Slogan

SLOGAN

Monolog

Putu Wijaya


SEBUAH LAYAR PUTIH RAKSASA. TERDENGAR SUARA YEL-YEL DEMONSTRAN. LALU SUARA KERIBUTAN. LAYAR BERGOLAK. TIBA-TIBA SUARA TEMBAKAN. KLENK SEORANG DEMONSTRANS MENGUAK MENEMBUS LAYAR.

SUARA HURU-HARA. TEMBAKAN TAMBAH GENCAR. KLENK LANGSUNG MENARIK LAYAR KE DEPAN. LAYAR MENGGELEMBUNG. DI BATAS PANGGUNG, KLENK TAK BISA LAGI MENARIK LEBIH JAUH. IA MENGANGKAT CORONG YANG TERGANTUNG DI PINGGANGNYA LALU BERSERU KEPADA SEM UA ORANG.

Tarik terus! Bangsa adalah hasil dari tekad, upaya dan keyakinan terhadap asal muasal, nasib dan tujuan yang sama. Bangsa adalah sebuah luapan dari budi dan daya. Maka bangsa adalah buah dari kebudayaan. Setidak-tidaknya kelahirannya dikebut oleh budi dan daya.
Tahan! Karakter bangsa bukan hanya bawaan lahir yang terseret dalam jiwa, tetapi juga hasil persentuhan, perkawinan dengan lingkungan dan kehidupan. Di dalamnya ada sejarah, ada proses dengan budi dan daya manusia menempati posisi yang penting. Maka karakter bukan kutukan tapi akibat perjalanan proses yang-panjang. Karakter adalah hasil dari sebuah pembudayaan.
Jangan menyerah! Membangun adalah tindakan yang berhulu pada budi dan kemudian terjadi akibat pelaksanaan. Akibat daya. Di sana saja tidak perlu lagi dipertanyakan apa peran kebudayaan dalam membangun karakater bangsa. Karakter bangsa adalah hasil racikan kebudayaan dari sekelompok manusia yang meyakini dirinya satu bangsa, satu negara dan di dalam Soempah Pemoeda ditegaskan lagi dengan: satu bahasa.
Bertahan! Apa dan bagaimana karakter bangsa Indonesia. Kita sudah sering mendengar pujian yang mengejek bahwa bangsa Indonesia itu ramah-tamah. Cornelis de Houtman dan De Keyzer mendarat di Banten untuk memburu koloni diterima dengan ramah-tamah oleh Sultan Ageng. Dan setelah itu hampir 350 tahun orang Belanda malang-melintang di Indonesia, mengadu domba, membodohkan, mengeruk kekayaan rakyat, bangsa tetap ramah. Tersenyum dengan sama sekali tanpa rasa dendam. Bahkan ketika prajurit negeri negeri Matahari Terbikt bertopeng saudara tua datang dengan spanduk Asia Timur Raya, tapi kemudian dengan kejamnya membunuh, menyiksa, mengerjapaksakan dan membuat perempuan-perempuan Indonesia jadi pelacur, kita tetap ramah-tamah. Kita terus tersenyum. Sampai sekarang mencari gelar doktor tentang Indonesia kita harus pergi ke Belanda dan hampir semua kendaraan yang menguasai urat nadi perhubungan kita adalah buatan Jepang.
Di balik kekalahan selalu ada janji! Kita tekutuk sebagai bangsa ramah yang selalu tersenyum. Para teroris membom, mengacau, menyebarkan rasa takut dan membunuh orang tak bersalah di negeri ini untuk melawan musuh mereka, kita malah ikut berteriak-teriak bangga karena dijanjikan akan masuk surga.
Revolusi belum selesai! Apakah ramah-senyum dan pemaaf adalah karakter bangsa ini? Itukah yang sedang kita bangun sebagai jatidiri bangsa?
Tidak! Jangan tergoda! Itu karakter buatan yang diciptakan mata orang ketiga.. Mereka yang ingin mencela, mengejek dan sekaligus mengarahkan kita sebagai bangsa yang tolol. Senyum dan keramahan itu mereka maknakan, bukan sebagai keputihan dan kebijakan tapi ciri orang yang tidak kuat kepribadiannya. Yang gampang disogok, mudah dibelokkan dan ltersenyum dan melupakan sejarah kalau sudah menghadapi sogokan, akibat kebelet mau hidup senang sesudah terlalu lama menjadi budak.

KLENK BERHENTI MENARIK. TEGAK. DAN MEMASANG PICI HITAM, LALU BERPIDATO MENIRUKAN BUNG KARNO.

……….. atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya pada saya, apakah perasan yang tiga itu? Berpuluh-tahun saya sudah pikirkan dia, dasar-dasarnya Indonesia Merdeka. Welltanschauung kita. Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demoktrasi Barat, tapi politiek ekonomische demokratie, yaitu politieke demokratie dengan kesejahteraan, saya peraskan menjadi satu. Itulah yang dulu saya namakan sosio-demokrasi. Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain …… (DAN SETERUSNYA SAMPAI PADA EKA SILA: GOTONGROYONG)


KLENK KEMBALI MEMBERI KOMANDO

Eka Sila: gotongroyong. Itulah karakter bangsa kita!

KLENK MEMUTAR PICI KE SAMPING SEPERTI MANG-MANG YANG BIASA JUALAN DI PINGGIR JALAN.

Apakah gotongroyong itu sama dengan ajakan mangan-ora mangan asal ngumpul. Tidak! Itu juga ejekan yang datang dari pihak ketika yang lebih suka melihat kita sebagai bangsa yang dungu. Gotongroyong bukan keroyokan. Gotongroyong adalah taktik, strategi, menejemen manusia Timur dalam menyikapi tantangan sebagai persoalan bersama. Bukan rame-rame menggotong tapi semangat kebersamaan. Kalau ada beban sebuah kursi yang harus diangkat oleh seribu orang, tidak perlu seribu pasang tangan terangkat rebutan untuk memikul. Cukup satu tangan. Satu tangan anak kecil pun sudah jadi. Lalu. 999 lainnya boleh tidur, simpan tenaga untuk menunggu datangnya beban yang lain yang lebih berat.
Kalau satu terjungkal, apes, gagal, keok, 999 yang lain tidak usah ikut-ikutan solider bujnuh diri dengan gagal untuk meringankan beban jiwa yang gagal, tapi 999 siasanya justru harus beringas bangkit, ambisius merebut kemenangan untuk menebus kegagalan itu yang terpuruk.
Gotongroyong bukanlah ilmu bangkrut, ilmu bergerombol dan kuburan kemalasan penyakit untuk saling menggondeli. Gotongroyong adalah efesiensi dan afektivitas yang berwajah manusia.
Gotongroyong adalah usaha untuk menyelesaikan semua soal untuk kebahagiaan bersama oleh kebersamaan. Walhasil spiritualitas kerja.
Gotongroyong mulai terasa tua, kuno, kedaluwarsa ketika diartikan hanya sebagai semangat keroyokan bergerombol. Ketika individualisme mulai menjadi bagian terpenting dari kemanusiaan yang diperjuangkan dengan heroik oleh hak-hak azasi manusia, sehingga menjadi sukses menjadi simbul kemenangan. Gotongroyong telah dijatuhkan mereknya sebagai sebuah kebodohan, ketika individu berebut mengejar dan memberhalakan sukses. Leberalisme dan kapitalisme menyeret manusia mengartikan sukses adalah untung dan menang. Menang berarti harus jadi nomor wachid. Dengan menjadi nomor satu, berarti paling unggul. Untuk berdiri di puncak tertinggi, orang lain harus kalah. Maka kebersamaan menjadi sebuah kesalahan. Gotongroyong lalu terpuruk dan terbunuh.

SUARA LEDAKAN. KLENK JATUH DI ATAS UJUNG LAYAR. LALU LAYAR BERGERAK, TERTARIK KE BELAKANG MENARIK KLENK. IA NAMPAK BAGAI SEPOTONG KAYU KERING YANG HAYUT. KLENK TERHISAP KE BELAKANG. LAYAR MEMBENTUK TEROWONGAN DAN DI UJUNGNYA KLENK TERJEPIT. IA BERUSAHA BANGUN.

Tetapi ditinggalkan tidak berarti mati. Nilai-nilai gotongroyong walau tergusur hanya menghuni daerah pinggiran. Tetap hidup bernas di desa-desa. Ketika kota mentok makmsimal, mengalami keos, karena persaingan hanya menelorkan perang dan ketidak amanan serta ketidaknyamanan lebih banyak orang, rakyat mulai menoleh kembali pada alam, pada kebahagiaan orang lain yang harus dipelihara.
Individu tidak lagi cukup hanya menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri, kelompokny, kaumnya, partainya bahkan keyakinannya. Setiap orang harus menjadi pahlawan semua orang. Hak individu akan gagal kalau hanya ditegakkan oleh yang bersangkutan sendiri, sebab itu hanya akan melahirkan dewa yang buntutnya kesenjangan sosial. Kesenjangan itu akan memuncak dan berakhir dengan kudeta.

BERHASIL MENARIK KEMBALI LAYAR ITU KE DEPAN.

Hak individu diserahkan kepada orang lain, kepada orang banyak, kepada lingkungannya. Paradigma harus dibalik. Setiap individu bertugas menjaga hak orang lain untuk kelestarian lingkungan. Itu rasa keadilan dalam kearifan Timur. Dan gotongroyong akan mulai dijemput sebagai penyelamat keruntuhan “kemajuan”.
Inilah saat kita kembali mencintai, memulyakan denganb menafsirkan kembali gotongroyong dengan interpretasi dan reposisi yang aktual. Sesuai dengan desa-kala-patra kata kearifan lokal Bali. Kita tidak harus susah-susah membentuk dan mencari lagi. Kita hanya perlu mengingatnya kembali, apa yang tersimpan dalamn kebijakan lokal. Jiwa gotongroyong masih di sana. Kita hanya perlu menyulut dan mengembangkannya..

LAYAR ITU MEMELINTIR. LAYAR ITU MENGGULUNG KLENK. HANYA KELIAHATAN KEPALANYA. BAGIAN BAWAH BADANNYA TERGULUNG LAYAR.

Prajurit-prajurit kebudayaan: ilmu dan kesenian adalah ujung tombak yang akan membantu, mengembangkan, menyemarakkan dan meningkatkan ekslarasi pada karakter bangsa. Karena itu negara mesti percaya dan menerima serta memberikan ruang, prioritas, tak hanya biaya tetapi juga rasa hormat pada kebudayaan. Dan itulah yang belum terjadi di negeri ini. Politik, dagang dan teknologi kita belum berbudaya. Momok yang mendesak untuk dibydayakan, sebelum negeri ini tenggelam ke dalam keos yang berkepanjangan.
Manusiakan politik, dagang dan teknologi dengan kebudayaan!
Kembalikan, tegakkan, kibarkan karakter bangsa

LAYAR TERTARIK KEBELAKANG. KLENK MELEPASKAN DIRI. DIA BERUSAHA MENGHALANGI LAYAR ITU MEMBENTUK TEROWONGAN

TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA TEMBAKAN. KLENK TERJUNGKAL. IA MENCOBA BANGUN. TEMBAKAN SEKALI LAGI. KLENK TERPELANTING JATUH. TAPI IA BERUSAHA KEMBALI BANGUN. TEMBAKAN YANG KETIGA. DISUSUL BERONDONGAN TEMBAKAN GENCAR.
KLENK TERBARING DI AYAS LAYAR. LAYAR DITARIK KE BELAKANG. BADAN KLENK IKUT HANYUT

TAPI KEMUDIAN TERDENGAR LAU PERJUANGAN. KLENK KEMBALI SIUMAN, KARENA IA ADALAH SIMBOL. IA SEBUAH SLOGAN. ROH CITA-CITA YANG TAK BISA MATI. KALAH TAK MEMBUAT SLOGAN LENYAP. PERLAWANANNYA JUSTRU TAMBAH KENYAL.

TANGAN DAN KAKI KLENK MENJADI LEBIH BESAR DAN PERKASA. LALU KLENG BANGKIT KEMBALI. BERDIRI. TEGAK, SEMAKIN KUKUH DAN BERANI. IA MENGANGKAT LAYAR ITU. LAYAR MENGGELEMBUNG KE ATAS DI ANGKAT OLEH TANGAN DAN KAKI KLENK YANG PERKASA

KLENK MELAYANG MENJUNJUNG LAYAR.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter!

LAYAR MENJADI BENDERA MERAH PUTIH. LAGU KEBANGSAAN.


Jakarta 13-05-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar