Kemerdekaan

Kemerdekaan
by Putu Wijaya

SEEKOR PERKUTUT tua, yang tidak mampu lagi bersuara merdu, mendapat anugerah. Juragannya yang kejam, tiba-tiba membuka pintu sangkar dan memberikannya tawaran lucu. Kemerdekaan.
"Aku sudah menyangkarkan kamu bertahun-tahun. Aku sudah memperkosa fitrahmu sebagai satwa bebas yang berkelana di cakrawala. Kini aku berikan kamu hadiah, atas pengabdianmu selama ini sudah menyanyi merdu setiap hari. Kau kuberikan kemerdekaan. Terbanglah setinggi-tingginya Nikmatilah dunia ini sebebas-bebasnya," kata tuannya dengan tersenyum lebar.
Perkutut tua itu bingung, la melihat ke mata tuannya.
"Kebebasan? Bapak memberikan saya kebebasan?"
"Ya burungku sayang Aku hadiahkan sekarang kamu kemer-dekaan. Sesuatu yang dipuja-puja oleh setiap orang. Berbahagialah, sebab kini kau mendapatkannya "
Perkutut itu bertambah bingung.
"Kemerdekaan? Kemerdekaan apa?"
Tuannya tertawa
"Ah kamu jangan berlagak pilon begitu. Mulai sekarang hidup- mu adalah milikmu sendiri. Kau dapat membuat rencana. Kau bisa menggantungkan cita-citamu di awan yang paling tinggi. Kamu bisa berkoar-koar sesukamu untuk dirimu sendiri. Kau bisa merajalela mela- kukan apa saja yang kamu mau.Terbanglah.”
Pintu sangkar terbuka lebar. Tetapi perkutut itu jadi gentar. Dia memandang keluar dengan hambar. Hatinya berdebar-debar. Lalu ia menatap nanar
"Tidak. Aku tidak memerlukan kemerdekaan itu. "
Tuannya tercengang.
"Lho kenapa? Bukannya itu yang kamu nyanyikan?  Meskipun suaramu merdu, tetapi aku tahu di balik itu menjalar keperihan dan dendam karena kamu tidak bebas. Bukannya kamu memaki-makiku selama ini, karena kamu anggap aku sebagai pemerkosa hak azazimu?“
Perkutut itu menggeleng.
"Aku tidak akan menyanyikan kebebasan seperti yang ada di luar itu. Karena kebebasan itu penuh dengan bahaya. Lihat saja. Begitu aku keluar dari sarang ini, aku akan ditembak oleh siapa saja yang menganggapku sebagai burung liar. Tetapi kalau aku diam, setiap saat akan ada kucing masuk dan menerkamku. Dan lagi, kalau aku sudah bebas, kamu tidak akan memberiku makan lagi. Bagaimana aku akan bisa hidup tanpa air dan makanan, karena aku tidak terlatih untuk mencarinya? Ogah. Aku menolak kemerdekaan ini. Sebab ini bukan kemerdekaan tetapi pembunuhan, ” bisiknya di dalam hati.
Juragan perkutut itu tahu isi hati perkututnya
"Ah, kenapa pula kau Tut? Kemaren kamu menyanyikan kebebasan dan kemerdekaan. Sekarang setelah aku berikan, kamu kok menolak? Gue jadi bingung. Apa sebenarnya yang kamu inginkan?"
Perkutut itu gemetar.
"Astaga kenapa badan kamu gemetar“? Kenapa? Apa kemerdekaan itu menakutkan? Jangan percaya takhayul itu. Kemerdekaan itu memang menakutkan. Tetapi tidak berarti kamu harus menolak. Karena semua yang menakutkan akan menjadi sesuatu yang lezat sesudah kamu bisa merasakan nilainya. Dan untuk itu, kamu harus mencoba. Kalau ingin merdeka, kamu harus berani menderita. Kemerdekaan adalah penderitaan. Semua orang yang merdeka akan menderita, tetapi hanya sementara. Setelah penderitaan itu terbiasa penderitaan itu akan jadi gula-gula yang enak. Hanya orang-orang yang sudah pernah menderita yang bisa menikmati kenikmatan dengan maksimal. Ayolah. Tumbuhkan kepercayaanmu Tut. Jangan malas. Rentangkan sayapmu dan terbanglah sekarang. Jangan takut ditembak oleh pemburu binatang liar. Sebab belum tentu pemburu-pemburu itu mahir menembak. Lagipula kamu belum tentu mati kalau ditembak.” bujuk juragan perkutut itu.
Namun perkutut itu tetap tidak bergerak. Badannya semakin gemetar. Dan tiba-tiba saja burung tua itu meloncat menabrakkan dirinya ke dinding sangkar. Akibatnya fatal. Ia terpental ke dasar sangkar, tak mampu hetkutik lagi.
“Astaga!" teriak juragan. "Lihat! Dia kaget karena kemerdekaan yang mendadak. Dia mati oleh ketakutannya sendiri. Dia belum siap untuk merdeka. Kemerdekaan memerlukan persiapan dan pelajaran. Hanya orang-orang yang terdidik merdeka akan bisa menikmati kemerdekaan. Mereka yang tidak terdidik justru akan mati ketika mendapatkan kemerdekaan" desis juragan perkutut, sambil memegang bangkai perkututnya.
Lantas ia menoleh kepada sangkar-sangkar perkututnya yang lain. Burung-burung itu sedang berbunyi serentak, sehingga suaranya riuh. Entah pertanda lagu duka memandai kematian rekannya. Atau protes karena desakan untuk merdeka sudah tidak tertahankan lagi.
Pemilik perkutut takjub.
"Kemerdekaan memerlukan persiapan. Kemerdekaan memerlukan pendidikan. Aku takut, kalau nanti kalian semua sudah tua dan tak sanggup lagi menyanyi merdu, pada saatnya aku memerdekakan kamu-kamu semua, kamu akan mati seperti dia. Jadi biarlah sekarang, aku latih kamu untuk merasakan kemerdekaan. "
Dagan pikiran itu ia kemudian membuka semua pintu sangkar perkututnya. Ia yakin, tak seekor perkutut pun akan berani terbang, karena bisa mati, sebagaimana yang sudah terjadi pada rekannya yang pertama.
"Lihatlah kebebasan itu. Simak. Cium baunya. Belajarlah untuk merdeka. Kelak setelah tua aku akan lepaskan kamu semua, karena aku tidak sanggup lagi menyediakan makanan buat burung-burung tua yang tak mampu menyanyi merdu. Pelajari. . . . "
Tetapi begitu pintu sangkar terbuka, semua burung perkutut itu serentak terbang. Bahkan burung perkutut tua yang mati bunuh diri itu, meloncat kembali, hidup dan terbang ke alam bebas bersama rekan-rekannya Temyata ia hanya mengecoh.
“Kemerdekaan inilah yang kami rindukan. Kemerdekaan bersama. Bukan kemerdekaan sendiri-sendiri seperti yang sudah kamu berikan tadi, "koar perkutut tua itu keras-keras, sambil berak ke atas kepala juragan yang sudah memenjarakannya bertahun-tahun.

Sunter Mas, Jakarta, 16-8-1996

Topeng

TOPENG
by PUTU WIJAYA

Topeng yang saya beli di Campuan (Ubud, Bali) tu, mulai tua. Gurat-gurat di sekitar mata dan bibirnya makin dalam. Dahinya melebar. Beberapa helai rambut berguguran setiap pagi. Alisnya mulai memutih. Menurut istri saya, tidak pantas lagi di pajang di ruang tamu rumah kami, karenaakan menakutkan setiap orang yang masuk pintu.
Lalu kami berunding. Apa tidak sebaiknya topeng itu dipindahkan ke ruang dalam. Kalau berada di antara keluarga yang sudah menghuni rumah sejak lama, ia tak akan jadi gangguan. Kontan istri saya membentak, kenapa tidak dijual saja, sebelum menjadi beban. Barangkali hasil penjualannya bisa dipakai untuk tambahan beli kursi tamu baru yang sudah lama kami idam-idamkan.
Ketika kami beli, topeng itu masih sangat muda. Catnya baru. Dari dalam wajah itu memancar optimisme, keceriaan, yang menjadi alasan kami buat membelinya, walaupun mahal. Kalau sekarang semua itu sudah pudar, sebetulnya fungsi yang kami beli itu tidak ada lagi. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankannya.
Istri saya memandangi saya dengan takjub. Saya tahu perasaannya. Ia selalu heran, kenapa saya begitu pusing dengan sebuah topeng. Dari dulu ia menganggap menyimpan topeng itu perbuatan yang salah. Baginya topeng itu semacam berhala.
“Kenapa sih soal topeng saja jadi seperti menghadapi anak,” katanya dengan ketus. “Kalau tidak mau dijual ya dibuang saja. Jangan tunggu sampai aku sendiri yang membantingnya. Dari dulu juga sudah aku bilang, di rumah ini jangan kebanyakan barang. Ada patung, ada lukisan, ada barang-barang souvenir. Ada topeng. Apa rumah rumah ini museum atau rumah dukun? Kalau mau hiasan dinding mengapa tidak menggantung potret keluarga saja? Atau potret presiden supaya memberi inspirasi kepada anak-anak kita supaya pintarnya seperti presiden?”
Saya tidak ingin bertengkar dengan istri. Karena dia akan selalu menang meskipun saya lebih benar. Dia adalah penguasa di dalam rumah. Apa katanya itulah akhir dari segalanya. Tetapi untuk menjual topeng itu, apalagi membuang, saya masih merasa sayang. Akhirnya menempuh jalan tengah, saya hanya memindahkannya ke dalam gudang. Saya simpan dalam kardus rapih.
Tetapi pada suatu ketika, anak saya yang paling kecil membawa topeng itu dari gudang. Diam-diam, supaya tidak didamprat ibunya, ia mencari saya yang sedang ngobrol di rumah tetangga untuk menyiapkan acara Agustusan.
“Pak, dia menangis Pak,” bisiknya ditelinga saya.
Saya terkejut.
“Siapa yang menangis?”
Anak saya menarik saya ke samping, ke tempat yang sepi. Lalu ia membuka bungkusan yang dari tadi disembunyikannya. Saya lihat kembali topeng itu. Wajahnya semakin tua. Seluruh alisnya telah putih. Sebagian rambutnya lepas, ia nyaris botak. Dan benar juga, dia seperti menangis.
“Mungkin dia tidak mau ditaruh di dalam gudang. Mentang-mentang sudah tua masak dibuang ke gudang, padahal dulu dibangga-banggakan,” protes anak saya itu, “lebih baik kita pasang lagi di kamar depan, Pak.”
Saya pandangi topeng itu. Tangisnya terasa tertahan-tahan. Ia berusaha untuk menyembunyikannya, tetapi tidak bisa. Jelas terasa bahwa ia sedang dalam keadaan tersedu-sedu. Saya jadi merasa bersalah. Anak saya nampak amat kasihan melihat topeng itu. Ia terus mendesak saya untuk meletakkannya di dinding kamar depan kembali. Tetapi saya menolak.
Akhirnya saya suruh anak saya membawa topeng itu ke jalan Surabaya. Di tempat penjualan barang-barang antic itu, ia akan tertampung dengan baik. Jual saja berapa, tak perlu jumlahnya, kata saya memberikan instruksi. Anak saya dengan segan pergi. Ia tidak berani membantah ketika saya katakana, ibunya bisa naik pitam, kalau melihat topeng itu tergantung lagi di dinding rumah.
Sore hari ketika saya pulang, ternyata anak saya belu kembali. Istri saya cemas, lalu menyuruh saya mencari. Saya langsung pinjam motor tetangga dan melesat ke jalan Surabaya. Di situ sudah mulai sepi. Anak saya dengan mudah saya temukan sedang termenung di bawah pohon di depan sebuah tokoh antik.
“Taksu? Kenapa masih di sini?” bentak saya agak penasaran.
Taksu, anak saya itu menunjukkan bungkusan topeng itu.
“Belum laku.”
“Ya sudah, ayo naik, kita pulang saja. Dan jangan bilang-bilang kamu sudah ke mari untuk jual topeng kalau nanti sampai di rumah. Kalau perlu kita buang saja di jalan. Ayo naik.”
Taksu langsung naik. Heran juga, saya bentak seperti itu, ia bukannya kesal, malahan gembira. Saya mulai curiga. Apalagi ketika motor hendak saya putar menuju arah rumah, pemilik toko antik itu tiba-tiba keluar dari tokonnya sembari memanggil.
“Hee tunggu!”
Saya menoleh.
“Terus saja,” kata anak saya.
Tapi saya menunggu, karena orang itu mendekat. Mukanya cekung, seperti patung-patung primitive.
“Empat saja ya!”
Saya tak menjawab, sebab matanya memandang mata anak saya.
Anak saya menggeleng.
“Empat setengah?”
Anak saya menggeleng.
“Ayo Pak, kita pulang saja.”
Saya bingung. Tapi kemudian saya menstater motor kembali. Orang itu cepat mencegat.
“Sudah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Tangan yang lain meminta supaya anak saya menyerahkan bungkusan topeng itu.
Anak saya kelihatan ragu-ragu. Saya heran.
“Ya sudah kasihkan,” bentak saya.
Orang itu sendiri yang kemudian mengambil bungkusan topeng itu dari tangan anak saya. Lalu ia menyerahkan uang itu ke tangan anak saya, karena anak saya nampaknya segan menerimanya.
Saya bengong menerima uang itu. Orang itu cepat-cepat membuka bungkusan topeng itu. Hati saya berdesir, ketika melihat topeng itu keluar dari bungkusan koran. Saya mendengar jeritannya, karena dipindahtangankan. Tapi saya tak peduli, karena saya lebih heran lagi melihat bungkusan uang di tangan saya, kenapa begitu tebal.
Karena hari sudah terlalu sore, saya masukkan bungkusan uang itu ke balik jaket, lalu menghidupkan kembali motor. Saya melambai kepada pemilik toko antik itu, tapi ia tak membalas karena terlalu asyik pada topeng di tangannya.
Di tengah perjalanan saya baru tahu, anak saya sudah menawarkan topeng itu terlalu tinggi. Terutama karena ia sebenarnya diam-diam berharap, tak seorang pun yang mau membelinya.
“Kamu tawarkan berapa?” teriak saya mengatasi suara motor dan deru lalu lintas.
“Lima.”
“Lima apa?”
“Ya lima ratus ribu.”
Hampir saja motor yang saya kendarai diserempet bus, ketika mendengar lima ratus ribu. Jadi uang yang saya kekep di dalam dada saya itu jumlahnya lima ratus ribu. Saya terpaksa memperbaiki letak jaket, takut kalau-kalau uang itu jatuh. Jumlah itu sangat meyakinkan. Cukup untuk menambah kekurangan tabungan kami membeli kuris baru yang sangat diidam-idamkan oleh istri saya.
Sementara Taksu terasa amat sedih oleh kehilangan topeng itu, saya berpesta dalam hati. Motor saya gas, supaya lebih cepat sampai. Begitu masuk ke pagar rumah, saya tak sempat lagi mengembalikan motor itu ke tetangga. Saya perintahkan saja agar Taksu yang membawanya disertai ucapan terima kasih. Saya sendiri lari ke dapur.
Saya langsung memeluk dan mencium pipi istri saya yang sedang menggoreng ikan asin. Dia terkejut. Sebelum dia melabrak saya, cepat-cepat saya rogoh dada dan keluarkan bungkusan uang itu.
Mata istri saya melotot.
“Apa itu?”
“Ya buka sendiri, apa!”
Istri saya menaruh sendok gorengannya, lalu membuka bungkus koran itu. Pada detik itu dada saya bertalu. Tiba-tiba saya merasa sangat bodoh. Kenapa bungkusan itu tidak saya buka tadi, ketika diserahkan. Bagaimana kalau sekarang isinya hanya gumpalan kertas tok?
Dengan perasaan dingin, seakan-akan tak ada yang bisa mengagetkan hatinya, istri saya membuka bungkusan. Ketika nampak isinya, ia baru terperanjat. Saya juga bengong. Ternyata di luar dugaan, uang di dalam bungkusan itu bukan lima ratus ribu.
Istri saya menghitungnya. Astaga ternyata bukan lima ratus ribu, tapi lima juta.
Kami berdua bingung. Ketika Taksu dating, ia juga ikut bengong. Serta-merta kesedihan yang tadi terbayang di mukanya hilang. Rupanya pembeli topeng itu menyangka nilai lima yang ditawarkannya itu lima juta. Rupa-rupanya sudah terjadi drama. Semakin tinggi harga yang ditawarkan, semakin tak rela kita melepaskannya, barang itu jadi semakin berharga di mata pembeli.
“Kau ini punya darah dagang tulen!” teriak saya memeluk Taksu. “Lima juta tak hanya cukup untuk membeli kursi yang dua kali bagusnya dengan mimpi ibumu, tapi juga bisa dipakai untuk liburan seluruh keluarga satu kali lagi ke Bali.”
Malam itu kami semua tertawa.
Dan sejak itu pula, istri saya, membiarkan dinding rumah kami digantungi topeng. Gudang dibongkar, topeng-topeng tua dipanjang kembali. Ada yang dari Kalimantan, Irian, Afrika dan tentu saja dari Bali. Istri saya yang dulu membenci topeng, kini rajin sekali merawat pajangan itu. Dengan harapan tersembunyi, nanti kalau sudah lapuk, topeng-topeng itu bisa dijual dengan harga lima juta di toko antik.
Kini rumah kami perlahan-lahan benar-benar menjadi semacam museum. Lebih merupakan toko antik daripada rumah tinggal. Apalagi pada suatu kali kemudian istri saya pulang membawa sebuah bungkusan yang berisi topeng, yang baru saja dibelinya.
“Dinding rumah sudah terlalu sesak, kita tidak perlu topeng lagi,” bantah saya.
Tapi istri saya tidak peduli.
“Ini lain,” katanya sambil membuka bungkusan. “Aku merasa topeng ini akan membawa keberuntungan, begitu aku lihat dipajang di toko, hatiku seperti diketuk, aku yakin sekali itu pertanda akan membawa hoki. Akhirnya aku ambil uang di bank dan membelinya.”
Saya terpesona.
“Kamu ambil uang berapa?”
“Ya, seharga topeng itu.”
“Ya berapa?”
“Sepuluh.”
“Sepuluh apa?”
“Sepuluh juta.”
Saya seperti hendak pinsan. Gila. Beli topeng sepuluh juta itu sinting. Saya langsung mau marah. Kami bukan orang kaya, bukan kolektor, bukan makelar topeng. Topeng tetap saja topeng, tidak perlu sampai sepuluh juta. Itu namanya bunuh diri. Tapi begitu mulut saya terbuka mau nyemprot, bungkusan di tangan istri saya terbuka. Tersembul wajah topeng yang dibelinya itu. Saya tercengang.
“Bagus kan?” kata istri saya, memperagakan topeng, sambil agaknya mengulangi apa yang sudah diucapkan oleh penjualnya. “Lihat rambutnya memutih. Tapi dari ketuaannya, terasa tidak, terasa ada pancaran kebijaksanaan yang kuat sekali. Ini bukan hanya topeng, tetapi inti kehidupan. Sesuatu yang bisa memberikan keseimbangan batin sehingga jiwa raga kita sehat dari berbagai kesulitan hidup yang makin ganas. Coba saja simak. Dan lebih dari itu, perhatikan, coba simak baik-baik ia terasa seperti tersenyum kan? Nah, kalau patung saja tersenyum, kita yang hidup mestinya juga begitu. Kalau hati kita tersenyum, hidup kita juga ikut tersenyum. Disitulah letak kehebatan topeng ini. Ia mengajak kita tersenyum melihat kehidupan, baru hidup itu akan berarti.”
Saya tak menjawab. Saya yakin kata-kata itulah yang sudah diucapkan oleh penjual topeng itu untuk merayu istri saya. Dan yang penting dari segala, sialan, topeng itu adalah topeng yang duul saya jual di jalan Surabaya dengan harga lima juta.

Sunter Mas, 19-71995
Kemarin Mas Subagio Sastrowardoyo meninggal.


Maling3

MALING
5 September 2009 pukul 3:53
cerpen
Putu Wijaya

MALING


Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Ditegak langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekali pun, kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menegak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
“Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan..
“Dua saja cukup, Pak,”katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
“Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak dibagi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
“Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marang doang”kata saya .
“Bukan begitu, Pak.”
“Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
“Terimakasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemaren, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
“Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
“Tapi ini gawat Pak.”
“Gawat apa?”
“Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
“Ngijinin apa?”
“Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
“Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
“Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
“Bukan?”
“Bukan sekali!”
“Siapa?”
“Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja, apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala , nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
“Heee, lagi ngapain!”teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
“Selamat sore Pak.”
“Kamu lagi ngapain?”
“Lagi metikin kelapa, Pak.”
“Lho ini kan kelapa saya?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dipetik?”
“Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
“Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah ke arah saya.
“Kenapa Pak?”
“Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
“Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
“Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
“Ya, Pak!”
“Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
“Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
“Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
“Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
“Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus-terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
“Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
“Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
“Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
“Apa?”
“Sudah saya bayar, Pak.”
“Bayar apa?”
“Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
“Harga apa?”
“Harga kelapanya semua, Pak.”
“Kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Tapi ini kelapa saya, tahu!”
“Betul Pak!”
“Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
“Kami sudah bayar lunas, Pak.”
“Bayar lunas apa?”
“Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
“Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
“Begini, Pak, “kata lelaki yang membawa kapak itu,”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung .”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
“Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
“Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
“Sana kasih sekarang!”
“Tapi itu kelapanya masih ada?”
“Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,”katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum, “Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu, bergerak pergi menuju ke pos satpam.
“Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
“Jadi kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Beli dari siapa?”
“Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia mem asukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
“Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
“Seratus ribu, Pak.”
“Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya.. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurangajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberikan pelajaran biar tahu rasa
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
“Kamu kamu berbuat baik, Jon?”
“Apa itu, Pak, boleh.”
“Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
“Tahu, Pak.”
“Cantik kan?”
“Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
“Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
“Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
“Coba hibur dia.”
“Hibur bagaimana, Pak?”
“Kembalikan kepercayaan dirinya!”
“Bagaimana itu Pak?”
“Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
“Ah Bapak bisa aja!”
“Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau ngurus badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
“Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gossip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
“Kenapa Min ?”
“Ada masalah, Pak!”
“Masalah apa lagi? Ada bom?”
“Bukan ini pribadi, Pak!”
“O, kamu mau kawin lagi?”
“Ah itu gossip, Pak!”
“Atau sudah kawin?”
“Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi.. Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
“Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobok, padahal dia asma kan?”
“Itulah, Pak!”
“Makanya jangan kawin melulu!”
“Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
“Kena batunya gimana?”
“Istri saya ada yang godain, Pak!”
“O ya?”
“Betul, Pak! Istri saya digoda!”
“Digoda bagaimana?”
“Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
“Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
“Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Ngga ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
“Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekatg, lalu bicara dengan berbisik.
“Ini menyangkut sopir Bapak.”
“Si Jon?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dia?”
“Masak dia merayu istri saya, Pak!”
“Merayu bagaimana?”
“Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
“Terus?”
“Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
“O ya?”
“Betul, Pak.”
“Jadi sekarang maksudmu apa?”
“Ya Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
“Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
“Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
“Terus apa?”
“Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
“Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa?”
“Kan dia itu istri saya!”
“Jadi meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
“Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serba salah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
“Jadi maksud kamu apa?”
“Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meski pun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
“Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. “Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
“Ngapain lhu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
“Lhu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
“Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
“Saya memang salah, Pak.”katanya kemudian , “saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
“Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
“Kurangajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
“Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepiskan serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
“Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
“Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!”kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak “jangan” maksud saya “hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan Ketua RT.


Jakarta, 4 September 09
(setelah berita tentang pulau Jemur)

Seratus Hari

SERATUS HARI
29 Januari 2010 pukul 9:54
Putu Wijaya

SERATUS HARI

“Seratus hari bukan ukuran untuk menilai kinerja 5 tahun yang belum terjadi, tetapi menerima sapa untuk meluruskan apa yang sedang bergolak, adalah kewajiban pemimpin sejati yang mencintai rakyatnya dengan jiwa besar sebagai pancaran kalibernya,” kata Amat.

Bu Amat mendekat sambil menyodorkan pisang goreng.

“Jangan suka bersembunyi di balik kata-kata. Bapak bicara saja terus-terang, apa maksudnya?”

Amat tertawa.

“Kalau bakul jamu bicara terus-terang, tidak akan ada yang mau membeli obat kuatnya, habis itu kan serbuk tepung biasa!”

“Ya itu bakul jamu. Kita kan bukan tukang obat. Bicara apa adanya saja! Coba cicipin pisang gorengnya, enak tidak? Nanti keburu dingin. Kalau sudah layu, apa saja nggak enak!”

Amat ketawa. Dia menerkam pisang goreng. Begitu dikunyah dia meringis. Pisang tanduknya asem. Ia terpaksa menelan yang sudah dimulutnya lalu meletakkan sisanya.

“Enak tidak?” teriak Bu Amat dari dapur.
Amat cepat menjawab.

“Enak!”

Kemudian Bu Amat muncul lagi dengan sepiring pisang goreng. Melihat pisang itu belum habis dilalap suaminya, ia tertegun.

“Betul enak?”

“Enak kok.”

“Kalau enak kok tidak habis?”

“Kan masih panas.”

“Ami tadi kok bilang asem?”

“Ah si Ami itu kan seleranya kacau. Dia tidak tahu kalau asem itu berarti mengandung vitamin C!”

“Jadi benar asem?”

“Ya, tapi kan baik untuk kesehatan?”

Bu Amat kontan mengambil lagi piring pisang goreng dan membawanya ke dapur sambil menggerundel.

“Aduh! Coba tadi bilang terus-terang asem!. Sekarang pisang gorengnya sudah dikirim ke tetangga! Malu-maluin saja! Makanya kalau ngomong jangan suka sembunyi di balik kata-kata. Bisa bingung kita semua!”

Amat terkejut. Ia cepat-cepat berdiri dan pergi ke tetangga. Mereka baru semalam menghuni rumah sebelah. Anak-anaknya banyak. Alat-alat rumah-tangganya belum datang. Bu Amat mungkin mencoba untuk memberikan kesan baik dengan mengirim pisang goreng untuk sarapan pada anak-anak itu. Kalau kesan pertamanya buruk, pergaulan selanjutnya bisa runyam.

“Permisiiii,”sapa Amat.

Tetangga keluar rumah dan menyambut dengan ramah.

“Selamat pagi, pak Amat.”

“Selamat pagi, bagaimana rumahnya enak?”

Belum sempat menjawab, istri tetangga keluar.

“Aduh pak Amat, terima kasih sekali pisang gorengnya. Enak sekali. Manis sekali. Belum apa-apa sudah diserbu anak-anak semua langsung habis. Alat-alat dapur kami belum datang. Mobilnya mogok di jalan. Untung ada kiriman dari Bu Amat, kalau tidak anak-anak bisa masuk angin tidak sarapan.

"Terimakasih banyak.”

Amat hanya bisa senyum-senyum pahit. Ekor matanya menerjang ke dalam rumah. Memeriksa apa betul pisang itu sudah diganyang habis. Atau itu juga permainan kata-kata, demi menjaga nama baik untuk pergaulan berikutnya bertahun-tahun sebagai tetangga.

“Terimakasih pak Amat. Kami sudah dengar Bu Amat pintar memasak. Kami beruntung jadi tetangga Pak Amat,”kata tetangga itu sambil mengguncang tangan Amat ketika hendak kembali pulang.

Bu Amat bengong mendengar suara suaminya di sebelah. Begitu Amat kembali dengan membawa piring bekas pisang goreng, ia langsung mengorek.

“Bapak ngapain ke situ?”

“Tadinya mau minta maaf, pisang gorengnya asem. Ternyata buat mereka enak.”

“Masak?”

“Ya, semuanya bilang enak. Sampai rebutan. Mungkin mereka jarang jajan. Habis kelihatannya keluarga sederhana. Pisang goreng asem saja sudah enak.”

“O ya?”

“Kata ibunya, begitu sampai langsung disikat habis sama anak-anak sampai mereka sendiri tidak kebagian. Kalau tidak enak, mereka tidak akan membalas dengan ini!”

Amat menunjukkan sebungkus dodol garut.

Bu Amat mengernyitkan alisnya.

“Memang selera orang lain-lain. Bapak kalau dimasakin di rumah, apa saja, pasti ada saja yang dicacad. Keasinankah, kepedesankah, tawarkah “kata Bu Amat sambil meraih dodol garut itu dan merobek bungkusnya.

Amat nyengir.

“Ya orang lain selalu bisa menilai lebih baik.”

Bu Amat mencicipi dodol garut. Tiba-tiba dia tertegun.

“Enak?”

Bu Amat mengangguk.

“Enak. Kalau tidak enak, tidak akan disimpan lama-lama sampai jamuran,”katanya sambil menyerahkan dodol garut itu ke tangan Amat.

Amat memperhatikan dodol itu. Tidak kelihatan ada tanda-tanda sudah jamuran. Mungkin itu hanya perasaan istrinya. Lalu ia mencomot dan mencicip.

“Enak?” tanya Ami yang hendak berangkat ke kampus.

Amat tak menjawab. Tapi mukanya menunjukkan bahwa dodol itu memang sudah kedaluwarsa.

“Kalau sudah jamuran, jangan dimakan Pak, bisa keracunan, muntahkan saja ke tempat sampah!”

Amat buru-buru mencari tong sampah dan memuntahkan apa yang ada dimulutnya. Kemudian dia membanting dodol itu sambil memaki.

“Sialan! Baru satu hari, belum seratus hari sudah bikin perkara! Ini tetangga busuk!”

“Sabar Pak! Jangan main cap begitu. Bertetangga juga belum ada sehari. Lihat niat baiknya saja!”

“Ya tapi, mereka juga tidak boleh ngukur kita dari pisang goreng yang asem itu, tapi dari niat baik kita yang sudah berusaha menolong anaknya sarapan. Masak kontan membalas dengan dodol jamuran! Kalau begini caranya, bagaimana kita tahan tahunan bertetangga dengan mereka!”

“Terus mau pindah? Atau mereka harus diusir?”

Amat bertambah dongkol.

“Putuskan hubungan, nggak usaha bertetangga dengan mereka!”

“Seratus hari bukan ukuran untuk menilai kinerja 5 tahun yang belum terjadi, tetapi menerima sapa untuk meluruskan apa yang sedang bergolak, adalah kewajiban pemimpin sejati yang mencintai rakyatnya dengan jiwa besar sebagai pancaran kalibernya,” bisik Bu Amat mengulangi permainan kata Amat.


Jakarta 29-01-10

Orang Besar

ORANG BESAR
4 Februari 2010 pukul 9:06
Putu Wijaya
ORANG BESAR

Amat memilih makan malam yang sangat-sangat-sangat, bahkan menurut Bu Amat “terlalu amat sangat sederhana sekali”. Hanya nasi putih putih dan sayur bening.

“Ini baru namanya makanan sehat,”kata Amat.

Bu Amat mengangguk.

“Ayo cepat makan, nanti maag.”

Amat mulai menyantap. Satu suap, lama sekali. Bu Amat menatap.

“Enak?”

Amat mengangguk.

“Bukan hanya makanan yang perlu sehat, cara makan pun ada aturannya. Setiap suap harus dikunyah 32 kali baru ditelan, untuk mengurangi pekerjaan perut besar.”

“Ya silakan, kunyah saja. Tapi enak tidak?”

“Kalau perut lapar, semua makanan enak.”

“Hanya nasi dan sayur bening tok, sudah enak?”

“Makan itu untuk hidup, bukan hidup itu untuk makan. Makan bukan untuk kesenangan tapi kesehatan. Yang penting bukan enaknya, tapi makanannya sehat atau tidak?!”

“Jadi Bapak mau terus makan nasi dan sayur bening tiap hari?”

Amat berhenti mengunyah.

“Lho ini kan hanya latihan. Berlatih merasakan bagaimana tidak enaknya kalau makanan sudah dibatasi, akibat kena penyakit. Jadi kita akan selalu berusaha mengendalikan nafsu makan enak yang menimbun penyakit itu, agar tetap sehat. Kalau kita sehat, kita bisa makan apa saja, tidak terpaksa makan nasi putih dan sayur bening tok seperti ini!”

Bu Amat tersenyum

“Ya sudah, kalau begitu jangan ngobrol terus, cepat habiskan.”

Amat menurunkan sendoknya yang tadi sudah diangkat.

“Kalau tekanan darah dan gula naik, ya makanannya nanti akan terus begini, “kata Amat menunjuk ke piring. “ memang sehat, tapi dimakannya susah, karena tidak ada aromanya, rasanya tawar. Jadi susah makannya!”

“Katanya demi kesehatan.”

“Memang., tapi … .”

“Tapi pa?”

“Ternyata sehat saja tidak cukup. Orang hidup perlu kebahagiaan. Kebahagiaan itu ya kesenangan. Kalau tidak senang, tidak bahagia, untuk apa hidup?”

Bu Amat tertawa.

“Jadi?”

Amat meletakkan sendok, lalu menegak air putih banyak-banyak. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi seperti habis melakukan sesuatu yang berat.

“Kok berhenti makannya?”

“Kan susah cukup.”

“Itu masih banyak.”

“Ya ini kan hanya latihan.”

“Jadi sudah selesai?”

“Sudah!”

Bu Amat tersenyum. Ia membereskan meja. Mengangkat semuanya ke dapur. Lalu bersiap-siap hendak nonton televisi. Amat cepat mengingatkan.

“Lho sop buntutnya mana?”

Bu Amat menghidupkan tv seakan-akan tidak mendengar. Amat menghampiri dan mencolek istrinya.

“Sop buntutnya mana?”

Bu Amat tercengang.

“Lho, kan sudah selesai makan?”

Amat ketawa.

“Latihan hidup sehat sudah cukup. Sekarang waktunya makan yang bener. Tumben perut rasanya lapar sekali.”

“Jadi yang tadi tidak makan bener?”

“Lho itu kan latihan!”

Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi ia bangkit juga dan pergi ke dapur. Menghidangkan sop buntut dan segala makanan yang enak-enak kegemaran Amat yang doyan makan itu.

“Nah ini baru makanan,”kata Amat tak sabar meraih piring untuk mengganyang semuanya.

“Ini bedanya orang besar dan orang kecil,”bisik Bu Amat sambil menuangkan sop buntut yang berminyak ke dalam mangkuk.

Amat terhenyak.

“Maksudnya?”

“Orang besar itu satu perbuatan dengan kata. Orang kecil, lain yang dikatakan lain yang diperbuat.”

Amat tertawa.

“Kalau begitu aku ini termasuk orang kecil.”

“Memang!”

Amat mengangkat sendok ke mulutnya sambil tertawa.

“Enakan jadi orang kecil. Bisa ngomong seenaknya dan berbuat seenaknya. Tidak usah satu perbuatan dengan kata. Orang besar sudah dibelengu oleh bandrol besar sehingga kelakuannya terbatas. Sedikit salah ngomong massa langsung demo!”

“Jadi Bapak memang dari dulu memang cita-citanya hanya mau jadi orang kecil?”

Amat tak jadi memasukkan sendok itu ke mulutnya.

“Tidak. Dulu aku aku ingin jadi orang besar.”

“Terus kenapa kemudian memilih jadi orang kecil?”

Amat termenung. Ketika kemudian bicara suaranya kedengaran sedih.

“Orang-orang besar itu sering lupa mereka beda dengan orang kecil.”

“Masak?”

“Ya. Mereka selalu bilang, sabar, tenang, tahan, prihatin, mawas diri, jangan emosional, tidak boleh keburu nafsu, jangan pendek pikiran, lihat ke depan ke arah tujuan yang lebih jauh, jangan egois, rasional, professional, tidak boleh iri hati, harus tetap menjaga keutuhan, kebersamaan dan sebagainya dan sebagainya”

“Itu bagus kan?”

“Memang bagus. Tapi itu kan pekerjaan berat yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Karena mereka memang besar, kuat. Mereka punya banyak kesempatan. Dagingnya lebih tebal. Tidak makan 3 hari juga masih tetap besar. Orang kecil hanya punya satu kesempatan. Itu pun kadang-kadang rebutan sama orang lain. Untung-untungan kalau dapat. Kalau tidak kebagian, memang sudah nasibnya. Jangankan berbuat besar, berbuat kecil saja, orang kecil belum tentu mampu. Bukan karena tidak mau, jangan salah. Akhirnya mereka orang-orang kecil itu, yang tidak berdaya itu, merekalah yang dituding bersalah. Maling besar bisa ongkang-ongkangan ke luar negeri, di penjara kamarnya pakai ac, maling kecil baru mau ngambil mangga yang menjurai lewat pagar, sudah dikepruk sampai mati. Orang kecil kalau membela diri dari tudingan bersalah bisa tambah salah.”

Amat meletakkan sendok. Di televisi nampak bentrokan massa dengan petugas dalam demo depan istana. Selera makan Amat hilang. Bu Amat menegur.

“Bapak tidak jadi makan?”

Amat menggeleng.

“Lihat, memang enakan juga jadi orang kecil, tidak perlu pusing menghadapi masalah-masalah besar!”

Bu Amat membereskan kembali meja sambil menggerutu.

“Tak ada masalah besar dan masalah kecil, Pak. Yang ada adalah masalah-masalah besar dan orang-orang yang berhati kecil. Itu yang sudah memicu terjadinya masalah. Sekarang kita perlu: orang berjiwa besar.”


Jakarta, 29 Juan 10

Guru Spiritual2

Putu Wijaya
GURU SPIRITUAL

Ketika selesai menjalani hukuman, bromocorah itu ditanya sipir penjara.
“Mau jadi apa kamu setelah dibebaskan?”
Bromocorah itu menjawab mantap.
“Mau jadi pemimpin spiritual.”
Sipir penjara terkejut.
“Kalau begitu selamat bertemu lagi nanti.”
Bromocorah itu tersenyum. Sipir penjara langsung melapor kepada atasannya.
“Pak, saya kira tidak lama lagi orang yang baru kita lepas itu akan kembali ke mari?”
Lalu dia menceritakan percakapan tadi. Kepala Penjara kemudian menyampaikan hal itu pada polisi. Lalu polisi menguntit ke mana bromocorah itu pergi. Ternyata ia bertamu ke rumah Pak Amat.
“Pak Amat, saya sudah menjalani hukuman selama 5 tahun atas perbuatan saya yang bejat. Di dalam penjara, saya merenungkan apa yang sudah saya lakukan. Di situ saya bertapa. Berkat kesungguhan saya, saya mendapat pencerahan. Sisa hidup saya ke depan harus saya gunakan untuk penyucian jiwa. Saya ingin membimbing masyarakat untuk mendekatkan dirinya pada kasih sayang dan cinta. Saya akan memberikan pendidikan moral. Apa itu salah?”
Amat tertegun.
“Pertama,”kata Amat menjelaskan persoalan itu kemudian kepada polisi yang meminta keterangannya, “saya tidak kenal orang itu. Entah siapa yang menyuruhnya datang ke rumah saya. Kedua, dia menanyakan sesuatu yang sulit saya jawab. Apa mungkin bekas orang hukuman yang sudah melakukan kejahatan, bisa memberikan bimbingan moral kepada orang lain. Bukankah dia harus membuktikan moralnya sendiri sudah berubah setelah menjalani hukuman. Dia harus membuktikannya seumur hidup. Tidak mungkin, kalau dia sibuk memperbaiki dirinya, ada waktu meluruskan moral orang lain. Kalau toh punya waktu, apa dia bisa? Saya ragu. Dan yang ketiga, menurut pengalaman saya orang yang ingin berbuat kebaikan, tidak memperopagandakan perbuatannya tapi berbuat saja. Sebaliknya orang yang berniat jahat, akan mengobral janji membuat kebajikan untuk menyembunyikan maksud jahatnya.”
Polisi mencatat semua keterangan Amat.
“Jadi kesimpulannya, “ lanjut Amat, “orang itu berbahaya, dia harus diawasi! Kalau perlu tarik lagi ke penjara, karena dia belum siap terjun ke masyarakat!”
Ami cepat mengoreksi.
“Tidak bisa, Pak! Siapa pun tidak bisa dimasukkan ke penjara kalau belum melakukan tindakan kejahatan dan terbukti bersalah di pengadilan!”
“Kalau berbahaya?”
“Harus ada bukti!”
“Untuk apa menunggu bukti. Kita harus melindungi masyarakat!”
“Tetapi negara juga harus melindungi kepentingan individu warganya. Masyarakat tidak bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap individu warga, meskipun seandainya ada alasan yang kuat untuk itu, karena kita negara hukum. Masyarakat tidak boleh bertindak main hakim sendiri!”
Amat tertegun. Dia terpaksa melupakan kasus itu.
Tapi 5 tahun kemudian, ada kabar. Di desa ada guru spiritual yang menjadi sangat terkenal. Ia mengajarkan cinta-kasih kepada m asyarakat. Bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Guru itu tidak memunggut bayaran. Tetapi itu justru memancing masyarakat menghujaninya dengan berbagai hadiah.
“Ada yang membangun rumah buat guru. Ada yang membelikan mobil. Ada yang menyerahkan jiwa-raganya, mengabdi kepada guru, seperti abdi dalem, “kata seorangan ibu yang sempat berobat ke guru itu, tapi tidak berhasil..
“Penyakit Ibu apa?” tanya Amat.
“Saya tidak punya anak.”
“Jadi Ibu ke situ minta anak? Terus diobatin?”
Ibu itu termenung.
“Ya diobati.”
“Caranya?”
Ibu itu termenung. Tapi kemudian setelah didesak dia bicara.
“Saya disuruh duduk di pangkuannya.”
Amat terbelalak.
“Apa?”
“Duduk telanjang tanpa memakai pakaian selembar pun. Guru juga tidak pakaian apa-apa, sama dengan saya.”
“Terus?”
“Ya begitu saja.”
“Berapa lama?”
“Ya kira-kira seperempat jam.”
“Berhasil?”
Ibu itu tersenyum.
“Belum. Saya kan belum menikah lagi. Nanti kalau sudah kawin kata Guru pasti bisa punya anak. Tapi kata Guru, sebelum itu, saya harus rajin ke situ.”
Amat tak mampu lagi bicara. Darahnya mendidih. Tak sanggup menahan penasaran dan rasa geramnya, ia langsung pergi ke tempat guru itu. Ia tidak bisa menunggu sampai kejahatan itu menjadi kenyataan. Dia harus bertindak.
“Ini Pak Amat?” tanya guru itu ketika berhadapan.
“Betul.”
“Pak Amat sakit apa? Kenapa ke mari? Ini hanya untuk perempuan.”
Amat tidak dapat lagi menahan dirinya.
“Saya ingin punya anak.”
“Tapi Pak Amat kan sudah punya satu? Kurang?”
“Kurang!”
“Kalau Pak Amat sabar dan berusaha sungguh-sungguh, tidak usah berobat pasti akan punya anak lagi.”
“Tidak. Saya mau punya anak dengan cara berobat ke mari. Saya mau dipangku telanjang oleh Bapak yang juga telanjang tanpa selembar kain pun!”
Guru spiritual itu tertegun. Ia memandang Pak Amat.
“Pak Amat serius?”
“Lebih serius dari semua ibu-ibu dan para wanita yang sudah ke mari untuk kamu cabuli! Saya tidak percaya bromocorah yang pernah melakukan kebejatan seksual di masyarakat dan sudah diganjar hukuman 5 tahun, bisa menjadi guru spiritual. Kamu menipu masyarakat!”
Guru spiritual itu terhenyak. Tapi Amat sudah siap. Kalau harus diselesaikan dengan tawuran, dia tidak akan mundur. Harus ada orang yang berani menentang lintah masyarakat itu.
Tapi guru spiritual itu tidak marah. Ia tersenyum pahit. Lalu menjawab dengan sangat mengejutkan.
“Terimakasih Pak Amat. Sudah lima tahun saya di sini menjadi guru. Saya menunggu masyarakat akan bangkit untuk menentang perbuatan saya. Tapi masyarakat kita ternyata begitu bodohnya. Bukan hanya rakyat jelata yang miskin dan rendah pendidikannya, tapi orang-orang kaya yang terdidik, bahkan pejabat dan wakil rakyat sudah datang ke mari mempercayai semua tipuan-tipuan saya. Baru hari ini saya puas, karena Pak Amat datang. Jadi masih ada harapan, saya gembira sekali, ternyata masyarakat kita tidak tolol-tolol amat!”
Guru itu meraih tangan Amat lalu menciumnya.


Jakarta, 22 Pebruari 2010

Dpr

DPR
PUTU WIJAYA

Dalam bedah buku “Menyemai Karakter Bangsa”, budaya kebangkitan berbasis sastra, yang ditulis Yudi Latif, seorang dosen menggugat:
“Kita memang sedang mengalami penuruan kualitas karakter bangsa sekarang, “katanya dengan beringas. “Coba lihat pembukaan UUD 45, simak dengan sungguh-sungguh, betapa hebatnya rumusan mukadimah kita. Arti kemerdekaan dihubungkan dengan hak azasi manusia secara filosofis. Dan dengan singkat, padat tapi jitu dan lengkap, kita diberikan pasal-pasal yang canggih. Bandingkan dengan apa yang ada sekarang. Makanya tak heran terjadi peristiwa memalukan di gedung terhormat tempat ngendon para wakil rakyat yang kelakuannya meniru bonek-bonek sepakbola!”
“Kita memang perlu pendidikan karakter!’ kata Ami di depan keluarga melanjutkan unek-unek itu. “Kebangkitan tidak berarti hanya membangun gedung-gedung dan kekayaan pribadi yang mentelantarkan alam dan masyarakat sederhana di pedalaman. Tetap membangun karakter. Apa artinya bangsa yang tidak punya karakter!”
Tak ada yang memberikan tanggapan. Mereka menganggap itu asap pembicaraan kampus, tidak cocok untuk dibicarakan dalam rumah. Kalau soal-soal arisan, selingkuhan para artis atau berita-berita kriminal itu baru makanan keluarga. Semua yang hadir hanya mengangguk. Lalu menyantap hidangan dan ganti pembicaraan.
Tapi di tempat tidur, Amat melanjutkan bertanya pada istrinya.
“Bu, apakah aku ini punya karakter?”
Bu Amat yang sudah hampir tidur menoleh.
“Ngomong begituan kok di tempat tidur?”
“Habis di mana?”
“Ya di kampus.”
“Terus di tempat tidur bolehnya ngomong apa?”
“Iiiiih Bapak ini, nggak habis-habisnya. Udah tidur saja. Besok!”
Bu Amat langsung berbalik dan ngorok. Amat jadi kesal. Dia bangun, lalu keluar rumah. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit untuk mencari kedamaian. Tetapi baru dua menit, nyamuk menyerbu, menghancurkan kedamaian itu.
“Memang, kita sudah kehilangan karakter,” bisik Amat esoknya pada Ami, “Ibu kamu itu misalnya.”
Ami tercengang.
“Bapak menuduh Ibu tidak punya karakter?”
“Ya. Sebab, dia tidak peduli lagi apa perasaan orang lain, apa yang dia rasakan enak buat dia, itu saja yang dilakukan. Itu kan sudah menyimpang dari kepribadian kita sebagai bangsa timur yang harus selalu menimbang perasaan orang lain.”
“Maksudnya, perasaan Bapak?”
“Ya, antara lain.”
“Perasaan Bapak yang mana yang tidak ditimbang oleh Ibu? Perasaan yang menganggap bahwa perempuan itu hanya budak nafsu dari laki-laki?”
Amat terkejut. Ami tersenyum.
“Bapak mungkin tidak tahu. Ibu sering mengeluh begitu. Beliau kan sudah tua, Pak. Siklus kehidupan libido laki-laki dan perempuan itu berbeda. Laki-laki tidak ada habisnya. Kalau perempuan, perubahan phisiknya yang menua memberi dampak pada mentalitas dan kehidupan seksualnya. Bapak harus mengerti. Kalau tidak, Bapak akan kelihatan seperti orang mau seenaknya sendiri. Tidak paham desa-kal-patra. Orang seperti itu … .”
“Tidak punya karakter!”
Ami tertawa.
“Persis!”
Amat tak menjawab lagi. Dia biarkan saja anaknya pergi dengan kemenangan.
“Ngapain harus menang berdebat sama anak,”kata Amat ketika curhat dengan tetangga, “ keberaniannya untuk mengeritik orang tuanya blak-blakan, sampai kepada masalah-masalah yang tak akan berani kita singgung pada orang tua kita, waktu kita masih seusia dia, itu sudah kemajuan luar biasa. Saya malah bersyukur, anak sekarang kok beraninya setengah mati. Bukan hanya pejabat yang korup dan pemimpiun yang mencla-mencle yang mereka hantam, orang tua juga dikritik habis!”
Tetangga Amat takjub.
“Itulah, Pak Amat. Itu yang membuat saya cemas!”
“Cemas bagaimana?”
“Keberaniannya anak-anak kita itu sekarang keterlaluan. Anak saya misalnya. Masak dia berani-beraninya mengatakan saya ini malas dan lambat bertindak. Terlalu banyak perhitungan katanya. Kalau ada yang mengecewakan dia, pasti yang dia tuding orang tuanya. Orang tuanya yang kurang tanggap, kurang sigap, ketinggalan jamahkah, ah banyaklah yang lain, yang sudah bikin saya kesel.”
Amat tercengang.
“O, jadi Bapak juga merasakan bahwa generasi sekarang itu aneh?”
“Betul!”
“Mereka terlalu banyak menuntut!”
“Ya!”
“Tapi tidak peduli pada kepentingan dan hak orang lain?”
“Persis, Pak Amat!”
“Lha itu namanya tidak punya karakter!”
“Saya kira itu! Lain dengan kita-kita dulu.l Kalau kita tidak paham, ya kita diam. Kalau kita paham tapi ada orang yang lebih paham, kita juga masih diam. Tapai kalau kita paham dan lebih paham dari orang lain, kita juga masih diam, kecuali kita diminta oleh semuanya untuk bicara. Kan begitu Pak Amat?”
Amat tidak menjawab. Tapi dalam hati dia ngedumel.
“Ya itu yang namanya malas dan kurang sigap!”
Malam hari di rumah, Ami kembali menganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibawanya dari kampus.
“Dalam bukunya Yudi Latif memujikan bangsawan pikiran. Bangsawan yang lahir karena ilmu pengetahuan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan sebagainya yang memelopori kemerdekaan. Sekarang para bangsawan pikiran kita, berkurang kegunaannya karena sistim pendidikan kita tak baik dan banyak meraka yang tergerus pengaruh multi media. Di koran yang ada hanya bahsa politik yang mencari siapa yang menang dan bahasa ekonomi yang hanya mencari apa untungnya. Yang diperlukan adalah bahasa kebenaran. Karena itu kita perlu strategi politik. Dan ujung-ujungnya berarti membangun karakter bangsa. Tapi kalau DPR nya saja kelakuannya begitu, bagaimana mau membangun karakter bangsa?”
Amat tidak menjawab. Baru di tempat tidur dia kembali bertanya pada istrinya.
“Bu, kalau aku ingin punya karakter yang baik, caranya bagaimana?”
Bu Amat berbalik lalu berbisik.
“Pijitin dulu punggungku.”
Dengan menahan rasa kesal, Amat terpaksa membunuh pertanyaannya dan kemudian mulai memijit.
Esoknya, Ami tercengang melihat bapaknya pagi-pagi sudah mandi berdandan dan bersiul-siul. Ami menegur curiga.
“Kok Bapak hari ini seger betul. Ada apa?”
“Bapak sudah dapat Ami!”
“Dapat Apaan?”
“Jawabannya. Ini bukan soal karakter, tapi penyelewengan biasa. Para wakil rakyat kita lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat Indonesia, bukan wakil partai mana pun”
“O itu, jadi jelas, kita perlu menggenjot pendidikan karakter!”


Jakarta Pebruari 2010

Anjing

ANJING
monolog
oleh:
Putu Wijaya


SEBUAH KURSI DAN MEJA. SEEKOR ANJING YANG LEHERNYA TERIKAT TALI PANJANG DI KAKI MEJA BERBARING DI BAWAH MEJA. KETIKA ADA SALAK ANJING DI KEJAUHAN, ANJING ITU BANGUN DAN KEMUDIAN MULAI MENYALAK.

KEMUDIAN ANJING DARI KEJAUHAN ITU MELOLONG. ANJING ITU KELUAR DARI BAWAH MEJA LALU DUDUK DI KURSI. LOLONGAN ANJING SEMAKIN PILU. ANJING ITU KEMUDIAN NAIK KE ATAS MEJA. MENGAMB IL KURSI DAN MENAIKKAN KE MEJA. LALU BERDIRI DI TAS KURSI DI ATAS MEJA DAN MEMBALAS MELOLONG.

SUARA PINTU TERBUKA. LALU ORANG MEMAKI DAN MELEMPARKAN SANDAL MENGENAI KEPALA ANJING DIBARENGI SUMPAH SERAPAH..

ANJING ITU KONTAN DIAM DAN MELOMPAT KE LANTAI MEMBAWA KURSI , LALU MASUK KEMBALI KE BAWAH MEJA. DIA MENGERAM-NGERAM KECIL MERASA BERSALAH. TAPI SATU SANDAL LAGI DILEMPAR, SEHINGGA ANJING ITU BERFTERIAK DAN LANGBUSNG BUNGKAM..

SUARA PINTU DIKUNCIK. LALU KEADAAN TENANG KEMBALI. ANJING IKTU PERLAHAN-LAHAN KELUAR DARI BAWAH MEJA LALU DUDUK DI KURSI DAN SAMBAT .

Siapa bilang enak jadi anjing. Sementara kita meraung-raung kelaparan, kedinginan dan kesepian , manusia enak-enakan pelukan di atas kasur. Lempar sandal lagi Sialan!

MENGAMBIL SANDAL. MAU MELEMPARKAN SANDAL KE PINTU. TAPI TERDENGAR SUARA PINTU DIBUKA. TAKL JADI MELEMPAR, LALU MASUK KEMBALI KE BAWAH MEJA DAN PURA-PURA TIDUR.

TULANG-TUL:ANG DILEMPARKAN MENGENAI ANJING ITU DISERTAI OMELAN. KEMUDIAN PINTU KEMBALI DIKUNCI. SETELAH KEADAAN TENANG, AN JING ITU BANGUN.

Kurang ajar! Itu dia enaknya jadi manusia. Sadis!. Orang kagak salah dikeplak seenak udelnyua. Tidak berbudaya sama sekali! Anarkhis! Coba kalau tidak dirante begini, masih berani nggak?

MENGAMBIL TULANG DAN MENGGIGITNYA.

Ngasih makan cuma tulang! Kalau nggak punya duit jangan pelihara anjing dong! (TERKEJUT DAN MEMBANTING TULANG) Bangsat! Plastik lagi! Memangnya aku bayi! Seenaknya aja! Anjing lhu!

MAU MENENDANG KURSI. TAPI KEMUDIAN TERDEN GAR SUARA KUNCI. TAK JADI MENENDANG, LANTAS DUDUK MANIS. TAPI TIDAK ADA APA-APA. DI KEJAUHAN TERDENGAR LAGI LOLONG ANJING. ANJING ITU GELISAH.

Beginilah nasib anjing. Dipukul,. Dilempar, disumpahi, diikat, tidak ada kebebasan dan kemerdekaan. Apalagi kesetaraan!

DI DALAM RUMAH TERDENGAR SUARA MUSIK.

Hmmm! Dengar itu. Memang lebih enak jadi manusia ke mana-mana! Bisa dengerin musik sementara kita tiap malam mesti jagain pagar! Bisa lihat televisi, main game, buka internet, bikin face book, ngintip situs-situs porno, dengertin radio. Kita? Mana bisa anjing main BB! Lalu di mana, di mana letaknya keadilan? Omong kosong! Gombal! Kebenaran hanya cita-cita. Manusia tidak akan mau ngasih kita kemerdekaan. Maunya berkuasa dan menyiksa sampai tua! Manusia mau ngapaian saja bisa. Ada. Bahkan makan daging manusia juga sah-sah saja seperti Sumanto dan Sumanti itu. Hanya makan tai yang tidak mau dilakukan manusia. Mereka bilang itu peradaban anjing! Padahal kelakuan mereka semuanya tahi kucing! Kita dijajah terus! Keluar halaman saja tidak boleh. Padahal ini kan musim pacaran. Mana dong kesempatan kita untuk Valentine! Lama-lama populasi kita terus berkurang kalau begini caranya. Tali di leher ini yang membuat aku sebel. Jangankan menikmati hari Valentine, beli makanan anjing ke supermarket saja tidak bisa. Anjing kok mau belanja, sejak kapan kata waiternya yang giginya dikawat itu.

SUARA LAGU BERHENTI. ADA BUNYI-BUNYI MESRA

Apa itu? Apa itu! Apa itu! Nggak bosan-bosannya hampir tiap malam! Satu hari bisa dua tiga kali! Sementara kita dikebiri! Gimana tidak gila kalau begini. Memangnya kita tidak punya perasaan! Kalau boleh curhat kepala ini sudah busuk. Menahan emosi itu ada batasnya. Kecuali kalau ini memang harus begini! Tapi kenapa? Di zaman Nabi Sulaiman ini tidak akan terjadi. Kita bisa bicara, karena hak-hak kita dihargai sama. Sekarang? Namanya saja demokrasi. Demokrasi untuk siapa. Kalau lagi kepingin bagian baru jadi pejuang demokrasi, tapi kalau nginjak ekor kita, mengkebiri kita, persetan sama elhu. Elhu kan binatang, memang gua pikirin! Ah! Ember! Kalau mau bikin eksperimen baru kita yang dikerjain. Dijadikan kelinci percobaan. Dikirim keluar angkasa. Ditipu mentah-mentah supaya lari-lari di rumah judi pacuan anjing. Teror! Itu kriminal! Teriak-teriak tentang hak azasi. Itu hak azasi manusia, kita ini. cuma dikasih pantat. Semua cipoa! Sebel gua! Asu!

KENCING DI KAKI MEJA. SUARA PINTU KEMBALI DIBUKA. ANJING CEPAT BERHENTI DAN MELOMPAT LAGI KE BAWAH MEJA.

Kenapa manusia bisa dapat segala-galanya dan anjing hanya tidur di bawah meja. Kebelet kencing saja bisa dikepret. Kenapa hanya manusia yang boleh naik kapal terbang, keluar masuk gedung, nginap di hotel bintang lima. Hanya manusia yang bisa korupsi, punya simpanan. Punya hak milik dan teritorial yang dikuasai secara legal. Punya keluarga, cita-cita, masa depan dan akhirnya bisa makan daging anjing! Lapo!

KELUAR LAGI LALU NAIK KE MEJA.
Menjadi manusia memang enak. Bisa punya rumah seratus, padahal yang dipakai tidur hanya satu. Punya pesawat pribadi, anak buah, body guard, kekuasaan, pengaruh, cita-cita, cinta, kehormatan. Bisa masuk koran menjadi kepala berita. Yang paling hebat, anjing tidak mungkin pelihara anjing. Hanya manusia yang bisa punya anjing. Dari anjing kampung sampai doberman komplit sertifikat trahnya resmi diakui internasional! Manusia bisa jual anjing, bisa jual manusia, tapi anjinmg mana munglkin jual anjing! Makanya sekali lagi: anjing!

TURUN DAN MENYERET MEJA.

Menjadi manusia paling nikmat,. Bisa aha-ihi dengan bintang-bintang film, main mata dengan pejabat, nonton jazz, main drama, masuk televisi. Berdiskusi, membaca sajak: … kita anjing yang diburu …….. padahal anjingnya tetap kita-kita juga! Bete! Sajak-sajak memang gombal. Hari gini ngaku-ngaku jadi anjing! Coba rasain kena gampar sandal sekali aja!

MAU ME:LEMPAR TAPI TERDENGAR SUARA LAGU DANGDUT RADIO TETANGGA.

O mak! Gantian dong satu kali saja , biarin kita yang dangdutan dan goyang ngebor

ANJING ITU BERJOGET GENIT SEKALI DI ATAS MEJA. TIBA TIBA TERDENGAR SUARA ANJING MENYALAK. DIA LANGSUNG MELOMPAT DAN IKUT MENYALAK. KEMUDIAN MELOLONG. LAUTAN LOLONGAN ANJING DI MANA-MANA. BERHENTI MELOLONG LALU MENGGEBRAK KARENA BISING.

Hee diem lhu berisik! (ANJING TERUS MENGGONGGONG) Diem! (MELEMPAR DENGAN SANDAL) Dasar anjing!

MAU M ELEMPAR LAGI. TAPI PINTU DIBUKA LAGI ANJING ITU DISIRAM AIR SAMPAI BASAH KUYUP KEPALANYA.

Apa boleh buat, skenarionya sudah menentukan anjing begini. Anjing tidak bisa jadi bos. Diguyur air bekas cebokan juga nikmati saja. Sebagai anjing aku hanya binatang piaraan. Aku selalu jadi pelengkap penderita. Tak ada pilihan. Duniaku, kebebasanku, sudah dijatah. Manusia lain. Mereka Tuan Besar! Manusia bisa mandiri, bisa bablas, bisa menghujat, bisa demo dan terima sogokan. Bisa jadi caleg, bisa jadi maling tanpa kena hukuman, bisa mengganyang manusia lain, bisa bunuh orang dan dinobatkan sebagai pahlawan. Dapat uang pensiun, bisa menuntut apa saja termasuk yang bukan haknya. Bisa menyulap kebenaran. Bisa main politik. Dan terutama tak usah berhubungan dengan dokter hewan untuk dikebiri. Malah bisa menggaji dokter hewan dan punya salon anjing

TERTAWA

Tuhan Seru Sekalian Alam, dengarkan, inilah doaku. Aku ingin jadi manusia,. Jadikan aku manusia, Tuhan, Kau jangan kejam. Biarkan aku jadi manusia. Cepat-cepat sajalah renggut nyawaku dan segala keinginanku, lalu cepat-cepat lahirkan lagi aku jadi manusia. Aku ingin jadi anak konglomerat, anak pejabat yang berkuasa. Aku bosan menggonggong dan makan tai. Aku mau jadi makhluk nomor satu yang paling Kau cintai!

BERBARING DI ATAS MEJA

I have a dream. Aku ingin jadi juri festifal film. Aku ingin memilih bintang yang paling berani buka-bukaan jadi pemain terbaik. Aku mau jadi wakil rakyat biar bisa berantem seperti bonek. Aku ingin punya kerangkeng dan merantai leher anjing! Aku ingin menulis ulang sejarah supaya bisa membelokkan nasib memperbaiki trahku. Aku ingin jadi pilot, kapitan, sutradara yang mendiktekan taktik dan strategi politik. Aku mau jadi pemimpin, pahlawan, idola. Aku ingin jadi pemenang American Idol.

BANGUN

Dan menyanyikan: I want to be free, free, freeeeeeeeee! Lalu memaki: anjing! Anjing! Anjing! Anjing! Aku berjanji aku akan membunuh semua anjing-anjing supaya manusia bebas dari penyakit rabies

BERDIRI

Tuhan jangan diam saja. Kabulkan permintaanku sekarang. Cepat jadikan aku manusia! Aku akan menikmati keberadaanku sebagai manusia dengan sepuas-puasnya. Aku akan memanfaatkan kelebihan-kelebihanku sebagai manusia dengan setotal-totalnya. Aku akan mensyukuri dan
berbahagia sebagai manusia. Aku tidak akan melolong lagi di tengah malam, karena ngilu dan rindu pada sesuatu yang jauh tapi sebenarnya tak pernah ada, karena mimpi jadi kenyataan namanya bukan lagi mimpi. Keindahannya juga pasti ludas. Tuhan, dengarkan perkataanku. Aku akan membela kebenaran dan keadilan. Menegakkan demokrasi dan hak azasi manusia. Aku akan mensyukuri hidup! Dan memulyakan namaMu.

BERSUJUD

Aku bersumpah tidak akan pernah lagi mengkhayal !

LOLONGAN ANJING YANG MEMILUKAN.

Biarkan anjing-anjing saya yang mengkhayal! Mengkhayal memang anjing ! Mengkhayal adalah membunuh diri perlahan-lahan dari dalam sel-sel kita sendiri. Khayal adalah kanker otak yang ganas. Sebagai manusia aku tidak akan lagi hidup di alam khayal. Aku akan pasrah, nrimo, realistik.

TURUN.

Aku tahu, menjadi manusia tidak mudah, kelihatannya saja gampang. Karena manusia harus berjuang, bersaing keras kalau mau sukses. (MEMBUKA BAJU DAN MENGELAP MEJA DENGA N BAJUNYA) Kerja adalahg ibadah! Tidak ada pekerjaan yang hina. Kerja adalah istirahat! (MEMIKUL MEJA DAN MEMBOPONGNYA JALAN) Beban adalah kewajiban. Hidup adalah pengabdian yang tanpa ada akhir.

BERBARING TELUNGKUP DENGAN MEJA DI ATAS PUNGGUNGNYA

Aku tidak akan pernah mengeluh lagi memikul hidupku. Di balik setiap kekalahan selalu ada janji, buat orang yang mau berjuang. Aku berjanji aku akan menjadi manusia yang baik. Khususnya terhadap anjing.

KELUAR DARI TIDIHAN MEJA. BERDIRI. MEMAKAI LAGI BAJUNYA.

Aku akan membuat semua anjing merasa hidup ini indah dengan cara mencintai mereka. Bukan cinta lokasi, tapi cinta sejati. Tulus ikhlas dan pas. Anjing-anjing peliharaanku, mahlukmu itu Tuhan, akan berada dalam keadaan yang nyaman dan mereka berbahagia. Aku tidak akan mengikatnya dengan tali, tapi kasih.

MEMEGANG TALI YANG MENGIKAT LEHERNYA. MEMBALIKKAN LAGI MEJA DAN BERDIRI.

Tali ini, ini bukan tali. Ini adalah ikatan batin. Memang semuanya hanya masalah interpretasi, argumentasi, dan komunikasi. Banyak anjing sekarang merasa tidak berbahagia karena tak pernah dapat informasi tentang tata nilai. Banyak anjing yang berasal dari keturunan kolong yang tidak mengerti arti perlakuan baik. Dengan pendidikan yang terarah dan baik, bukan hanya untuk mencetak manusia cerdas dan kompetetitif seperti cetak biru pendidikan sekarang, tapi pendidikan yang membuat moralnya bijak, semuanya akan beres. Mereka akan sadar, meskipun hanya anjing. Bahwa kalau toh makanan dijatah dan dijaga kalorinya, itu untuk kesehatan mereka sendiri. Tali ini adalah remote kontrol alias proteksi.

MENARIK TALI HINGGA KENCANG.

Pendidikan yang salah sudah membuat anjing jadi binatang. Semua yang berguna, tali batin ini, mereka tolak dan lebih suka hidup liar, mengorek tong sampah. Daripada dibawa ke salon anjing-anjing itu lebih suka main di comberan. Mereka harus diberi penjelasan. Nasib harus dinilai dengan sudut pandang baru bahwa: sebagai anjing, nasib mereka tak pernah seburuk yang mereka sangka.

MELILITKAN TALI ITU KE TUBUHNYA

Kalau anjing diikat, itu bukan berarti dipasung, tetapi dilindungi. Kalau mereka dikurung, itu bukan dipasung atau dijajah tapi dimanjakan. Kebahagiaan dan keserba-berlimpahan yang terlalu obral, justru bisa tak kelihatan. Seperti gajah di pelupuk mata. Kekayaan kita sendiri tidak terlihat. Tapi kemiskinan adalah kuman di seberang lautan yang menghantui setiap saat. Jadi kembali kepada anjing-anjhing kampong itu, mereka harus diajar melihat segala sesuatu dengan kaca-mata terbalik. Itulah hakekat peradaban!

KETAWA

Tuhan, anjing-anjing itu harus kita didik untuk bisa merasakan kebenaran itu memerlukan kejujuran. Jujur adalah segala-galanya, bukan uang. Tidak akan mungkin merasakan kebahagiaan kalau tidak bisa jujur.

MENGURAIKAN TALI DAN PERGI SEJAUH MUNGKIN SEHINGGA TALINYA KENCANG

Coba, kalau kalau pada suatu pagi atau sore, seorang konglomerat menuntun anjing di dalam sebuah taman, untuk diajak jalan-jalan, karena anjingnya juga harus buang air besar. Coba bayangkan. Coba, sebetulnya waktu itu yang jadi tuan siapa ? Manusia? (KETAWA) Salah. Anjing! Anjing itulah tuannya! Konglomerat itu sudah jadi budaknya!. Biar pun dia punya pesawat pribadi, bahkan jadi Kepala Negara, dia tetap hanya budak. Budak anjingnya. Ini memerlukan kejujuran. Hanya orang-orang yang berani jujur yang akan bisa menikmati kebenaran. Manusia adalah budak , bukan tuan. Manusia tidak menangis waktu ada manusia lain mati, tapi dia tersedu-sedu waktu anjingnya mati. Manusia tidak peduli kapan anaknya ulang tahun, tapi dia bangun pagi untuk mengantarkan anjingnya berak! Anjing bukan binatang yang tidak berdaya, tapi tuan yang berkuasa.

MENGAMBIL KURSI DAN NAIK KE ATAS MEJA LAGI.

Jadi, hidup anjing sebenarnya nikmat betul. Tidak usah dikejar-kejar petugas pajak. Tidak takut sama KPK. Tidak perlu repot punya pekerjaan atawa status sosial. Tidak usah terobsesi jadi Caleg. Aman dari segi-segi politik. Boleh menggigit siapa saja dan tidak ada penjara buat anjing. Hidup anjing begitu bebas. Hidup anjing begitu dimanjakan. Makanan anjing bisa lebih mahal dari pegawai negeri eselon B. Silsilahnya ditulis rapih. Harga anjing bisa jutaan. Jiwa manusia sekarang tidak ada harganya! Ratusas, ribuan mati dalam teror biasa-biasa saja!

MELEPAS TALI DARI LEHERNYA DAN KEMUDIAN MEMBUANG. LALU NAIK KE KURSI DAN BERDIRI.

Jangan salah! Hidup anjing itu nikmat! Alangkah asyiknya menjadi anjing. Dibawa ke mana-mana oleh Presiden Reagan. Dibuatkan kontes. Naik ke ruang angkasa dalam percobaan semesta. Menjadi anjing top. Anjing tidak usah berpikir, manusia yang berpikir untuk anjing. Dengan satu kata: manusia adalah budak anjing.

MENYATUHKAN TANGAN MEMEJAMKAN MATA DAN BERDOA

Ya Tuhan, alangkah bahagianya menjadi anjing. Tuhan, aku ingin sekali jadi anjing!

SALAK DAN LOLONGAN ANJING DI KEJAUHAN. MENYALAK. TIBA-TIBA PINTU TERBUKA LALU TERDENGAR SUARA TEMBAKAN. ANJING ITU TERTEMBAK DAN TERJUNGKAL JATUH. SUARA TEMBAKAN TERUS DI SANA-SINI.

TERDENGAR SUARA TELEVISI MENYIARKAN BERITA PEMBASMIAN ANJING RAS KARENA WABAH RABIES.


Humor, Agustus 1992

Kalau Boleh Memilih Lagi

KALAU BOLEH MEMILIH LAGI
monolog
Putu Wijaya


Waktu aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja. Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala aku bangun terlambat esoknya, bom itu hampir saja menindih kepalaku.
Sekarang aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak pernah menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang aku terpaksa mengerti bahwa bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang juru kamera atau seorang sutradara film. Bom adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus diperbuat dengan sebuah bom.
Aku hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak pada jam sembilan seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku terpaksa menghadapi bom itu sendirian. Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil memecahkan secara berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.
Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat berbahaya. Begitu disentuh, maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan, melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap orang bisa menjadi opembunuh yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku.
Bahkan waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh. Pintu itu aku kunci. Kini aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal pilihan di mana aku dapat membiarkan bom itu meledak, tapa membahayakan banyak orang.
Dalam keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang aku benci. Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa pejabat yang culas, akan tetapi tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga teringat kepada gubuk-gubuk liar gelandangan yang seharusnya lebih pantas mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau pahlawan.
Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.
Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk diungsikan ke suatu tempat yang tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak orang. Apalagi di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang rame.
Sambil memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan di depan rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus dikorbankannya. Bom itu tampaknya tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu setiap saat bisa terjadi ledakan.
Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai menghitung sekali lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri? Rumah salah seorang tetangga yang dibenci oleh seluruh kampung karena selalu bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang kebetulan lewat. Kantor polisi. Atau sebuah tanah lapang.
Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.
Mula-mula aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi setelah aku mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang berdekatan saja. Kemudian dari jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir mencapai puncak bendera. Tetangga-tetangga mula-mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di kalangan pergaulan biasa, aku adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan melakukan apa-apa tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi itu hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti ketawa, lalu lari menghampiri.
Seorang anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya. Anakku melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar anak-anakku berlarian ke bawah tiang bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama orang lain menuju tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga bersama orang banyak.
“Okiiii, turun kamu!” kata semua orang sambil melihat ke puncak bendera.
Aku memberi isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik bajuku. Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.
“Okiii, turun!” jerit istriku yang baru sampai.
Anak-anak ikut menjerit di samping ibunya.
“Bapaaak! Turunnnnn!”
Aku bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku mengeluarkan bom itu lalu membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.
“Jangan bunuh anak itu!”teriak istriku
Orang banyak terkesima.
“Kamu bilang anak, anak apa?”
Istriku meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep. Orang banyak segera sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan itu. Semuanya terdiam, memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan menjatuhkan anakku.
“Jangan bunuh anak itu Oki, itu anak kamu sendiri!”
Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.
“Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!”
Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku. Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.
“Pergii! Pergiii semua!!”
Tetapi orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera. Aku jadi tambah takut. Tubuhku gemetar. Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang bendera itu cemas. Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. “kalau ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri,” kataku putus-asa.
Aku dekap bom itu ketat-ketat.
“Jangaaaan Paak!”teriak istriku.
Orang banyak ikut berseru.
“Jangaaaaan Okiiii!!” Sayang anakmu!!”
Aku tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti membuka mulut, sekarang mereka menangis. Pada saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau. Hanya ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini memerlukan tindakan cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan segera.
Petugas itu menarik lengan istriku.
“Jadi suamimu ingin membunuh anakmu?”
“Benar Pak.”
“Mana di antara keduanya yang paling kau cintai?”
“Kedua-duanya.”
“Tidak bisa, pilih satu saja,”
“Tidak bisa Pak, saya pilih kedua-duanya.”
Petugas itu menggeleng dengan dingin.
“Keadaan sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?”
Istriku tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih suka menangis dan memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.
“Okiiii!”
Tiba-tiba anak-anakku jatuh pinsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas itu cepat bertindak. Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu dengan keras sekali. Lalu ia mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.
“Jangan Pak! Jangannnnn!”
Petugas itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu puluhan, barangkali ratusan – kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima apa yang akan jatuh. Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera sama sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan tertadah. Tapi waktu aku melihat pucuk senjata itu mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.
“Dor!”
Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih terus menempel, melilit tiang bendera.
Dor!
Tanganku lemah memeluk.
Dor!
Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti oleh bendera, bom itu melayang ke bawah. Sepuluh, atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan hendak menjemput barang yang jatuh itu.
Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku masih dapat membayangkan tangan-tangan itu lepas dari tubuh pemiliknya, terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat seratus, seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan isteriku, tetanggaku, tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai mukaku. Aku mengeram.
Kalau boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja tergolek di tempat tidurku sebagai bencana atau mimpi buruk. Aku tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara diam-diam menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.
Sambil tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai sekerat dendeng, tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang.


Jakarta 1978

Tua

TUA

monolog oleh:

Putu Wijaya

Di depanku berdiri seseorang yang barangkali aku sudah kenal benar. Mungkin juga tidak. Aku tidak tahu siapa namanya. Perawakannya sederhana. Ia tidak membawa apa-apa. Matanya juga hanya dua, dengan sorot yang biasa. Bahkan ia tersenyum manis dan mengatakan:
Apa kabar?
Tapi aku cemas. Aku merasakan ada bahaya dalam ketenangan sedang merambat perlahan-lahan hendak menjangkau leherku. Aku merasa terpepet ke sudut dengan sopan dan kemudian pada akhirnya nanti dengan lemah-lembut akan diminta untuk menyerah.
Aku tidak siap untuk menyerah. Karena aku merasa masih perlu untuk menunjukkan, kalau diberi kesempatan lebih lama, mungkin aku sanggup bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruanku di masa yang lalu. Sayangnya, waktu tidak bisa menunggu.
Orang itu bertambah dekat.
Akhirnya aku terpaksa mambela sebelum diserang. Aku memanggil - ya Allah apa yang harus aku ambil? Di sana hanya ada sebuah kursi. Kursi itu terpaksa aku angkat. Kemudian aku lemparkan kursi itu ke arah orang itu. Kena. Tepat. Muka langsung terluka. Darah menetes dari dahinya, masuk ke dalam matanya. Matanya itu terpejam, lalu darah tergelincir ke atas pipi bercampur dengan air mata.
Tetapi langkahnya tetap diayunkan menghampiriku.
Aku jadi panik. Aku berteriak minta tolong. Panik aku gapai telepon untuk memanggil polisi. Tetapi ada orang bicara terus di dalam telepon. Dengan dongkol telepon itu aku lemparkan ke mukanya.
Tepat mengenai hidung orang itu.
Hidung itu luka, darah menetes dari hidung masuk ke dalam mulutnya. Mulut itu bergerak, lalu dia meludah, dahak yang kental.
Aku mundur, merapat ke tembok. Dia mulai mendesak. Aku beringsut ke sudut. Sekarang aku mencoba menendang, kemudian memukul. Sesudah itu menggigit. Aku kalap. AKu ngamuk. Aku tak melihat apa-apa lagi. Orang itu sudah terlalu dekat. Baunya terasa. Tubuhnya menyentuh. Aku dilandanya.
Tidak!
Aku gepeng. Aku coba juga meronta, tapi tak berdaya. Tak ada gunanya.
Aku coba lagi berteriak, tapi suaraku juga sudah habis. Tenagaku terkuras.
Akhirnya orang itu masuk ke dalam tubuhku.
Ia masuk ke dalam jantung. Ia masuk ke dalam kepala. Ia masuk ke perut, mengalir ke seluruh tubuhku. Ia menusuk ke dalam sanubariku. Ia menjalari sukmaku. Aku menjerit dan melenting.
Ooo!
Lalu tiba-tiba saja aku merasa bahwa sebenarnya ia kenal betul siapa orang itu. Tiba-tiba saja aku teringat masa mudaku. Lalu aku yakin benar bahwa orang itu adalah aku sendiri di waktu masih muda.
Setelah aku yakin, bahwa aku sebenarnya sedang menghadapi diriku sendiri, aku keluar lagi. Tapi sekarang aku melihat orang itu menjauh. Hanya punggungnya yang bidang saja nampak. Kepalanya menatap ke arah depan. Aku tak dapat lagi melihat matanya yang polos, senyumnya yang sumeh dan air mukanya yang jernih. Aku merasa seperti ditinggalkan.
Akhirnya ak berseru-seru memanggil.
Kembali ! Kembali ! Kembali !!
Tapi orang itu tidak kembali. Ia berjalan terus ke sana dengan langkah yang tetap.
Aku pun menangis. Aku telah kehilangan seorang kawan yang tadinya aku kira musuh. Tapi tangis itu tidak menghiburku. Baru semenit menangis, aku buru-buru mengangkat mukaku lagi mencari orang itu.
Ternyata orang itu sudah lewat.
Kemudian aku hanya bisa termenung. Aku mendengar suara lonceng gereja. Kini aku yakin bahwa satu generasi telah melewatiku.


Jakarta, 25 November l978

Kepala

K E P A L A

monolog
Putu Wijaya




Ketika pesawat Singapore Air Lines dari Malaysia mendarat di bandara Singapura, aku terkejut. Astaga, kepalaku ketinggalan. Mungkin di kamar kecil.
Aku jadi panik. Aku amat-amati diriku. Seluruh jasmaniku sehat. Pakaianku beres, aku pantas duduk di kelas eksekutif seperti yang ditentukan panitia yang mengundanghku. Dan para penumpang lain kelihatan tenang. Kepala mereka semuanya masih bertengger dengan baik di atas lehernya.
Bagaimana mungkin aku akan belanja kalau kepalaku ketinggalan. Maksudku bukan topi, tapi kepalaku yang beneran ketinggalan. Aku yakin. Makanya aku bilang kepala. Bukan kepala boneka. Batok kepalaku sendiri!
Itu bukan kata-kata sandi. Untuk apa kata-kata kiasan? Sekarang jaman blak-blakan. Kepalaku yang ketinggalan. Kalau tas, sepatu atau celana dalam, masih bisa diatasi untuk sementara. Tapi kepala?
Di luar pesawat kusamperi petugas bandara.
Sorry, bisa menolong, saya ketinggalan kepala.
Petugas itu terkejut. Ia memandangku. Lalu tiba-tiba berteriak.
Maaaaak! Orang ini tak punya kepala!!!!'
Aku tak yakin benar apa yang aku dengar. Tapi aku kira seperti itu. Itulah yang kudengar. Sulit membuktikan apa sebenarnya yang dikatakannya. Aku tak mungkin menanyai semua orang. Kecuali memang semua orang terkejut dan memandangku. Sebelum peristiwa itu menjadi kerusuhan yang mengundang polisi, aku langsung minta maaf dan cepat-cepat pergi dari petugas sialan itu.
Untunglah semuanya kemudian bisa dibereskan. Tanpa membuat keonaran.
Di dekat gate 91, sambil menunggu waktu boarding, aku termenung. Aku menyesal mengapa tidak bersabar. Lain-lain bangsa rasa humornya beda-beda. Petugas itu pasti mengira aku ingin menggodanya tadi. Kalau dia keren sih mendingan. Tapi gembrot seperti itu, aku sudah jatuh merek di depan banyak orang. memang tidak ada yang kenal siapa aku. Tapi nama Indonesia bisa ternoda. Ini tidak baik pada saat Visit Indonesia Year. Mereka pasti tahu aku orang Indonesia. Kulitku coklat. Mataku tidak sipit. Dan aku menuju ke Jakarta. Aku bisa digebrak Menteri Parawisata sebab membuat citra buruk.
Bagus kamu godain si gembrot itu tadi, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan di dekatku. Aku juga muak dengar mulutnya. Kepala boleh dibawa naik kapal terbang, tapi mulut kagak usah dibuka lebar-lebar mengganggu tetangga. Emangnya kapal terbang itu rumah mbahnya!
Yang menegurku itu setengah tua. Ia membawa banyak bungkusan seperti baru keluar dari super market. Ia terus saja ngomel tentang kelakuan petugas bandara tadi. Aku rasa dia orang Indonesia. Dandanannya seperti orang-orang kaya di bilangan Menteng.
Anda mau ke Jakarta?
Ya. Tapi coba saja. Masak dia bilang Jakarta itu lebih kumuh dari New York. Kumuh sih kumuh, mana ada kota besar tidak kumuh. Tapi right or wrong kan my country juga. Tapi dia tidak kasih kesempatan ike kasih argumentasi. Dia nyerocos saja terus. Masak dia bilang Aids itu bisa menular karena gigitan nyamuk. Jelek-jelek begini partner ike kan Phd dari Yale. Tapi dia juga tidak mau dengar, dia terus saja ngomong. Mau gebukin rasanya kepalanya itu. Apa saja sih isinya. Orang mana dia. Baguslah you kerjain tadi. Mestinya dia tinggal saja kepalanya di rumah. Eh Bung ini juga mau ke Jakarta ya? Itu lho masak jalan layang di Gatotsubroto bisa macet. Kemaren misoa saya mau mau sidang, ya jelek-jelek juga anggota MPR, tapi jadi telat gara-gara jalanan macet. Kasihan rakyat yang memilihnya sudah menunggu keputusam.
Orang terus bicara. Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Lalu kubiarkan kepalaku berjalan-jalan. Bisa meledak otakku kalau menyimpan semua muntahannya. Sebentar lagi aku akan memasuki ibukota yang panas, penuh nyamuk, macat dan penuh persaingan. Aku tak mau buru-buru gerah. Aku masih ingin istirahat.
Kutelusuri ruang bandara yang baru itu. Aku masih ingat apa komentar Bambang. Tata ruangnya begitu bagus, sehingga meskipun begitu banyak orang yang semuanya bergerak cepat, tapi tak terasa penuh. Kebersihannya juga membantu. Barangkali juga bangunannya yang modern memang tidak membuat rasa sumpek seperti Bandara Soekarno-Hatta. Ini memang soal selera.
Aku nonton coklat-coklat yang harganya puluhan dollar. kemudian barang-barang elektronik. Juga souvenir-souvenir kecil, yang akan dibeli orang dengan bergairah karena nampak berharga. tetapi sampai di rumah, baru satu hari sinarnya layu. sama seperti barang souvenir lainnya. Kalau berkelompok dan dalam suasana berbelanja ia baru bagus. Kembali aku ingin marah dengan dunia dagang. Aku makin merasa lagi itu sebagai usaha tipu-menipu.
Tepat saat boarding. Terdengar suara wanita memanggil penumpang yang akan berangkat ke Jakarta untuk masuk ke gate 91. Semua orang yang berkepentingan berdiri mengangkat bawaannya, masuk ke gate.
Aku sendiri agak gelagapan. Aku angkat tas kulit dan tas plastikku yang berisi buku-buku. Tapi masih belum berani beranjak. Kepalaku entah masih di mana. Kalau aku pergi nanti dia bingung mencari. Jadi terpaksa aku siap saja di situ. Orang-orang sudah mulai masuk, memenuhi ruangan gate 91.
Hampir setengah jam aku menunggu. Tapi kepalaku belum kembali. Jangan-jangan di tersangkut di salah satu toko. Atau terkunci di kamar kecil. Atau naksir penumpang lain. Bagaimana pun, aku mulai cemas. Suara panggilan supaya penumpang masuk sudah diulangi. Aku mulai cemas.
Dengan ragu-ragu aku mendekati pintu masuk.
Silakan kata petugas sambil mengulurkan tangan hendak melihat boarding pass yang ada di tangan kananku.
Sebentar, kepala saya masih ketinggalan.
Tapi lima menit lagi Anda harus masuk.
Kalau kepala saya masih di situ, bagaimana?
Ke mana dia?
Tadi jalan-jalan sebentar ke situ.
Oke coba lihat passport Anda.
Aku memberikan passportku. Ia masuk dan membuat panggilan.
Kepala tuan PW harus kembali. Pesawat sebentar lagi akan berangkat. Anda ditunggu. Harap segera masuk ke dalam gate 91.
Tapi sampai waktu take off, kepalaku belum kembali. Aku mulai panik.
'Tenang saja, kata awak kapal, nanti kami kirimkan pakai pesawat berikutnya. Asal Anda simpan baik-baik ''claim''nya, nanti Anda bisa tunggu di Air Port Soekarno-Hatta. Berhubungan saja dengan kantor kami di situ.
Dengan iming-iming seperti itu aku masuk pesawat. Meninggalkan kepalaku di bandara Changi. Rasanya memang tidak enak. Was-was. Kikuk dan juga sedikit malu. Ketika pramugari muncul menawarkan makanan, aku hanya menggeleng malu.
Maaf tidak bisa, bukannya tidak mau, kepala saya ketinggalan.
Ia mengangguk maklum. Memang sering begitu, katanya dengan senyum manis. Kami punya serep kepala, untuk para penumpang yang seperti Anda, barangkali mau mencobanya?
Masak?
Kalau Anda mau, saya bisa mengambilnya sekarang. Ya?
Aku berpikir.
Apa tidak ada efek sampingannya nanti?
Pasti ada sedikit. Daripada Anda lapar? Udang kami enak sekali. Sayang kalau Anda melewatkan.
Aku masih bimbang. Wanita itu tersenyum. Aku luluh oleh keramahannya. Apakah ia selalu ramah seperti itu. Atau hanya untuk orang yang ketinggalan kepala seperti aku?
Kalau Anda mau, bilang saja nanti.
Ia meninggalkanku untuk mengurus penumpang lain yang rupanya sudah tak sabar. Aku cuma ingin berhati-hati. Sekarang virus aids dan hepatitis B sering masuk ke tubuh lewat jarum suntik. Bukan tidak mungkin, lewat peminjaman kepala, tubuhku dapat kiriman virus-virus aneh. Bisa repot nanti,
Tapi ketika pramugari itu lewat lagi, aku tak dapat menahan diri untuk mengiyakan tawarannya. Aku sudah terpengaruh oleh senyumannya. Ia mengagguk memintaku bersabar, seakan-akan ia sudah tahu betul bahwa akhirnya aku kan menerima tawarannya.
Tak lama kemudian ia muncul membawa kepala itu. Terbungkus dalam sebuah kotak biru. Ia membawa seperti membawa earphone buat penumpang yang ingin menikmati film di udara.
Sorry, katanya dengan lebih ramah lagi, George kebetulan sedang pilek, jadi mungkin tak akan bisa menikmati udang. Sedangkan Abdullah kelihatannya mengantuk sekali. Nanti malah merepotkan. Ini hanya ada Sally. Mau mencoba? Terserah Anda, kalau mau.
Aku bingung.
Siapa George, siapa Abdullah dan siapa Sally?
George itu orang putih, seleranya makanan Eropa, sebetulnya kalau tidak sakit, pas buat Anda untuk acara makan ini. Kalau Abdullah, mungkin Anda lebih baik memilih beef, nanti. Tapi dia juga sedang tidak fit. Sudah beberapa hari ini seperti mogok, katanya sampai ada kepastian tentang Perang Teluk. Saya anjurkan ini saja. Si Sally.
Pramugrai itu membuka kotak dan mengeluarkan sebuah kepala perempuan.
Hallo Mas, tegur Sally begitu keluar dari kotaknya.
Aku terperanjat.
Tapi ini cewek. Masak saya mesti pakai kepala cewek?
Pramugari itu tersenyum saja, langsung mengenakan Sally padaku. Ia memperlakukan kami penumpang seperti anak-anak kecil yang nakal.
Aduh seret, bisik Sally menggoda, tapi nggak apa.
Tapi Miss ……
Tidak apa, ini bukan restroom yang ada pembagian ladies dan gentelman. Ini seperti baju yang mix. Dapat dipergunakan oleh pria dan wanita. Yang penting kan Anda bisa makan. Bagaimana enak rasanya?
Pramugari itu mematut letak Sally supaya lebih pas.
Namaku Sally Field, kata Sally, tapi sebut aku Yulia Robert. Anda kelihatannya lapar sekali. Kita makan yuk. Beef saja ya? Saya agak bosan dengan udang.
Aku tak bisa menolak lagi. Pramugari juga sudah meletakan kotak makanan berisi beef di depanku. Sally langsung membukanya dan meminta anggur putih. Dan aku makan perlahan-lahan.
Sembari makan, Sally terus ngajak berembuk.
Anda terbang sendirian?
Ya.
Belum bekeluarga?
Belum.
Hmmm, bohong. Aku bisa membedakan lelaki yang sudah dan belum kawin.
Saya tidak mengatakan saya belum kawin.
Sally mencubit.
Nggak usah bohong. Aku mengerti lelucon Indonesia. Aku banyak bicara dengan orang Indonesia. Mereka selalu bicara begitu. Bermain antara pengertian kawin dan menikah. Anda sudah berkeluarga kan?
Aku tak menjawab.
Oke, kalau aku boleh tahu. Ngapain kamu ke Malaysia?
Aku tak menjawab.
Oo, aku baru tahu kamu termasuk orang yang tak suka ngobrol kalau sedang makan. Ya nggak?!
Betul.
Kalau begitu silakan makan saja. Tapi nanti boleh dong kita cakap sikit-sikit. Tak baiklah berjalan tak ada cakap barang sedikit.
Kemudian Sally diam dan aku dapat kesempatan makan. Agak lain rasanya makan dengan kepala seorang wanita. Sally mengunyah terlalu lama. Ia juga makan lambat-lambat. Aku jadi tak sabar, karena tak bisa lagi menikmati iramanya. Apa artinya makan kalau tidak ada emosi.
Setelah selesai makan, aku ingin sekali membaca koran. Ingin tahu bagaimana perkembangan di Teluk. Seluruh dunia sedang menanti dan bertanya-tanya perang atau damai. Di Kuala Lumpur sejumlah penyair Malaysia menyelenggarakan apa yang ereka namakan Malam Merpati Putih. Para penyair terkemuka setempat seperti Usman Awang, beberapa orang lain, aku lupa nama mereka dan sastrawan negara Samad Said membacakan sajak-sajaknya. Beberapa di antaranya dinyanyikan dan ditarikan. Mereka berpihak pada perdamaian.
Tapi Sally tak setuju. Ia lebih suka aku melihat brosur barang-barang yang dijual di dalam kapal. Ia malah memilihkan sejumlah minyak wangi yang pantas dibeli, karena itu tax free. Di darat harganya jauh lebih tinggi, katanya membuat promosi. Aku tak membantah. Kalau dibantah ia akan senang, karena dapat peluang untuk ngomong lebih banyak. Aku kenal watak-watak seperti Sally ini.
Sally jadi kewalahan, karena aku selalu membenarkannya. Lalu ia mulai bercerita tentang apa yang sudah dilakukan oleh beberapa penumpang dari Indonesia yang dikenalnya. Cerita itu itu tidak memerlukan bantahan. Sebenarnya cukup menarik tapi aku tak ingin mendengar. Aku mencoba luput dan tidur. Aku selalu mudah tidur kalau sedang berada dalam kendaraan yang berjalan.
Nama pramugari itu ternyata Sally juga. Ia berdarah campuran. Ada Inggris, Cina, Melayu, India dan Arab. Mukanya yang lonjong dan mancung memancarkan keintiman timur yang mempesona. Ada campuran kepraktisan, kecerdasan dan kebodohan di mata dan bibirnya. Itulah yang membuatku terpesona, tidak merasa terancam dan kemudian menegurnya. Menanyakan siapa namanya.
Lalu aku sebutkan namaku. Pekerjaanku. Berharap ia tidak lagi menghadapiku hanya sebagai penumpang biasa. Juga ia tak perlu bersikap ramah dibuat-buat mentang-mentang bertugas sebagai pramugari. Aku ingin berjumpa sebagai manusia dengan manusia yang masih beremosi sewajarnya. Dan itu agak sulit. Berarti indoktrinasi kepramugariannya, kalau boleh kusebut semacam itu, berhasil.
Tetapi perlahan-lahan, karena usaha yang keras, aku berhasil juga mengendorkan desiplin itu. Rupanya secara sederhana, manusia sama saja rapuhnya. Ia hanya mampu menyembunyikan agak lama. Tapi kemudian aku berhasil mengajaknya untuk makan malam. Aku tanyakan terus-terang, ia ingin makanan kelas satu, atau kelas kambing. Ia berpikir lama.
Maaf kita akan segera mendarat, tolong sandaran kursi Anda ditegakkan, tegur Sally pramugari itu sambil menegakkan sandaran kursiku.
Aku menurut. Kepala Sally Field alias Yulia Robert sudah diambil. Aku sendirian kembali. Di jalur kursi sebelah sana, Sally pramugari yang berdarah campuran itu sedang membantu seorang wanita tua mengakkan kursinya.
Aku melongok ke luar lewat jendela. Nampak wajah Jakarta. Ternyata gedung-gedung tidak begitu banyak dibandingkan dengan atap genting merah. Dataran sawah yang memeluk ibukota itu nampak seperti rawa. Aku rasa Jakarta masih seperti kampung dari arah udara. Aku tak merasakan ada kebanggaan.
Kepala Anda sudah ditemukan, nanti akan dikirimkan dengan pesawat berikut. Anda bisa menunggu di air port. Atau bisa menjempotnya besok, kata Sally menghampiriku. Cuma bagaimana Anda akan melewati petugas paben? Kami tidak bisa meminjamkan kepala George atau Abdullah. Aka nada masalah.
O no problem kataku, orang Indonesia sudah sering pulang dari luar negeri pakai kepala orang lain. Bahkan tanpa kepala juga sudah banyak. Masalahnya hanya, saya tak mungkin pulang ke rumah tanpa kepala. Saya kepala keluarga.
Sally tersenyum sedih menghibur dengan mengerti kecemasanku.
Itulah sebabnya aku masih tetap berada di bandara menenteng kopor, tak bisa pulang tanpa kepala. Entah sampai kapan.


Jakarta, 23-1-1991