KARTINI
monolog
Putu Wijaya
Ibu datang ke kamar perempuan yang sudah ibu-ibu itu dan menyapa:
“Selamat malam, Bu Amat. Terimakasih banyak atas semua yang sudah Bu Amat perbuat kepada suami ibu serta putri Ibu selama ini. Ibu benar-benar sudah menunjukkan bagaimana seorang Ibu yang berkepribadian Timur seharusnya bersikap di dalam keluarga. Ibu nampak selalu berusaha untuk menghargai, menghormati, menjaga perasaan suami Ibu. Dengan begitu, Ibu sudah menumbuhkan kepercayaan diri pada Pak Amat, sehingga dia tetap merasa dirinya berguna, mampu serta dicintai. Tidak semua lelaki itu kuat. Banyak di antaranya yang lemah. Bahkan begitu lemahnya, sehingga pernikahan buat dia adalah mencari teman hidup, untuk menolongnya tegak. Ia seperti sebatang pohon merambat yang memerlukan penyangga untuk berkembang. Dan ibu sudah melakukannya dengan baik sekali. Sehingga walau pun Amat tak sanggup memberikan keluarga segala yang diharapkan oleh keluarga dari seorang kepala rumah tangga, tetapi dia sudah mampu bertahan dan mengembangkan dirinya secara maksimal. Bagusnya lagi adalah kendati maksimal yang ia bisa lakukan, hanya menghasilkan sebuah rumah yang sederhana dan kehidupan yang tidak bisa dikatakan mewah, tetapi Ibu selalu menerima dan menghargainya, sehingga kebanggaannya sebagai kepala rumah tangga tidak berkurang. Ibu juga tidak pernah membanding-bandingkan sumai Ibvu dengan suami-suami yang lebih sukses. Ibu tak pernah mengurangi kasih sayang Ibu. Di saat ia sakit. Di saat ia merasa dirinya lemah. Bahkan di saat ia menjadi begitu brengsek, Ibu dengan bijaksana, bahkan agung, dengan penuh kasih saying merawatnya. Menyayanginya, bahkan memanjakannya. Tetapi begitu Pak Amat mulai menemukan kembali dirinya, Ibu cepat-cepat menyadarkannya kembali untuk bekerja, berusaha dan awas terus di dalam kehidupan. Kalah dan gagal pun tak jadi apa, asal sudah berusaha secara maksimal, kata Ibu. Itu sangat baik. Itulah yang ingin saya sampaikan kepada semua perempuan Indonesia. Jadikanlah dirimu cahaya yang tidak hanya menerangi jalan kaummu, juga jalan teman hidupmu yang telah kau pilih sebagai teman hidupmu selama-lamanya. Namun ada satu permintaan yang ingin saya sampaikan. Jangan berhenti mendorongnya untuk terus meningkatkan diri. Jangan hanya menerima kekurangannya. Mula-mula terima, tetapi kemudian tolong tumbuhkan, tingkatkan dan arahkan, agar dia bisa menjadi laki-laki sejati. Kalau perlu, jangan segan-segan bertindak dan menegurnya secara keras. Namun pelihara api asmaramu tetap menyala, jangan dikurangi hanya karena merasa sudah tua.”
Pada saat yang sama Ibu juga menghampiri suaminya dan berbisik.
“Terimakasih Pak Amat. Sikap Bapak dalam memperlakukan istri mau pun putri Bapak, dengan selalu menghargai dan menghormati pendapatnya, bahkan sering mengutamakannya dengan mengenyampingan perasaan Bapak, sungguh mulia. Usaha Bapak untuk membuat istri selalu bisa senyum, anak tetap tertawa di dalam rumah, sungguh indah. Lelaki tidak seharusnya merasa dirinya lebih penting dan lebih bertanggungjawab di dalam keluarga, walau pun tugasnya memang berat. Bapak telah memberikan kesempatan seluas-luasnya pada istri dan anak Bapak untuk mengembangkan pikiran dan perasaan mereka. Di dalam berbeda pendapat, Bapak selalu berusaha untuk mengertikan kenapa istri dan putrid Bapak berpendapat lain. Bahkan dalam kesibukannya, ketika Bu Amat seperti tidak mengacuhkan Bapak, lebih mengutamakan kepentingan dirinya, putrinya, serta keluarganya, Bapak tetap bersabar. Bahkan ketika Bu Amat sama sekali tidak mempedulikan apa yang sudah Bapak lakukan untuk keluarga, Bapak tetap tegar. Walaupun Bu Amat tiidak pernah atau jarang sekali mengucapkan maaf kalau melakukan kesalahan, Bapak tidak peduli. Bahkan ketika istri Bapak tidak pernah lagi membelai-belai pak Amat, seperti waktu masih pacaran, Bapak tetap tenang. Bapak selalu mengatakan bahwa bukan apa yang dilakukan istri Bapak yang Bapak nilai, tetapi apa yang menyala di dalam hatinya. Terhadap putrid Bapak, Bapak juga sudah bersikap adil. Banyak orang merindukan anak lelaki dan kecewa karena hanya punya anak perempyuan. Tapi Bapak tidak. Bapak memperlakukan putri Bapak dengan begitu baiknya, sehingga mirip memanjakan. Jadi mungkin dengan segala kebaikan Bapak itu, orang jadi merasa bahwa memang Pak Amato rang kuat yang tidak memerlukan kasih sayang. Nah, itu yang tidak baik. Jadi ke depan, jangan takut untuk memperlihatkan kelemahan. Jangan menutup mulut, katakan apa yang Bapak inginkan. Jangan biarkan istri Bapak sibuk dengan dirinya dan putri Bapak merasa bapaknya terlalu tegar sehingga tidak memerlukan bantuan. Tunjukkan kepada mereka, bahwa Bapak memerlukan mereka, supaya mereka merasa dirinya berguna. Kalau tidak, mereka akan bertambah jauh nanti dan bisa-bisa malah sama sekali tidak mempedulikan Bapak. Bukan karena tak sayang. Tapi karena mereka menyangka, memang Bapak lebih senang sendiri.
Akhirnya Ibu juga menemui Ami, putri semata wayang mereka berdua.
“Ami, apa yang sudah kamu lakukan bagus sekali. Sebagai seorang anak, kamu menjadi contoh bagaimana menghormati orang tua. Menghormati tidak berarti harus takut atau bilang ya, ya terus.. Takut akan menyebabkan orang bisa berbohong. Bohong dapat menimbulkan perselisihan. Itu tidak boleh terjadi. Kamu telah dengan berani bisa menentang Bapak dan Ibu kamu, kalau mereka salah. Tidak selamanya orang tua itu benar. Dan kalau mereka membuat kesalahan, siapa lagi, kalau bukan anak yang harus memperbaikinya? Tapi kalau mereka benar, kamu juga harus dengan ikhlas menyatakan dirimu keliru, sesudah kamu menyadarinya. Kamulah yang seharusnya membuat rumah menjadi bercahaya. Seorang anak memang harusnya begitu. Dia bukan hanya cahaya hati di hati orang tua, tetapi dia juga cahaya rumah. Dan karena kamu anak perempuan, Ibu benar-benar ingin bicara kepadamu sekarang antara perempuan dengan perempuan. Bukan sanggul atau gelungan Ibu yang hendak Ibu wariskan. Bukan Ibu menyuruh putrid-putri Indonesia memakai pakaian menirukan Ibu. Ibu hidup di masa lalu. Kalau Ibu hidup di masa kamu hidup sekarang, Ami, mungkin Ibu juga akan memakai apa yang kamu pakai dan berpikir seperti apa yang kamu pikirkan. Ibu hanya berharap jangan tampak luarnya, tetapi isinya, dari perjalanan Ibu di masa lalu yang harus kamu simak. Perempuan Indonesia jangan pernah merasa dirinya lemah dan berserah saja. Perempuan Indonesia berhak bersuara, bergerak sesuai dengan kodrat dan kebutuhan masing-masing pribadinya dengan memperhatikan budaya Timur. Budaya Timur itu apa Ami? Bukan hanya pakaiannya, tetapi cara berpikir. Cara mendudukkan permasalahan. Semoga kamu mengerti apa yang Ibu maksudkan. Dan satu hal yang ingin Ibu sampaikan, orang tuamu, keduanya sudah semakinn tua. Kamu bertambah maju, mereka juga tetap berusaha untuk maju, tetapi kemampuan mereka tidak lagi selincah kamu. Jadi kamu jangan tertipu. Generasi baru harus bukan hanya lebih berani saja, tetapi lebih arif-bijaksana dan lebih luas pandangannya dari generasi yang lebih tua. Usia tidak menjadi ukuran kedewasaan. Usia bukan ukuran kematangan. Itulah kepribadian kita. Semoga masa depanmu cerah anakku.”
Bu Amat, Pak Amat dan Ami, ketiga-tiganya sangat kaget dengan pengalaman yang bersamaan itu. Pagi esoknya ketika sarapan di meja makan, ketiganya saling mengusut dan mencocokkan.
“Percaya tidak percaya, tapi kenyataannya Raden Ajeng Kartini semalam datang kepadaku dan berpesan!” kata Amat.
Bu Amat menoleh suaminya.
“Pesannya apa?”
Amat terdiam dan berpikir.
“Ayo pesannya apa. Jangan ngarang?”
“Oke, tapi kalian jangan terkejut. Kartini berpesan kepadaku: Amat, kamu belum benar-benar menghargai istri dan anakmu sebagai perempuan. Mulai sekarang tingkatkan penghargaanmu. Hormati mereka!”
“O ya?”
“Ya! Kalau sama Ibu dia ngomong apa?”
Bu Amat berpikir.
“Ayo terus terang!”
“Kartini bilang, Ibu sudah terlalu memanjakan suamimu Ibu, sampai-sampai dia jadi malas dan kurang memperhatikan istri dan anaknya! Sebagai perempuan kamu harus keras pada suamimu, kalau tidak nanti dia karatan!”
Amat terkejut.
“Masak begitu?”
Ami tertawa.
“Ami juga disamperin Ibu kita Raden Ajeng Kartini. Dia dia bilang, aku tidak berani lagi sekarang bicara kepada kamu, Ami, katanya, Ibu tidak berani lagi memberikan komentar, sebab Ibu sudah ketinggalan zaman. Sekarang ini bukan zaman Ibu, sekarang adalah era kamu Ami. Bicaralah! Tunjukkan gigimu!”
Amat, Bu Amat dan Ami pandang-pandangan.
Benarkah pada setiap orang, Ibu berbunyi lain-lain?
Manado 13 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar