Balikui
Cerpen: Putu Wijaya
Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 11/03/2002
Di hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter
College,
New York, Wayan harus bercerita tentang Bali.
Claudia
Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan
tinggi negeri itu,
meminta Wayan tampil sekitar satu jam. "Boleh
ngapain saja.
Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca
cerpen,
yah apa sajalah, asal Bali," kata Claudia.
Wayan jadi ngeper.
Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.
Membaca ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang
yang berbahasa Inggris, ia bisa mati kutu. Di
samping itu, apa
yang mesti diceritakannya tentang Bali. Dalam
daftar buku
wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah
komplet
menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod
yang ditulis
oleh Doktor I Made Bandem dan Doktor Fritz de
Boer.
Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba
membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa
mengisi
waktu sekitar seperempat jam. Kemudian mungkin ia
akan
memutar video pertunjukan sendratari Ramayana,
kecak
dance atau legong keraton.
Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa gerakan
tari
Bali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi
begitu
berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata
menatapnya,
ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga
ada mata
Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan
terselip satu
dua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar.
Semuanya
berantakan.
"Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya,
bahasa hancur
lebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih
berbicara di
depan Anda semua. Karena paling tidak saya bisa
menjadi
tontonan konyol," kata Wayan membuka kelas.
Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan
terkejut.
Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnya
ditertawakan. "Waduh saya jadi grogi, maaf
mungkin saya
harus permisi ke belakang dulu," kata Wayan
sambil menoleh
kepada Claudia yang ikut duduk di deretan
mahasiswa,
menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para
mahasiswa
tertawa lebih keras.
Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. "Tapi
kalau saya ke
belakang, saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih
baik saya
tahan saja, mudah-mudahan saja tidak kebablasan di
sini di
depan Anda." Para mahasiswa semakin seru
ketawa. "Maaf
saya tidak melucu." Beberapa mahasiswa
bertepuk tangan
gembira. "Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya
tidak pintar
berbicara, apalagi dalam bahasa Inggris.
Terus-terang,
sebenarnya tak ada yang perlu saya bicarakan
kepada Anda.
Anda sudah tahu semuanya.
Coba apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada.
Justru yang
tidak saya ketahui, banyak sekali. Misalnya, lho
kenapa Anda
semua harus mendengarkan cerita orang yang tidak
tahu
seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas
mendengarkan cerita Anda. Orang Bali yang harus
banyak
belajar dari orang Amerika." "Lihat saja
dari kepala sampai ke
kaki, saya sudah mencoba jadi orang Amerika. Saya
memakai
celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga
saya beli di
loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger
King.
Apalagi saya sekarang mencoba bicara dalam bahasa
Inggris
yang membuat saya sudah stres selama satu minggu.
Tapi
saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu
kan?" Wayan
tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu.
Tapi tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan
jadi
berkeringat. "Ya, terus terang saya sudah
habis-habisan
mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua
bulan di
sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup
seperti orang
New York, tetap saja saya tidak pernah bisa
berhasil jadi
orang Amerika. Ternyata sekali saya lahir sebagai
orang Bali,
saya sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang
saya coba
lakukan, berbohong atau menipu sekali pun, tetap
saja
masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja,
tidur, pacaran,
bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang
Bali." Para
mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.
"Jadi bukan pakaian, bukan makanan, bukan
juga pikiran
yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi takdir.
Dan
saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan.
Saya pernah
mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang
menjadikan saya berbeda dengan Anda semua orang
Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari
belahan
dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil
menemukan
jawabannya. Saya hanya punya contoh. Waktu saya
mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang
pertama
kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan
sampai
satu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama
lain.
Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahal
rambut, tinggi, potongan badan, kelakuan, pakaian,
nama
serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi
sebaliknya juga
terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali.
Selama satu
minggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka
sama.
Wayan semuanya.
Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang
sama
pada semua orang Bali?" Beberapa orang
mahasiswa
bergerak, siap menulis di atas catatannya.
"Maaf jangan
ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya
bohong
atau menipu kalian," kata Wayan. Para
mahasiswa tertawa
cekakan.
Wayan kembali berkeringat. "Orang bilang,
orang Bali itu
balikui," lanjut Wayan, "artinya lugu,
polos begitu. Dalam
bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya Claudia?"
Claudia
mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak
mendengarnya.
Namun para mahasiswa mencatat. "Banyak orang
mencoba
belajar kesenian Bali, tari Bali, gamelan Bali dan
sebagainya,
dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan
agemnya," kata
Wayan menyambung, "tetapi meskipun secara
matematika
sudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya
kaku. Belajar
gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak
pernah
pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang.
Masalahnya, saya kira karena mereka mencoba
mendekati
dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop. Karena
itu,
mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya
juga
mempelajari Amerika dan mengajarkan Amerika, yang
selama
ini dimulai dari bentuknya saja, harus dihentikan.
Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu
dipahami,
tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari
Bali, dan
tahu tentang Bali." Claudia memberi isyarat
pada Wayan
dengan menunjuk jam tangannya, tanda waktu sudah
berlalu.
Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.
Wayan kontan berkeringat. "Lho, saya belum
sempat lagi
mulai, kok waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf
saja,
sekian dulu," kata Wayan menyesal, sambil
memandang
Claudia seperti orang kalah perang. Para mahasiswa
bertepuk
tangan.
Jakarta, 17-5-02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar