Banjir
karya : Putu Wijaya
Saya bengong mengikuti penjelasan
seorang pejabat yang diwawancarai seorang pembawa acara jelita di televisi,
perihal banjir.
"Ya Tuhan aku sedih!"
"Kok sedih. Bang?"
"Habis, ternyata perilaku
pejabat-pejabat kita masih sama saja di mana-mana!!"
"Kenapa Bang?"
"Bukannya menjelaskan bagaimana
caranya menghadapi keganasan banjir yang nampaknya di luar batas pengamanan
yang sudah dipersiapkan sebelumnya dengan biaya triliunan rupiah! Kok malah
sibuk bela diri! Lihat!"
"Lho, bukannya beliau sudah
menjelaskan, segala upaya sudah dilakukan, tapi memang banjirnya terlalu buas.
Australia juga kabarnya banjir, Bang."
"Memang. Tapi mukanya itu lho,
lihatin, kereng banget! Takut dibilang salah kali! Kuno! Pejabat kalau
diwawancarai, mesti selalu merasa dirinya sedang dipojokkan. Akhirnya bukan
mencerahkan tapi repot bela diri, seperti pesakitan di pengadilan. Mukanya,
kata-katanya, aduh biung! Mbok belajar akting sedikit dong! Lho kepada siapa
lagi rakyat mengeluh mencari keseimbangan? Kepada siapa lagi rakyat menuding?
Kepada siapa lagi rakyat memprotes, kalau bukan kepada para pejabat?
Pemimpinnya! Dia kan orang yang dipilih rakyat untuk duduk di kursi dan
bertanggung jawab terhadap keselamatan rakyat secara keseluruhan? Kalau perlu
kita jadikan bal-balan. Memangnya jadi pejabat itu enak?"
"Tapi Bang, beliau tadi kan
sudah menjelaskan usaha penanggulangan banjir sudah dilakukan secara maksimal,
bukannya tidak. Banjir itu setiap tahun sudah langganan. Ini kan bonus banjir 5
tahunan. Lagipula soal bencana alam sebenarnya bukan hanya tanggung jawab
beliau. Ini banjir kiriman dari pedalaman. Di situ hutan dibabat untuk
pemasukan daerah. Wilayah resapan air dijadikan real estate agar pemasukan
daerah berlipat! Banjir kan hanya buntutnya."
"Itu dia! Di situ dapat duitnya
kita yang kena tainya. Tiap tahun rakyat ditomplok banjir. Mestinya diatur
dong. Tidak cukup dikoordinasi tetapi diberikan penalti. Hutan gundul, wilayah
resapan air dibabat jadi pemukiman, itu bukan hanya urusan daerah, tapi
menyangkut nyawa kita di pesisir sini. Kita saling terkait, tidak bisa hidup
sendiri-sendiri. Konsep metropolitan sudah berubah sekarang menjadi era
megapolitan. Kita ini semua sudah jadi sebuah pemukiman besar dan karenanya
mesti satu komando!"
"Jadi mestinya bagaimana,
Bang?"
"Ya itu tadi! Daerah di hulu
kudu bantu! Apa pun yang mau mereka lakukan, harus melihat akibatnya pada kita.
Sebab kalau kita kebanjiran, ekonomi lumpuh, wabah merebak, lalu-lintas macat,
korban berjatuhan, nanti dampaknya membetot mereka juga. Pasti harga beras akan
melambung! Jadi kesejahteraan kita adalah kesejahteraan mereka! Itu prinsip!
Mesti kita hayati bersama-sama! Nggak bisa bilang: memang gue pikiran, itu
bukan urusan gue!"
"Tapi Bang, apa betul hanya
mereka yang salah? Penduduk dalam kota juga tidak punya kesadaran dalam buang
sampah. Akibatnya selokan dan sungai mapat. Hujan gerimis saja sudah bikin
banjir. Itu rumah ponakan kita di sana, dulu bertahun-tahun tidak pernah
banjir. Aman katanya. Tapi sejak ada pembangunan di sekitarnya, tiba-tiba kerendam
air sekarang!"
"Ya itu ulah dari para
pengusaha real estate yang kerasukan membangun tapi tidak pernah memperhatikan
sanitasi. Kenapa mereka tidak ditegur dan dihukum. Itu kan kriminalitas! Memang
salah penduduk juga, kok nggak pernah mikirin panjang keselamatannya sendiri.
Kan udah tahu tiap tahun ada banjir, ngapain tinggal di sungai? Ngapain buang
sampah seenak udelnya! Ehhh malah ketawa. Udah langganan katanya. Udah biasa.
Udah tahu kunci-kuncinya! Baru kalau ada yang mati, pada gentayangan cari kambing
hitam. Ya siapa lagi, kalau bukan para pejabat dan pemerintahlah yang
dituding-tuding tidak becuskah, kurang sigapkah, tidak tanggapkah! Emang rakyat
itu anak TK semua yang makan juga harus disuapi?"
"Ya sudah kalau begitu, Abang
sudah jawab sendiri."
"Jawab apaan?"
"Ya kenapa para pejabat kalau
bicara di depan umum suka marah dan membela diri!"
"Itu tidak boleh!"
"Lha Abang tadi membela diri
begitu!"
Saya terkejut.
"Begitu gimana?"
"Ya marah-marah, main tuding,
cari kambing hitam seperti pejabat!"
"O ya. Aku tadi bela diri
seperti pejabat ya?"
"Ya. Bela diri! Ngotot!
Menunjukkan sudah mikir panjang-lebar, sudah berbuat maksimal, tapi apa daya
terlalu banyak salah orang lain dan bencananya lebih dari yang
diperkirakan!"
Saya tertegun.
"Lho apa yang sudah bikin aku
jadi begitu? Aku justru menolak bela diri, sebab itu namanya hanya sayang diri
sendiri! Alias debat kusir!"
"Ya nggak tahu! Pikir saja
sendiri!"
Saya lalu ditinggal sendirian. Saya
lama berpikir. Kemudian saya kembali melotot ke pesawat televisi. Di situ
pejabat itu masih diwawancarai. Tetapi sekarang beliau sudah lain. Ada
perubahan drastis. Mukanya nampak bersalah dan sedih. Ia sama sekali tidak
membela diri lagi. Beliau sudah menyerah dan nyaris membuat pengakuan dosa.
Pembawa acara itu menyerang.
"Apakah Bapak tidak merasakan
bahwa segala upaya mengantisipasi banjir sudah gagal?"
Tak terduga-duga, pejabat itu
menjawab lirih, "Ya."
"O ya?"
"Ya."
"Tanda persiapan Bapak bukan
saja kurang, bahkan mungkin salah kaprah, seperti yang disinyalir oleh media
massa?"
Pejabat itu menundukkan muka lalu
mengangguk nelongso.
"Ya. Saya kira begitu."
"O ya?"
"Ya."
"Apakah itu hanya sekadar
kegagalan atau keteledoran?"
"Kedua-duanya. Bahkan juga
tanda ketidakmampuan. Bisa jadi ketololan."
Pembawa acara itu terpesona. Tapi ia
masih mencecar.
"Kalau begitu apa upaya Bapak
selanjutnya?"
Pejabat itu menarik napas panjang
seperti orang putus asa. Mukanya kosong dan pucat.
"Ya tidak ada lagi yang bisa
saya lakukan. Sudah terlalu terlambat. Tinggal menunggu banjir itu reda saja.
Paling-paling banyak-banyak berdoa supaya badai segera berlalu."
"Hanya berdoa?"
"Ya."
"Apa doa saja cukup?"
"Ya tidak."
"Jadi?"
"Ya berdoa saja. Berusaha
sudah, tetapi tak ada hasilnya."
"Jadi Bapak percaya doa akan
menyelesaikan masalah banjir?"
"Bukan. Banjir baru akan
selesai kalau air surut. Dan pasti akan surut. Hanya soal kapan, itu yang kita
tidak tahu. Tapi ?"
"Tapi apa Pak?"
"Yahhh, meskipun nanti surut
dengan sendirinya, tidak ada jaminan tahun depan tidak datang lagi. Dan lima tahun
lagi, ya seperti sekarang, siklus lima tahunan, pasti akan jadi banjir
akbar."
"Jadi Bapak sudah tahu
semuanya?"
"Ya sudah."
"Lalu tindakan Bapak?"
Pejabat itu tersenyum sedih. Kecewa
dan menyesal terhadap dirinya sendiri. Ia benar-benar nampak tidak berdaya.
Lalu perlahan-lahan menggeleng.
"Saya tidak tahu."
"Tapi Bapak kan harus tahu?!
Bapak kan pemimpin kami!"
"Ya memang."
"Kenapa jadi tidak tahu?"
"Ya itulah."
"Lho, itulah apa?"
"Itulah kegagalan saya."
Mata penyiar itu bersinar.
"Jadi Bapak merasa gagal?
Maksud saya, Bapak mengaku gagal?"
"Kenyataannya begitu."
"Bapak jujur sekali."
"Terima kasih."
"Tapi kejujuran saja tidak
cukup kan, Pak?"
"Memang."
"Lalu usaha Bapak
selanjutnya?"
"Itu tadi. Tak ada."
"Tak ada?"
"Ya sekarang saya hanya bisa
berdoa."
Pembawa acara itu menolehkan
wajahnya pada para pemirsa. Walaupun tidak mengatakan apa-apa, suaranya jelas
sekali terdengar. Ia mengumpat mewakili hati masyarakat.
"Inilah kualitas para pemimpin
kita. Hanya mampu menebarkan pesona ketika sedang menarik simpati untuk
mendapatkan dukungan untuk merebut kursi. Tetapi setelah berkuasa tak mampu
berbuat apa-apa. Akhirnya mengajak berdoa, seakan-akan kita tidak pernah
berdoa. Dia itu yang harus berdoa karena sudah lama lupa daratan!"
Setelah memberi kesempatan agar
pejabat itu menambahkan keterangannya, namun sia-sia, karena pejabat itu sudah
menyerah, perempuan itu kembali menggugat.
"Kalau begitu apa
pertangungjawaban Bapak sebagai pejabat dan pemimpin, kepada rakyat yang sudah
mempercayakan kepemimpinan kepada Bapak?"
"Tidak ada."
"Tidak ada?"
"Tidak ada. Ternyata kapasitas
saya tidak memadai. Kaliber saya tidak cukup besar untuk menduduki kursi yang
membutuhkan kepemimpinan yang lebih tangguh dan kuat. Saya sudah tidak bergigi.
Saya menyesal sekali. Tak ada yang salah, sayalah yang salah. Diberikan
kesempatan sekali lagi pun, saya tidak akan berhasil menyelesaikan persoalan
ini. Saya minta maaf sebesar-besarnya pada rakyat."
Pejabat itu memalingkan muka. Ia
mengusap air matanya yang berleleran di pipi. Penyiar yang mewawancarainya
terkejut, lalu cepat-cepat mengulurkan kertas tisu.
"Sabar Pak, kita semua juga
menangis. Kalau Bapak ikut menangis, nanti siapa yang akan memimpin rakyat
keluar dari bencana ini," hibur penyiar itu, tapi sebentar kemudian ia sudah
menerjang lagi.
"Jadi apa tindak lanjutnya,
Pak?"
"Ya sudah, tidak ada
lagi."
"Tidak ada sama sekali?"
"Ya."
Pembawa acara itu bingung.
"Maksud Bapak, Bapak akan
membiarkan saja banjir itu menghajar warga?"
"Saya tidak bisa berbuat
apa-apa lagi."
"Kenapa?"
"Saya akan lengser."
Pembawa acara itu terperanjat.
"Apa?"
"Saya akan mundur."
"Lho kok mundur?"
"Ya. Habis apalagi. Saya akan
meletakkan jabatan, karena saya tidak mampu lagi menjabat dan memimpin. Biarlah
orang yang lebih mampu yang menggantikan saya, agar rakyat tidak sia-sia
menyerahkan mandat. Mulai detik ini juga, saya mohon dibebaskan dari tugas
karena tidak berdaya lagi. Saya pamit supaya jangan terlalu terlambat."
Pejabat itu lantas mecopot lencana
di dadanya dan meletakkan di depan penyiar itu. Penyiar itu ternganga. Belum
pernah ada kejadian seperti itu di televisi, bahkan juga di Indonesia. Belum
pernah ada pejabat yang salah merasa dirinya bersalah, lalu segera mengundurkan
diri dengan sukarela, tanpa ada yang minta. Ini baru dalam sejarah. Mungkin
akibat reformasi.
Yang umum, biasanya, walaupun sudah
disoraki rakyat agar hengkang, bahkan dicopot jabatannya, yang bersangkutan
tetap saja mempertahankan kursinya. Terus ngotot mengemban jabatan. Karena
beliau sudah tahu, tak lama lagi masyarakat akan segera lupa. Terlalu banyak
yang terjadi sambung-menyambung di negeri ini. Apalagi konon bangsa kita memang
suka memaafkan kesalahan orang, cepat melupakan sejarah.
Saya bengong. Tapi dada saya
menggelegak panas. Kenapa persoalan besar yang menyangkut nyawa dan nasib
ratusan ribu orang, jadi berakhir semudah itu? Bagaimana mungkin kesalahan
besar dihapus dengan begitu sederhananya, seperti melipat baju kotor, lalu
dibuang ke keranjang. Seakan-akan tidak ada yang harus dipertanggungjawabkan.
Alangkah enaknya berkuasa kalau kesalahan bisa begitu saja dielakkan tanpa ada
sanksi. Saya tidak terima. Saya harus protes keras. Namun, saya tindas perasaan
itu dan menenangkan pikiran. Mencoba melihat semuanya dengan jernih. Berusaha
memahami yang sebelumnya tak pernah saya ketahui. Mana yang lebih baik seorang
pejabat yang nrimo dan menyerah, sehingga kita jadi ikut lemes dan pasrah? Atau
seorang pejabat yang angkuh, tidak mau mengaku salah, tapi membuat kita marah,
kesel, kembali berdarah dan mau melabrak?
"Abang ngapain, kok dahinya
bergelombang?"
"Yah setelah aku pikir-pikir,
betul juga."
"Apanya yang betul?"
"Banjir ini bukan masalah yang
gampang. Apa pun yang kita lakukan, tetap saja akan kebanjiran. Siapa pun yang
menjadi pemimpin, apa pun yang di upayakan, banjir ini tetap saja tidak akan
bisa diatasi."
"O begitu?"
"Ya."
"Jadi ini semua normal."
"Sebenarnya tidak normal. Tapi,
ini sudah di luar kekuasaan kita."
"Kalau begitu, berarti kita
harus belajar hidup di atas banjir?"
Saya tak sempat menjawab, karena wanita
cantik pembawa acara di televisi itu berkata: "Para pemirsa, hari ini, 5
tahun lalu, sama-sama tanggal 2 Februari, sejarah berulang. Banjir datang
melanda kita dengan cara yang sama. Kita pun menghadapinya dengan cara yang
sama. Kita juga menyikapinya dengan nama yang sama. Bencana alam. Hanya saja
sekarang wilayah-wilayah yang dulu tidak terjamah, sudah ikut tertutup air.
Saksikan saja gambar di layar kaca Anda. Bukankah itu bukti sekarang orang tua
sudah kehilangan tongkat berkali-kali?"
Layar televisi terbelah dua,
menampilkan banjir lima tahun berselang dan yang kini masih menggenang. Saya
terpagut. Nampak penduduk yang tadinya segan diungsikan, karena takut
barang-barangnya hilang, kini terpaksa turun gunung. Ada yang diangkut dengan
perahu karet, ada yang digendong, naik truk, numpang pedati dan ada juga yang
memakai dokar.
Yang mengejutkan saya, aneh sekali,
mereka semua para korban itu, masih bisa tersenyum. Anak-anak tetap ceria di
atas atap rumahnya, walau air yang butek tambah tinggi tidak ada jalan keluar,
sementara dari pedalaman kiriman tak putus-putus. Tak ada lagi yang menyalahkan
pemerintah. Ternyata mereka sudah terlatih menerima nasibnya.
"Para pemirsa, kita sekarang
tidak hanya menghadapi banjir, tetapi menghadapi jiwa yang pasrah karena sudah
terbiasa kebanjiran. Ini bencana yang akan menghancurkan masa depan kita,
karena anak-anak kita sudah ditempa rela menerima nasibnya. Jadi kita tidak
saja membutuhkan seorang pemimpin yang bisa membebaskan kita dari banjir, tapi
seorang pemimpin yang bisa mengikis penyakit jiwa menyerah itu," kata
penyiar itu dari balik gambar.
"Kita harus merobohkan takhayul
yang mengatakan bahwa banjir ini adalah bencana alam yang sudah menjadi
langganan dan tidak bisa diatasi oleh pemimpin mana pun. Kita harus cari
pemimpin yang mampu membebaskan kita dari penyakit jiwa yang kalah!"
Saya termenung.
"Lho sekarang kok ngelamun,
Bang?"
"Yalah."
"Kenapa yalah?"
"Habis, bukan hanya hunian kita
yang kebanjiran, pikiran kita juga sudah lama terendam. Kita sudah kehilangan
pegangan."
"Kenapa bilang begitu?"
"Karena kita sudah
pasrah."
"Jadi?"
Jadi darah kita harus bergelora
kembali. Jangan duduk berpangku tangan, singsingkan lengan baju, kibaskan watak
nrimo, serbu, serang, terang, seperti sajak Diponegoro karya Chairil Anwar.
Tak mampu menahan gempuran perasaan
sebal lagi, lalu saya menggebrak. Saya melotot ke arah wajah pejabat di
televisi itu dan mengumpat habis.
"Apa? Bapak bilang, Bapak mau
mundur? Enak aja! Tidak bisa! Tidak bisa! Itu gila! Masak begitu! Pejabat tidak
boleh menyerah seperti itu! Pejabat harus berani, keras, ngotot, bersemangat!
Pemimpin harus terus melawan apa pun kesulitan yang dihadapi. Karena itulah dia
disebut pemimpin. Seorang pemimpin wajib memberi tuntunan, inspirasi, dan mampu
mengembalikan keyakinan masyarakat membangun kesadaran, mengobarkan semangat
rakyatnya! Dia harus bisa menghimpun kekuatan rakyat untuk menghadapi segala
macam tantangan. Pemimpin tidak boleh memble! Pemimpin harus mengalahkan
perasaannya sendiri dan tidak boleh terpengaruh oleh malu, lemah dan putus asa.
Pemimpin harus keras kepala! Dablek! Rai gedek! Rakyat jelata boleh kalah tapi
seorang pemimpin pantang mengalah. Walaupun sudah salah tapi pemimpin sejati
tidak boleh menyerah! Kalau perlu marah, marah, marah terus, labrak, maki-maki,
tuding, koar-koar agar telinga kita semua pekak, lalu seruduk ke depan seperti
badak! Itu baru pemimpin! Kalau perlu cari kambing hitam, sembelih, agar rakyat
bangkit dan berkobar lagi semangatnya! Jangan memble! Sialan!"
"Lho Bang? Bang! Bang!
Banggg!!!"
Lamunan saya langsung rontok. Di
layar televisi nampak iklan rumah mewah, gaya hidup sehat dan wah. Saya
terhenyak. ***
Jakarta, 4 Februari 07
Catatan: Honor cerpen ini mohon
langsung disumbangkan pada korban banjir ibu kota (PW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar