Maling Jambangan Bunga


Maling7
Putu Wijaya

Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat
ngamuk.
"Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming.
Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!" teriak Amat
mencak-mencak.
Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan
segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.
"Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!" kata Amat
pada Ami, "semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mulamula
burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas.
Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu
kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang
bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci,
lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi
kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam
dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga
pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir.
Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia
dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan
bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya
karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu
kamu itu bekas pacarku. Padahal … ."
"Padahal memang iya kan!" potong Bu Amat yang tiba-tiba muncul
membawa pisang goreng.
Amat langsung menaikkan suara, mengoper jauh ke soal lain.
"Jadi pacaran itu bukan tidak boleh, tapi mesti ada batasnya Ami!
Kamu ini bukan perempuan biasa. Kamu ini jadi rebutan. Ke mana
saja pergi banyak harimau mau menerkam. Ya kan, Bu? Aduh
pisang gorengnya harum sekali, pasti enak ini!"
"Sudah tidak usah dipuji, langsung saja dimakan. Dipuji juga tidak
akan tambah enak," kata Bu Amat mengulurkan pisang pada
suaminya.
Amat meraih pisang dan langsung hendak disodokkannya ke mulut.
Tapi kemudian ia tertegun. Pisang itu dipijit-pijitnya, lalu menoleh
istrinya sambil melotot.
"Pisang apa ini keras?"
"Pisang dari porselen. Untuk ganti vas bunga yang hilang itu."
Ami tertawa cekakan lalu mengambil pisang itu dari tangan
bapaknya.
"Wah ini persis banget. Dapat dari mana Bu?"
Bu Amat tersenyum.
"Itu hadiah ulang tahun dulu, dari anak bupati yang naksir Ibu."
"Bagus amat."
"Katanya itu buatan Cina dari dinasti Ming."
"Wah sama dengan vas bunga yang hilang ya?"
"Sama..."
"Harganya juga 10 milyar?"
"Ya kalau asli. Itu kan buatan lokal."
"Palsu?!"
"Ya itu keahlian kita.. Di pasar Mangga Dua Jakarta apa yang tidak
ada."
"Persis sekali."
"Tapi ibu tahu itu barang palsu, makanya ibu menolak sebab dia,
karena sudah menipu. Ibu lebih percaya pada orang yang sederhana
tetapi jujur seperti bapakmu ini. Hanya saja sekarang lagi kumat
darah tingginya."
Amat langsung bela diri.
"Bukan begitu. Aku kesal kok jambangan bunga kesayangan bisa
hilang."
Bu Amat tertawa.
"O masih cinta sama jambangan itu ya? Atau cinta sama yang lain?"
"Aku kesel!"
"Kesel kenapa?"
"Kalau bukan karena keteledoran kita, jambangan itu tidak akan
hilang."
"Keteledoran siapa?"
"Ya kita semua. Apa susahnya memasukkan jambangan bunga itu
kalau sudah malam. Kan biasanya juga begitu. Sandal-sandal juga
sekarang tidak berani kita taruh di luar sebab banyak orang mengira
apa yang dibiarkan di luar itu boleh dipinjam selamanya. Jadi
sebenarnya itu kesalahan kita!"
"Kok kesalahan kita, salah pencuri itu dong!" potong Ami.
"Salah kita, Ami!" sergah Amat. "Itu kesalahan kita. Maling tetap
maling. Apa yang bisa dia maling akan dimalingnya. Kalau ada
barang hilang bukan salah maling itu, tapi salah kita. Kenapa kita
tidak hati-hati!?"
Bu Amat tercengang.
"Jadi yang salah aku dan Ami?"
"Pokoknya bukan salah maling itu!"
"Jadi salah aku dan Ami?"
"Ya kita semua!"
Bu Amat melengos, menghentakkan kaki karena tak setuju. Sambil
merengut dia balik masuk rumah.
"Sama dengan kasus Lapindo itu, Bu!"
Bu Amat tidak menjawab, sebagai jawabannya pintu digebrakkan
keras.
"Wah ini alamat buruk," desis Amat.
Ami menghampiri bapaknya.
"Kenapa Bapak bilang sama dengan kasus Lapindo?"
"Ya sama kan! Orang banyak sudah salah kaprah. Untung ada
Lapindo yang bisa dijadikan kambing hitam dan dituding sebagai
yang bersalah. Itu kan sial saja. Coba kalau tidak ada penggalian
oleh Lapindo, lumpur panas yang memang sudah mau muncrat itu
satu ketika pasti akan muncrat juga."
"Jadi bukan salah Lapindo?"
"Bukan!"
"Lalu yang salah siapa"
"Ya kita! Ya pemerintah! Ya semua aparat yang bertanggung jawab,
kenapa selalu baru ngeh, baru ribut, baru mencak-mencak selalu
sesudah kejadian. Kuno!"
Ami tertegun.
"Kalau begitu bapak tidak menyalahkan Lapindo?"
"Ngapain! Bapak bukan orang latah yang suka cari kambing
hitam!!!"
Ami hampir saja mau nyemprot, tiba-tiba muncul para tetangga
dengan hebohnya sambil mendorong seorang anak tanggung.
"Ini dia pencurinya Pak Amat!" teriak tetangga itu sambil
mendorong anak itu ke depan Amat.
Ami dan Amat terperanjat sebab di tangan anak itu tergenggam
jambangan bunga kesayangan Amat.
"Ayo ngaku, biar jangan kami yang dicurigai!" bentak salah seorang
tetangga.
Anak tanggung itu ketakutan. Badannya gementar. Dia mau bicara.
Tapi sebelum mulutnya terbuka, tiba-tiba bogem mentah Pak Amat
mendarat di mukanya berkali-kali.
"Lapindo! Lapindo!"
II.
Duduk di meja makan, Bu Amat berpidato.
"Jadi jambangan bunga kesayangan Bapak itu sebenarnya tidak
hilang. Tidak dicuri oleh Nak Kentut ini, tapi memang Ibu berikan
baik-baik. Ya kan Nak Kentut?"
Kentut, anak tanggung yang duduk di ujung meja mengangguk. Ia
memakai baju kaus oblong baru yang diberikan oleh Ami. Mukanya
masih benjol-benjol oleh pukulan Amat. Meski pucat, tetapi sudah
bersih karena mandi, memakai sabun wangi serta parfum yang
diberikan oleh Ami.
Amat menatap takjub.
"Nak Kentut ini sudah tidak punya ibu dan bapak lagi. Keluarganya
juga entah di mana. Dia biasa tidur di dalam pasar. Waktu kita mau
membuat selamatan yang terakhir itu, dia menolong Ibu
mengangkut belanjaan dari pasar ke rumah. Itu pertama kali Ibu
mulai kenal dengan Nak Kentut. Dia sudah hampir dua hari tidak
makan. Lalu ibu belikan nasi pecel dan ajak ke rumah. Bapak dan
Ami waktu itu tidak ada. Di rumah tanpa Ibu minta dia menyapu
dan ngepel. Waktu diberikan uang dia menolak, sebab katanya
sudah Ibu belikan makan. Lalu Ibu tawari apa dia mau bekerja
membantu-bantu di rumah kita ini, kan lebih baik daripada tinggal
di dalam pasar. Di situ pergaulannya keras, bisa-bisa nanti jadi
orang sesat. Ibu tawari gaji bulanan dan kalau memang rajin, nanti
mau kursus apa begitu, untuk bekal hidup, kita bantu biayanya.
Tapi Nak Kentut menolak. Mungkin malu. Yak kan Nak Kentut?"
Kentut mengangguk.
"Yak kan?"
"Ya."
"Ya Bu!"
"Ya, Bu."
"Nah, sejak itu, setiap kali ke pasar, Nak Kentut selalu menolong Ibu
mengangkut barang-barang. Ibu juga selalu membelikan dia nasi.
Kemudian pakaian-pakaian Bapak yang tidak pernah dipakai lagi,
Ibu berikan kepadanya, daripada dimakan tikus kan lebih baik
dimanfaatkan. Ya kan Nak Kentut."
"Ya."
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
50 Laha collection
"Ya, Bu."
"Ya, Bu."
Amat tidak dapat lagi menahan diri.
"O, jadi pakaian-pakaianku itu tidak hilang tapi diberikan kepada
dia?"
"Ya."
"Di mana pakaian itu sekarang?"
"Di mana Nak Kentut?"
Kentut menundukan kepalanya.
"Di mana, Nak?"
"Dipakai yang lain."
"Yang lain siapa?"
"Orang-orang di dalam pasar yang tidur sama-samaku."
"Kenapa?"
"Dibeli."
"Kamu jual?"
"Ya."
"Berapa?"
"Ya, ada yang ditukar dengan rokok, ada yang membelikan makan.
Ada juga yang tukar dengan … ."
"Dengan apa?"
"Dengan gelek."
Amat seperti disambar geledek.
"Apa? Gelek? Jadi kamu tukang ngisep gelek?"
"Sabar, Pak."
"Sabar apa, kalau orang sudah ngisep gelek itu sudah kejahatan, bisa
dihukum!"
"Saya tidak ngisep gelek, Pak."
"Lalu?"
"Ya ada saja yang beli."
Amat terbelalak.
"Wah-wah! Itu lebih bahaya lagi. Pengedar itu bisa dihukum mati,
tahu!"
"Sabar, Pak, sabar. Itu kan dulu. Sekarang dia tidak begitu lagi. Ya
kan Nak Kentut?!! Sekarang sudah insaf kan? Sekarang Nak Kentut
sudah cari nafkah yang halal. Makanya Ibu bilang barangkali dia
mau bantu menawarkan jambangan bunga itu kepada juraganjuragan
Cina yang kaya-kaya. Siapa tahu barangkali benar laku 10
milyar. Ya kan Nak Kentut?"
Kentut menundukkan mukanya. Amat tercengang.
"Jadi Ibu yang sudah memberikan jambangan bunga itu pada dia,
bukan dia yang mengambilnya?"
Bu Amat mengangguk.
"Ya Ibu bilang, sewaktu-waktu kalau sempat, nanti tolong tawarkan
jambangan bunga itu kepada siapa saja, siapa tahu bisa jadi uang,
bukan hanya jadi pajangan kebanggaan. Kita kan perlu uang, bukan
kebanggaan. Ya tidak Pak? Makanya Bapak harus minta maaf
sekarang karena sudah memukul. Orang mau menolong kok malah
dipukuli. Ayo Pak, salaman dan minta maaf."
Amat bingung. Hatinya berontak dan mau protes, tapi kakinya
disentuh oleh kaki istrinya, sehingga Amat terpaksa menindas
perasaan. Ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Kentut.
Kentut bingung dan takut, khawatir kalau tiba-tiba tangan itu
mengepal lagi dan melanda mukanya. Ia hampir jatuh dari kursi
sebab mau menghindar. Amat cepat menyabarkan dan menjabat
tangannya.
"Maaf Kentut, anggap saja semua itu adalah kecelakaan. Kita
memang sebaiknya bicara baik-baik sebelum bertindak. Maaf !!!"
Setelah disalami kemudian Ami mengantarkan Kentut pergi.
Tinggal Amat dan Bu Amat di meja makan.
"Heran aku, Ibu ini kok keterlaluan!" kata Amat. "Pencuri sudah
maling jambangan bunga, malah dirawat, dikasih makan dan
pakaian, aku disuruh minta maaf lagi. Nanti apa kata tetangga
kita?!!!"
"Stttt!"
"Sssst apa!"
"Lho Bapak sendiri kenapa bengok-bengok, maling itu tidak salah,
tapi kita yang salah, hanya karena teledor?"
"Lha itu kan taktik, Bu! Taktik! Aduh, Ibu ini bagaimana! Taktik
untuk memancing tikusnya keluar. Kalau aku tidak bengok-bengok
mengatakan malingnya tidak salah, si Kentut Busuk itu tidak akan
keluar liangnya membawa jambangan itu dan menawarkannya pada
tetangga. Jadi itu taktik. Strategi! Masak Ibu tidak paham!!!."
Bu Amat tak menjawab.
"Makanya belajar politik sedikit, Bu!"
Tiba-tiba Ami masuk bergegas. Mukanya berseri-seri.
"Ibu pernah kehilangan dompet?"
Amat bingung. Lalu ia memandangi istrinya. Bu Amat mula-mula
tak menjawab. Tetapi kemudian mengangguk.
"Tiga kali."
Amat kaget. Hampir saja ia mau marah, tapi suara Ami sudah
memotong.
"Ibu pernah kehilangan perhiasan?"
"Dua kali."
Amat ternganga. Tetapi Ami tersenyum, lalu membuka tangannya
yang semula menyembunyikan sesuatu. Di situ nampak tiga buah
dompet, kalung dan gelang emas Bu Amat yang hilang.
"Kentut mengembalikannya tadi. Katanya dia malu mengambil
barang ini dari Ibu, satu-satunya orang yang masih mau
mempercayainya dan Bapak yang bahkan tak segan-segan minta
maaf, padahal vas bunga Bapak yang berharga 10 milyar sudah dia
maling."

Jakarta, 21 Desember 06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar