CERPEN MAAF – KARYA PUTU
WIJAYA
|
Pada hari raya Idul Fitri muncul
tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya
dengan ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku
sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam
aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku
bolak-balik, mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang
karena satu dan lain sebab aku lupakan? Orang yang keliru menyangka aku
temannya? Penipu atau orang sakit jiwa?
Setengah jam pertama lewat, tetapi
masih tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi
menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan
bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya.
Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak
memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang
memang tidak ada di rumah. Tentu saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul
adalah istriku yang sudah hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang
dimaksudkan suaminya, lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi
kemudian keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik
lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur. Ternyata
istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum kemudian pamit pergi ke
tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan
kehadiran kacang itu. Ternyata dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih
renyah. Aku mulai mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan
yang panjang sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta
api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari
Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa
kenalanku yang tinggal di Jakarta. Barangkali ini salah satu anggota keluarga
Ikra atau Soegianto. Ia datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka.
Dengan harap-harap cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu
melompat dari mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu
itu, setelah memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak
dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang
kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan
asam urat atau darah tinggi. Mungkin diabet atau jan tung berdebar-debar. Apa
aku masih rajin olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani
makan sate kambing dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi
sehari? Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok
dengan penuh perhatian ia menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok
yang menjadi alat pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal,
tetapi nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda
yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang
menjadi salah satu pembunuh kejam itu.
Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat
yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan
karena cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia
tak sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya
sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku
tidak pernah merasa takut, karena sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang
dilakukan dengan sengaja tapi dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan
atau kekurangtahuan.
Aku terkejut. Terpaksa lebih
berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga berusaha agar lebih
banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu menganggap aku
sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang,
ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh manusia
tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang
membiarkan perbuatan berdosa dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam
saja tidak berusaha menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya
merugikan orang lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri.
Hukumannya sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli
terhadap orang-orang yang sudah melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk
memberikan teguran atau bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada
perbuatannya. Jangan-jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu
perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya
sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang
tidak mau memaafkan mereka yang berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu
kapok. Seorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata
hatinya, sehingga ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin
dia akan insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar,
mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang
untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi
yang tahu kondisi orang itu, dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan
dosa, berarti yang bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa
lebih berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu
tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak
berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya kesulitan
bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa
lagi menahan kesabaran. Kacang di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam
aku mendengar tamu yang tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita
waktuku. Padahal sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan
teori-teori tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih
terus di situ. Makan kacang dan bicara.
Lalu aku putuskan hendak berdiri.
Tapi dia lebih cepat bangkit dan menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya,
sudah cukup kunjungan saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang
begitu baik, sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil
menangkap tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika
orang itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi.
Aku tetap duduk di kursi, tak sudi
mengantarkan, untuk menunjukkan rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut
melihat suaminya bengong di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang
lalu.
"Kenapa Pak? Kok dari
tadi bengong melulu. Masak makan kacang sampai setengah
toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum
lagi?"
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar
siapa yang tadi bertamu.
"Ayo Bu, kita ke rumah Pak
Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!"
Istriku tercengang.
"Lho, bukannya dia musuh
kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang warga yang mau dipakai untuk
membangun sekolah?"
"Betul. Dan sekarang sudah
terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar. Dia orang berpendidikan tinggi,
pasti dia tidak akan berani minta maaf karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu
sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang,
mumpung masih siang."
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
"Ayo Bu!"
Istriku tak membantah, hanya
penasaran.
"Kenapa Bapak jadi berubah
pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin mati-matian menolak keras waktu diajak
untuk silaturahmi maaf-maafan ke situ?"
"Ya. Tapi tadi aku kedatangan
tamu. Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya
berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan
orang terus berdosa. Ayo Bu!"
Istriku tambah heran.
"Tamu siapa? Memang tadi ada
tamu?"
"Sudah, kok ngomong
terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam."
Dalam perjalanan, istriku terus
bertanya-tanya. Apa yang sudah menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia,
sudah betul apa yang aku putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah
teroris yang berbuat seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan
seenak perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut
nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan
oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan
sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah
hadir dalam rapat. Belum apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar.
Maksudnya jelas, ingin menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih
menjadi caleg. Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas
kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang
berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah
diacuhin warga.
"Sekarang bukannya minta maaf,
dia malah bikin rumahnya open house, supaya kita semuarame-rame datang
ke situ maaf-maafan, seakan-akan kita semua yang salah. Itu kanmemutar
balik soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?"
"Untuk menunjukkan bahwa kita
berjiwa besar?"
"Ah itu namanya jiwa kecil.
Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia
dapat dari sponsor!"
"Bungkusan apa?"
"Aku baru datang dari rumah
tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas
plastik berisi suvenir.Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo,
sabun, ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari
sponsor!"
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di
depan rumahnya. Mau membatalkan tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan
kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi.
Mungkin tidak ada yang sudi datang. Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah,
sudah telanjur masuk. Terpaksa dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku
mencoba berjiwa besar.
"Sabar. Niat kita datang kemari
baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling
memaafkan."
"Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya
mau dipanasin dulu?"
"Tidak usah, tidak usah."
Istriku tidak mau makan. Tapi piring
sudah diulurkan. Terpakasa aku terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari
catering kelas satu. Aku merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada
kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam
rumah itu, tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami
menghampiri.
"Silakan Bapak dan Ibu, yang
santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak
plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya bantu."
Aku tak menjawab, hanya
senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.
"Terima kasih. Tapi tuan
rumahnya ke mana kok nggak nongol?"
Pelayan itu tersenyum.
"O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta
maaf, keluar sebentar untuk bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi
sebentar lagi beliau akan datang. Silakan menunggu sebentar."
Sebentar apaan, ini sudah satu jam,
bentak istriku. Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai
naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan luhur itu ternyata sebuah
kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang
memang punya reputasi tukang jilat muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah
basa-basi, mereka langsung mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih
banyak dari yang sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan
akan bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku
berkeras menahan.
"Kedatangan kita kemari mau
menunjukkan kepada dia bahwa meskipun kita sebenarnya yang pantas dimintai
maaf, tapi kita sudah datang kemari karena dia sendiri tidak punya nyali untuk
minta maaf. Ini sebuah pembelajaran moral kepada dia!"
Tapi setengah jam kemudian, ketika
tuan rumah belum juga nongol, akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya
menyelinap ke belakang, kami buru-buru kabur.
"Alhamdulillah!" kata
istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin, "meskipun di situ
makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk lagi. Ini penghinaan!
Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada
orang yang datang ke situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang
coba-coba datang karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti
ini!"
Aku tak menjawab, karena setuju.
Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia
terus marah.
"Orang kaya tidak pernah peduli
apalagi mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada orang lain. Dia tidak akan
mau melihat kesalahannya, karena matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan
yang mengatakan kita yang salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta
maaf sama kita. Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang
bisa. Lihat itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita
ini mau ikut-ikutan menjilat. Malu!"
Begitu sampai di teras rumah, aku
tidak tahan lagi. Aku banting kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai
berserakan. Belum puas, aku tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan
ciki-ciki racun hancur berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu
depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
"Pak dari mana aja?"
"Bapak kamu baru saja
membuktikan kekonyolannya!"
"O ya? Tumben!"
"Habis sudah aku
dipermalukan."
"Kenapa?"
"Bapak kamu mau menolong
bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah
kelewatan itu, eh nggak tahunya masuk perangkap dan
dipermalukan habis. Rumahnya kosong!"
"Siapa?"
"Setan kaya yang..."
Taksu mengangkat tangan sambil
memotong.
"Bapak sudah ditunggu tiga
jam."
"Ditunggu? Ngapain, kan Bapak
silahturahmi?"
"Udah tak bilangin begitu,
tapi di sitiunya ngotot mau nungguin!"
"Siapa sih?"
"Saya Pak."
Tiba-tiba di depan pintu muncul
orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya
muncul istri dan kelima anaknya. Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku
ke rumahnya dan menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan
menunggu dengan sabar hanya untuk minta maaf.
Orang kaya yang barusan aku
maki-maki itu mendekat, langsung menjabat tanganku erat. Minta maaf atas segala
kesalahannya dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu
mencium tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira.
Sumpah serapahnya kontan senyap. Apalagi kemudian para tetangga keluar dari
rumahnya, menyaksikan silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu
diam-diam dengan gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu
lalu melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh
rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari
yang begitu perkasanya menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada?
Boleh jadi lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari
raya adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia
menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat aku tegur.
"Aku tak bisa menemukan
alamatnya," katanya sembari memejamkan matanya yang lelah, "Mungkiin
dia sudah pindah atau sudah tak ada. Bagaimana kalau aku nginap saja di
sini?"
Begitu selesai ngomong dia sudah
mendengkur pulas. Aku terkesima. Kutunggu beberapa saat, barangkali dia
tersentak bangun dan tentu saja lebih baik pergi, karena sudah larut malam.
Tapi dadanya turun naik teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental
meruap dari tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
"Sudah larut, kendaraan yang
terakhir akan berangkat," bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik.
Kemudian istriku keluar dari dalam rumah menegur.
"Tidur Pak, sudah malam."
"Ya sebentar lagi."
"Jangan pakai sebentar lagi.
Angin malam merusak paru-paru, ayo!"
Dengan berat hati aku berdiri.
"Ayo!"
"Ya, ya! Tapi dia
bagaimana?"
"Apa?"
"Nggak!"
Istriku tidak mau pergi sebelum aku
benar-benar masuk. Setelah itu dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati
aku berkata: meskipun kita tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun,
tapi yang ini tidak akan kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
"Aku kawin hanya dengan satu
laki-laki!"
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan
tidak mengerti, hanya tidak semua yang mereka katakan. ***
Jakarta,
27 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar