monolog
Putu Wijaya
Aku bermimpi. Ada suara yang menggeledek, jelas sekali pesannya:
“Bung, kau orang baik. Untuk orang sebaik kau, layak permintaanmu dikabulkan. Apa yang paling kau inginkan di dalam kehidupan yang sudah carut-marut ini?”
Tanpa pikir panjang aku menjawab.
“Hah! Itu yang aku inginkan? Pucuk dicinta ulam tiba. Aku ingin anak-anakku semuanya makmur dan maju. Sandang-pangan-papan berlimpah ruah. Tidak sempoyongan dikepot resesi dunia. Pikirannya tidak ketinggalan jaman. Berdiri paling depan sebagai ujung tombak dunia!”
Tidak ada jawaban.
Tapi begitu aku bangun, permintaanku terkabul. Semua anak-anakku makmur. Makan-minum berkelimpahan. Apa saja yang diinginkan tersedia. Mobil, duit, kedudukan, kehormatan, kekuasaan, segala fasilitan yang dirindukan, beres. Hidup menjadi indah.
Aku takjub. Belum pernah kulihat sulapan sedahsyat itu. Mau tak percaya, kok nyata. Ingin membantah, semuanya fakta. Baru pertama kali dalam hidup aku kelenger oleh realita yang lebih asyik dari mimpi. Waktu itu aku setuju untuk bersyukur.
Terimakasih Tuhan!
Tetapi itu tidak lama. Karena begitu aku mencoba menelpun anak-anakku, yang menjawab semua hanya mesin.
“Maaf. Kami sedang tidak ada di tempat, silakan meninggalkan pesan sesudah bunyi berikut ini. Ting.”
Bangsat!
Aku benci mesin. Aku tidak ingin berhubungan dengan mesin. Aku mau bicara dengan manusia.
Aku penasaran. Kucoba menggapai mereka lewat HP.
Hallo, halllo, halloooo, halooooooo!
Tetapi sama saja.
“Atas permintaan pelanggan, untuk sementara nomor ini tak bisa dihubungi. Silakan meninggalkan pesan di kotak suara, sesudah bunyi berikut ini. Ting.”
Sialan!
Tensi darahku langsung meluap. Kontan aku samperin rumah anak-anak itu. Sebelum jadi kebiasaan, harus aku hajar mereka bagaimana menghormati orang tua. Tetapi di pintu depan rumahnya, satpam mencegatku.
“Maaf, apa Bapak sudah ada janji?”
Jani? Janji apaan! Gila! Memangnya aku siapa?
Kembali aku mengamuk. Mengamuk sambil berteriak.
“Aku bapaknya! Aku sudah membiayai dia sejak orok! Suruh mereka keluar, keluar, menyembah dan cium kakiku. Aku gamparin kepalanya yang jadi kegedean mentang-mentang sudah makmur dan maju! Panggil cepat! Kemakmuran ini berkat doa-doaku, tahu?! Kalau tidak dia jadi kere semua di bawah jembatan!”
Tetapi yang datang kemudian petugas keamanan yang lain. Aku ditenteramkan, dibujuk dengan sopan. Tapi di belakang aku yakin dia nggerundel: masak lelaki manula segembel ini, mengaku orang tua Bos?!. Pastilah itu penipuan atau orang gila, pikir mereka.
Lalu aku diantar pulang. Maksudku diseret pulang secara halus.
Tapi kenapa aku mau!
Anjing! Aku jadi edan. Aku sumpahi anak-anak yang sudah sesat itu. Makin maju kok makin brengsek. Kemakmuran dan kemajuan ternyata tidak satu paket dengan budi pekerti. Jelas permintaanku sudah cacad. Aku telah melakukan kesalahan besar.
Menyadari kekeliruan yang fatal itu, aku buru-buru meloncat, kembali tidur. Begitu masuk ke dalam mimpi aku berkoar.
“Tuhan, interupsi! Interupsi! Ada ralat!”
Suara geledek itu mendehem lembut.
“Ralat apa Bung?”
“Aku tidak butuh kemakmuran yang tanpa budi! Itu eror! Kekayaan harus komplit! Moril dan materiil harus seimbang! Itu mutlak!”
“Tapi permintaannya hanya boleh satu, Bung, tidak boleh dua paket sekaligus!”
“Kok pelit ?!”
“Memang aturannya begitu! Kalau tidak mau, tidak ada paksaan kok.”
“Tunggu! Tunggu! Oke, kalau begitu!. Aku tidak perlu kemakmuran dan kemajuan. Tai kebo semua itu! Aku hanya mau anak-anakku tetap berkepribadian, punya karakter manusia Timur! Berbudi, bermoral, nyahok tata-krama dan tepo sliro. Jadikan anak-anakku menjadi manusia yang berbudi! Manusia yang menghormati kedudukan orang tua!”
Suara geledek itu tidak menjawab. Aku juga tidak kepingin menunggu jawaban. Aku meloncat saja kembali ke alam sadar tempatku berdoa, semoga segala yang baik terjadi. Dan betul, sebagaimana yang aku harapkan, begitu mendusin kembali, semuanya terkabul.
Luar biasa! Ternyata semua kuncinya pada kemauan. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Segalanya bisa terjadi asal kita hajati. Tidak ada yang tidak mungkin buat orang yang bertekad berjuang.
Kemakmuran dan kemajuan lenyap, berganti dengan kebaikan hati.
Putra-putriku kembali miskin tapi menjadi santun, baik-budi, hormat pada orang tua. Mereka semua duduk anteng di beranda rumah, menunggu orang tuanya keluar memberikan perintah-perintah harian. Setiap saat mereka siap, bersedia melakukan apa saja sesuai dengan kehendak orang tua, walau pun itu bertentangan dengan kemauannya sendiri. Bahkan mati pun mereka bersedia.
Itu kan dahsyat!
Ini yang namanya bahagia. Apa yang lebih membahagiakan kita para orang tua sepuh dari, bahwa kita dihormati. Generasi muda menghargai jasa, hak, keberadaan dan suara generasi tua. Kita tidak minta dihormati yang penting daulat kita sebagai manusia, dihargai!
Keluargaku telah kembali kompak. Mangan ora mangan pokoke kumpul!. Tidak ada yang pura-pura ngacir rapat. Tidak ada yang sedang bertugas. Tidak ada yang berkilah sakit. Semua di rumah, berjuang untuk keluarga. Semua siap mengangguk dan mengucapkan: ya, ya, ya , ya atas apa saja yantg aku katakan. Dijamin tidak ada yang akan mengucapkan tidak. Disembelih pun mereka akan manut-manut saja.
Tetapi tiba-tiba aku terperanjat. Ada yang salah.
“Kenapa, kenapa mata mereka tidak bercahaya?”
Kenapa muka mereka tidak bersinar?
Tak ada yang menjawab. Aku terpaksa menjawab diriku sendiri.
“Sebab mereka tidak lagi memiliki jiwa dan kehendak. Tidak lagi memiliki perasaan dan opini. Mereka hanya abdi dari keluarga dan orang tuanya. Mereka hanya tembok, robot, mesin, nomor dan abdi!
Bulu kudukku meremang. Naluriku merinding.
“Wah kalau begitu sama dengan mati?”
“Lebih dari mati!”
“Maksudnya?”
“Mereka adalah bangkai hidup.”
Ya Tuhan, aduhhhhh, aku berteriak histeris.
“Tidakkkkk! Ini kacau! Bukan ini maksudku!”
Secepat kilat, aku meloncat kembali ke tempat tidur, lalu langsung menggugat.
“Tuhan Yang Maha Esa! Jangan salah! Kembalikan anak-anakku semuanya seperti semula! Komplit! Balikkan! Tidak perlu makmur, tidak perlu maju! Tidak perlu baik! Jadikan mereka apa adanya saja! Kurangajar juga tidak apa apa asal jangan mampus!”
Suara geledek itu menjawab.
“Bung, ini permintaanmu yang ketiga. Angka tiga adalah angka terakhir. Kau tidak bisa meralat lagi. Pikirkan matang-matang apa yang kau inginkan!”
“Tidak usah mikir lagi! Aku sudah hapal apa yang aku mau. Kembalikan lagi anak-anakku seperti semula! Bukan harta, bukan kedudukan, bukan kehormatan, bukan tanda-tanda jasa, titelo, bukan kemulyaan yang kita kejar di dunia, tetapi kebahagiaan! Dan dengar! Aku hanya bisa bahagia kalau istriku tersenyum dan anakku-anakku tertawa! Aku ulangi: aku hanya bisa bahagia kalau istriku tersenyum dan anak-anakku tertawa, la;lu para tetrangga menyapa! Itu!”
Karena takut akan ditolak, aku langsung meloncat kembali ke alam nyata. Gelagapan aku bangkit dari tempatr tidur, mengintip ke beranda. Dan semuanya kembali terkabul. Tuhan Maha pengasih dan Penyaytang. Permintaanku yang ketiga, yang terakhir, menjadi kenyataan.
Lihat orang yang sabar, getol dan pantang menyerah selalu akan berhasil!
Lihat di beranda, istriku tersenyum. Senyuman yang ikhlas. Anak-anak semua tertawa, tertawa yang penuh.
Tetapi, tetapi tunggu dulu. Tunggu!
Gila!
Senyum mereka tidak kunjung henti. Ketawa mereka berkepanjangan.
Aku terperanjat. Senyum dan ketawa yang berkelimpahan bukan cirri bahagia tapi tanda-tanda ketidakwarasan alias terganggu. Ya Tuhan, ampun! Akibat permintaanku, istri dan anak-anakku menjadi gila. Mana ada orang bahagia kalau anak-istrinya gila?
Belum lagi para tetangga yang tak berhenti menyapa, menyapa, menyapa sampai aku terkepung, sesak nafas dan tak berkutik. Dunia sudah kiamat! Aku tidak kuat!
Tolong! Tolong!
Di situ aku benar-benar terbangun. Gedobrak!
Keringat bercucuran di sekujur tubuh. Kepalaku pusing. Bengong dan merasa bego. Apa sebenarnya yang sudah terjadi?
Istriku menghampiri sambil menyapa.
“Mimpi buruk lagi Pak?”
Aku mengangguk. Ya!
“Makanya jangan suka nonton film setan!” lanjut istriku sambil tersenyum.
Aku terkejut lalu berteriak:
“Jangan senyum!!!!!”
Istriku terperanjat, ia menatapku sambil mundur lalu lari keluar.
“Taksuuuuu! Bapakmu kesurupan!”
Anakku langsung masuk ke kamar. Melihat aku tidur memakai mantel musim dingin, oleh-oleh kawannya yang baru pulang dari luar negeri, dia tertawa terbahak-bahak.
Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha
“Diammm!!!!!!! Jangan ketawaaaaaaa! Diammmmm!!!”
Jakarta 9-01-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar