajar dengan buku-buku pelajaran di tangan, baru pulang dari sekolah, mulutnya masih hangat, terpukau oleh ucapannya sendiri.
“Perang dan damai, satu kubu yang selalu bertemu!”
Aku membentak
“Salah! Perang dan damai, dua kubu yang pantang bersatu!”
“Satu kubu yang selalu ketemu!”
Aku terperanjat. Mataku menyala-nyala.
“Sialan. Siapa kamu? Kemari!”
Pelajar itu menguakkan massa, lalu naik ke mimbar.
“Apa kamu bilang? Dengar baik-baik! Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai dua kutub yang tidak pernah bertemu!”
“Dua kutub yang selalu ketemu!”
“Bego! Tidak pernah ketemu!”
“Bertemu!”
“Tidak!”
“Bertemu!”
“Tidak!”
“Bertemu!!!!!!!”
Plak! Aku gampar. Anak itu tumbang ke tanah. Buku-bukunya berserak.Tapi dia terus berteriak:
“Perang dan damai selalu bertemu!”
“Bangsat, keblinger kamu!! Guru kamu busuk! Perang dan damai tidak bisa ketemu!”
“Selalu ketemu!”
“Tidak!
“Ketemu!”
“Tidak!”
“Ketemu”
“Tidak!”
“Ketemuuuuu!
“Brengsek!”
Aku cabut pistol. Tapi anak kecil itu tidak takut. Ia malah tambah berkoar:
“Perang dan damai dua kutub yang selalu ketemu!”
“Bangsat! Tidak ketemu!”
“Ketemu!”
“Tidak!”
“Ketemu! Ketemu! Ketemu!!!!
Dor. Dor! Dor! Aku terpaksa menembak.Tiga kali ledakan pistolku mencabik Lalu padang itu tiba-tiba terasa sunyi. Bahkan terlalu sunyi. Aku meniup asap pistol, memasukkan senjata itu kembali ke sarungnya.
“Saudara-saudara, sadarlah, dunia dalam bahaya. Perang memusnahkan segala. Bangkit segera. Serukan dengan keras: Perang adalah perang. Damai adalah damai Perang dan damai dua kutub yang tidak boleh bertemu. Ulurkan tanganmu, pegang tanganku, bersama-sama kita songsong dunia baru! Damai lewat perang adalah jurang kehancuran! Damai lewat pembunuhan adalah kebiadaban! Damai lewat kekerasan adalah kebiadaban! Damai lewat lautan darah adalah kesesatan! Damai harus tanpa senjata! Tanpa darah! Damai tanpa benci! Damai tanpa kemenangan. Damai tanpa kekalahan. Damai abadi! Bunuh perang sampai mati!”
Massa tak bisa lagi membendung diri. Semuanya memekik histeris.
“Damai abadi, bunuh perang sampai mati!”
“Perang mati, damai abadi!”
“Damai abadi, perang bunuh mati!”
Seruan memekik-mekik memenuhi padang. Menghentak-hentak mengapai matahari. Lalu aku turun, berjalan menembus padang ke kaki langit, sambil menghunus senjata. Akan aku tembah siapa saja yang berani menghalangi damai. Semua mengikuti bagaikan sebuah sungai raksasa, mengalir sambil memekik-mekik histeris:
“Damai tanpa senjata, damai tanpa darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa kekejaman, damai tanpa pembunuhan , damai tanpa peperangan! Damai abadi, perang bunuh mati! Damai abadi! Perang bunuh mati! Damai abadi! Bunuh perang sampai mati!”
Perlahan-lahan padang itu kembali sunyi. Rumput-rumput rebah diam-diam meregang untuk tegak. Serangga yang menghilang, mulai berhamburan ke sarangnya yang sudah porak-poranda terinjak. Kijang-kijang yang ketakutan muncul dari balik semak-semak mencium-cium amis bau darah.
Di atas mimbar tubuh pelajar kecil itu terbaring bersimbah darah. Buku-buku yang berserakan di sekitarnya seperti meratap sia-sia. Kepalanya pecah. Di bibirnya masih menggeliat sisa-sisa perkataan yang belum semua berhasil ia ucapkan. Namun semua itu tertutup oleh nyanyian perdamaian yang sayup-sayup terus menggeliat di atas wajah pelajar yang telah kaku:
“Damai tanpa senjata, damai tanpa darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa pembunuhan, damai tanpa peperangan, damai abadi, damai tanpa kekerasan… dstnya.”


Cirendeu, 27 November 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar