YOGYA TERSEDU
monolog
oleh:
PUTU WIJAYA
DI DEPAN ADA KEMBANG MERAH RAKSASA. DISEMB UNYIKAN. (NANTI AKAN DIKEREK NAIK) ATAU DI ATAS TAK KELIHATAN, (NANTINYA TERULUR KE BAWAH).
SEBUAH KURSI SEDERHANA DAN SEBUAH MEJA BERISI TUMPUKAN KORAN.
PAK AMAT MEMBACA HEAD LINE-HEAD LINE KORAN LALU MELETAKKANNYA DI LANTAI. SAMBIL MEMBENTANGKAN SEBUAH KORAN, KEMUDIAN IA BICARA KEPADA PENONTON.
Giliran Yogya dan sekitarnya meratap. Empat kali gempa mematuk sejak jam 5 pagi Jumat 27 Mei, dengan kekuatan 5,9 skala richter. Serangan dari Lautan Hindia itu, pada hari ketiga telah menelan korban 4000 orang. Seperti amukan tsunami di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, perumahan penduduk rata dengan tanah.
Bandara Adhi Soetjipto, beberapa situs purbakala rempal, 40 ribu rumah hancur.
Kembali Indonesia tersedu. Istri seorang penyair gentayangan ke sana- ke mari mencari sumbangan untuk meringankan beban saudara-saudara dari Mataram itu. Bantuan dari luar negeri sudah mengalir masuk. Iwan Abdul Rachman, penggubah lagu Flamboyan, kontan kirim mobil merahnya yang penuh dengan keperluan pertolongan pertama. Tetapi pemerintah belum mengumumkan musibah itu sebagai bencana nasional.
Apa sebenarnya dosa kita, kenapa sampai disiksa beruntun seperti ini, kata seorang juru rias di studio TVRI. Tak sadarkah para pemimpin kita kepada janji-janji dan rayuan gombalnya di masa Pemilihan Umum, bahwa mereka akan menuntaskan amanat penderitaan rakyat. Tetapi kenapa sampai sekarang para koruptor semakin bebas gentayangan dan premanisme yang menghina hukum dibiarkan saja semakin merajalela, sehingga rakyat terpaksa melindungi dirinya sendiri?
Sementara itu, seorang aktor mencoba melihat dari sudut lain.
Kita hancur lebur sekarang diserang virus perpecahan. Tetapi akibat gempa, kita dapat peran baru. Isyu pornografi, buruh, premanisme, meredam karena datangnya Sang Bencana. Kita memang dilanda malapetaka, tetapi juga diselamatkan. Dengan mendapat peran baru, tak berarti kita bersorak atas keperihan Yogya, hanya sekedar punya semangat melawan!
BERDIRI
Aku, Pak Amat lalu memanggil Ami, putriku.
Amiiiii! (MELIPAT KORAN) Ami, batalkan kepergianmu ke Yogya!
Ami terkejut. Bapak kok ngomong begitu? Sudah baca koran?
Sudah!
Korban sudah tambah banyak. Kemungkinan ada gempa susulan!
Makanya jangan ke Yogya!
Lho kenapa? Bapak mengira saya takut? Hah! Kenapa takut! Menolong saudara-saudara kita yang kena bencana itu bukan perbuatan tercela, kenapa harus takut!
Bukan kamu, aku, bapakmu ini yang takut!
O jadi Bapak yang takut!
Ya!
Jadi Bapak maunya saya terus tinggal di rumah saja, karena saya perempuan? Masak di dapur, mencuri, meladeni suami? Kuno Pak!
Ami!
Sorry Pak! Itu bukan hanya kuno tapi primitif! Perempuan sekarang tidak seperti perempuan-perempuan di zaman Ibu Kartini. Kami sekarang bisa melakukan apa saja yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan sekarang sanggup dan berani tidak seperti di zaman Bapak, kami bukan perempuan yang hanya jadi pajangan dan budak dalam rumah tangga! Saya tetap akan berangkat utas nama solidaritas kemanusiaan. Walau pun kita tidak ada hubungan saudara! Walau pun kita berbeda kepentingan, bahkan walau pun kita berbeda agama! Di dalam suka-dan duka kita harus tetap bersatu! Kami tidak mau mengulangi cara berpikir kaum tua yang hanya mementingkan golongan sendiri, partai sendiri, bahkan agama sendiri! Kita harus bersatu! Kalau Bapak tidak setuju terserah! Kalau Bapak tidak mau memberi uang sangu, biarin! Simpan saja duit Bapak! Ami akan berusaha sendiri, kalau perlu jalan kaki!
Aku tercengang. Ami kelihatan marah sekali. Masih banyak yang mau disemburkannya, untung istriku, Bu Amat, keburu muncul melerai.Sudah, sudah, Ami, kamu boleh berangkat. Jangan dengarkan kata Bapak. Bapakmu itu memang kuno. Kalau Bapak tidak mau ngasih ongkos, biar Ibu yang menanggung. Sudah tenang!
Tapi Bapak harus mengerti!
Sudah Ami, kalau Bapakmu tidak mengerti nanti Ibu yang jelaskan. Kalau sudah dijelaskan belum mengerti juga, kita tinggal. Sudah, kamu berangkat ke kampus dulu!
Dengan menghapus air mata kekesalannya yang mendadak keluar, karena terharu oleh dukungan ibunya, Ami pergi sambil menyeret rasa kesal. Istriku mengantarkan Ami sampai ke pintu pagar dan menepuk-bepuk pundaknya. Aku hanya bisa memandang. Aku masih kaget, karena dibentak begitu oleh anak perempuan yang paling aku sayangi. Memang anakku cuma satu.
Lama Aku termenung. Ketika istriku masuk, aku masih tercenung. Ami sekarang sudah dewasa, Pak, kalau bicara hati-hati. Kalau mau melarang, juga jangan membentak seperti waktu dia masih kecil. Ada caranya!
Aku membantah.Siapa yang melarang? Aku tidak melarang kok! Aku hanya ngasih ntahu! Aku bangga dia punya kemauan sendiri untuk pergi ke Yogya, membantu mereka yang terkena bencana di sana. Itu tanda hatinya mulia.
Kalau begitu kenapa dilarang? Teman-teman Ami semuanya ikut. Jadi izinkan saja dia berangkat, Pak. Jangan dihalang-halangi lagi Kalau sampai tidak ikut, Ami akan malu. Dia akan dicap penakut atau tidak punya kepedulian kepada sesama. Sudah izinkan saja, Pak!
Lho, aku tidak melarang, Bu. Menolong itu perbuatan yang terpuji. Sudah aku bilang, aku bangga, ketika mendengar dia mau berangkat ke Yogya. Tapi…. .
Sudah jangan khawatir soal biaya. Ambil saja uang tabungan. Kalau kita ikhlas, nanti pasti akan ada rezeki lain untuk beli mobil. Berbuat baik itu mendatangkan pahala. Berbuat baik itu besar pahalanya. Kalau kita relakan uang tabungan untuk menolong orang, nanti datangnya akan berlipat ganda. Bahkan kalau uang tabungan masih kurang, jangan takut, cincin kawinku tadi sudah tak gadaikan, biar Ami tetap bisa berangkat.
Apa? Cincin kawin digadaikan? Ya Tuhan !
Demi kemanusiaan, Pak! Pahalanya besar!
Itu dia yang tidak aku suka! Jangan berangkat ke Yogya mau menolong saudara-saudara yang terkena bencana, karena harapan akan mendapatkan pahala! Itu namanya dagang! Kalau umpannya besar, hasilnya besar? Memangnya mancing! Tidak! Apalagi kalau Ami berangkat itu karena malu sebab teman-temannya semua mau berangkat. Itu namanya ikut-ikutan! Salah! Jangan berangkat ke Yogya hanya karena mau menjadi pahlawan! Batalkan niat buruk itu! Kalau mau jadi pahlawan, jadi pahlawan dulu di rumah! Tanpa kemampuan apa-apa kok mau datang-datang ke tempat bencana, paling banter nanti di sana pionsan, ngerepotin orang! Mau jadi turis apa? Mau cari publikasi? Tidak! Ami tidak boleh berangkat ke Yogya!
Istriku tercengang. Belum pernah ia melihat suaminya marah seperti itu. Bahkan dulu ketika bekas pacarnya datang mau coba-coba menggoda lagi, aku hanya senyum, kontan dia berbalik kabur dengan ekor yang dilepit.
Tapi kemudian dia mengindoktrinasi Ami. Bapakmu itu sudah mulai tua, pikirannya sudah mulai jamuran. Kamu tidak boleh menyerah, Ami. Ibu tahu bagaimana caranya menjinakkan macan tua itu. Diam saja, Ibu sudah puluhan tahun tidur dengan dia, Ibu tahu rahasianya. Nanti dia akan menyesal sendiri.
Ami termenung. Jadi Bapak melarang Ami pergi, karena menyangka Ami mau jadi pahlawan?
Nggak usah didengarkan, Ami!
Ami juga tidak ke Yogya untuk cari pahala! Ngapain!
Sudah jangan pikirkan itu! Bapakmu itu memang pintar cari alasan untuk melarang. Dulu waktu melarang Ibu yang mau bekerja jadi sekretaris, bapakmu itu juga pinter sekali. Aku bukannya melarang, katanya, aku hanya merasa malu sebagai lelaki membiarkan istriku sampai banting tulang, padahal aku masih sanggup bekerja. Begitu! Akibatnya Ibu jadi tidak enak, lalu batal. Coba kalau dulu Ibu terus jadi sekretaris, barangkali sekarang sudah jadi direktur dan bisa membeli mobil seperti yang dicita-citakan Bapak kamu itu. Sekarang dia baru menyesal
Ami mengerling ibunya. Kalau Ami jadi Bapak, Ami juga akan melarang Ibu jadi sekretarisnya. Tapi alasannya bukan itu. Alasannya, karena Ibu genit!
Ami!
Aku jadi ketawa. Amiiiiii! Duduk sini dekat Bapak. Aku sodorkan kursi pada Ami
MENYODORKAN KURSI KEPADA AMI.
Coba perhatikan pohon kembang sepatu di pagar itu. Kamu lihat bunganya ? Merah, segar dan indah sekali kan?! Beda sekali dengan kemaren. Kemaren kembang sepatu itu masih pohon liar. Tanpa diundang, bibitnya diihembus angin entah dari mana, jatuh di sini lalu tumbuh liar. Bikin kumuh. Tadinya mau bapak tebas supaya jangan mengundang ular, tapi kemudain bapak kasihan , sebaliknya dari motong, bapak lalu bersihkan dan siram. Ehhh tahu-tahu hari ini tiba-tiba dia berbunga.
BUNGA MERAH UKURAN RAKSASA ITU TURUN/NAIK, NAMPAK SANGAT MENCOLOK.
Indah, ajaib, spektakuler, tak terbayangkan, misterius! Lihat Ami! Ami melihat ke pagar tapi tidak menjawab. Cerita itu sama sekali tidak tidak ada artinya. Baru waktu aku keluarkan sebuah sebuah amplop dari kantung baju lalu aku ulurkan kepadanya (MENGELUARKAN AMPLOP DATI KANTUNG) dia takjub. (KETAWA) Ami, jangan kamu sangka bapak tidak punya kepedulian sosial. Ini tabungan yang sudah Bapak kumpulkan selama 5 tahun untuk bisa mencicil mobil bekas, Bapak tarik semuanya untuk membiayai perjalananmu ke Yogya. Berangkatlah besok.
Ami bengong. Untuk Ami?
Ya! Ongkos ke Yogya!
Kenapa?
Sebab setelah bapak bicara dengan Ibumu panjang lebar, beli mobil, bisa ditunda! Kita tidak akan mati karena tidak punya mobil kan? Yang penting kamu harus bantu saudara-saudara kita yang menderita di Yogya!
Tapi sebenarnya Ami berangkat ke sana bukan untuk membantu mereka. Itu alasan saja. Ami tidak punya keahlian apa-apa untuk menolong orang yang kena musibah. Lihat darah saja Ami sudah pusing.
Tidak apa! Kamu nanti akan sendirinya berani kalau sudah menghadapi kenyataan di lapangan. Pasti akan baik untuk kamu.
Baik untuk saya, tapi mungkin tak baik buat mereka. Karena menolong, pasti Ami akan dapat pahala. Tapi mereka? Mereka tak akan dapat pertolongan Ami, sebab sampai di sana Ami hanya kakan jadi turis dan merepotkan. Bisa-bisa Ami malah sakit di situ dan menambah tanggungan Sultan.
Omong kosong! Itu kan dalih bapak untuk menghalang-halangi kamu. Bapak sebenarnya hanya mau menguji. Apa tekadmu teguh atau hanya sekedar ikut-ikutan? Hebat kan?!
Tekad Ami tidak teguh, Pak. Ami ke sana hanya mau mengejar publikasi, Pak. Di samping itu, kalau tidak ke sana, Ami malu dikatain teman-teman penakut dan tidak punya komitmen sosial.
Ami!
Betul, Pak, Ami jujur!
Jujur?
Ya, Ami jujur!
Bohong! Sudah jangan banyak cingcong, ambil uang ini! Bapak rela kok! Ini! Setidak-tidaknya, kamu mewakili bapak. Mewakili keluarga kita. Hanya sepuluh juta. Tapi cukup kan? Cukup!!!
Ami menimang-nimbang amplop seperti tak percaya..
Kalau Bapak hanya mau menyumbang, tidak perlu Ami ke Yogya, besok bisa Ami antarkan ke dompet sumbangan yang dibuka di mana-mana.
Jangan. Itu untuk biaya kamu ke Yogya!
Akan lebih berguna kalau disumbangkan.
Tidak! Itu untuk kamu!
Tapi Ami tidak jadi ke Yogja!
Tidak jadi? Kenapa?
Ami tersenyum, lalu menyerahkan dompet itu kembali. Setelah merenung-renungkan, alasan Ami ke Yogya memang bukan alasan kemanusiaan tetapi karena ikut-ikutan. Untuk apa! Penderitaan saudara-saudara kita di Yogya itu jauh lebih penting dari sekedar berita-berita selebriti, berita pejabat dan berita tokoh-tokoh masyarakat yang mempergunakan bencana Yogya untuk menambah popularitasnya. Ami tak pingin seperti mereka!
Ami mendorong amplop itu ke tanganku seperti memasukkan peti mati ke dalam lubang lahat,. Aku kecewa sekali. Kamu mengecewakan Bapak, Ami!
Kalau Bapak mau melihat keputusan Ami ini dari sudut lain, Bapak harusnya mengatakan Ami sudah membantu bapak, karena tidak ikut mencemarkan bencana Yogya untuk kepentingan pribadi.
Mencemarkan bagaimana maksudmu?
Mempergunakan bencana itu sebagai alat memuaskan diri sendiri.”
Memuaskan diri-sendiri bagaimana?
Seperti yang sudah Ami katakan tadi!
Ami, Ami, Ami! Kalau begitu kamu tidak mengerti apa yang bapak ceritakan tadi tentang pohon kembang sepatu yang berbunga di pagar itu. Lihat baik-baik! Dahsyat kan?!
Maksud Bapak?
Apa kamu tidak merasakan, bagaimana pohon liar itu tiba-tiba berbunga mendadak, karena Bapak perhatikan dan sirami. Saudara-saudara kita di Yogya itu juga begitu. Bantuan tenda, obat-obatan, kendaraan, bahkan duit dan makanan, sudah mengalir berabrek-abrek dari berbagai jurusan, bahkan nanti mungkin berlebihan. Kalau kamu menyumbang seperak dua perak tidak ada gunanya. Tapi kalau kamu ke sana unjuk muka, bicara dengan mereka, langsung menolong mereka, meskipun hanya sekedar memegang kakinya, atau pinsan sekali pun, kamu sudah akan membantu perasaan mereka. Mereka yang kehilangan dan mungkin sudah habis saudaranya karena bencana itu, akan sadar bahwa ia masih memiliki saudara, meski pun tidak lahir dari satu orang tua, tidak satu suku bahkan bukan satu agama. Kehadiranmu akan mengobati luka hati mereka yang tidak akan bisa diobati oleh dokter, tidak bisa dipulihkan oleh makanan atau duit, bahkan juga oleh negara.! Jadi ini, ambil ! Berangkat besok! Jangan bikin bapak malu!
Baru, Ami tak bisa menolak, juga tak bisa menjawab. Serangan itu begitu tiba-tiba. Aku menepuk-nepuk pundaknya sambil tersenyum, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ami bingung.
Kenapa Ami, tanya istriku yang baru keluar dari dalam rumah.
Ami menunjukkan amplop di tangannya.Bapak mengusir supaya Ami ke Yogya besok.
Apa?
Bapak menyuruh Ami mewakili keluarga untuk menyampaikan solidaritas kita kepada saudara-saudara kita di Yogya, agar mereka terus ingat, bahwa mereka tidak sendirian. Kita selalu bersama-sama.
Istriku tercengang. Jadi bapakmu setuju?
Ya.
Kenapa?
Ami menarik nafas dalam, lalu menunjuk ke pagar. (MENUNJUK EK BUNGA)
Kamu menunjuk apa?
Ibu lihat pohon kembang sepatu di pagar itu?
Ya.
Kata bapak, itu pohon liar hampir saja ditebang
Bapakmu itu tahu apa soal pohon. Itu bukan pohon liar. Itu kembang sepatu yang ibu tanam
O ya?
Ya!
Oke, tak apa. Tapi pohon itu tidak pernah berbunga kan?
Betul!. Ibu juga kesal!
Kemaren, Bapak melihat pohon itu. Dia bilang mau memangkasnmya. Tapi kemudian Bapak berubah pikiran, lalu membersihkan tanaman liar di sekitarnya dan kemudian menyiraminya.
O ya? Tumben, Bapakmu dapat angin apa?
Bapak juga tidak tahu. Bapak bilang tiba-tiba saja ia kasihan, lalu ingin menyiramnya. Dan begitu disiram, begitu mendapat perhatian Bapak, tiba-tiba kembang sepatu itu berbunga sekarang. Lihat, bunganya bagus sekali kan?! Jadi kata Bapak, perhatian itu adalah tenaga yang dahsyat yang dapat mengubah apa saja. Jadi kalau Ami berangkat ke Yogya, meskipun Ami tidak bisa menolong apa-apa nanti di sana, kehadiran Ami saja, akan membuktikan kepada saudara-saudara kita itu, bahwa mereka tidak sendirian. Mereka masih punya saudara di seluruh Iondonesia yang selalu akan mendampingi mereka setiap saat dalam suka dan duka. Bagus kan? Bagus sekali perumpamaan itu, kan, Bu!
Istriku takjub.
Bagus kan Bu?
Ya.
Dengan cerita itu, rasa takut Ami untuk berangkat ke Yogya hilang. Ami berangkat ke sana tidak untuk mendapat pahala, bukan untuk mendapat publikasi, bukan juga untuk menjadi pahlawan, tapi hanya silaturahmi, karena itulah yang kita perlukan, sejak Bhineka Tunggal Ika banyak dilecehkan. Ami jadi berangkat, Bu! Ami siap-siap dulu sekarang!
Ami memeluk ibunya, mencium kedua pipinya, lalu masuk ke rumah. Istriku bengong. Ia mendengar suara kopor yang jatuh dari lemari karena Ami menariknya dengan tergesa-gesa.
Aku keluar lagi ke teras menghampiri istriku sambil tersenyum. Bu, setelah aku pikir masak-masak, untuk apa beli mobil, kalau tidak perlu. Tapi menjaga kehormatan itu penting. Keinginan Ami ke Yogya itu didorang oleh niat mulia, untuk kemanusiaan. Anak muda sekarang kebanyakan sudah tidak peduli lagi soal bangsa dan negara, karena yang dipikirkannya kepentingan pribadi. Jadi niat Ami itu punya kesadaran sosial yang sangat penting. Harus didukung. Pahalanya juga memang besar. Jadi aku setuju! Ami berangkat besok! Setuju?
Memang sejak awal aku setuju. Tapi soal pohon kembang kertas di pagar itu…
O itu? Ami sudah menceritakan tadi?
Sudah.
Bagus. Lihat! (MENUNJUK KE KEMBANG) Pohon yang tadinya mau aku tebang, setelah aku sirami, tiba-tiba berbunga! Itu bahasa alam! Kalau tidak ada kembang sepatu itu, Ami sudah memutuskan tidak jadi pergi dan dia akan benar-benar malu dan rendah diri untuk seterusnya. Mulai besok aku akan menyirami kembang sepatu itu terus menerus, supaya berbunga lagi. Alam memang memberikan tuntunan moral. Aku tak habis pikir. Masak hanya karena diberi perhatian dan satu kali disiram kembang sepatu itu berbunga begitu cepat dan bagus? Jadi arti perhatian itu hebat. Ya nggak, Bu?”
Memang!
Ajaib kan?!
Memang ajaib.
Istriku menghampiri kembang sepatu itu. lalu berkata: Sudah berapa bulan aku tanam, kok kembang sepatu itu tidak mau berbunga seperti milik tetangga. Aku jadi keki. Akhirnya kemaren aku penasaran, aku pergi ke toko, aku beli bunga plastik dan aku pasang di batangnya untuk mancing supaya dia mau berbunga. Dan sekarang suamiku menyangka pohon itu berbunga karena kasih-sayangnya!
AMAT TERKEJUT MENGHAMPIRI KEMBANG DAN MEMETIKNYA. TERNYATA MEMANG HANYA PLASTIK. DIA BENGONG.
Aku terkejut.
Amiiiii! Kemari cepat!
Ami muncul menenteng kopor.
Ada apa?
Kembalikan amplop duit bapakmu.
Kenapa?
Pokoknya kembalikan. Itu bukan pemberian ikhlas. Kembalikan!
Ami bingung. Tapi kemudian melihat mata ibunya melotot, dia mengambil amplop dan mengembalikan padaku. Aku merasa seperti pita tape yang diputar balik. Tapi aku tidak kehilangan akal. Setelah aku terima, amplop itu kudorong lagi ke tangan Ami.
Ami, kalau kembang plastik saja sudah sanggup menjungkir-balik pikiranku yang tadinya materialistik menjadi berkesadaran sosial tinggi, apalagi kehadiran kamu, yang jauhnya seribu kilometer dari lokasi bencana dan kamu berani mengorbankan tabungan lima tahun hanya untuk menemani mereka yang kehilangan di Bencana Yogya itu. Itu obat yang lebih mujarab dari makanan , uang dan rumah! Kamu mutlak harus berangkat ke Yogya. Pahlawan memang sudah banyak, tapi tambah satu apa salahnya, tidak akan menyebabkan inflasi! Berangkat!!!
Jakarta 29 Mei 2006 - 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar