Banjir

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 18 Februari 2007)

MELIHAT.

“Memang kenapa?”


“Sebelah kakiku kejeblos lubang, ya air comberan ketelanlah paling tidak secangkir.”


“Ada tahinya?”


Kaciran ketawa.


“Kok ketawa. Ada nggak?”


“Ada kali. Habis dua hari perut jadi mules terus. Tiap kali makan keluar lagi, keluar lagi.”


Tetangga Kaciran sekarang yang ketawa.


“Eee sekarang lhu yang ketawa.”


“Habis, kali yang kamu telan itu bekas punya kita.”


“Punya kamu?”


“Iya! Kita kan memang lagi sakit perut terus waktu banjir itu. Air comberannya rasa gulai kepala ikan nggak?”


“Gulai kepala ikan palemu!”


“Ya, pasti gulai kepala ikan kan? Nah, itu yang gua makan keluar lagi!”


Kaciran nyengir, sementara tetangganya ngakak.


Waktu itu, muncul sembilan pelajar dari sebuah sekolah bergengsi yang sedang melakukan pengamatan di mana akan membagikan bantuan untuk korban banjir. Melihat Kaciran dan temannya ketawa-ketawa terus, mereka mendekat.


“Bukannya kemarin di sini parah, Pak?”


“Bukan parah lagi, air sudah sampai di sini,” jawab Kaciran cepat menunjuk ke lehernya, “Adik-adik ini dari mana?”


“Kami dari sekolah kami, Pak. Besok kami mau membawa sumbangan yang dikumpulkan teman-teman untuk disumbangkan. Tapi maunya ke lokasi yang benar-benar membutuhkan bantuan.”


“Lho, kami di sini membutuhkan sekali. Mana sekarang?”


“Besok baru akan kami drop.”


“Sekarang aja! Semuanya sudah kelaparan di sini. Beras kan udah naik lagi! Jangan kayak pemerintah, main tunggu-main tunggu terus. Ntar kita mati semua!”


Para pelajar itu bisik-bisik sesamanya berunding. Kaciran juga main kedip-kedipan mata dengan tetangganya. Kemudian pelajar itu menggelengkan kepala.


“Kelihatannya kami mau ngedrop di tempat lain saja, Pak. Sorry.”


Kaciran terkejut.


“Lho kenapa? Kami di sini juga membutuhkan!”


“Tapi kelihatannya Bapak-bapak ini kok oke-oke saja?”


“Oke-oke bagaimana?”


“Ya seperti tidak perlu pertolongan begitu.”


“Siapa bilang. Ayo kalau mau masuk ke dalam rumahku. Mau? Nanti tanya sendiri sama nenekku. Apa punya beras untuk dimakan hari ini? Ayo!”


Para pelajar itu berunding. Kemudian seorang pelajar putri maju.


“Kalau Bapak-bapak memang perlu sekali bantuan, nanti kami laporkan pada pos lain.”


“Lho jangan hanya dilapor, berikan saja bantuannya.”


“Tapi Bapak-bapak kelihatannya seperti tidak memerlukan bantuan.”


“Siapa bilang?!”


“Habis, kan tadi ketawa-ketawa.”


Kaciran terdiam. Setelah berpikir, dia tersenyum lebar. Pelajar itu manggut-manggut.



“Orang tersenyum artinya senang! Bapak pasti bahagia karena rumah Bapak tidak kebanjiran! Tapi Bapak tidak boleh lupa, 200 ribu orang yang diberitakan di internet menjadi korban banjir 5 tahunan ini.”


Kaciran langsung tertawa.


“Adik-adik, di sini semua rata kebanjiran, tidak ada yang tidak. Kalau aku ketawa, tidak berarti senang. Orang mencoba senang-senang itu tidak berarti tidak perlu bantuan. Wah, wah, adik-adik ini pasti sudah salah kaprah. Kami ketawa bukan karena bahagia, tapi justru karena kami sedang kelaparan. Rumah, pakaian, barang-barang yang kami kumpulkan bertahun-tahun hancur dalam dua hari. Apalagi yang bisa kami lakukan kecuali ketawa. Kan cuma itu yang gratis. Kalau marah lagi, nanti tenaganya habis percuma. Ya terpaksa ketawa saja. Yang lain kan semua bayar. Betul nggak, Dul?”


Dul, tetangga Kaciran, kontan menjawab dibarengi tawa lebar.


“Bener, Dik, orang ketawa itu bukan seneng tapi susah. Kan ketawa itu sehat. Bikin awet muda lagi. Makanya meskipun tiap tahun dapat banjir kita ketawa terus, supaya awet muda terus. Pak Kaciran ini begini-begini udah tiga istrinya, sekarang udah mau kawin lagi!”


Kaciran ketawa.


“Jangan percaya, Dik. Siapa bilang bini gua tiga? Itu menghina!”


“Habis berapa?”


“Lima!”


Kaciran dan tetangganya ketawa lagi lebih seru.


Pelajar-pelajar itu bengong. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Semua pandang-pandangan dan bisik-bisik. Yang putri kelihatannya rish sekali. Ia cepat-cepat menarik teman-temannya untuk pergi.


“Cabut yuk, ngapain di sini mereka nggak apa-apa kok! Betul juga yang di koran itu!”


Melihat gelagat mereka sudah mau bergerak, Kaciran mencoba menahan.


“Lho adik-adik mau ke mana? Katanya mau lihat korban banjir. Kan mau ke rumah melihat nenekku yang aku gendong naik ke rakit? Yang kelihatan di teve itu lho!”


Para pelajar itu tak menjawab, terus bergegas naik ke dalam mobil.


“Kita tunggu bantuannya lho! Kalau nggak ada barang, mentahannya juga boleh!”


“Dua-duanya lebih baik lagi!”


Tapi seruan itu terhapus oleh suara knalpot mobil. Kaciran dan tetangganya memandang hampa.


“Anak-anak orang kaya sok tahu semua. Berlagak mau jadi pahlawan. Kalau mau nyumbang nggak usah ngomong gede! Kalau memang ikhlas nyumbang, bawa saja kemari, pakai ngintip-ngintip segala, paling juga cuma mie seduh yang bikin perut kita rusak! Dasar! Mana dia tahu kita kelaparan! Koran udah ribut gitu, dia masih ngetes kita!”



“Anak-anak sekarang mana baca koran, Cir, mereka nonton televisi!”


“Apalagi nonton televisi. Mesti lihat aku gendong nenek sampai negak air comberan, dong?!”


“Tapi bukan teve kita yang ditonton, MTV atau film kartun!”


Kaciran mencibir.


“O gitu? Makanya nggak heran koran jadi teriak-teriak terus supaya yang buta, yang budek itu mau sekali-sekali lihat nasib orang di bawah! Coba rasain sebentar di sini, jangan cuma duduk di kursi tinggi. Enak nggak jadi rakyat!”


Dul mikir.


“Kenapa memang dahi lhu nekuk?”


“Habis lhu bilang, enak kagak jadi rakyat? Gua pikir ya enak juga!”


“Enaknya?”


“Bisa maki-maki kayak lhu itu. Ngomong apa juga kagak salah. Tapi coba mereka? Salah dikit juga bisa putus nyawanya. Keceplosan ngomong seperti yang lhu bilang di koran itu, jadi bahan umpatan. Ya nggak?”


“Yang mana?”


“Itu yang lhu bilang nongol kepalanya di air dan berkoar: korban masih bisa tertawa, media jangan membesar-besarkan soal banjir!”


“O yang di sampingnya ada tengkorak ketawa itu?”


“Itu dia!”


Kaciran dan Dul tertawa barengan.


“Gila, memang! Kali tengkoraknya ketawa karena lihat ada orang masih sempat-sempatnya kawin padahal air sudah selutut. Yang masak, yang kondangan, pengantennya basah semua, tapi terus aja kawin karena udah kebelet.”


“Salah! Bukan! Tengkoraknya ketawa karena airnya rasa gulai kepala ikan!”


“Sialan!”


Keduanya ketawa lagi lebih keras dari yang tadi.


Nenek Kaciran keluar dari dalam rumah. Dia memanggil Kaciran. Bujang tua itu terpaksa mengunci ketawanya, lalu berlari menghampiri satu-satunya keluarga yang masih hidup di sampingnya itu. Nenek itulah yang telah memberinya kekuatan untuk terus bertahan. Padahal seluruh keluarganya sudah ditelan oleh ombak waktu pulang ke kampung.


“Ada apa, Nek?”


“Ada kamu di televisi!”


Nenek Kaciran memberi isyarat supaya cucunya cepat masuk. Kaciran melompat masuk. Di televisi disiarkan kembali musibah banjir yang konon sudah menjadi makanan tahunan dan bonus 5 tahunan ibukota


Air naik dengan cepat dan lebih dahsyat dari banjir-banjir yang pernah terjadi sebelumnya. Banyak kawasan yang tidak pernah terjamah, kini tak berdaya. Toh banyak penduduk yang masih tetap bertahan di rumahnya. Mereka takut hartanya akan dimaling. Baru setelah air semakin mengancam dan persediaan makanan habis, orang mulai mau dievakuasi.



“Tadi kamu kelihatan di situ sama Nenek,” kata orang tua itu menunjuk ke televisi.


“Gendong Nenek?”


“Ya.”


“Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah masuk televisi.”


“Ya itulah gunanya banjir,” kata Kaciran melucu.


Tapi neneknya tidak tertawa.


“Kalau tidak ada banjir, aku tidak akan pernah jadi Naga Bonar.”


“Apa?”


“Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah gendong Nenek,” kata Kaciram sembari ketawa.


“Kenapa kamu tertawa?”


“Emang aku tertawa?”


“Ya! Karena Nenek kentut?!”


Kaciran ketawa.


“Memang Nenek kentut waktu itu?”


“Berkali-kali. Aku memang kentut kalau takut.”


“Jadi Nenek juga takut?”


“Siapa yang tidak takut. Biar sudah tua, biar tidak punya apa-apa, aku juga takut. Emangnya cuma orang kaya yang takut? Kamu tidak takut?”


“Aku juga takut, Nek! Aku kan nggak bisa berenang.”


“O jadi kamu juga takut?”


“Ya.”


“Kalau takut kenapa ketawa?”


Kaciran tersenyum, sebab ingat hari itu. Ia sudah terminum air comberan dan diledek. Tidak ada yang percaya dia tidak bisa berenang. Hanya waktu tentara yang menolong itu bilang Kaciran adalah Naga Bonar kecemplung kali, ia tidak bisa lagi menahan diri untuk menertawai dirinya dan sekaligus membunuh rasa takutnya.


Nenek Kaciran memandangi cucunya. Satu-satunya cucur darahnya yang diharapkan akan melanjutkan keturunannya, tetapi sampai sekarang masih belum berhasil. Masih saja Kaciran belum mampu mengangkat hidupnya supaya keluar dari kawasan kecoak.


“Kamu ngetawain Nenek ya?”


“Tidak.”


“Kalau begitu kamu ketawa, karena kamu bersyukur. Walau pun kena gempa, kena banjir kamu masih tetap hidup. Begitu?”


Kaciran tak menjawab.


“Itu bagus. Kamu harus selalu mensyukuri semua karunia-Nya. Walau pun tiap tahun kena banjir, nyatanya kita masih tetap hidup. Kamu anak yang soleh, Kaciran, kamu masih bisa tertawa meskipun hidupmu tidak beruntung.”


Kaciran ketawa.


“Kok ketawa?”


“Aku nggak tahu, Nek. Mulutku udah ketawa saja duluan, sebelum aku bisa ngomong.”


“Kenapa?”


“Ya mungkin karena aku sudah terbiasa.”


“Siapa yang sudah melatihmu?”


Kaciran terkejut. ***


.


.


Jakarta 2007

Kucing

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 13 September 2009)

KAMI bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan Puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan. Katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi pada bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.


Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju. Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.


Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya saya beli juga sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi karena kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditas yang sebenarnya bermutu sampah.


Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya sebrangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki, ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh penjalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.


Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan maghrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah. Teh kental manis panas, pada bulan Puasa, lebih indah dari rubayat-rubayat Umar Khayyam. Puasa adalah bulan yang paling saya tunggu dalam setahun. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng dan kehidupan, betapa pun rewelnya adalah sebuah puisi.


Celakanya, rumah kosong. Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Tak apa. Hanya saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. Ada vas bunga dengan bunga mawar. Tapi saya tidak bisa menegak mawar. Saya memerlukan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokan setelah menahan nafsu selama 12 jam.


Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cirendeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.


Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap untuk kabur. Biar saya makan enak sendirian di PIM. Mengganyang bebek goreng yang harganya selangit itu. Seratus ribu melayang juga tak apa asal tidak kecewa. Dan kalau perlu terus nonton bioskop.


Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kuncing mengeong. Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukan ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan. Tapi itu ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu, tetapi tak berdaya.


Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan, di situ, di situ.


Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar reca-reca yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.


Ngeong, kucing itu nyeletuk, seperti mengatakan. Nah ya kan?!


Bener, kata saya sambil membelai kucing itu dengan sayang. “Kalau kamu tidak merintih-rintih, Kawan, aku tidak akan tahu, istriku sudah menyiapkan segala yang terbaik buat suaminya sebagaimana mestinya seorang istri yang bertanggung jawab. Terimakasih, Cing. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak pernah tahu, aku sudah punya semua ini. Kau sudah menyelamatkan seratus ribu, mungkin dua ratus ribu lebih yang mau disikat kas bebek goreng penganut neo liberalisme itu!”


Kucing menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya.


“Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!” kata saya sambil meletakkan kucing itu di lantai.


Saya buka sepatu. Kemudian menjerang teh tarik. Nikmatnya. Setelah marah-marah, tendangan rasa teh berlipat ganda. Apalagi istri saya tidak lupa menyediakan musuh yang serasi: singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng.



Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun. Tidak memberi jeda lagi, saya siap mengganyang ikan bakar reca-reca, untuk menghargai karya istri itu.


Tapi begitu menoleh, saya terperanjat. Reca-reca itu sudah lenyap. Pintu almari yang belum sempat saya tutup, seperti kecewa. Mata saya jelalatan mencari kucing. Ternyata sambil mengeram-ngeram, durjana itu mengganyang ikan saya di bawah meja, di depan mata si pemiliknya.


Darah saya langsung mendidih.


“Bangsat!”


Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Hewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca-reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.


Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman, waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.


Saya masuk ke dalam rumah. Lalu reca-reca itu saya campakkan ke tong sampah. Saya tidak sudi makan bekas kucing. Tapi kemudian saya ambil lagi. Saya bungkus baik-baik. Saya buang jauh-jauh, dalam perjalanan ke restoran bebek goreng di PIM. Saya bunuh rasa kecewa dengan berfoya-foya Rp 200 ribu, memperbaiki sore hari yang rusak itu. Tetapi rasa dongkol itu tak berkurang.


Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.


“Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak,” katanya.


“Maksud Pak Haji?”


“Saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga Bapak, Bapak sudah menzalimi mereka.”


“Menzalimi bagaimana?”


“Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?”


“O, ya, kalau itu betul!”


“Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri.”


“O begitu?”


“Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat shock oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak.”


“Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.”


“Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja.”


“Dia curi dari almari!”


“Apa kucing bisa membuka almari, Pak?”


“Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup.”


“Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak.”


“Salah siapa? Salah saya?”


“Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah.”


“Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!”


“Memang begitu, Pak.”


“Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terimakasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?!”


“Memang itu maksud beliau.”


“Apa?”


“Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya.”


Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.


“Kami bukannya tidak punya duit Pak RT,” kata istri saya yang memang cepat naik darah, “tapi ini soal keadilan. Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!”


Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.


“Baiklah,” kata Pak RT kemudian, “demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusukan bulan Ramadan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?”



“Kenapa jadi begitu, Pak RT?”


“Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga.”


Saya dan istri saya bisik-bisik.


“Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kami malu juga,” bisik saya.


“Memang. Habis Pak RT terlalu baik sih. Seperti nabi saja.”


“Jadi kita bayar saja?”


“Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!”


Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Pak RT memuji kekompakan kami. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang saya masih cakar-cakar dengan istri soal tiga kali sekali atau dua minggu sekali.


Kami terpaksa mengeluarkan Rp 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh,


Sekali pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam. Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.


“Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa, usir saja!” kata saya mengindoktrinasi anak saya yang baru berusia 5 tahun.


“Kenapa?”


“Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!”


“Kalau nggak mau?”


“Hajar dengan batu!”


“Semua kucing?”


“Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bijaksana. Pukul rata saja, semuanya maling.”


“Kenapa?”


“Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian .”


“Kenapa?”


“Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan Rp 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi.”


Lalu saya tunjukkan bagaimana saya mengajari kucing itu dengan melempar buku. Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan aku beli untuk menghajar maling.


“Jangan mengajari anak kamu kejam!” protes istri saya.


“Lho, hidup ini sudah kejam, kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!”


“Itu kan teori kamu!”


“Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak reca-reca lagi!”


Istri saya melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Dia tidak sampai hati membiarkan dendam saya pada reca-reca berkelanjutan. Sehari setelah saya sambat, ikan reca-reca itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu buka.


Dengan tak sabar saya tunggu ceramah Pak Quraish Shihab di televisi yang dipandu oleh si cantik Inneke Koesherawati. Sekali ini rasanya lama sekali. Bau reca-reca itu sudah mencabik-cabik.


“Lihat kucing itu sudah bengong di situ!” kata istri saya menunjuk keluar jendela. “Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!”


Saya ngintip. Kucing itu memang lagi termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau reca-reca yang sudah sempat membuat kakinya pincang.


“Tutup jendelanya, Pak!”


“Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?!”


Sebaliknya dari menutup jendela, daun jendela saya kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Saya pura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan reca-reca itu saya pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.


“Aneh!” kata istri saya.


Saya tidak peduli. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu.


Begitu azan magrib terdengar, kucing itu makin gelisah. Ia tak putus-putusnya melongok ke arah meja di teras. Kelihatan nafsunya bergolak. Tapi pelajaran yang sudah diterimanya tak membiarkan dia bergerak lebih jauh dari pagar. Sebaliknya, meninggalkan pagar pun dia tidak mau. Reca-reca itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.



“Mau makan atau mau ngurus kucing makan?!” bentak istri saya kesal.


“Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati teritorial kita!”


“Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!”


“Nggak bakalan!”


“Namanya juga kucing!”


“Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!”


Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu, sesuai dengan yang saya ajarkan. Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dia membungkuk menanti serangan. Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan.


Dan kucing itu menerjang.


“Pak!” teriak istri saya.


Saya langsung nongol di jendela. Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka saya. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.


Saya terpaku. Takjub melihat pemilik mobil itu, sudah membunuh piaraan kesayangannya. Untung saya belum sempat teriak. Cepat-cepat saya beri isyarat istri saya supaya membawa Dede masuk.


Malam hari kami lebih cepat menutup pintu dan mematikan lampu. Saya tahu Pak Michael pasti sedang uring-uringan. Saya menghindari pertengkaran. Masa bulan suci harus berkelahi karena soal kucing.


Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegor.


“Bulan Ramadan tidak boleh mengumbar emosi kan Pak RT?”


Pak RT tersenyum seperti kena sindir.


“Betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat.”


“Lho boleh?”


“Habis kalau nyolong melulu?!”


Saya tertegun.


“Siapa Pak RT?”


“Siapa lagi! Almarhum!”


“Almahum siapa?”


“Kucing yang Bapak bunuh itu.”


Saya tertegun. Pat RT tersenyum.


“Saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!”


“Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya.”


Saya tidak menjawab.


“Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya. Sekarang kita aman….”


“O ya?”


Pak RT senyum lagi.


“Ya.”


“Kalau begitu bagus dong.”


“Bagus.”


“Jadi kita aman sekarang. Tidak ada pencuri, tidak ada tai kucing?”


“Ya. Untuk sementara.”


“Sementara?”


“Untuk sementara.”


“Kenapa?”


“Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya.”


Saya terhenyak.


“Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?”


Pak RT tertawa.


“Tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur.”


“Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?!”


“Betul!”


“Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!”


“Betul.”


Saya tertawa.


“Kalau begitu kita cs Pak RT.”


Saya mengulurkan tangan. Lalu kami berjabatan.


“O ya, saya lupa,” kata Pak RT sambil merogoh kantungnya, lalu mengulurkan selembar kuitansi. Darah saya tersirap.


“Apa ini?”


“Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu, Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu.”


Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran Pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga. Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikkan yang kacau itu.


Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya sobek kuitansi itu di depan matanya. Perlahan-lahan menjadi potongan-potongan kecil. ***


.


.


Jakarta, 6 September 2009

.

Balikui

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Pembaruan, 03 November 2002)

DI hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter College, New York, Wayan harus bercerita tentang Bali. Claudia Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan tinggi negeri itu, meminta Wayan tampil sekitar satu jam.

“Boleh ngapain saja. Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah, asal Bali,” kata Claudia.


Wayan jadi ngeper. Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.


Membaca ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang Bali. Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah komplet menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulis oleh Doktor I Made Bandem dan Doktor Fritz de Boer. Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar seperempat jam. Kemudian mungkin ia akan memutar video pertunjukan sendratari Ramayana, kecak dance atau legong keraton.


Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa gerakan tari Bali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi begitu berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata menatapnya, ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga ada mata Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan terselip satu dua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar. Semuanya berantakan.


“Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa hancur lebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih berbicara di depan Anda semua. Karena paling tidak saya bisa menjadi tontonan konyol,” kata Wayan membuka kelas.


Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut. Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnya ditertawakan. “Waduh saya jadi grogi, maaf mungkin saya harus permisi ke belakang dulu,” kata Wayan sambil menoleh kepada Claudia yang ikut duduk di deretan mahasiswa, menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para mahasiswa tertawa lebih keras.


Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. “Tapi kalau saya ke belakang, saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih baik saya tahan saja, mudah-mudahan saja tidak kebablasan di sini di depan Anda.”


Para mahasiswa semakin seru ketawa.


“Maaf saya tidak melucu.”


Beberapa mahasiswa bertepuk tangan gembira.


“Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak pintar berbicara, apalagi dalam bahasa Inggris. Terus-terang, sebenarnya tak ada yang perlu saya bicarakan kepada Anda. Anda sudah tahu semuanya. Coba apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yang tidak saya ketahui, banyak sekali. Misalnya, lho kenapa Anda semua harus mendengarkan cerita orang yang tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas mendengarkan cerita Anda. Orang Bali yang harus banyak belajar dari orang Amerika.”


“Lihat saja dari kepala sampai ke kaki, saya sudah mencoba jadi orang Amerika. Saya memakai celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya beli di loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King. Apalagi saya sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres selama satu minggu. Tapi saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?”


Wayan tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu. Tapi tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan jadi berkeringat.


“Ya, terus terang saya sudah habis-habisan mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua bulan di sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orang New York, tetap saja saya tidak pernah bisa berhasil jadi orang Amerika. Ternyata sekali saya lahir sebagai orang Bali, saya sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya coba lakukan, berbohong atau menipu sekali pun, tetap saja masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja, tidur, pacaran, bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali.”



Para mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.


“Jadi bukan pakaian, bukan makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi takdir. Dan saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan. Saya pernah mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang menjadikan saya berbeda dengan Anda semua orang Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari belahan dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil menemukan jawabannya.


Saya hanya punya contoh. Waktu saya mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang pertama kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan sampai satu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama lain. Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahal rambut, tinggi, potongan badan, kelakuan, pakaian, nama serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi sebaliknya juga terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama satu minggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka sama. Wayan semuanya. Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang sama pada semua orang Bali?”


Beberapa orang mahasiswa bergerak, siap menulis di atas catatannya.


“Maaf jangan ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya bohong atau menipu kalian,” kata Wayan. Para mahasiswa tertawa cekakan.


Wayan kembali berkeringat. “Orang bilang, orang Bali itu balikui,” lanjut Wayan, “artinya lugu, polos begitu. Dalam bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya Claudia?”


Claudia mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya. Namun para mahasiswa mencatat.


“Banyak orang mencoba belajar kesenian Bali, tari Bali, gamelan Bali dan sebagainya, dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan agemnya,” kata Wayan menyambung, “tetapi meskipun secara matematika sudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya kaku. Belajar gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak pernah pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang. Masalahnya, saya kira karena mereka mencoba mendekati dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop.



Karena itu, mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya juga mempelajari Amerika dan mengajarkan Amerika, yang selama ini dimulai dari bentuknya saja, harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu dipahami, tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali, dan tahu tentang Bali.”


Claudia memberi isyarat pada Wayan dengan menunjuk jam tangannya, tanda waktu sudah berlalu. Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.


Wayan kontan berkeringat. “Lho, saya belum sempat lagi mulai, kok waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf saja, sekian dulu,” kata Wayan menyesal, sambil memandang Claudia seperti orang kalah perang.


Para mahasiswa bertepuk tangan. *** Balikui.


.


.


Jakarta, 17-5-02

Guru (3)

 Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 04 Desember 2022)

SEORANG Profesor Doktor yang telah mengantongi berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri penasaran. Ia yang tetap masih ingin menambah ilmunya serta agar dapat meresapi lebih mendalam apa yang sudah dikuasainya, kecewa. Karena ia tak menemukan seorang guru lagi.

“Aku sudah mencari keliling dunia. Blusukan ke berbagai pelosok. Menghubungi hampir semua orang pintar. Tak terkecuali para dukun. Tapi hasilnya nihil,” keluhnya.


“Semua tak memenuhi persyaratan yang kuajukan. Padahal aku cuma minta mereka mengajukan satu pertanyaan. Satu saja. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Bahkan, kalau ternyata pertanyaan itu juga tidak bisa dijawabnya sendiri, tak apa. Siapa tahu nanti kami bisa patungan menjawabnya. Sesuai dengan jiwa gotong-royong kita.”


Setelah 5 tahun pecaharian yang sia-sia, ia mulai tidak sabar. Akhirnya pasang iklan.


“Dicari guru yang dapat memberikan pertanyaan yang tak bisa dijawab! Tawaran gaji sesuai kesepakatan”


Iklan itu menjadi viral. Ribuan orang mendaftar. Untuk menjaga agar tak ada masalah di belakang hari, Prof menunjuk 3 orang juri untuk menetapkan siapa yang pas jadi gurunya. Tapi apa lacur, ternyata tak ada hasilnya.


“Kami sudah mencoba melakukan penyaringan dalam tiga tahap,” lapor sidang juri. “Mula-mula menyisihkan mereka yang hanya coba-coba. Separuhnya gugur. Di babak kedua kami membersihkan mereka yang lihai dan cerdik serta tangkas bersilat lidah. Dua per tiga tumbang. Di tingkat final baru kami cecer pengetahuan dan kepribadian mereka. Ternyata jangankan nanti mampu membuat Prof mati langkah, menghapi kami saja mereka sudah swak. Jadi maaf Prof. Kami tak berhasil menemukan bibit unggul untuk mentor Prof. Tapi itu juga berarti Prof masih di puncak segala puncak kami. Selamat Prof. Dari lubuk hati kami yang paling dalam, kami mengucapkan salut! Bravo, Prof!!!!”


Prof mulai kesal. Ia uring-uringan di rumah


Semua jadi salah. Ia begitu kecewa.


“Bullshit! Kenapa kita semuanya sekarang jadi stereotype begini? Bebek bengil semua!


Mereka pikir aku senang dapat salut gombal begitu. Aku serius cari guru bukan untuk dinobatkan jadi Dewa di puncak Gunung Semeru yang setiap saat bisa disambar petir. Salah kaprah semua! Begini jadinya kalau tujuan hidup sudah tergiring ke satu arah untuk meningkatkan kenikmatan diri sendiri. Tai kucing semua! Semua!!!!!!!!”


Prof uring-uringan. Ngamuk di rumah. Semua disalahkannya dan dianggapnya palsu. Ketika Prof mau membuat konferensi pers dan memberi pernyataan sarkastik bahwa masyarakat sedang terserang kebodohan sehingga cepat atau lambat akan masuk ke lubang keruntuhan, istrinya langsung mendamprat.


“Jangan! Kalau setiap orang seperti kamu, tiap kali sembelit langsung menuduh masyarakat sedang mengalami keruntuhan moral, itu artinya kamu menyamakan masyarakat itu dengan kamu, Prof. Yang sakit itu bukan masyarakat tapi kamu. Yang tidak kamu tahu itu hanya kamu yang benar-benar tahu. Cuma kamu tidak mau tahu. Sebab kamu pikir kamu sudah tahu semua. Guru kamu hanya satu. Kamu sendiri. Tak ada orang lain.


Bukan karena tidak ada yang bisa tapi karena kamu sebenarnya tak mau tak ingin lagi belajar karena percaya kamu sudah tahu semua. Tahu?”


Prof terkejut. Istrinya tambah berani.


“Guru itu tidak selalu orang yang lebih pintar. Bukan juga selamanya orang. Tapi semua yang bisa membuat pencerahan agar mata telinga pikir dan rasa kamu lebih terbuka. Semakin ngeh. Aku istrimu, anakmu, bahkan pembantumu. Juga kucing dan burungmu bisa sekali tempo seperti guru, tapi bukan guru. Begitu juga sakit, penderitaan, amarah, sedih, kekecewaan dan seks. Termasuk musuh-musuhmu dan segala macam kejahatan. Semua itu bisa jadi guru. Itu bisa jadi guru kalau kamu gurukan. Yang paling pokok adalah, apakah kamu siap menjadi murid menerima pembelajarannya? Apakah nuranimu sendiri masih bisa terbuka? Kamu sendirilah guru kamu seumur hidup, Profesor Doktor!! Kenapa mesti pasang iklan mengundang wartawan mau bersaing dengan para Youtuber main judi konten?”


Profesor berteriak histeris


“Bravoooo!!!”


Istrinya terkejut.


“Bravo?”


Profesor berseru lebih keras


“Bravoooooooooooo!!!! Salut!!!!!”


Istrinya tambah bingung. Dan kemudian semakin percaya suaminya bukan orang yang dulu merayunya untuk hidup bersama, tapi seorang maniak. Tapi guru TK itu lebih kaget lagi ketika teman tidurnya setiap malam itu, berbisik:


“Lima puluh tahun aku menunggu kamu untuk mengucapkan semua itu, Sayang. Konsep guru kita harus direvisi total! Selamat Hari Guru!!”


Istri Prof tertegun. Ia sudah hapal betul semua tikungan dalam lubuk hati suaminya yang suka nyeleneh itu. Ia yakin suaminya akan tersenyum lalu berbisik sarkastik.


“Tetapi hati-hatilah menjalankan fungsi guru karena Mama bukan hanya guru TK tapi guru suamimu yang Profesor Doktor ini!”


Tetapi ternyata tidak. ***


.


.


Hari Guru 261122

Pejabat

PUNGGAWA KERAJAAN yang amat seret perjalanan karirnya itu, di utus ke daerah. Ia bertugas untuk memeriksa kesejahteraan rakyat. Apakah kawula alit, yang menjadi jantung-jantung kecil di seluruh pelosok kerajaan itu, tetap berdegup. Tidak papa dan sakit seperti tuduhan musuh.

Sekali ini punggawa itu berangkat dengan istrinya. Karena menurut istrinya, kesaksian dua mata saja tak cukup. Dengan empat mata, apalagi mata lelaki dan mata wanita, kenyataan akan lebih jelas tertangkap. "Mungkin kalau kakanda bisa memberikan laporan yang lebih akurat, karir kakanda bisa lebih baik, tidak seperti sekarang yang nyaris ke cemplung ke dalam kernajang sampah," bisik istrinya.

Perjalanan itu penuh dengan kejadian-kejadian yang mengenaskan. Baru beberapa desa sudah terbentang jalan rusak. Rumah penduduk jauh dari persyaratan layak. Sawah-sawah sudah berubah menjadi tanah-tanah kosong. Konon para saudagar di ibukota sudah membelinya untuk kelak akan dijadikan pabrik dan pemukiman mewah. Tanah bukan milik penduduk lagi.

Muka para penduduk kuyu, seakan-akan mereka anak yatim-piatu. Jangankan melambaikan tangan untuk mengelu-elukan, menoleh pun mereka segan. Kepala mereka jatuh dari leher.

Istri punggawa trenyuh. Air matanya membanjir sepanjang jalan. Ia tersedu-sedu tak menyangka ada penderitaan yang sedahsyat itu. Padahal di ibukota kerajaan berlimpah makanan, pesta-pesta wah gaya hidup gemerlapan. Ia terpaksa memejamkan matanya, lalu menelan obat tidur. Tetapi dalam mimpinya muncul pemandangan yang lebih menyeramkan, sehingga ia menjerit-jerit.

Suaminya mencoba menghibur. "Ya begitulah istriku, menjadi pejabat memang begini, tidak enak," katanya sambil mengusap istrinya. "Kita harus menyaksikan nasib manusia yang berbeda. Yang perlu sekarang adalah jangan menilai sesuatu dengan ukuran salah. Jangan pakai nilai-nilai kota, di mana kebersihan, kemakmuran, kesenangan sudah berlimpahan, untuk menilai keadaan di sini yang masih rawan. Jangan pakai ukuran kecantikan bintang film untuk menilai seekor kerbau. Dan sebaliknya jangan pakai keindahan seekor ular untuk menilai seekor angsa. Nanti kita akan terus salah kaprah akhirnya frustasi dan stress dan masuk kubur. Percayalah, di balik dada rakyat yang kau anggap miskin, pucat dan tak berdaya itu, masih tetap menyala kehidupan yang ceria. Bahkan mungkin mereka lebih bahagia dari kita. Hanya saja kita tidak mampu melihatnya. Hanya saja kita tidak bisa menilainya."

"Ingatlah, istriku dari kacamata mereka, mereka pun memandangi kita dengan perasaan trenyuh. Karena mereka pasti berpikir, itu Bapak Punggawa dan istrinya kok setiap hari kerja, bertugas tak habis-habisnya setiap hari memeriksa keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kapan beliau berada di rumah untuk membagikan kasih-sayang pada anak-anaknya sambil nonton telenovela di tv. Alangkah tidak bahagianya pikiran Bapak Punggawa."

"Jadi begitu, sayang. Jadi jangan sedih. Kita harus bisa menempatkan segala sesuatu di tempatnya dan menilainya dengan ukuran yang layak."

Istri punggawa terdiam, setelah disiram oleh jalan pikiran suaminya. Lau ia mengunci tangisnya itu. Membuka mata dengan nilai yang lain. Mencoba melihat kehidupan yang sangat miskin dan menderita di pedesaan itu, sebagai sebuah kesederhanaan, percintaan kepada alam, kewajaran dan keaslian yang harus dipertahankan karena memancarkan tradisi nenek-moyoang kita sebagai petani. 

Setelah satu bulan memeriksa desa-desa pinggiran yang bersembunyi di ketiak gunung-gunung, pungga itu kembali ke ibu-kota kerajaan bersama istrinya. Wajah mereka nama sangat layu, pucat dan lunglai. Karena bukan hanya rakyat desa yang mereka kunjungi itu saja yang tidak berkecukupan makan, jaminan kepada Punggawa yang sedang bertugas pun menjadi sangat kurang. Perjalanan peninjauan itu menjadi perjalanan kemelaratan. Keduanya tercengang setelah menimbang, berat badan mereka merosot 10 kilo. Tulang-tulang pipi mulai menonjol.

Langsung saja keduanya mandi dengan air mawar. Para panakawan dikerahkan untuk memijit tubuh mereka yang sakit dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu setiap hari makan sekenyang-kenyangnya. Dan setelah itu tidur pulas berhari-hari, untuk mengembalikan jiwa raga mereka yang hambruk.

Baru 10 hari kemudian, kesehatan mereka pulih. Punggawa itu lalu masuk ke dalam ruang kerjanya untuk menulis laporan. Ia termenung lama sekali sebelum menulis. Air matanya bercucuran. Tetapi kemudian ia menguatkan dirinya untuk menyelesaikan tugas itu.

"Tuanku," tulisnya pada akhir laporan. "Desa-desa kita memerlukan pertolongan, perhatian secepat-cepatnya. Penduduk sudah kehilangan harapan. Kehidupan sudah sangat merosot. Kalau dibiarkan, dengan mudah musuh akan masuk dan menghasut mereka agar berontak. Tuanku harus memindahkan seluruh anggaran belanja kerajaan untuk memperbaiki jiwa-raga mereka sekarang, kalau betul kita menganggap bahwa mereka adalah jantung-jantung kecil kita. Kalau tidak, kita akan runtuh."

Punggawa itu memasukkan laporan ke dalam amplop, lalu tertidur. Ia tenggelam ke dalam mimpi yang bahagia. Karena ia merasa udah ikut memperjuangkan kemiskinan rakyat


Teror Kenapa

 Teror Kenapa

Setelah membunuh musuh, aku merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi yang ditinggalkannya. Orok itu tidak harus menanggung dosa orangtuanya. Aku setuju dengan Kahlil Gibran yang membelajarkan kita melihat anak bukanlah milik kita, tapi titipan Tuhan. Lalu kulindungi, kurawat, kutumbuhkan, kukembangkan dan kubelajarkan anak- itu di tempat terbaik yang tak akan mungkin diinjaknya kendati pun orang tuanya berusaha setengah mati

Alhamdulillah ia cemerlang, siap jadi orang dengan prospek yang sangat meyakinkan. Ia nampak bahagia dan aku pun bangga. Hanya ada bisul bernanah di batinku yang hampir pecah. Aku merasa berdosa. Aku tak berhak membutakan mata calon bunga bangsa itu selamanya. Aku baru puas tuntas kalau sudah berterus-terang menceritakan siapa sebenarnya dia dan siapa sejatinya aku.

Setelah 25 tahun mengunci misteri, pada suatu hari aku ajak dia sarapan pagi. Lalu kubuka kedokku. Sambil meletakkan pistol di atas meja. Senjata yang dulu kupakai menghabisi orangtuanya. Dengan sebuah peluru di dalamnya yang bisa ia tembakkan ke kepalaku, aku kira itu hadiah yang pantas. Karena aku telah membunuh orang yang tak bersalah. Kemudian aku paparkan secara rinci dosaku. Semua terkuras sehingga aku merasa plong.

Aku tahu ia akan meledak terkejut tetapi aku siap. Tak ada yang lebih membahagiakan dari berhasil mampu, berani menelanjangi semua dosa tanpa ada yang memaksa. Seperti kembali dilahirkan, setelah pengakuan habis itu, aku merasa segar. Ekstase. Tapi apa yang kemudian terjadi begitu aneh. Setelah mendengar pengakuanku, putera musuhku dan kini putraku, diam lama sekali

Ketika kemudian menatapku, ya Tuhan, aku tak pernah melihat pandangan mata yang begitu pedih. Dan itu ganjaran yang sangat setimpal dengan dosaku.

Aku sudah tahu, katanya dengan suara bergetar.

Aku terkejut.

Tahu?

Ya, aku tahu, Pa. Aku sudah tahu.

Kemudian air mata menetes deras di pipinya.

Aku sudah tahu, Papa, aku sudah tahu. Tapi kenapa Papa bilang itu padaku?

Aku tersirap. Sebelum aku bisa menjawab, dia meraih pistol lalu menembak kepalanya sendiri.

PAIJO

Paijo memiliki wajah keren dan tubuh yang ideal. Yang tak dimilikinya hanya keberuntungan hidup. Anaknya 5, masih remaja semua. Seperti bapaknya anak Paijo semua memiliki wajah dan tubuh kelas satu. Tapi sama dengan bapaknya, masa depan kelimanya gelap.

Paijo jadi stres. Untung ia buka Youtube tentang transplantasi wajah dan kepala. Ia jadi dapat inspirasi. Dengan tabungan hasil narik becak 3 bulan, ia pasang iklan menawarkan wajah dan tubuhnya untuk ditransplantasi asal biaya hidup dan pendidikan kelima anaknya sampai semua lulus S1 ditutup.

ak terduga melihat tampang dan potongan Paijo seabrek peminat menjawab. Hanya malangnya, peminat merasa wajah dan tubuh Paijo walau selangit, sudah agak ketuaan. Mereka ingin wajah dan tubuh remaja, yang sesuai dengan anak mereka yang akan memakainya. Mengenai teken prestasinya buat pendidikan sampai S1, no problem.

Paijo jadi bingung sekali. Setelah seminggu mengalami tekanan batin sampai beratnya amblas 10 kg, malam itu Paijo mengumpulkan kelima anaknya. Ia ajak bicara dan bercanda sampai jauh malam, untuk memilih anak yang mana yang akan dijadikannya pahlawan untuk menyelamatkan yang lain.

Besok pagi adalah hari penentuan. Sampai dinihari ia tidak tahu yang mana pilihannya. Dan akhirnya ia tertidur kecapaian, tanpa mengetahui kelima anaknya juga sudah tahu mereka sedang dites untuk dipilih. Bahkan juga sudah punya inspirasi yang akan mereka laksanakan sebelum fajar.

Cerita itu saya tulis setelah nguping berita yang didengarkan istri saya dari “Youtube” tentang transplantasi wajah dan kepala yang sedang ditekuni RRC yang ingin unggul di segala aspek. Tapi di ending-nya saya berdebat keras dengan diri saya sendiri. Apa Paijo akhirnya akan asal tunjuk salah satu anaknya demi menyelamatkan empat lainnya atau anaknya membunuh Paijo. Lalu pesan moralnya apa. Apa hanya bikin teror dan menjaring banyak peminat seperti yang dilakukan stasiun TV. Saya tak punya nyali untuk memutuskan. Akhirnya saya berhenti di situ dan menyerahkan keputusan pada pembaca. Lalu tidur. Subuh saya terbangun. Setelah berdebat kembali, saya ambil keputusan sebagai berikut:

idak seorang pun dari kelima anak Paijo itu rela salah satu dari mereka jadi korban. Meskipun dimuliakan dengan gelar pahlawan.

“Kami memang berlima tetapi satu. Kami harus tetap terus satu berlima.”

Sebelum fajar bangkit, hanya dengan mengenakan pakaian yang melekat di tubuhnya kelimanya kabur meninggalkan rumah dengan sebuah pesan: “Jaga kesehatan, Pak. Kami semua sayang. Bapak. Jangan cemaskan kami, kami akan berjuang.”


HOAKS

Sebagai Wakil Warga, aku setuju pada komitmen “pamit-mati”. Aku bukan menggantikan warga, tapi mengabdi warga. Pamrih pribadiku sudah dibasmi, aku seratus persen membela kepentingan warga. Karena itu, ketika meledak kabar di Dusun X ada ayam ajaib yang bisa bicara dan memberikan hoki bisa jadi mendadak kaya, aku langsung mau bertindak. Sebab itu pasti hoaks. Tapi karena urusan numpuk sebagai Wakil Warga, rapat ini-itu, studi banding ke sana-kemari, setahun misi pembersihanku baru terlaksana.

Supaya bisa menangkap tangan basah, aku berangkat malam. Subuh tiba dan langsung mau melabrak rumah hoaks itu. Tapi antrean sudah 1 Km. Warga bisa ngamuk kalau aku nyerobot masuk. Aku tahan emosi dan pasang strategi. Kalau mereka tahu aku WW, aku takut mereka cepat menghilang. Setelah 3 hari menunggu, akhirnya aku dapat giliran masuk ketemu ayam keparat itu di dalam sebuah kamar yang didandani dramatis.

Aku tak bisa menahan marahku. Kewarasan/kebenaran harus ditegakkan! Aku dekati ayam itu dan cekek sampai mampus. Langsung keluar dan kabur. Di tengah jalan pulang, entah kenapa mobilku mogok. Terpaksa bermalam. Esok paginya sebelum berangkat pulang, aku berak di kali. Tiba-tiba hanyut bangkai seekor ayam. Entah kenapa bangkai ayam itu nyangkut dekat pantatku. Ketika aku selidiki, ternyata itu ayam yang kucekek kemarin.

Aku tertawa puas terbahak-bahak. Misiku membebaskan warga dari tahyul, berhasil. Tapi dalam perjalanan pulang, aku terkejut. Dusun super minus di lepitan bukit kering kerontang itu, sudah berubah. Jalanan beraspal, sepanjang jalan banyak penginapan dan rumah makan. Bahkan ada hotel bintang lima sedang dibangun.

Jalanan ramai kendaraan mengangkut wisatawan yang ingin dapat hoki dari ayam ajaib itu. Ternyata Dusun X jadi makmur dan penduduknya yang miskin kini rata-rata punya penghasilan. Mentalku jadi terteror. Sampai di rumah sudah banyak wartawan menunggu. Aku juga sudah dicanangkan akan diwawancarai TV. Setelah merenung dalam, aku bikin pernyataan.

“Di luar dugaan kita, Dusun X maju karena penduduknya sudah bosan miskin. Wisata kuliner dan keramahan penduduknya membuat mereka maju. Tentang ada hoaks ayam ajaib, itu mungkin ekspresi keirian dusun lain melihat Dusun X begitu maju!”

Pernyataanku membuat Dusun X makin malangit. Maka datanglah godaan setan. Istriku mengadu, Kepala Desa Dusun X diam-diam datang memberikan amplop tebal. Aku jadi ngamuk.

Kembalikan teriakku, kesetanan.

Istriku kaget.

Lho, kok dikembalikan, 1 M Bang!

Aku terkejut, 1 M?

Ya, Bang! Satu M!

Suara istriku gemetar. Aku tambah marah.

Gila! Kenapa hanya satu, bukan tiga atau lima M?

Nama

Seorang utusan datang dan meminta agar saya mengganti nama. Masalahnya saya sedang dipromosikan untuk mendapatkan jabatan puncak. Kalau ingin mulus harus bertindak cepat.

"Kalau Bapak tidak mau mengganti nama sekarang, sulit sekali untuk memenangkan kompetisi menghadapi kandidat-kandidat yang lain. Mereka didukung oleh kekuatan yang menentukan."

Saya terhenyak. Berita itu agak membingungkan. Bagaimana tidak. Saya baru saja selesai memperbaiki pintu pagar dan mengganti papan nama. istri saya sudah menyisihkan uang belanja dan membeli sebuah papan vernikel. Sudah lama banyak orang mengeluh mencari-cari rumah saya. Dalam kawasan kami nomor rumah tidak bisa dipakai patokan. Tapi itu bukan alasan untuk menolak.

"Tinggal mengganti huruf o di belakang nama Bapak dengan huruf a sehingga bunyinya jadi netral. Itu akan banyak mengubah dukungan suara. Tidak sulit kan?"

Memang tidak sulit. Karena meskipun diganti dengan huruf a, bisa saja dibunyikan o. Tinggal mencopot papan nama itu dan minta pengertian dari istri. Bahwa ada hal-hal yang lebih prinsip, yang jauh lebih penting yang harus diperhatikan. Bukankah semua itu juga untuk kebaikan masa depan?

Tetapi saya menjawab : tidak.

"Tidak mungkin. Saya tak bisa mengganti nama saya. Lebih baik saya tidak usah dipromosikan. Atau tidak menang dalam kompetisi, tidak apa, daripada mengganti nama."

Utusan itu terkejut. Ia tak percaya apa yang ia dengar.

"Tetapi ini sudah diputuskan."

"Sudah diputuskan?"

"Benar. Kami yang mencalonkan Bapak, sudah berunding. Ini jalan satu-satunya. Kami harap Anda mengerti. Kedudukan itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Anda bertugas untuk merebutnya. Ini posisi yang amat strategis, Anda sudah kami tugaskan untuk mengupayakan merebutnya."

"Saya tidak keberatan untuk tugas itu. Tapi kalau harus mengganti nama saya tidak bisa."

Utusan itu memandangi saya dengan heran. Ia terdiam beberapa lama. Setelah ia menarik nafas panjang dan berdiri.

"Baiklah, jangan menjawab sekarang. Pikirkan saja apa yang kami minta itu dengan tenang. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Kita tidak boleh hancur karena masalah-masalah yang kecil. Besok kita bicarakan lagi."

Ia mengulurkan tangan. Saya sambut tangannya dan sekali lagi menegaskan bahwa apa pun akan saya lakukan, kecuali mengganti nama.

"Masalahnya, nama itu buat saya bukan main-main. Itu diberikan oleh orang tua saya. Nama itu sudah merupakan bendera kehormatan saya. Saya tidak pernah berani mengubahnya. Bahkan dulu ketika sakit-sakitan dan dukun menyuruh saya tukar nama, saya tetap membangkang. Mati pun saya sanggup untuk mempertahankan nama, apalagi cuma kehilangan kedudukan."

Utusan itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tetapi anggukan itu tidak berarti ya, itu isyarat tanda tidak setuju. Bahkan kemudian ia memberi saya beberapa instruksi untuk mempelajari beberapa sopan santun pimpinan. Seakan-akan saya memang akhirnya akan mau mengubah nama.

"Tata cara itu nanti akan sangat berguna, supaya tidak kagok kalau sudah menduduki kursi pimpinan," bisiknya.

Suaranya begitu percaya bahwa saya tak akan mungkin berani kehilangan kursi pimpinan, hanya karena soal mengganti nama. Itu karang aja namanya.

Sebelum menjalankan mobilnya, ia mengulurkan sekotak kartu nama. Isinya nama saya yang sudah diganti menurut ejaan yang tadi dianjurkannya. Saya langsung hendak membantah, tetapi kaca jendela mobil terkatup. Lalu kendaraan itu meloncat pergi.

Dengan kartu nama di tangan, saya masuk ke rumah. Istri saya tari ke kamar untuk membicarakan apa yang sudah terjadi. Saya minta dukungannya. Agar ia membenarkan sikap saya menolak ganti nama.

Tetapi seperti yang sudah saya duga, istri saya menentang. Malah saya dianggap goblok.

"Bodo! Cuma ganti o menjadi a, apa salahnya. Apa bedanya. Orang juga biasa membaca a menjadi o. Kan tidak ada yang berubah?"

Saya menghela nafas. Istri saya mengira saya akan membantah, ia langsung menyemprot saya dengan kuliah panjang, agar mental saya hambruk.

"Banyak orang yang dulu namanya ditulis pakai ejaan lama : oe, kemudian diubah menjad u. Juga banyak yang tadinya pakai dj diubah menjad j. Begitu juga yang pakai j lalu jadi y. Bintang film Mieke Wijaya juga dulu mengubah nama. Begitu juga Rudy Hartono. Orang-orang besar saja berani ganti nama, mengapa kamu keberatan. Kan itu semua untuk kebaikan? Lihat artis-artis itu. Kalau mereka tidak ganti nama, tidak akan komersil. Mengapa mesti fanatik kepada nama. Nama kan tidak mengubah apa-apa. Kamu tetap kamu meskipun namamu berubah. Apa salahnya? Apalagi hanya mengubah o menjadi a. Sudah, cepat telepon, bilang minta ma'af. Pakai a mulai besok, jangan o lagi!"

Saya tidak biasa mendebat apa yang dikatakan istri saya. Saya hanya mendengarkan. Tetapi mendengarkan dan tidak mendebat tidak berarti setuju. Dia juga tahu sekali, kalau saya diam, berarti saya tetap akan melakukan apa yang sudah saya putuskan. Saya terima semua argumentasinya. Tapi saya tetap menolak untuk mengubah nama.

Anak-anak saya mencoba ikut menyumbangkan pikiran. Mereka mengatakan bahwa mengubah nama itu tidak selamanya berarti kelemahan apalagi kekalahan. Atau tanda tidak punya pendirian.

"Hakekat sebuah perubahan adalah penyesuaian kepada keadaan. Jadi itu urusan strategi, sifatnya taktis. Justru kalau kita lentur untuk mengadakan perubahan-perubahan tandanya kita dapat mengantisipasi segala masalah dengan pas. Bapak tidak usah terlalu sensitif. Ini bukan masalah filosofis, ini masalah efisiensi dan efektivitas saja, masalah praktis, Pak."

Pendapat anak-anak saya itu langsung saya gebrak dengan mata melotot. Sebagai senior mereka, saya tetap punya keyakinan betapapun pintarnya mereka, saya tetap lebih berpengalaman. Saya tetap lebih tahu banyak tentang hidup dari mereka. Begitu ibunya masuk kamar, langsung saya damprat.

"Apa tahu kamu tentang efisiensi dan efektivitas. Kamu hanya meniup-niup teori. Ini kenyataan, bicara soal kenyataan, semua itu sudah aku makan puluhan tahun. Aku ahli tentang perjalanan hidupku dan jauh lebih tahu apa yang harus aku lakukan daripada kamu. Diam!"

Saya tidur menyendiri malam itu di sofa ruang tamu. Tak mau dipengaruhi oleh apa pun. Saya ingin mengendapkan diri. Saya tidak mau lagi dipengaruhi dan ditentukan oleh apapun. Bertahun-tahun saya bermimpi untuk menjadi pemimpin. Kini cita-cita itu sudah ada di depan hidung saya. Sebagai calon pemimpin saya mesti punya sikap. Punya keteguhan. Serta berani mengambil resiko bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemimpin harus rela berkorban. Termasuk rela mengorbankan kursi kepemimpinan --kalau perlu-- demi kepemimpinan itu sendiri.

Esok harinya, dalam rapat khusus dengan para pembina yang menuliskan skenario karir saya, saya siap untuk mengatakan tidak. Tetapi katupan mulut saya itu agaknya terbaca. Begitu saya mau pasang kuda-kuda, pimpinan lebih dahulu tersenyum.

"Tidak perlu mengganti o dengan a," katanya sambil menepuk-nepuk.

Saya jadi lega.

"Terima kasih."

"Tetapi...," pimpinan saya menggeleng.

Saya kembali cemas.

"Saudara tidak bisa hanya mengganti o menjadi a. Saudara harus punya huruf mati di akhir nama saudara. Terserah mau memakai nama yang lama plus satu atau dua huruf mati, atau mengganti dengan nama lain, asal tetap harus pakai satu atau dua huruf mati."

"Kalau begitu tetap harus mengubah nama, Pak?"

"Bukan mengubah tetapi... menyempurnakan. Tidak ada yang diubah, hanya sekedar dikembangkan agar sempurna."

Saya kontan mau membantah, tapi beliau cepat-cepat bicara dengan orang lain, sehingga saya tak punya kesempatan. Utusan yang kemarin datang ke rumah saya kemudian menyodorkan secari kertas. Saya harus berkenan membubuhkan nama yang saya pilih, karena akan segera dipesankan kartu nama, KTP dan paspor.

"Ingat harus berakhir dengan huruf mati. Karena nama seorang pemimpin akan sering dikutip serta diucapkan, jadi harus prima. Mantap kelihatan dan enak didengarkan. Masak nama pemimpin sama dengan nama Kromo atau Kroco atau Loyo. Itu kan dapat memberikan efek negatif!"

Saya membantah. Tapi utusan itu melambaikan tangannya, tanda bantahan apa pun yang saya ucapkan sia-sia. Karena memang bukan dia orangnya yang memberi kata putus.

Terpaksa saya tutup mulut, menerima saja formulir itu, lalu pulang. Begitu sampai di rumah, saya tarik kembali istri saya ke dalam kamar. Saya paparkan semuanya. Apakah layak seorang pemimpin, seorang calon pahlawan, tokoh masyarakat mengorbankan nama yang diwariskan oleh leluhur, hanya untuk mendapatkan kursi?

Istri saya serta-merta menjawab:

"Pantas dong! Habis siapa lagi yang harus berkorban kalau bukan pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang memikul kepentingan warga, orang yang bekerja untuk orang banyak. Segala sesuatu yang bersifat pribadi, apalagi hanya kebanggaan pribadi harus berani dikorbankan. Apalagi hanya nama. Pemimpin tidak perlu nama, seorang pemimpin hanya perlu berbakti kepada tugas-tugas dan kepentingan rakyat. Jangankan nama, nyawa pun harus diganti kalau perlu!"

Kata-kata istri saya terasa mengandung seratus porsen kebenaran, kalau saja tidak ditujukan kepada saya. Kalau ia mengumpat begitu kepada orang lain, saya kontan akan mem"back-up". Tetapi karena saya yang disemburnya, urusannya jadi lain. Kata-kata itu terlalu bombastis. Terlalu menggeneralisir. Isinya nampak benar, namun prakteknya penuh dengan kesalahan. Kenapa. Rakyat kan bukan dewa. Rakyat yang buta adalah sekumpulan bebek yang beriring-iring mencari makan. Dia harus digembalakan dengan pikiran waras. Nah, kalau saya pemimpinnya tidak waras, bagaimana nanti nasib orang-orang yang saya gembalakan itu?

Nasihat istri saya, rationya saya terima seratus porsen. Tetapi saya anggap tidak perlu dilaksanakan, karena kebenaran saja tidak cukup. Kepatutan lebih diperlukan dalam kasus saya ini. Nanti kalau waktunya sudah tepat, baru kebenaran yang berbahaya seperti itu bisa dipraktekkan.

Kertas formulir penyempurnaan nama itu saya robek. Robekannya saya bakar. Ide penggantian nama semacam itu harus disikapi dengan keras. Dibasmi seketika. Kalau kita lembek, ide itu akan membunuh setiap saat. Sama dengan PKI malam atau OTB.

Kalau pemberontakan saya untuk menolak menyempurnakan nama dianggap sebagai tindakan "mbalelo", tidak apa. Seorang pemimpin adalah seorang pemberontak yang menerobos ke depan, mula-mula untuk dirinya sendiri. Agar tercipta lubang yang bisa dilalui oleh masyarakat yang harus dibimbingnya. Saya siap menerima apa pun resikonya. Paling juga digeser.























Erosi


1
SETELAH SEPULUH TAHUN DI JAKARTA, BUDI berhasil memiliki telepon di rumahnya. Perjuangan yang cukup pendek, mengingat banyak orang seumur hidupnya di ibukota, jangankan punya telepon, makan saja berantakan.
Memiliki telepon berarti memiliki sebuah rumah terlebih dulu. Tapi sebuah rumah tak terlalu menuntut sebuah telepon seandainya tak ada kepentingan terlalu mendesak yang tak mungkin terselesaikan dengan kecepatan mobil. Dari sudut itu, orang boleh bilang Budi sudah berhasil. Jadi sudah sepantasnya, seluruh keluarganya di seberang bangga pada lelaki yang gigih dan teliti ini.
Walhasil baru setelah memiliki rumah, mobil dan urusan yang mendesak-desak, Budi memutuskan dan berjuang untuk memiliki telepon. Tapi untuk itu, sebagaimana juga selalu dilakukannya kalau membeli barang-barang baru, ia harus membuat pledoi yang panjang. Semacam upacara pembersihan. Untuk menenangkan perasaannya sendiri dan perasaan orang tua serta sebagian besar keluarganya yang masih menderita di seberang.
“Telepon buat saya bukan barang mewah, tetapi alat untuk bekerja, seperti sepeda atau pacul. Jadi masalah efektivitas dan efisiensi. Sebagaimana juga mobil dan rumah, atau kulkas, mesin cuci dan sebagainya, termasuk sound system, video, televisi maupun radio. Dulu itu merupakan kebutuhan sekunder, tapi sekarang dalam konteksnya dengan profesi saya, itu jadi primair. Kenapa? Dengan memiliki rumah, ketenangan terjamin dan biaya jatuhnya lebih irit, meskipun memang waktu membeli beratnya bukan main mengingat harga rumah di Jakarta seperti setan,” kata Budi kepada lima orang keluarganya yang kebetulan datang ke Jakarta.
Keluarga Budi yang baru pertama kali ke Jakarta untuk mengantarkan anaknya mencari sekolah itu, manggut-manggut tulus. Mereka berusaha untuk membenarkan apa saja yang dikatakan oleh tuan rumah, karena mereka merasa menumpang hidup beberapa hari. Tapi Budi tak suka melihat basa-basi itu. Ia terus mencoba memberikan penerangan. Ia ingin mereka benar-benar mengerti posisi dan sikap hidupnya, sehingga nanti dapat bercerita akurat kalau pulang.
Seperti kata istri Budi, “Supaya keluarga di rumah jangan mengharapkan yang tidak-tidak, agar mereka tahu, hidup kami di Jakarta masih terus terancam sehingga membutuhkan perjuangan, jadi kalau kami kurang ada waktu memperhatikan keluarga di daerah, jangan menyangka kami sudah lupa kepada mereka, karena kami sendiri sedang sibuk menolong diri kami untuk tetap hidup.”
“Telepon, sebagaimana juga mobil,” kata Budi melanjutkan, “adalah perangkat hidup di kota. Dengan telepon kita mengunjungi orang lain, membuat perundingan, atau saling sapa-menyapa. Karena kalau datang langsung mungkin kita tak punya waktu atau mereka yang tak punya waktu dengan kita. Lagi pula dengan telepon, karena kita tidak melihat muka masing-masing, kita bisa lebih bebas bicara. Kadang-kadang banyak urusan sulit bisa diselesaikan lewat telepon, karena kata orang lewat pesawat telepon biasanya pikiran bisa lebih cepat disampaikan, karena suaranya langsung dekat dengan otak. Lho, ini tidak main-main, banyak buktinya, kok.”
Semua tertawa. Budi menoleh istrinya, tapi wanita itu membuang muka.
“Maaf saya melucu sedikit,” sambung Budi cekatan, “supaya jangan terlalu tegang, silahkan makan kuenya. Ada yang mau nambah kopi? Atau mau coba minum bir? Ambil saja di kulkas, tak usah sungkan-sungkan, anggap saja di rumah sendiri. Di situ juga ada rambutan atau apa begitu, ambil saja. Tapi kembali pada soal telepon, ini sama sekali bukan barang mewah, seperti kalau kita punya pesawat telepon di pedalaman sana. Di kota seperti Jakarta ini telepon penting sekali. Penting saya katakan, karena bukan saja dengan satu atau dua juta rupiah yang kita keluarkan untuk mendapatkan nomor telepon, kita dapat melancarkan urusan-urusan lain kemudian hari yang mungkin nilainya jauh lebih mahal. Tapi juga dengan mengetahui rumah kita berisi telepon orang mau tak mau sedikit memperhitungkan diri kita. Semacam gertak begitu. Ha-ha-ha.”
Semua ikut tertawa. Kecuali nyonya rumah. Ia pura-pura tak mendengar.

“Saya tidak melucu. Di masyarakat seperti Jakarta ini, gertak-gertak begitu semacam perangkat hidup yang mutlak. Kekayaan menjadi kebutuhan hidup bukannya kemewahan. Itulah yang menjadikan kegunaan barang-barang berbeda. Telepon misalnya harus selalu menunjukkan kegunaannya, karena kalau tidak, ia akan menggerogoti. Karena itu pesawat tidak kami bebas pakaikan pada anak-anak kami seperti orang-orang lain. Karena telepon bukan untuk main ngobrol-ngobrol kosong tapi untuk senjata hidup. Karena kami bukan orang kaya. Segala sesuatu harus dilihat dengan teliti berguna atau tidak. Banyak barang-barang berguna yang kemudian justru menjadi barang kemewahan yang memboroskan uang, karena kita tidak tahu mempergunakannya. Misalnya kamera. Banyak orang membeli kamera mahal, tetapi tidak dipergunakan, hanya untuk menghiasi rumah. Itu namanya mencari status sosial. Tapi coba lihat, fotographer tetangga kita itu misalnya, namanya Ali, meskipun rumahnya sederhana, tetapi dia memiliki beberapa kamera lengkap dengan segala macam ukuran lensa, bahkan dia punya alat untuk developing, yang harganya total puluhan juta. Tapi semua dia pergunakan untuk mencari nafkah, jadi bukan barang mewah. Ya seperti telepon saya ini sedikit banyak. Harganya dan kegunaannya membuat dia jadi barang murah. Itu yang biasanya tak diketahui oleh orang lain, sehingga begitu mendengar kami pasang telepon, semua kasak-kusuk mengatakan kami kaya. Ck-ck-ck!”
“Benar,” sambut istri Budi, “seperti waktu kami beli mobil dulu, semua menyangka kami ini kaya. Padahal mobil itu dibeli untuk kepentingan kerja. Masak kemudian ada yang mau pinjam untuk piknik. Ada juga yang mau pinjam untuk menjenguk keluarganya di bilangan Kebayoran. Lho mbok ya naik taksi atau naik bus. Ini mobil dibeli kan bukan untuk senang-senang tapi untuk kerja. Coba pikir, tetangga itu selalu begitu. Hanya melihat kulit saja. Dibaikin ngelunjak, dijauhin kita dianggap kita tak mau bermasyarakat. Bukannya tak mau, tapi bagaimana kalau hanya akan membuat salah paham. Wong kita juga masih susah mengurus anak mau sekolah, biaya ini, biaya itu, mereka malah melihat kita seperti bank. Susah deh hidup di sini. Ya kan pah?” Budi nyengir.
“Ini juga seperti waktu kami beli kulkas kami yang kedua, dulu. Ya kulkas itu kami beli karena kami tidak ingin setiap hari ke pasar, jadi menghemat tenaga begitu. Lho kok ada tetangga yang datang minta dibuatkan es mambo di sini. Itu lho, sirup warna-warni yang ditaruh di dalam plastik kecil-kecil, tahu, kan? Ya itu. Ya mula-mula kami terima. Tapi kemudian kok setiap hari minta dibikinin es mambo. Saya jadi curiga. Setelah dicek, lho es mambonya dijual. Curang nggak. Lucunya anak saya malah ada yang beli es mambo di ujung jalan itu, padahal esnya dari sini, curang kan?!”
Para tetangga menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
“Betul lho. Saya jadi marah. Tapi ya bagaimana? Mau menolak susah, dikira tidak mau bermasyarakat. Akhirnya kami bilang saja kulkas rusak. Tapi dasar nekat, orangnya tak percaya, mereka datang pura-pura mengantar kue kemari. Ya terpaksa kulkas kami matikan satu minggu. Baru sesudah mereka lihat kami beli es batu tiap hari, mereka kapok. Belakang kami lihat suaminya pulang membawa kulkas. Rupanya dia keki, mau menunjukkan gigi. Boleh saja. Itu malah baik. Kami yang ikut senang. Dia lalu meneruskan jual es mambo dengan kulkasnya sendiri. Malah di pintu rumahnya dipasang mereka es mambo berdikari, begitu. Ya kami tak keberatan, asal dia pakai kulkasnya sendiri. Tapi satu bulan kemudan dia mulai mengeluh, karena tagihan listriknya melonjak. Belum lagi tetangganya sendiri kemudian datang minta dibikinin es mambo. Persis seperti ketika mereka dulu minta dibikinin es di sini. Ha-ha-ha. Nah baru dia pusing tujuh keliling. Tak lama kemudian kulkasnya dijual lagi kepada tetangga yang lebih mampu. Nggak tahu apa pemilik baru itu kemudian juga mengkaryakan kulkas itu dengan es mambo. Ha-ha-ha. Ya kami tak ada waktu mengikuti semuanya. Lain dengan kalau kita di pedalaman, apa-apa kita kuntit terus, karena tak ada kesibukan lain. Di sini segalanya secukupnya saja diperhatikan. Jadi itu lho, jangan dikira barang-barang ini kemewahan, tidak, ini kan kebutuhan hidup. Just a tool, kata orang.”
“Kembali pada telepon,” potong Budi mengembalikan pokok pembicaraan, “waktu mereka tahu di sini ada telepon wah lucu-lucu kejadiannya. Kita sering terpaksa bangun pagi-pagi buta atau tengah malam, karena ada yang mau nelpon atau dapat telepon. Tanpa permisi-permisi lagi banyak tetangga yang memasang nomor telepon kami sebagai tempat kalau ada yang mau kirim pesan. Kalau ada yang sakit atau ada yang meninggal, tiba-tiba telepon mereka semua jatuh kemari. Waduh kami jadi amburadul. Jadi kami lebih banyak mengurusi keperluan orang daripada mengurusi keperluan sendiri. Kalau anak-anak sendiri yang mau pakai telepon sembarangan, kami bisa larang, tapi kalau tetangga ya kami sungkan. Habis ngakunya penting, padahal cuma mau gombal-gombalan janjian nonton bioskop. Kacau deh! Apalagi kalau giliran. Akhirnya kami beli boks koin, jadi setiap ada yang mau pakai telepon kami, harus bayar. Tapi … hal itu justru akan bikin kami tambah pusing. Bagaimana tidak. Langsung besoknya rumah ini seperti kantor telepon umum. Nggak pernah sepi. Kalau masih satu dua yang kita kenal sih nggak apa. Eh, lebih banyak datang para pembantu yang mau nelpun pembantu lain lalu ngobrol sampai satu dua jam. Kita bukan saja terganggu tapi juga sebel. Lihat aksinya waktu nelpun melebihi nyonya-nyonya gedean. Di tangannya pasti sudah ada segenggam coin. Kami tersiksa betul mendengar obrolannya yang murahan.”
“Masak banyak yang gombal-gombalan dengan tuan rumah. Makanya langsung saja kami bilang rusak!” sambung istri Budi ketus, “di depan dipasang telepon yang rusak, jadi tak ada lagi yang bisa pakai. Telepon yang bener kami umpetin di dalam kamar. Tapi ini rahasia, jangan bilang-bilang sama mereka, nanti kita dilemparin batu. Habis bagaimana lagi. Setelah dibilang rusak-rusak begitu, baru mereka sadar. Habis telepon umum kan ada di ujung jalan situ, ya jalan sedikit ke situ, masak telepon pribadi yang dirusuhi. Itulah mental bangsa kita. Selalu merasa hidup orang lain lebih enak, lalu maunya ngerecoki. Ini kan telepon untuk bisnis. Nah kalau sudah dikerasin sedikit seperti itu, baru diam, tak berani lagi pinjam-pinjam sembarangan. Memang hidup di Jakarta ini harus berani tegas-tegasan, kalau tidak wah, susah. Beda dengan di daerah. Beda sekali. Silahkan. Silahkan makan kuenya lagi!”
Semuanya menggeleng-geleng sambil mengucapkan terima kasih dan menunjuk perutnya tanda kenyang. Setelah mendengar berondongan moral hidup ibukota, orang-orang dari daerah itu merasa seperti tak punya selera. Mereka jadi kikuk dan segan, kalau-kalau menyalahi aturan.
Budi mencoba memecahkan suasana tegang itu. Dengan demonstratip ia meraih kue-kue dan melahapnya dengan buas, seakan-akan ingin mendorong keberanian orang-orang itu untuk mengganyang suguhan. Istrinya melengos lagi karena biasanya suaminya itu sama sekali tak suka kue.
“Ayo ganyang lagi,” kata Budi dengan mulut penuh kue. “Jadi semuanya barang-barang yang ada di sini boleh dikatakan terpaksa harus dibeli karena diperlukan. Televisi dan video misalnya sebagai contoh. Dengan menyewa sebuah film video seribu rupiah, seluruh keluarga sudah bisa nonton. Sedang kalau nonton bioskop seribu satu ribu buat satu orang, karcis saja belum cukup. Belum pengangkutan dan beli minum. Jadi dengan perhitungan semacam itu, segalanya lalu kami coba adakan di sini karena kami sadar betul bahwa kami ini miskin.”
“Betul,” potong istri Budi, “kalau kata orang kami ini kaya, kami tidak perlu beli rumah. Tinggal saja di hotel, atau di apartemen mewah yang sekarang banyak dibangun, seperti di hotel Hilton di Senayan atau di Ratu Plaza itu. Mewah dan tak usah repot membersihkan. Tak usah punya mobil. Naik taksi saja ke mana-mana. Nyuci, masak juga tak usah, bawa saja ke penatu dan beli makanan di restoran. Sekarang ini kalau ada uang apa saja gampang. Tapi karena kita tidak punya uang, terpaksa kita harus membeli semuanya untuk kebutuhan kita, supaya lebih murah, ya kan begitu? Kalau tidak pintar-pintar begitu nggak bisa, wah susah hidup di Jakarta ini.”
Kembali semuanya nyengir. Budi cekakakan sendiri, mencoba terus mengencerkan suasana, tapi tak berhasil.
“Jadi karena sadar akan kemiskinan kami, terpaksa kami beli semuanya ini,” ulang istri Budi kembali dengan suara jelas seakan-akan ia ingin agar setiap yang hadir mematri itu di kepalanya, “segalanya ini adalah perangkat hidup. Mahal sekali, kami sampai jatuh bangun untuk membelinya. Karena itulah sampai sekarang kami masih tetap hidup prihatin. Ya secukupnya, seadanya saja. Seperti inilah. Orang sudah punya rumah di Pondok Indah, di Simprug, di Bumi Serpong, kami masih saja di sini karena segalanya serba susah. Ingin sebetulnya membeli apa-apa di kampung atau membelikan ibu dan bapak apa-apa, sebagai balas jasa mereka membesarkan kami dulu. Tapi begitulah, kami masih sedang berjuang supaya bisa tegak. Mudah-mudahan nanti kami bisa berbuat sesuatu. Sekarang kami benar-benar sedang prihatin ini. Betul nggak Pak?”
Semuanya mengangguk. Ketika salah seorang menguap, yang lain ikut menguap. Lalu mereka minta diri untuk tidur. Budi dan istrinya menawarkan agar mereka ikut nonton film video silat yang baru saja dipinjam. Tapi semuanya memilih mundur ke dalam kamar, supaya beristirahat.
“Tapi video ini sengaja dipinjam untuk dilihat sama-sama, kalau cuma dilihat beberapa orang kan rugi kita. Listriknya itu lho, ayo nonton dulu!”
Mereka bisik-bisik. Akhirnya semua setuju untuk nonton dulu sebelum tidur. Mereka tak tega menerima desakan tuan rumah.
Ketika semua mulai merubung pesawat televisi, sementara tuan rumah menyiapkan kaset video, Susy anak Budi yang paling tua mendekati pesawat telepon, Budi langsung melirik.
“Mau nelpon siapa Susy?”
Susy yang sudah mengangkat gagang telepon menjawab acuh tak acuh. Suaranya tak jelas.
“Susy! Kalau mau nelpon kawan-kawan kamu urusan nonton pakai telepon umum saja di sana!”
Sekarang Susy tercengang. Ia menatap bapaknya seperti tak percaya.
“Apa Pah?”
“Urusan hura-hura pakai telepon umum! Ini pesawat untuk kerja!”
Susy tercengang, langsung membanting telepon itu.
“Ada apa sih di rumah ini sekarang? Kampungan!”
“Susy!”
Tapi Susy sudah kabur sambil menggerutu.
2
SELURUH RUMAH SUDAH TIDUR, kecuali Budi. Ia duduk di ruang tengah menunggu Susy kembali. Anak itu sangat berbeda dengan anak gadis yang dibawa keluarganya untuk mencari sekolahan di Jakarta. Susy anak ibukota. Produk baru. Tingkah laku Susy juga amat berbeda dengan tingkah laku anak-anak di masa Budi remaja di kampung.
Susy memberontak terhadap apa saja. Ia benci kepada seluruh dunia. Dia merasa berhak berbuat segalanya. Kadangkala Budi sendiri takjub menghadapi perkembangan Susy. Kendati mengaku sanggup tatanan nilai hidup modern—sebagaimana yang telah diceramahkannya tadi—menghadapi manusia produk modern seperti Susy, ia kewalahan.
“Kamu sih yang selalu bikin gara-gara!” damprat istrinya di kamar tadi, setelah selesai nonton televisi. “Masak anak pegang telepon saja tidak boleh. Barangkali urusan penting. Ngabur deh sekarang. Ntar kalau tidak pulang, jangan dibiar, harus cari sampai ketemu. Sekarang banyak kasus anak hilang, nanti seperti Christine. Jangan seenak perut kamu Pah!”
Budi meraih majalah dari bawah meja. Ketika ia hampir tenggelam dalam kisah nyata tentang seorang ibu yang melahirkan anak dari benih lelakinya sendiri, salah seorang saudaranya dari kampung keluar mencari kamar kecil. Budi cepat melempar majalah itu, lalu meraih tas kantornya dan mengeluarkan map-map. Ia pura-pura asyik bekerja. Pura-pura tak mendengar saudaranya itu menyapa, mengucapkan selamat tidur. Sampai kemudian pundaknya dicolek.
“Sudah malam, kenapa tidak tidur. Jangan terlalu keras bekerja, nanti sakit.”
Budi pura-pura terkejut.
“Oh tak apa. Ini sudah biasa. Tidur sajalah, saya mau menyelesaikan ini dulu. Silahkan tidur saja.”
Saudaranya itu menggeleng-gelengkan kepala sambil melirik ke map-map bertumpuk di depan Budi dengan rasa kagum.
“Begitu rupanya tiap malam, makanya tak sempat pulang.”
Budi tersenyum, pura-pura tak terdengar, lalu meneruskan bekerja. Mukanya kelihatan berseri-seri dan dadanya berdebar karena senang. Ia juga masih mendengar bagaimana saudaranya itu bisik-bisik dalam kamar. Bahkan sempat diliriknya pintu terkuak sedikit dan saudaranya yang lain mengintip keluar. Budi makin tekun mencoret-coret.
Kemudian telepon berbunyi. Budi melonjak, langsung mengangkatnya sebelum sempat berbunyi untuk kedua kalinya.
“Susy?!”
Terdengar suara tertawa di sana.
“Siapa ini? Mamang ya!”
Budi menggerutu. Dengan segan ia meladeni kawan lamanya itu ngobrol. Kemudian ia menguap dan mengaku lelah. Tapi kawannya itu masih tak mau melepaskannya. Setengah jam kemudian baru dibiarkannya Budi meletakkan gagang telepon. Budi menghempaskan punggungnya kembali ke kursi. Ia menyesal mengapa tak mengikuti anjuran Amak. Sekarang ia banyak menerima telepon dari kawan-kawannya yang hanya ingin ngobrol.
“Punya telepon berarti memasuki hidup baru, ada suka dukanya,” kata Amak menasehatinya ketika ia belum memiliki telepon. “Sukanya tak usah diceritakan, alami saja nanti sedikit demi sedikit. Tapi dukanya, harus diketahui supaya tidak usah mengalami. Telepon itu ular di dalam rumah yang membelit kita dengan macam-macam kesulitan. Karena itu: jangan memberikan nomor telepon kepada semua orang. Jangan mencantumkan nama di buku telepon. Ini untuk ketenangan kamu sendiri. Itu syarat utama. Selanjutnya kalau terima telepon tanya dulu siapa yang bicara. Kalau orang itu ganti bertanya, jangan mengatakan siapa kamu. Ini untuk menjaga supaya tak usah bicara dengan orang yang tak kamu sukai. Paling tidak kalau ada yang mencari kamu, lebih baik kalau umumnya bilang tak ada, kecuali kalau kemudian ternyata orang itu berguna untuk kamu. Sementara itu kalau menghubungi orang ingat, orang ingin menghubungi itu pasti ada meskipun orang yang menerima telepon mengatakan ia tidak ada di tempat. Kalau memberikan pesan, berikanlah pesan sebagaimana kamu bicara kalau dia itu ada di sekitarmu. Mungkin dia ikut mendengarkan suaramu dengan pesawat lain. Jadi ….”
Telepon berdering lagi. Budi membiarkannya sampai berdering tiga kali, baru mengangkatnya.
“Hallo!”
“Hallo, ini Papa ya?!”
Sebelum Budi sempat menjawab, Susy langsung menyerang.
“Papah, Susy nggak ngerti mengapa Papa tidak boleh pakai telepon. Gara-gara saudara-saudara dari kampung itu, semuanya jadi brengsek. Suruh mereka pulang cepat. Susy tidak mau pulang sebelum mereka pergi!”
Ceklek.
Budi langsung menelepon sebuah nomor. Ia tahu Susy pasti ada di rumah pacarnya. Tepat.
“Susy, Papa ini sedang pusing memikirkan pekerjaan. Kalau orang pusing, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya, seperti Papa Mary juga kan. Tapi Papa kan tidak sampai main pukul seperti Papanya Mary itu, kan?! Papa hanya minta jangan memakai telepon di depan tamu. Ini maksud Papa supaya tamu-tamu kita mengerti bahwa telepon itu adalah alat untuk bekerja. Ngerti nggak maksudnya. Kalau tidak bagaimana kalau mereka nanti pakai telepon kita seharian. Namanya orang dari daerah, belum biasa lihat telepon. Kalau ada telepon pasti akan mereka pakai terus. Ngerti nggak?”
Susy membantah. Percakapan jadi seru. Setengah jam lamanya Budi berdebat dan membujuk. Setelah satu jam baru Susy dapat ditaklukkan. Ia tidak jadi minggat. Ia akan pulang pakai taksi, dengan syarat ia boleh memakai telepon kapan saja dan nelpon ke mana saja, dalam waktu yang tak terbatas.
Budi menarik nafas dalam-dalam. Dadanya plong ketika meletakkan gagang telepon. Ia tak perlu mondar-mandir ke seluruh kota, menelpon sederetan nama mencari Susy, sebagaimana biasanya. Ia merasa hidupnya sudah seperti pelawak.
Sebuah suara berat terlempar dari samping.
“Ck-ck-ck, jangan terlalu berat bekerja. Ini sudah malam.”
Budi terkejut, lalu menoleh. Di sana tamunya yang tadi ke kamar kecil. Ia tersenyum menggeleng-geleng kagum.
“Jadi Jakarta begitu ya? Sampai malam masih terus urusan bisnis. Kasihan. Pantas saja punya telepon. Tapi jangan sampai terlalu capai. Tidurlah sedikit, sudah malam. Besok lanjutkan lagi usahanya.”
Budi tersenyum langsung memutar lagi nomor. Bicara keras-keras, padahal tidak ada lawan bicaranya.
“Alung ya? Bagaimana surat-suratnya sudah beres? Permintaannya harus banyak menunjukkan referensi yang masuk akal. Sebab di dalam lokakarya nanti ada ….”
Saudara Budi yang dari kampung itu menggeleng-gelengkan. Ia melangkah ke kamar sambil berbisik, “Kasihan.”
3
LEBIH CEPAT DARI YANG DIRENCANAKAN, tiba-tiba tamu keluarga Budi minta diri. Budi dan istrinya terkejut, karena tujuan mereka, mencarikan anak gadisnya sekolah, belum tercapai.
Khawatir kalau-kalau mereka tersinggung Budi mencoba menjajaki. Ia menahan.
“Tidak, cukup sudah, kami pulang saja,” kata orang tua gadis itu.
“Tapi kenapa? Kan belum dapat sekolah?”
“Tidak jadi sekolah, kami mau pulang saja.”
“Kenapa?”
Tak ada penjelasan. Semuanya hanya tersenyum-senyum saja, tapi keputusannya tak bisa diganggu gugat lagi. Budi mencoba menanyakan apa mereka mempunyai kesulitan. Mereka hanya menggeleng-gelengkan, bahkan menetapkan bahwa mereka akan pulang hari itu juga.
Budi jadi kelabakan. Ia menerangkan dengan bernafsu bahwa untuk berangkat pulang tak bisa begitu saja, harus pesan karcis terlebih dahulu dan sebagainya. Tapi rombongan itu sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Mereka mau pulang dan harus hari itu juga. Alasannya tak ada. Mereka hanya mau pulang. Titik.
“Tapi ini Jakarta, semuanya harus direncanakan, dipesan, tidak bisa tubruk begitu saja, lain dengan di daerah. Kalau besok masih kita coba, tapi kalau tidak juga ada tempat, kita harus pesan dulu. Coba biar saya tanya dulu, jangan memutuskan dulu,” kata Budi sambil bergegas hendak mengangkat telepon.
Tapi orang-orang itu tetap tak mau ditawar, mereka sudah keluar dari kamar dengan kopor-kopornya.
“Tak usah menelpon lagi. Kami berangkat ke stasiun saja sekarang. Di Surabaya nanti kami cari kapal. Sudah kami tanyakan dulu waktu sampai di sana dulu.”
Budi meletakkan gagang telepon kembali dengan kesal. “Ya sudah kami tanya dulu semuanya, waktu sampai dulu, tidak usah ditanyakan lagi. Nanti pukul lima ada kereta. Besok pagi begitu sampai di Surabaya langsung ke pelabuhan. Ada kapal besok. Sudah kami tanyakan dulu. Jangan khawatir, kami akan sampai dengan selamat, semuanya sudah ditanyakan dulu.”
Budi mengangguk-angguk.
“Tapi coba tanyakan lagi,” katanya kemudian sambil meraih telepon lagi.
“Tak usah, sudah kami tanyakan. Nanti ada kereta jam sepuluh dari Gambir. Kalau tak bisa naik bus malam jam dua. Sudah kami tanyakan dulu semua waktu kami datang.”
Budi tercengang lalu meletakkan lagi gagang telepon. Keluarga yang hendak pulang itu satu per satu menyalami Budi.
“Kami pulang mendadak, terus terang sebenarnya karena takut. Di sini semuanya ternyata lain. Kami belum siap, anak kami tidak akan sanggup tinggal di sini. Dia masih belum bisa meninggalkan alam desa. Biar dia sekolah di rumah saja seadanya. Biaya hidup di sini juga terlalu mahal. Jangankan beli telepon, untuk makan saja mungkin hasil panen kami tidak cukup. Jadi biar kami pulang saja, pokoknya sudah melihat Jakarta, sudah untung.”
Semuanya mengucapkan terima kasih banyak atas penerimaan Budi sekeluarga serta minta maaf karena mereka berbuat kesalahan selama menumpang. Sambil secara basa-basi menganjurkan supaya Budi sekeluarga sekali-sekali pulang kalau ada waktu terluang. Lalu mereka angkat kopor-kopor keluar rumah.
Budi dan istrinya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan tegang mereka mengantarkan tamunya ke depan rumah untuk menghadang taksi, karena mereka juga menolak diantar.
“Ini hari kerja, kasihan Budi nanti capai, biar jangan menganggu, kami bisa kok naik taksi sendiri. Nanti kalau sesat paling banter ditangkap polisi, he-he-he,” kata mereka sambil tersenyum lebar untuk menenangkan tuan rumah.
Pundak Budi ditepuk-tepuk supaya tenang.
“Teruskan berjuang, dik Budi,” kata yang paling tua mewakili yang lain-lain. “Memang perlu sekali kita mulai berjuang dari sekarang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Orang belum terlambat. Kita bisa mengejar sekarang. Ya setidak-tidaknya kalau dik Budi berhasil, kami ikut bangga!” Budi tersenyum pahit.
“Ya harus begitu. Kita memang sudah terlambat. Orang-orang lain sudah dari dulu masuk Jakarta. Mereka sekarang sudah punya mobil, telepon, video, punya semuanya. Gampang saja mereka menarik sanak keluarganya untuk sekolah di sini. Kalau sudah ada satu memang di Budi ini berhasil terus. Berjuang terus Dik, kami semua kasihan memang, tapi kalau mau merintis memang harus berani jatuh bangun. Ini semua sudah bagus. Teruskan saja. Terima kasih Dik Murni. Permisi.”
Tangan Budi dan istrinya dijabat lagi dan digenggam kuat-kuat.
“Jangan mundur Dik Bud, ini semua juga nanti akan dinikmati oleh keluarga akhirnya. Sekarang memang masih sulit, tapi teruskan saja, justru karena sulit harus diteruskan. Sulit karena memang ini penting, kalau tidak penting tidak akan sulit. Sekarang tinggal dik Budi dan dik Murni saja, harus tabah. Ya kami hanya bisa mendoakan dari kampung. Kasihan juga, kalau melihat caranya begini berjuang, tapi namanya perjuangan ya harus dilanjutkan. Tapi kami yakin kok, pasti akan berhasil. Kita harus membuktikan bahwa keluarga kita juga mampu. Kita juga bangga kalau ada di antara kita yang bisa berhasil, bukan hanya mereka. Kita tidak boleh kalah, kita harus ikut memiliki ibukota ini, paling tidak satu rumahlah, begitu. Ya kan?”
Budi dipeluk dan ditepuk-tepuk. Budi bertambah heran. Ketika taksi muncul, saudaranya itu berbisik di telinga Budi, “Kami ikut terharu atas perjuanganmu merintis jalan di Jakarta. Kasihan sampai tak ada waktu tidur. Tapi kami tak bisa membantu apa-apa, kami doakan saja dari jauh. Kami nitip surat di atas meja makan!”
Budi dan istri melambai-lambai.
Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah dengan penuh tanda tanya. Di atas meja makan di dalam rumah, tergeletak sebuah amplop. Dengan tergesa-gesa karena ingin tahu, istri Budi membukanya.
Ternyata isinya selembar lima ribu rupiah. Keduanya terkesima.
4
BUDI DAN ISTRINYA BERTENGKAR, tak sepaham menanggapi lembaran lima ribu itu. Sementara Budi terharu dan merasa bersalah, istrinya justru tersinggung keras.
“Kurang ajar betul! Sudah diladeni baik-baik. Diterima, disambut lebih dari tamu agung, kok malahan menyindir. Ini penghinaan. Apa mereka pikir kita semua melakukan ini karena butuh duit?!” teriak wanita itu kalap. “Butuh sih butuh, tapi yang benar dong, masak kita disangka mau minta duit. Lima ribu lagi. Bisa beli apaan dengan ini di sini. Memangnya kampung ini? Gila juga. Kalau memang mau duit dari dulu juga sudah kita bilang. Ditolong malah menghina. Dasar kampungan!”
Budi berusaha memberikan penjelasan.
“Sebetulnya ini bukan menghina, justru mereka ingin ikut meringankan penderitaan kita, habis kita mungkin agak terlalu juga menjelaskan kepada mereka hidup di sini susah. Mereka percaya dan ini akibatnya. Justru mengharukan sekali bagaimana mereka dengan tulus ikhlas memberikan lima ribu, padahal mungkin uang ini amat mereka perlukan. Jangan-jangan nanti di jalan mereka kekurangan uang. Ini tulus ikhlas kan?”
“Ikhlas apaan! Kalau dasar kampungan begini. Keluargaku jelek-jelek kagak ada yang kasar begini. Sekalian hutang budi ya sudah diam saja terima, kan keluarga harus tolong-menolong. Ini kok ngasih tip, memangnya pelayan restoran apa kita? Sialan bilangin keluarga kamu itu, tidak usah bawa adat-adat kampung kemari!”
“Kamu salah paham!”
“Aku punya harga diri, mentang-mentang keluarga kamu dibela terus ya! Biar keluarga siapa kalau salah ya salah, jangan dihalus-haluskan. Gila juga. Inilah hasilnya kalau terlalu baik sama keluarga, di situ malah ngelonjak terus terang saja sama semua orang!”
Budi tersinggung. Ia langsung membantah, tetapi istrinya makin senewen karena dibantah. Perang tidak bisa dicegah lagi.
Mereka main hantam-hantaman mulut, sambil membeberkan kejelekan keluarga masing-masing. Istri Budi melemparkan lembaran lima ribu itu dengan sengit ke bawah meja. “Lima ribu, gila! Dikiranya bisa beli apa lima ribu di Jakarta!”
Tak cukup melempar, ia juga menginjaknya. Hati Budi hancur.
“Ya Tuhan,” jerit Budi di dalam hati. “Ini bukan istriku lagi. Ini bukan seorang wanita, tetapi ini mesin yang sedang rusak onderdilnya. Apakah Jakarta sudah membuat orang tidak manusiawi lagi?”
Sebagaimana biasa kemudian, perang itu diakhiri dengan bantingan pintu keras. Istri Budi masuk ke dalam kamar dan menangis. Sedangkan Budi menghunus rokok dan menggebul-gebulkannya seperti kepalanya yang terbakar.
“Pertengkaran adalah bagian dari perangkat hidup kota, selain rumah, mobil, rapat-rapat, gosip, telepon dan sebagainya,” bujuk Budi pada dirinya, “Di desa orang memang jarang bertengkar, karena tak berani mengucapkan perasaannya. Karena itu banyak keluarga yang kelihatannya utuh tetapi sebenarnya remuk di dalam. Sedangkan di kota, setiap perselisihan selalu diucapkannya terus terang, kelihatannya memang perang, tetapi sesudah itu tak ada lagi apa-apa lagi. Pertengkaran justru menjadi penyelamat rumah tangga dan kebosanan. Aku harus mengerti perbedaan-peredaan nilai ini.”
Sambil menyambung rokoknya, Budi mengunyah kata-kata itu, untuk menenangkan perasaannya. Tetapi kekuatannya tidak sedahsyat dulu lagi, ketika pertama kali ia rumuskan. Sekarang ia hampir tak percaya lagi kata-kata itu mampu membuat ia dan istrinya tetap sabar. Ia mencari kata-kata baru. Tapi sulit sekali.
Dadanya mendebur-debur memandang lembaran lima ribu itu terletak di bawah meja. Uang itu seperti tersenyum kepadanya lalu bicara. “Tenang dik Budi. Tetaplah jadi pahlawan di dalam keluarga kamu. Perang ini terlalu kecil buat mendapat uang lima ribuan itu.” Ia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh keluarganya. Itu ungkapan solidaritas pedesaan yang ditemukan lagi di kota. Di kampung ungkapan rasa itu menjadi bahasa pergaulan. Bahkan semacam ritus. Di Jakarta sebaliknya, bukan saja aneh, ganjil tetapi justru berubah jadi sumber malapetaka.
Ia tak bisa terima hal-hal polos seperti itu dianggap penghinaan. Itu kasar sekali. Tetapi ia juga tak mungkin memaksa istrinya untuk bereaksi sama seperti dia. Pertama karena wanita dan lelaki ternyata tak hanya berbeda phisik, tetapi berbeda secara emosional. Belum lagi perbedaan latar belakang. Dan ia sejak semula sudah mencoba menghadapi perbedaan itu dengan adil. Siapa tahu, istrinya benar. Dalam hal ini wanita itu justru rasional dan ia sendiri yang emosional.
Tapi makin lama dipikirnya, makin marah ia pada sikap istrinya. Tangannya terkepal dan gemetar. Perlahan-lahan ia bangkit dan lalu menunduk untuk menjemput uang lima ribuan itu dengan rasa hormat.
Ditaruhnya uang itu di atas meja. Dikaguminya perasaan-perasaan yang mengulurkan uang itu. Ia dapat merasakan nilai-nilai yang mendorongnya. Begitu polos, tetapi justru begitu melukai orang yang tak mengertinya. Ia mecoba merumuskan kejadian itu.
“Bila lima ribu di matamu sudah mulai berbeda dengan lima ribu di mata istrimu. Berarti ada virus dalam rumah tangga. Aku melihat uang kecil ini dengan rasa hormat, tetapi dia menerimanya dengan rasa hina. Kenapa? Karena aku melihatnya sebagai kepala rumah-tanga, aku tak boleh hanya memikirkan perasaan-perasaanku. Sebagai godfather aku harus berjiwa besar. Tetapi aku juga tidak boleh membiarkan kebesaran jiwa itu membuatku terjepit. Itu baru namanya lihai. Kebesaran jiwa saja tak cukup, seorang kepala harus lebih lihai. Ya Tuhan, inilah yang menyebabkan para kepala perlahan-lahan jadi penipu.” Budi mengapung.
“Aku harus bertindak. Harus tegas. Nilai apa yang berlaku di rumah ini. Penilaian terhadap lima ribu ini harus sama, baik aku, istriku dan anak-anakku. Kalau tidak rumah ini akan runtuh!”
Tiba-tiba telepon berdering. Sampai empat kali baru diambilnya dengan kasar.
“Hallo!”
“Hallo, ini pak Budi? Bisa bicara dengan ibu?”
Budi kontan mengerti suaranya. Lembut, ramah dan baik. Rasa kecut di mukanya kontan hilang. Ia jadi jinak dan ramah-tamah lagi.
“Oh Bu Slamet. Apa kabar Bu. Baik-baik, ada-ada Bu, sebentar saya panggil. Kapan datang dari Paris Bu?”
Budi menutup telepon itu dengan tangannya. Mukanya kembali mengkerut, lalu berteriak memanggil istrinya keras.
“Telepon dari Bu Slamet! Mau diterima nggak!”
Belum selesai teriakan itu, pintu kamar itu terbuka, istrinya bergegas keluar. Ia menggosok mukanya, lalu merebut telepon. Mukanya berseri-seri. Ia tersenyum simpul ketika bicara.
“Hallo, Bu Slamet! Ha-ha-ha, aduuuuuuh apa kabar, apa oleh-olehnya Bu? Sudah kangen ini, ha-ha-ha!”—sambil menghindari pandangan mata Budi yang melotot—“Waduh Bu, kita kehilangan ini. Kalau tidak ada ibu jadi rusak semuanya. Arisan belum ditarik, habis menunggu ibu. Jadi kapan ini. Minggu ini saja bagaimana, di rumah ibu sambil mendengar ceritanya Paris. Sempat lihat itu tidak? Bawa kan? Ha-ha-ha!”
Budi mengambil tas untuk berangkat.
“Sebentar Bu,” istri Budi menutup telepon dengan tangannya, lalu melabrak Budi.
“Pokoknya mulai sekarang kita harus tegas kepada siapa saja tidak pandang bulu. Tidak aku tidak mau dihina orang di rumahku sendiri!”
Budi kontan mau menjawab, tetapi sebelum mulutnya terbuka, istrinya mengangkat telepon lagi langsung berdialog.
“Maaf Bu, biasa, suami kalau mau berangkat mesti rewel. Mau dibawain tas, mau disun pipinya ha-ha-ha seperti masih muda saja. Ha-ha-ha. (Menoleh suaminya) Sudah-sudah berangkat sekarang! (kembali ke telepon) Ha-ha-ha, jadi bagaimana Paris. Sempat naik ke Eifell nggak, wah mode-modenya hebat-hebat mestinya kan, ha-ha-ha!”
Budi menutup mulutnya yang mudah menganga, lalu diam-diam pergi. Istrinya terus mengobrol di telepon dengan gembira, “Ya, hallo, apa. Sebentar Bu, sebentar ini ada tetangga mengetuk pintu.”
Wanita itu menutup moncong telepon, lalu mendorong kursi dan melihat ke bawah meja. Ia menggapai-gapai. Tapi tak menemukan apa-apa. Mukanya langsung berubah cemberut.
“Rokiiiii!”
Roki pembantunya keluar dari dapur.
“Yaaa?”
Wanita itu melotot.
“Kamu tadi sudah nyapu?”
“Belum!”
“Kemarin ada duit di sini, siapa yang ngambil?”
“Di mana?”
“Di bawah meja!”
Roki bingung.
“Jangan bengong, ayo cari!”
“Berapa Nya?”
“Lima ribuan! Itu belanja satu hari! Ayo cari jangan sampai hilang! Memangnya gampang cari duit!”
Roki langsung berlutut dan mencari di bawah meja.
“Hallo, hallo, maaf ini Bu. Si Roki ngaco lagi ini. Masak duit diberantakin. Kayak orang bisa bikin duit saja, padahal suami kita yang sampai bungkuk-bungkuk mencarinya. Ha-ha-ha. Sama ya! Betul, betul! Pembantu memang tambah kurang ajar sekarang.”
Tiba-tiba ia melihat lima ribuan menggeletak di atas meja. Cepat-cepat diambilnya lalu dimasukan ke balik kutang.
“Hallo, apa? Ya betul, harus begitu Bu. Ha-ha-ha. Kan suami kita sendiri, siapa lagi kalau bukan kita. Bener. Kalau dibiar nanti tuman. Sebagai partnernya, kita harus selalu memberikan pengarahan. Lelaki memang terlalu lemah, mereka sering emosional dan tidak praktis. Apalagi terhadap keluarganya. Masak dikasih uang lima ribu sama keluarganya, padahal itu hanya basa-basi, sopan santun orang daerah e-e-e …. Dia malah tersinggung. Dia bilang keluarganya kurang ajar! Susah memang! Kita harus mengarahkannya. Mereka kan baby kita. Ya kan! Ha-ha-ha!”
Roki terus menyusuri lantai mencari lima ribuan itu.
Wesleyan, 21 Desember 1986