CERPEN RASA – PUTU WIJAYA
|
Memandangi koran, melahap foto
doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku
tidak berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji.
“Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku
nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan
diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di Indonesia ini masih ada
perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam
gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami
diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah
cahaya,” kataku selanjutnya menggembungkan pujian, “Hanya cahaya yang bisa
membuat negeri ini bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan.
Jadi bukan hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya,
tetapi membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang
sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan,
Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh
ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku
kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya
perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di
depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah
besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus
dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena
tidak punya jawaban. Karena istriku terus ngomel. Baru setelah kembali
sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini
rumahku. Masak aku tidak boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang
pintar. Biasanya orang cantik kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang
pintar, tapi jarang yang cantik. Karena kecantikan dan kepintaran seperti air
dan minyak, sulit digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru
surut esok paginya setelah Ami ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya
terkunci. Berarti ia bolos ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu
kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak
ada jawaban. Ya, orang sakit atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak
akan mau menjawab kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat
maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa
tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak
gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus
sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin
kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji perempuan cantik dia tersinggung.
Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain,
putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak,
gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya
jantungku terpukul. Setelah beli tablet kunyah untuk maag, aku bergegas pulang.
Ternyata pintu kamar Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku
langsung ke dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
“Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat
maag itu di atas meja belajar Ami. Koran berisi foto doktor termuda itu
tergeletak di atas buku-buku Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang
akan melihatnya. Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan
lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami
belum pulang. Aku mulai was-was.
“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah
temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa
salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi
tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau
anak perawannya larut malam belum pulang.
“Sakit kok belajar di rumah
teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
“Masak anak gadis nginap di
rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti
Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja
belajar di situ supaya dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku
mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya
untuk melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan
penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa.
Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi
perempuan dewasa. Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang
harus selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan
perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar,
sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa
aku kembali, celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku
tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak.
Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan
Rani. Ia kaget melihat bapaknya datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung
berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan
mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu
memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku
dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke
puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami
mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan
minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama
aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak
sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak
sudah menyinggung perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali
bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan
dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak
kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang
minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah
alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah
tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan
tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang
menghargai kamu. Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur.
Dulu orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara
membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada
silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu
cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami,
tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar
kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah
Rani.”
Aku terpesona.
“Jadi ibu kamu?”
“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali
ke rumah Rani, belajar terus sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu
nginap samalam lagi di situ. Biar Bapak pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa.
Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah
Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya
dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah
Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu
menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa
pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat
pulang dan langsung pulang, jangan pakai singgah di warung Pak Iskan lagi.
Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata
istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya
seorang istri yang menyayangi Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka
menunjukkan perasaannya itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak
seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani
mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah
ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab
dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku
terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa sambil melambaikan tangannya di
bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang
sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan
istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik
kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke
dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu
berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah
berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku. Ketika aku menoleh, istriku juga
sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor
itu. Seperti anak muda yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku
melangkah pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru
karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan
mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di situ,
bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak akan
mencintainya.***
Jakarta,
9 Pebruari 2010
(buat
sahabatku Iskan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar