CERPEN SITU GINTUNG – PUTU
WIJAYA
|
”Ami harus ke Jakarta, melihat
tragedi Situ Gintung,” kata Ami di meja makan.
Pak Amat dan Bu Amat lirik-lirikan.
Tapi Ami tidak peduli.
”Ami mau melihat apakah bencana itu
betul musibah akibat alam semakin buas atau keteledoran pemerintah yang sudah
tidak peduli lagi pada tugasnya untuk mengayomi rakyat. Atau keteledoran,
kealpaan dan kebandelan penduduk yang membangun rumah di wilayah yang
semestinya untuk resapan air? Atau gabungan dari semua itu? Di samping itu kita
harus nyumbang dong!”
Bu Amat menarik napas panjang.
”Ongkosnya dari siapa?”
”Ya dari Bapak dan Ibu, masak dari
langit!”
Bu Amat mengangguk. Ini mengulang
kejadian ketika Ami mau ke Yogya pada masa gempa. Hanya Amat yang bisa
menyelesaikan persoalan itu.
”Bagaimana Pak?”
Amat batuk-batuk.
”Bagaimana Pak? Ada duit nggak.
Paling juga lima juta.”
Amat seperti kelenger mendengar
jumlah itu. Ia perlu menenggak air putih sebelum menjawab sambil mengendalikan
perasaan.
”Baik. Kamu mau berangkat kapan?”
Bu Amat terkejut.
”Tunggu! Jangan iya, iya saja.
Uangnya dari mana?”
”Tenang, Bu, di mana ada kemauan, di
situ ada jalan.”
Amat berdiri sambil mengulurkan
tangan pada Ami.
”Bapak boleh pinjam motor kamu?”
”Bapak mau ke mana?”
”Boleh tidak?!”
Ami terpaksa mengulurkan kunci
motor.
”Bapak jangan aksi-aksian naik motor
nanti kalau vertigonya kumat bagaimana?”
Tapi Amat tak peduli. Tak lama
kemudian terdengar suara motor dihidupkan. Bu Amat bergegas hendak mencegah.
Tapi Amat sudah meluncur. Hampir saja dia menabrak anjing yang melintas di
depan pagar. Motor dibelokkan tajam, hampir masuk ke selokan.
”Pakkkk!”
Amat beruntung dapat mengendalikan.
Sambil membunyikan klakson, dia meluncur ke jalan besar. Bu Amat mengurut dada.
”Bapakmu kalau sudah merasa terhina,
begitu kelakuannya.”
”Terhina?”
”Habis kamu kan minta disediakan
lima juta. Jangankan lima juta, untuk beras minggu depan saja kita belum tahu
dari mana. Sebagai kepala rumah tangga bapakmu merasa bertanggung jawab
mencukupi kebutuhan kita, jangan-jangan...”
”Motor Ami mau digadaikan!”
”Mendingan. Kalau dijual?”
Tapi kedua tebakan itu salah.
Satu hari Amat tidak pulang. Bu Amat
dan Ami menunggu dengan cemas. Hampir pukul 07.00 baru Amat muncul. Mukanya
lusuh. Lutut celananya robek.
”Dari mana Pak? Bikin degdegan
saja!”
Amat tidak menjawab. Dia menenggak
air putih dua gelas, lalu duduk di kursi seperti ambruk. Bu Amat mengambil
handuk dan baju bersih.
”Jangan keluyuran seperti anak muda.
Kamu sudah tua, Pak! Cepat mandi biar bersih, kubikinkan air panas sekarang.”
Amat nyengir.
”Aku tadi ngojek.”
”Apa?”
”Aku coba ngojek tadi, tapi hasilnya
nol. Nggak ada yang percaya. Aku malah diketawain. Akhirnya aku ngantar siapa
saja yang mau numpang, tanpa dibayar. Hitung-hitung untuk promosi. Kalau aku
yang ngantar pasti selamat. Besok kalau aku ngojek lagi, mereka pasti rebutan.
Tapi hampir pulang tadi, aku nabrak anjing dan jatuh ke selokan. Untung
motornya tidak hancur. Badanku saja yang remuk.”
Bu Amat kaget. Ami cepat ke depan
melihat motornya.
”Jatuh ke selokan? Patah tidak?”
”Entahlah di dalam sana. Kata
pemuda-pemuda yang nolongin, baiknya besok di-rontgen siapa tahu di dalam ada
yang salah.”
Bu Amat mendekat lalu mengurut badan
suaminya.
”Sakit?”
”Nggak. Enak.”
Bu Amat terus mengurut sekujur tubuh
Amat.
Ami muncul dengan muka cemberut...
”Bapak tadi pulang bagaimana?”
”Ya jalan.”
”Jalan?”
”Habis motornya tidak bisa
di-starter, terpaksa dituntun. Untung ada anak-anak yang bantuin dorong. Pelek
depannya bengkok.”
”Makanya... Jangan bilang motornya
tidak apa-apa. Besok mesti dimasukin ke bengkel. Seminggu kali tidak akan bisa
dipakai lagi.”
”Ya sudah, habis mau diapain. Untung
Bapakmu tidak apa-apa Ami. Makanya jangan sok mau ke Situ Gintung dan minta
lima juta. Bapakmu kan jadi bingung.”
Ami mendekati Amat.
”Ya Pak? Bapak bingung karena Ami
mau ke Situ Gintung dan minta lima juta?”
Amat nyengir.
”Tidak.”
”Kalau tidak kenapa kalap pinjam
motor sama anak mau jadi tukang ojek? Itu kan namanya goblok. Tukang ojek
beneran juga tidak akan bisa ngumpulin lima juta sehari, apalagi Bapak yang
punya vertigo.”
”Namanya pengalaman, hikmahnya
pembelajaran”
”Ah! Pengalaman lagi, pengalaman
apa? Bom Bali, tsunami, gempa Yogya, Lumpur Sidoarjo kan cukup! Kapan
belajarnya kok nggak tamat-tamat?”
”Belajar itu seumur hidup, Bu, tak
pernah tamat.”
”Sudah ah! Mandi pakai air dingin
saja sana! Capek aku ngurus orang bandel! Kalau menjawab paling pinter!”
Bu Amat ngeloyor ke dapur. Tinggal
Amat dan Ami. Amat meraih sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop.
”Ada orang yang ngasih ini ketika
tahu kenapa aku ngojek, Ami.”
Ami menyambut amplop itu. Ketika
dibuka ia tercengang. Isinya lima juta.
”Tabungan Bapak ya?”
Amat mengangguk.
”Bapak terharu melihat semangatmu
mau membongkar tragedi Situ Gintung itu, Ami. Bapak jadi malu menyembunyikan
simpenan sementara ada saudara-saudara di Situ Gintung membutuhkan pertolongan.
Api pengorbanan kita sudah hilang, karena semua orang mengejar kemapanan. Yang
berkobar sekarang semangat dagang, semangat cari untung. Mudah-mudahan kita
dijauhkan dari pemimpin pedagang! Kamu berangkat ke Jakarta besok!”
Semalaman Ami memandangi amplop yang
berisi lima juta itu di kamarnya. Terus-terang ia tidak pernah sungguh-sungguh
ingin pergi ke Jakarta menyaksikan tragedi Situ Gintung dari dekat. Apalagi mau
membongkar siapa yang bersalah atas kematian 97 korban dan 126 penduduk
setempat yang hilang.
Menyumbang juga hanya karena
tuntutan rasa bersalah.
”Itu hanya gertak sambal, omongan
gagah anak ingusan yang aku harapkan langsung akan dibantai oleh Bapak dan
Ibuku,” kata Ami kepada Chita, ”eh nggak tahunya bapakku malah menanggapi
serius. Bukan dia yang terharu dan malu, malah aku sekarang yang terharu dan
malu, karena patriotisme bapakku itu ternyata masih tebal. Semangat
kemanusiaannya masih hebat. Masak dia rela nyomot duit simpenan yang diam-diam
ditabung, hanya karena aku ingin ke Situ Gintung? Aku kan hanya sok-sokan,
galak di mulut. Paling banter kalau ke Situ Gintung, Jakarta, aku hanya akan
jadi turis yang merepotkan para relawan.”
Chita ketawa.
”Kamu jangan ketawa jelek begitu!”
”Aku tidak ketawa meskipun kelihatan
ketawa. Aku yakin kamu akan ke Jakarta.”
”Stop! Jangan main
paranormal-paranormalan lagi. Aku muak. Aku mau kamu jadi Chita manusia biasa
saja!”
”Ya. Tapi kamu akan ke Jakarta.”
Ami melotot.
”Nantang taruhan ini?”
”Boleh!”
”Kalau aku tidak ke Jakarta, kamu
berhenti main sok paranormal. Kalau dilanggar, semua tikus di rumahmu mati!”
Chita ketawa.
”Bagus kalau rumahku berhenti jadi
sarang tikus! Tapi kamu pasti ke Situ Gintung Jakarta, minimal pikiranmu sudah
di situ!”
Ami mengeluarkan amplop dari tasnya.
”Nih lihat. Duit ini akan aku
kembalikan sama bapakku. Ngapaian mesti ke Jakarta, di koran juga jelas.
Tragedi Situ Gintung terjadi karena waduk air itu kurang diurus. Yang
bertanggung jawab lebih sibuk ngurus kepentingannya sendiri. Apalagi zaman
pemilu seperti sekarang. Semua berjuang mempertahankan kursi, negara ditinggal,
rakyat dilupakan. Tapi masyarakat juga bandel. Merdeka diartikan boleh nekat
mendirikan rumah di radius yang mestinya diamankan untuk menjaga kelestarian
tanggul. Jelas semua salah!. Kalau mau tahu lebih jauh, tinggal buka internet.
Tragedi Situ Gintung itu sama dengan semua tragedi yang lain, sinergi dari
kealpaan, pelanggaran dan ketidakpedulian!”
Malam hari Ami langsung
mengembalikan lima juta itu pada bapaknya. Amat manggut-manggut saja mendengar
keputusan Ami.
”Kalau begitu Ami, kalau kamu tidak
mau berangkat ke Situ Gintung, bagaimana lima juta ini disumbangkan saja lewat
posko kepada para korban tragedi Situ Gintung?”
”Untuk apa?”
”Ya sebagai tanda solidaritas!”
”Masak Bapak yang hanya punya
simpenen lima juta yang harus bersolidaritas? Bagaimana yang punya lima milyar
atau lima triliun?”
Amat berpikir.
”Ya mereka tak usah menyumbang,
mereka sudah terlalu repot ngurus duit yang begitu banyak.”
”Jadi rakyat negeri ini akan dirawat
oleh orang-orang miskin seperti kita?”
”Siapa bilang kita miskin Ami? Bapak
punya lima juta dan Bapak rela menyumbang. Kita tidak miskin. Kita bahkan
sangat kaya. Yang punya lima miliar juga tak berani menyumbang. Ya tidak?”
Ami mulai panas.
”Bapak tidak usah menyindir di
telinga Ami. Berteriak di dasar hati mereka orang-orang kaya itu juga tak akan
mereka pedulikan. Mereka itu pedagang, memang tugas sucinya adalah menggandakan
duit. Untung banyak saja bagi mereka tidak cukup, kalau masih ada orang lain
yang untungnya lebih banyak. Kita sekarang hidup di dalam pasar yang membuat
kita semua jadi kambing perahan, Pak. Kita mesti berontak!”
”Jangan begitu Ami. Tidak semua
orang kaya itu busuk!”
”Busuk semua!”
”Kamu salah!”
”Coba Bapak sebut satu saja, mana
orang kaya yang tidak busuk? Kalau mereka baik bagaimana bisa ngumpulin duit!”
”Kamu tidak tahu?”
”Nggak!”
”Kamu nggak sadar?”
”Nggak!”
Amat menatap Ami, lalu menyentuh
kepala anaknya.
”Kita orang kaya Ami. Kita tidak
ikut digerus oleh bencana itu. Itu kekayaan yang tidak ternilai. Situ Gintung
itu sebuah kemalangan yang mengingatkan bahwa kamu orang kaya. Orang yang masih
mau memikirkan orang lain yang kesusahan, padahal kamu juga kekurangan!”
Ami tertawa.
”Itu filsafat Pak! Jangan dicampur
aduk! Bapak jangan pikir Bapak akan masuk surga hanya karena menyumbang lima
juta yang sudah Bapak tabung selama 3 tahun untuk bisa membelikan Ibu hadiah
pernikahan perak! Biar Ami serahkan uang ini pada Ibu saja!”
Ami lalu merebut amplop itu kembali.
Amat tak sempat mencegah. Ami langsung mencari ibunya yang sedang ngobrol di
tetangga. Amat juga tak berusaha untuk menyusul. Ia masih terkejut sendiri oleh
apa yang barusan dikatakan.
”Jadi aku ini diam-diam orang kaya
juga,” bisik Amat menikmati dirinya.
Tak lama muncul Bu Amat dan Ami.
”Jadi ini tabungan Bapak?” tanya Bu
Amat mendamprat sengit.
Amat tak menjawab.
”Bapak sekarang kok sukanya
ngumpet-ngumpet begini sih?! Pakai nyumbang orang lima juta lagi. Keenakan yang
mestinya tanggung jawab dong! Lha dulu waktu adik ipar sendiri kesulitan sampai
jual mobil segala, kenapa hanya nyumbang doa? Ini terlalu, Pak!”
Tiba-tiba Bu Amat menyodorkan amplop
uang itu ke tangan Amat. Lalu masuk ke kamar sambil menghapus air mata yang
bercucuran. Entah teringat pada penderitaan adik yang rumahnya hampir disita
karena tak mampu mengembalikan kredit dari bank. Atau karena merasa dibohongi
oleh suami yang selalu mengaku tak punya uang, padahal di situ ada lima juta.
Ami baru sadar, ia sudah membawa
persoalan. Ia mengerling Amat dengan perasaan menyesal.
”Sori, Pak. Kirain Ibu akan senang.
Malah jadi masalah!”
Amat mengangguk.
”Sudah kamu ke kampus saja. Nanti
semua beres.”
Ami mendekati Amat.
”Sudah Ami, kamu berangkat saja.”
Ami menunjuk ke amplop uang di
tangan Amat.
”Terus itu mau diapain?”
Amat berpikir.
”Kalau Bapak mau menyumbangkan ke
Situ Gintung, Ami akan bantu pertangungjawabannya ke Ibu. Tapi kalau Bapak
kembali menyimpannya sebab itu ditabung untuk Ibu, Ami juga mendukung. Niat
menyumbang itu saja sudah cukup. Bantuan untuk Situ Gintung tak mungkin
berkurang hanya karena Bapak menarik lima juta, karena niat Bapak untuk berbuat
baik itu jauh lebih besar. Itu yang sebenarnya lebih diperlukan. Orang yang
menyumbang uang, habis menyumbang uang sudah selesai, padahal persoalannya
masih panjang. Orang yang memberikan simpati akan terus mengikuti tragedi itu
sampai tuntas.”
Amat mengangguk.
”Betul. Bagus Ami. Pikiranmu luhur.
Nanti akan Bapak sampaikan itu.”
Ami tercengang.
”Apa?”
”Ya. Akan Bapak sampaikan pada orang
kaya yang tidak mau disebut namanya itu, nanti waktu mengembalikannya.” ***
Jakarta 2 April 09
Catatan:
Honor cerpen ini disumbangkan untuk
korban tragedi Situ Gintung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar