Pejabat

PUNGGAWA KERAJAAN yang amat seret perjalanan karirnya itu, di utus ke daerah. Ia bertugas untuk memeriksa kesejahteraan rakyat. Apakah kawula alit, yang menjadi jantung-jantung kecil di seluruh pelosok kerajaan itu, tetap berdegup. Tidak papa dan sakit seperti tuduhan musuh.

Sekali ini punggawa itu berangkat dengan istrinya. Karena menurut istrinya, kesaksian dua mata saja tak cukup. Dengan empat mata, apalagi mata lelaki dan mata wanita, kenyataan akan lebih jelas tertangkap. "Mungkin kalau kakanda bisa memberikan laporan yang lebih akurat, karir kakanda bisa lebih baik, tidak seperti sekarang yang nyaris ke cemplung ke dalam kernajang sampah," bisik istrinya.

Perjalanan itu penuh dengan kejadian-kejadian yang mengenaskan. Baru beberapa desa sudah terbentang jalan rusak. Rumah penduduk jauh dari persyaratan layak. Sawah-sawah sudah berubah menjadi tanah-tanah kosong. Konon para saudagar di ibukota sudah membelinya untuk kelak akan dijadikan pabrik dan pemukiman mewah. Tanah bukan milik penduduk lagi.

Muka para penduduk kuyu, seakan-akan mereka anak yatim-piatu. Jangankan melambaikan tangan untuk mengelu-elukan, menoleh pun mereka segan. Kepala mereka jatuh dari leher.

Istri punggawa trenyuh. Air matanya membanjir sepanjang jalan. Ia tersedu-sedu tak menyangka ada penderitaan yang sedahsyat itu. Padahal di ibukota kerajaan berlimpah makanan, pesta-pesta wah gaya hidup gemerlapan. Ia terpaksa memejamkan matanya, lalu menelan obat tidur. Tetapi dalam mimpinya muncul pemandangan yang lebih menyeramkan, sehingga ia menjerit-jerit.

Suaminya mencoba menghibur. "Ya begitulah istriku, menjadi pejabat memang begini, tidak enak," katanya sambil mengusap istrinya. "Kita harus menyaksikan nasib manusia yang berbeda. Yang perlu sekarang adalah jangan menilai sesuatu dengan ukuran salah. Jangan pakai nilai-nilai kota, di mana kebersihan, kemakmuran, kesenangan sudah berlimpahan, untuk menilai keadaan di sini yang masih rawan. Jangan pakai ukuran kecantikan bintang film untuk menilai seekor kerbau. Dan sebaliknya jangan pakai keindahan seekor ular untuk menilai seekor angsa. Nanti kita akan terus salah kaprah akhirnya frustasi dan stress dan masuk kubur. Percayalah, di balik dada rakyat yang kau anggap miskin, pucat dan tak berdaya itu, masih tetap menyala kehidupan yang ceria. Bahkan mungkin mereka lebih bahagia dari kita. Hanya saja kita tidak mampu melihatnya. Hanya saja kita tidak bisa menilainya."

"Ingatlah, istriku dari kacamata mereka, mereka pun memandangi kita dengan perasaan trenyuh. Karena mereka pasti berpikir, itu Bapak Punggawa dan istrinya kok setiap hari kerja, bertugas tak habis-habisnya setiap hari memeriksa keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kapan beliau berada di rumah untuk membagikan kasih-sayang pada anak-anaknya sambil nonton telenovela di tv. Alangkah tidak bahagianya pikiran Bapak Punggawa."

"Jadi begitu, sayang. Jadi jangan sedih. Kita harus bisa menempatkan segala sesuatu di tempatnya dan menilainya dengan ukuran yang layak."

Istri punggawa terdiam, setelah disiram oleh jalan pikiran suaminya. Lau ia mengunci tangisnya itu. Membuka mata dengan nilai yang lain. Mencoba melihat kehidupan yang sangat miskin dan menderita di pedesaan itu, sebagai sebuah kesederhanaan, percintaan kepada alam, kewajaran dan keaslian yang harus dipertahankan karena memancarkan tradisi nenek-moyoang kita sebagai petani. 

Setelah satu bulan memeriksa desa-desa pinggiran yang bersembunyi di ketiak gunung-gunung, pungga itu kembali ke ibu-kota kerajaan bersama istrinya. Wajah mereka nama sangat layu, pucat dan lunglai. Karena bukan hanya rakyat desa yang mereka kunjungi itu saja yang tidak berkecukupan makan, jaminan kepada Punggawa yang sedang bertugas pun menjadi sangat kurang. Perjalanan peninjauan itu menjadi perjalanan kemelaratan. Keduanya tercengang setelah menimbang, berat badan mereka merosot 10 kilo. Tulang-tulang pipi mulai menonjol.

Langsung saja keduanya mandi dengan air mawar. Para panakawan dikerahkan untuk memijit tubuh mereka yang sakit dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu setiap hari makan sekenyang-kenyangnya. Dan setelah itu tidur pulas berhari-hari, untuk mengembalikan jiwa raga mereka yang hambruk.

Baru 10 hari kemudian, kesehatan mereka pulih. Punggawa itu lalu masuk ke dalam ruang kerjanya untuk menulis laporan. Ia termenung lama sekali sebelum menulis. Air matanya bercucuran. Tetapi kemudian ia menguatkan dirinya untuk menyelesaikan tugas itu.

"Tuanku," tulisnya pada akhir laporan. "Desa-desa kita memerlukan pertolongan, perhatian secepat-cepatnya. Penduduk sudah kehilangan harapan. Kehidupan sudah sangat merosot. Kalau dibiarkan, dengan mudah musuh akan masuk dan menghasut mereka agar berontak. Tuanku harus memindahkan seluruh anggaran belanja kerajaan untuk memperbaiki jiwa-raga mereka sekarang, kalau betul kita menganggap bahwa mereka adalah jantung-jantung kecil kita. Kalau tidak, kita akan runtuh."

Punggawa itu memasukkan laporan ke dalam amplop, lalu tertidur. Ia tenggelam ke dalam mimpi yang bahagia. Karena ia merasa udah ikut memperjuangkan kemiskinan rakyat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar