Gagasan
Cerpen: Putu Wijaya
Sumber: Suara Merdeka, Edisi 10/26/2003
POHON jambu bol yang ditanam Gun itu berusia 100 tahun.
Pada
ulang tahunnya, sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk
menyatakan rasa syukur. Yang mengherankan Gun juga hadir.
Pohon jambu itu menegur.
"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang
ke-60,
kamu bilang kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata
kamu di sini
sekarang."
Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya,
mengangguk lalu menjawab. Sebagaimana biasanya dingin,
gagap dan muram.
"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi
bukan untuk
mengucapkan selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan
sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, karena kalau orang
duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua dengan
sendirinya."
Pohon jambu itu agak tersinggung.
"Siapa yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk.
Aku
selalu berdiri, tumbuh dan melawan musim kemarau yang
panjang. Melawan badai dan petir yang kurang ajar mau
melalap
apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian
sahabat atau solidaritas. Mereka tak mendirikan partai
atau bikin
ideologi di mana aku bisa berlindung."
"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku,
tapi dia
mati waktu memasangnya. Aku tidak mudah mencapai usia satu
abad yang relatif singkat buat sebuah pohon. Aku juga
masih
harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika usiaku
masih sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah
tempatku
berpijak ini untuk dijadikan pasar swalayan. Untung ada
hantu yang
waktu itu indekos di sini, dia marah lalu mencekik bangsat
itu.
Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa
lama aku
ditakuti karena dianggap angker."
"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai
koran
ditayangkan di setiap layar televisi karena aku dianggap
punya
kekuatan gaib. Media massa dan para intelektual itu memang
tidak
punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul di sawah,
mereka
menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."
"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek
mengadakan perlawanan, mereka yang menikmati hasilnya.
Tapi
buatku aku enak saja. Toh aku jadi primadona. Tapi
kemudian aku
sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan
meletakkan
sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk
memperbesar kemaluan."
''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk
memperbesar
kemaluan. Aku menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun
memang terkenal. Kamu boleh tidak percaya, tapi sampai
sekarang papan itu masih melekat di kepalaku, tertutup
oleh daundaun,
karena rasa malu itu sudah menyatu dengan badanku."
"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan
hidup sambil
terus menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan
seratus tahun dengan rasa malu setiap hari. Dan kau
seenaknya
mengatakan bahwa usia tua akan datang juga meskipun
berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu?
Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun,
hanya
untuk sebuah perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba
menyeruak dan kurang ajar mendemo aku, menuding bahwa aku
sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu
Gunawan!"
Gunawan mengangguk.
"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun
karena
terpaksa."
Pohon itu tercengang.
"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku
bilang!"
"Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.
"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"
Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah
lebat itu.
"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang
sekarang.
Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu
itu."
"Kau bertanya?"
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada
diriku sendiri."
"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah
pulang
dengan terheran-heran."
"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku
sendiri."
Pohon jambu bol itu penasaran.
"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku
yang tanya.
Apa jawabanmu?"
Gunawan diam.
"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu
jawabanmu?"
"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak
tahu apa
jawabannya, aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."
"Apa?"
Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun
lalu
dimasukkannya ke dalam tanah dengan harapan akan berusia
berabad-abad, sekarang baru satu abad kelihatannya sudah
payah.
"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar
berapa?"
Pohon jambu bol itu terkejut.
"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini
tempatnya. Pergi
ke kota, daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"
Gunawan menjawab tenang.
"Aku baru saja dari sana."
"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu
tidak laku di
situ?"
"Ya."
Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat
berjatuhan ke tanah. Para tamu yang menjejali halaman,
kontan
berdiri dan berebutan mengambil jatuhan jambu. Gunawan
iuga ikut
mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut tidak
kebagian, tapi
karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori
jenggotnya. Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.
Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu.
Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.
"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang
dibawa
olehpertapa yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar
masuk istana sebagai pendeta. Di dalam setiap buah yang
kamu
produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh generasi
penerus Pandawa."
Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.
"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca
Mahabharata."
"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja
cukup?"
"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah
cukup. Dengan
usia panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan
semakin
menancap. Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa
yang lebih baik dari usia panjang, pengalaman banyak.
Dengan usia
panjang aku melihat, mendengar dan mengalami lebih banyak.
Aku
bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti kamu.
Satu-satunya
tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan
mempertahankan kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan
catatan hebat sebagai penghancur konsep Keluarga Berencana
yang
sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"
Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi.
"He mau ke mana kamu?"
"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku
punya anak dan
istri. Aku juga punya cita-cita.
Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada
gunanya hidup
sampai seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90
tahun."
"Jadi kamu sudah mati?"
"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati."
"Maksudmu aku?"
Gunawan memandang pohon itu.
"Kau bukan gagasan."
"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"
"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun.
Mungkin
akan bisa sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan
bemasib baik
atau setidak-tidaknya dilupakan takdir. Tapi hampir pasti
akan ada
saja yang akan mengakhiri hidup kamu. Sebab kamu sudah
menjadi
terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari banyak
dosa."
"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu
sendiri, Gun!"
"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan.
Mungkin
sebentar lagi semua tamu-tamu yang datang ini akan mati
karena
dipatuk oleh naga Taksaka!"
"Kamu bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah."
Gunawan kemudian melangkah pergi.
"He penyair, tunggu!"
Gunawan menoleh.
"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis
sajak."
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir,
reformis,
pejuang hak asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi
atau
manusia hipokrit, kamu tidak berhak pergi begitu saja
setelah bikin
Catatan Pinggir!"
"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia
yang bisa hidup
produktif lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti
kamu!"
"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup
meskipun sudah
mati. Sekarang aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke
mari.
Kamu ternyata bukan manusia!"
Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang
pernyataan pohon itu. "Jadi aku bukan manusia?"
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Apa?"
"Sebuah gagasan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar