HADIAH PERNIKAHAN PERAK
monolog
Putu Wijaya
Untuk merayakan ulang tahun pernikahan perak, aku pergi ke toko swalayan yang terbesar. Hasrat ingin membeli sesuatu untuk dihadiahkan pada istri. Tapi begitu masuk dengan mengantongi seluruh tabungan selama 10 tahun yang siap dibelanjakan, aku bingung.
Semua barang kelihatannya bagus. Tapi begitu mau dibeli, semua kelihatan jelek. Aku jadi terjepit. Tidak tahu apa yang harus dibeli. Takut salah. Tidak mau keliru. Sejak pertokoan dibuka, aku sudah masuk, tapi sampai menjelang malam, aku belum berhasil memilih, apa hadiah yang tepat.
Tidak ada pilihan sudah susah, tapi terlalu banyak pilihan juga tambah ruwet. Karena takut menyesal, aku menenangkan pikiranku dengan makan enak. Tapi setelah makan sangat enak, kenyang dan puas, pilihan itu belum juga kunjung tiba. Lalu aku memutuskan, mungkin itu semua sudah tertulis di dalam skenario bahwa tak ada hadiah yang cukup bagus, lebih bagus dari niat yang tulus yang ada di dalam hati.
Jadi aku tidak jadi membeli apa-apa. Uang di dalam kantong aku bawa pulang kembali tanpa kurang sekepeng pun. Mungkin tidak harus membeli apa-apa. Karena semua barang-barang yang dipajang di situ dari yang paling murah sampai yang paling mahal, dari yang biasa sampai yang teraneh, tidak ada yang sanggup untuk mewakili perasaan yang ingin aku tumpahkan dengan hadiah itu.
Jadi, bagaimana kalau uang ini saja yang aku serahkan. Dengan uang ini, kamu bisa memilih hadiah apa saja yang paling kamu inginkan. Sebab sebagus-bagus pilihanku, semahal-mahal harganya, kalau kamu yang menerima hadiah tidak cocok, akhirnya hadiah akan mubazir. Jadi terimalah amplop ini. Jangan isinya yang dilihat, tidak usah dihitung, rasakan saja niat baik di dalamnya.
Amplop ini mewakili seluruh rasa hormatku, penghargaanku kepadamu. Ketika memikat kamu untuk jadi pacar, aku bersaing dengan puluhan leaki-laki yang memiliki begitu banyak kelebihan. Bersaing bebas mestinya aku pasti akan kalah total. Di atas kertas aku tidak punya nomor antrean. Kartuku kartu mati. Tidak punya trah, tidak punya warisan, tidak ada pekerjaan, tanpa masa depan dan tidak ada yang bisa dibanggakan. Tampangku juga mirip salah satu anak Semar. Aku orang kecil dari dusun yang terlalu biasa. Tidak punya kans.
Tetapi aku menjadi istimewa, karena kamu memilihku. Kamu yang membuat aku jadi menang, sehingga puluhan sainganku itu yang tadinya tidak melihatku dengan sebelah mata, jadi kaget. Mereka semua terpukau. Heran kenapa mereka kalah dan takjub kenapa aku yang berhasil menggondol kamu. Mereka menuduh aku sudah main pelet. Memang bener aku pernah berniat untuk pakai jalan belakang. Bagaimana merebut kamu tanpa rupa, tanpa harta lewat jasa dukun. Tapi modalnya darimana? Dukun-dukun sekarang mahal, mereka minta Mercy Sport. Tak mungkinlah. Kepalaku dijual juga tidak cukup untuk beli peleknya.
Ada yang menduga aku punya sabuk. Tapi sabuk apa? Kalau kata punya, sudah lama aku jadi caleg. Atau meraup duit jadi markus. Aku bersaing dengan tangan kosong. Kamu yang membuat tanganku yang kosong itu jadi berisi. Cinta barangkali yang sudah membuat kekosonganku menjadi berarti. Kamulah bukan aku, kamulah yang kemudian membuat mereka kagum, karena tanpa punya apa-apa aku berhasil menggaetmu. Itu yang namanya seni. Kreativitas.
Tapi setelah menjadi istriku, aku tak sanggup membahagiakan kamu. Puluhan tahun kita tinggal di rumah tua ini. Tak ada kendaraan. Tidak punya tabungan. Makan saja selalu dikerubuti dengan rasa cemas setiap hari, bisa makan atau tidak. Apalagi setelah kita punya anak. Entah bagaimana jalannya, kita lakoni semuanya. Sejak melahirkan, sampai membesarkan anak, lalu jadi mahasiswi seperti sekarang, kita dapat saja uang. Tidak besar. Tapi kita tidak pernah hutang. Hidup kita begitu sederhana, tapi tidak diuber-uber oleh penagih hutang.
Kamu selalu tabah. Ada, kamu senyum. Tidak ada, kamu juga tetap ketawa. Keceriaan kamu itu membuat aku sebagai laki-laki tidak tertekan. Lelahku hilang, kalau sudah sampai di rumah karena melihat kamu senyum. Tak sekali pun kamu pernah membandingkan aku dengan laki-laki lain. Kamu terima aku dengan seluruh kekuranganku. Bahkan kalau aku sampai kelu langkah, karena sama sekali tidak berdaya, dengan tetap hati kamu membantu. Kamu berikan aku dorongan, untuk menghadapi semua tantangan dengan sabar.
Kamu bikin kosongku jadi berisi.
Lama kita tidak punya anak. Ada orang baru setahun menikah, sudah cerai, karena belum punya keturunan. Mereka saling tuduh. Tapi kita, sepuluh tahun, kamu tenang saja. Keluargamu menyindir-nyindir kapan, kapan, kamu hanya senyum. Dan ketika keluargaku juga ikut main gerpol kasak-kasuk kamu mandul sambil mencarikan aku jodoh baru. Kamu tak peduli. Matamu terus hanya melihat ke depan dengan tabah.
Dokter kemudian menetapkan akulah yang mandul.
Aku menangis waktu itu. Aku berserah kepadamu, dan mempersilakan kamu ingin berbuat apa saja, silakan, aku akan menerima. Kamu punya hak untuk meninggalkan aku. Kamu punya hak untuk tidak peduli kepadaku, sebab aku bukan laki-laki sejati. Aku hanya laki-laki yang dibuat sejati oleh istri. Bahkan ketika ada yang mau meminjam rahimmu untuk mengandungkan anaknya, seperti yang terjadi di manacanegara sana, kamu sama sekali tidak tertarik malah memberikan komentar bahwa kamu masih punya iman.
Itulah yang sudah membuat aku hormat kepadamu. Apa pun yang kamu lakukan aku hargai. Aku hanya ingin agar kamu tersenyum. Perasaanku tidak penting. Aku heran, kenapa kamu sama sekali seperti tidak mendengar apa yang dikatakan oleh dokter Nolten itu. Kamu terus saja melangkah di sampingku, mendampingiku sebagai istri, menemaniku sebagaimana mestinya. Merawatku, meladeniku, membantuku, menemaniku, pendeknya menjadi teman hidupku.
Matamu yang terus memandang ke depan tidak berkedip tiba-tiba menembus tirai hitam itu. Ya Tuhan! Tiba-tiba saja kita mendapat karunia. Kita dipercaya untuk memiliki momongan yang nanti pada tanggal 20 April berulang tahun ke-14. Itu membuatku semakin hormat kepadamu. Aku berjanji di dalam hati, akan mencintai, menyayangimu selama-lamanya. Isi yang kau tumpahkan untuk memenuhi kekosonganku begitu besar. Begitu besar.
Aku memikul hutang budi yang tidak terkira. Tanpa kamu, aku akan terus kosong. Melayang-layang di udara. Terombang-ambing dan akhirnya akan dicaplok setan karena tak punya pegangan.
Seorang istri adalah tempat berpegang. Tempat laki-laki yang konyol seperti aku punya tujuan. Kamu seperti garam dalam masakan, yang memberikan rasa sedap, indah, bahagia dan lengkap. Tanpa kamu aku akan jadi laki-laki yang bimbang. Tanpa kamu aku akan dipermainkan gelombang. Kamu adalah sebuah jangkar yang membuat kapal tak hanyur dalam gelombang.
Hari ini aku ingin sekali berterimakasih.
Tapi tak ada benda yang dijual di pasar swalayan yang cukup untuk mewakili perasaanku itu. Sementara itu, uang di dalam amplop ini pun tidak cukup, untuk membeli, kalau toh kado terimakasih yang bobot nya setara dengan jasamu itu benar-benar ada. Jasamu yang tak ternilai itu, istriku, memang tidak mungkin dibalas. Aku hanya akan bisa merasakannya dan tidak mungkin membalasnyadengan seimbang.
Jadi, mungkin sekali ada baiknya, aku tidak perlu mengukur, menilai, apalagi mencoba menyeimbangkan. Pemberianmu yang tak ternilai itu memang barangkali kodratnya untuk diterima orang yang lemah seperti suamimu ini. Apalagi kalau mau dikecilkan artinya dengan amplop yang sangat materiliastis ini. Akan menjadi kesalahan dan dosa berikutnya, kalau aku mencoba untuk melunasi hutang budi pada istri. Maka lebih baik, aku tidak jadi memberikan kepadamu. Biarlah aku tetap berhutang budi, berterimakasih dan terus terikat kepadamu, istriku
Kamu tersenyum. Kamu tidak membantah. Lebih terharu lagi perasaanku sekarang, karena kamu mengerti segala-galanya. Bahkan yang belum aku lakukan pun sudah kamu pahami. Kamu perempuan sejati. Karena kamu tahu, aku hanya bisa ngomong, bersilat lidah, bersembunyi di balik kata-kata. Kamu tahu, amplop itu kelihatannya saja besar, penuh dan berat, tetapi sebenarnya isinya sudah tak ada.
Dengan tangan gemetar kubuka amplop itu. Isinya amplop yang lain, amplop yang lain, amplop yang lain, karena uangnya sudah kandas ketika lewat di depan bandar judi gelap. Maksudku jalan pintas mau melipatkan duit membalas jasa istri. Tapi akibatnya bunuh diri. Itulah resikonya, kalau suka bertindak tanpa konsultasi.
Itulah hadiahku, sayang.
Jakarta 7 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar