MUSEUM
monolog
Putu Wijaya
Pulang dari rapat mukaku ditusuki duri. Aku langsung masuk kamar dan gembok. Sampai saat makan malam, aku tidak keluar. Habis sebel banget.
Bapakku lantas ngomel.
“Masuk rumah jangan bawa muka seribu. Itu sama dengan bakar rumah! Ayo keluar, makan. Nanti kamu mati. Bu! Bilangin anak kamu itu, jangan kebiasaan menyeret sampah-sampah dari jalanan masuk rumah. Yang jelek-jelek tinggalkan di luar pintu. Jaga kedamaian rumah, supaya rumah tetap menjadi tempat beristirahat tenang dan berpikiran jernih!”
Ibu tidak menjawab.
“Jangan sampai anakmu itu berpikir mentang-mentang anak tunggal, boleh seenaknya saja. Dulu waktu kecil bisa begitu. Sekarang dia sudah dewasa, harus belajar menghormati perasaan orang lain. Apalagi perasaan kita, orang tuanya. Jangan mentang-mentang kita ini bapak dan ibunya, dia merasa tidak perlu menjaga perasaan kita. Salah. Menghormati orang lain, harus mulai dengan menghormati orang yang paling dekat dengan kita. Dan itu bapa dan ibunya. Kita! Katakan itu pada anak kamu sebelum terlambat. Nanti tuman!”
Ibu terus diam saja. Habis mau bagaimana, pintu aku kunci.
Jam 12 malam, aku tetap bertahan di kamar. Giliran Bu yang marah.
“Pak, coba ngomong sama anakmu, kalau marah jangan seperti anak kecil. Diam-diam begitu mana kita tahu apa soalnya. Kan lebih baik dibicarakan. Kalau tidak, kan kita jadi pusing. Tidur juga tidak tenang. Mana bisa pikiran tenang kalau anak pulang terus masuk kamar dan tidak keluar sampai tengah malam! Jangan-jangan ……, ayo, Pak!”
Bapak dasar bapak. Kalau Ibu sudah naik darah, dia seperti kerbau dicucuk hidung, lalu asal main gebrak. Dia ketuk pintu lalu bicara memelas.
“Vera. Tolong buka pintu. Ini bapak! Bapak boleh bicara?”
Pintu kubuka.
“Ada apa?”
“Kenapa kamu?”
“Tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa kok pulang-pulang langsung kunci kamar dan tidak keluar sampai pukul 12 malam begini?”
“Habis kesel.”
“Kesel apa? Kesel sama Bapak?”
“Tidak!”
“Sama Ibu kamu?”
“Tidak.”
“Kalau tidak kesel sama kami, jangan masuk rumah terus muka seribu begitu. Ingat, kita ini orang miskin, Vera. Bapak dan Ibu kamu sudah banyak menderita. Jangan kamu tambah lagi penderitaan orang tua kamu dengan menumpahkan kesel yang kamu dapat di luar ke dalam di rumah. Kita kan sudah sepakat, rumah bukan keranjang sampah! Kesel apa?”
“Kesel, habis tadi rapat, rencana yang sudah Vera susun matang-matang untuk ngajak anak-anak warga kompleks kita ke museum, tahu-tahu acaranya diubah jadi nonton film Laskar Pelangi!”
“Cuma itu?”
“Ya.”
“Nggak ada yang lain?”
“Nggak!”
Bapak spontan memukul jidatnya sendiri. Dia menarik nafas panjang seperti terlepas dari pembajakan, lalu menarik aku keluar kamar.
“Vera, Vera! Sana, bilang sendiri semua itu pada Ibu kamu! Bapak kira dunia mau kiamat, ternyata cuma begitu saja!”
Aku melangkah ke ruang depan ke dekat ibu.
“Dalam rapat tadi, rencana Vera mengajak anak-anak TK warga kompleks kita ini ke museum, tapi dibatalkan begitu saja, katanya lebih baik nonton Laskar Pelangi!”
Ibu mengangguk.
“Jadi kamu kesel?”
“Bagaimana tidak! Acara ke museum yang sudah direncanakan matang, kok dikalahkan oleh acara nonton film! Padahal ke museum itu gratis sedangkan nonton mesti bayar. Vera kecewa sekali! Kalau sejak kecil anak-anak sudah diajarkan lebih berguna nonton bioskop daripada ke museum, nanti kalau sudah besar mau jadi apa mereka? Pengkhinat dan penjual negara?! ”
“Betul!”
“Museum itu kan gudang ilmu pengetahuan. Itu tempat kita mengenal sejarah kita, masa lalu jatidiri kita. Museum membuat kita tahu sejarah, siapa sebenarnya kita. Hanya kalau kita tahu, sadar, paham diri kita, kita akan tahu bagaimana masa depan kita. Museum itu bukan gudang, tempat menyimpan barang-barang bekas yang tidak terpakai. Itu harta karun yang kalau kita bisa menggosoknya, akan menuntun bangsa yang besar ini menang. Masak dikalahkan dengan nonton film! Tolol sekali!”
“Betul! Kenapa tidak kamu terangkan itu pada mereka?”
“Sudah. Mulut Vera sampai biduran. Vera mengancam keluar dari kepanitiaan, kalau acara ke museum dibatalkan!”
“Terus?”
“Mereka tidak peduli!”
“Jadi kamu keluar?”
“Tidak!”
“Lho?”
“Habis, kalau Vara keluar, Vera takut lama-lama anak-anak diajak ke disko. Jadi Vera terus nongkrongin sambil diam-diam memberikan pengertian kepada anak-anak supaya mereka sendiri yang menolak nonton bioskop, karena ke museum itu lebih berguna.”
“Terus, anak-anaknya mau?”
Aku menarik nafas dalam swekali, lalu menjatuhkan punggungku ke sandaran kursi.
“Anak-anaknya tidak mau?”
Aku menghapus air mataku yang menetes.
“Kalau anak-anak itu tidak mau, Vera masih bisa menerima. Anak-anak kita memang sudah habis-habisan dicetak menjadi pasar yang maunya hanya membeli dan memakai. Sekarang siapa yang tidak lebih tertarik pada film. Belajar itu dianggap buang-buang waktu, dicap kuno. Untuk apa pintar, kata mereka, kalau yang dapat kedudukan akhirnya yang lihai main curang? Untuk apa cari iajazah kalau ijazah bisa dibeli. Untuk apa ke museum, kalau yang ada di situ hanya barang-barang bekas? Yang membuat Vera sakit hati, anak-anak itu sendiri kemudian menulis surat kepada pimpinan supaya Vera dikeluarkan. Katanya Vera sudah ada kerjasama dengan direktur museum, dinajikan persenan. Vera sudah dituduh makan suap!”
“Dan kamu memang disuap?”
“Ya!”
“Disuapp????!”
“Ya! Tapi Vera menolak! Masak harus pakai suap. Vera bersumpah membawa anak-anak itu ke museum! Kalau tidak, lebih baik Vera bunuh diri!”
“Dan kamu gagal!”
“Memang!!”
“Jadi kamu takut, karena janji kamu mau bunuh diri!”
“Ya tidak! Itu kan retorika! Retorika tidak usah dijalankan secara harfiah!”
“Terus?”
“Aku kesel!!!!!!”
Aku menangis. Ibu bangkit bangkit, lalu menusap-usap kepalaku.
“Vera tidak marah meskipun dibilang sudah makan suap, sebab itu justa. Hanya perasaan Vera yang hancur karena itu menunjukkan bagaimana parahnya kondisi anak-anak kita sekarang!”
Ibu mengurut kepalaku, sampai aku tertidur karena kecapaian. Hampir saya ibu ikut tertidur di sampingku. Lalu bapak datang mencolek ibu. Dia mengedipkan matanya. Ibu pura-pura tidak ngeh.
“Kenapa sih anakmu jadi suka ngamuk begitu sekarang, Bu? Namanya juga anak-anak TK, pastilah lebih senang diajak nonton film daripada pergi ke museum. Museum itu kan sama saja dengan kuburan. Makanya supaya acaranya sukses, aku usulkan pada ketua panitia, jangan ke museum, ngapain lihat barang-barang tua, lebih asyik nonton film aja!”
Ibu melotot.
Tiba-tiba saja Ibu menampar pipi bapak. Aku melonjak karena terkejut. Tamparan itu sebenarnya tidak keras. Nyamuk pun belum tentu mati dikeplak seperti itu. Aku tahu, ibu hanya ingin mengingatkan bapak, bahwa omongannya keliru. Bukan tindakan brutal, tapi justru kasih sayang, agar bapak tidak lagi melakukan kesalahan.
Tapi akibatnya luar biasa. Terlalu drastis.
Kepala bapak langsung berputar seratus delapan puluh derajat. Mukanya bergeser menghadap punggung. Dan tidak bisa kembali lagi, seperti dikunci. Aku menjerit. Ibu memekik histeris. Dan bapak tak bisa lagi mengatakan apa-apa, karena tubuhnya sudah bertentangan.
Satu abad lagi, Bapak pasti akan dipajang di museum. Dijadikan contoh soal, bagaimana nasib dari pikiran sesat yang melihat kenyataan dengan terbalik. Salah sudut memandang akan membuat semuanya menjadi rancu, kacau. Dan itu akan menyebabkan tidak punya fungsi yang penting lagi dalam kehidupan.
Seratus tahun lagi. Anak-anak yang pergi ke museum akan dibelajarkan oleh kenyataan. Inilah conton dan akibat apabila tidak mampu dan salah mengartikan, menyimak atau memberi interpretasi pada apa yang terjadi di depan mata.
Dan itu hanya bisa dilakukan dengan melihat isi museum. Museum adalah sebuah buku pelajaran yang menuntun manusia agar hidup lebih sempurna dari masa lalu. Karenanya museum penting, wajib dan mutlak dikunjungi! Meskipun apak, pengap bau dan membosankan.
Jakarta, 15 Pebruari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar