Banjir

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 18 Februari 2007)

MELIHAT.

“Memang kenapa?”


“Sebelah kakiku kejeblos lubang, ya air comberan ketelanlah paling tidak secangkir.”


“Ada tahinya?”


Kaciran ketawa.


“Kok ketawa. Ada nggak?”


“Ada kali. Habis dua hari perut jadi mules terus. Tiap kali makan keluar lagi, keluar lagi.”


Tetangga Kaciran sekarang yang ketawa.


“Eee sekarang lhu yang ketawa.”


“Habis, kali yang kamu telan itu bekas punya kita.”


“Punya kamu?”


“Iya! Kita kan memang lagi sakit perut terus waktu banjir itu. Air comberannya rasa gulai kepala ikan nggak?”


“Gulai kepala ikan palemu!”


“Ya, pasti gulai kepala ikan kan? Nah, itu yang gua makan keluar lagi!”


Kaciran nyengir, sementara tetangganya ngakak.


Waktu itu, muncul sembilan pelajar dari sebuah sekolah bergengsi yang sedang melakukan pengamatan di mana akan membagikan bantuan untuk korban banjir. Melihat Kaciran dan temannya ketawa-ketawa terus, mereka mendekat.


“Bukannya kemarin di sini parah, Pak?”


“Bukan parah lagi, air sudah sampai di sini,” jawab Kaciran cepat menunjuk ke lehernya, “Adik-adik ini dari mana?”


“Kami dari sekolah kami, Pak. Besok kami mau membawa sumbangan yang dikumpulkan teman-teman untuk disumbangkan. Tapi maunya ke lokasi yang benar-benar membutuhkan bantuan.”


“Lho, kami di sini membutuhkan sekali. Mana sekarang?”


“Besok baru akan kami drop.”


“Sekarang aja! Semuanya sudah kelaparan di sini. Beras kan udah naik lagi! Jangan kayak pemerintah, main tunggu-main tunggu terus. Ntar kita mati semua!”


Para pelajar itu bisik-bisik sesamanya berunding. Kaciran juga main kedip-kedipan mata dengan tetangganya. Kemudian pelajar itu menggelengkan kepala.


“Kelihatannya kami mau ngedrop di tempat lain saja, Pak. Sorry.”


Kaciran terkejut.


“Lho kenapa? Kami di sini juga membutuhkan!”


“Tapi kelihatannya Bapak-bapak ini kok oke-oke saja?”


“Oke-oke bagaimana?”


“Ya seperti tidak perlu pertolongan begitu.”


“Siapa bilang. Ayo kalau mau masuk ke dalam rumahku. Mau? Nanti tanya sendiri sama nenekku. Apa punya beras untuk dimakan hari ini? Ayo!”


Para pelajar itu berunding. Kemudian seorang pelajar putri maju.


“Kalau Bapak-bapak memang perlu sekali bantuan, nanti kami laporkan pada pos lain.”


“Lho jangan hanya dilapor, berikan saja bantuannya.”


“Tapi Bapak-bapak kelihatannya seperti tidak memerlukan bantuan.”


“Siapa bilang?!”


“Habis, kan tadi ketawa-ketawa.”


Kaciran terdiam. Setelah berpikir, dia tersenyum lebar. Pelajar itu manggut-manggut.



“Orang tersenyum artinya senang! Bapak pasti bahagia karena rumah Bapak tidak kebanjiran! Tapi Bapak tidak boleh lupa, 200 ribu orang yang diberitakan di internet menjadi korban banjir 5 tahunan ini.”


Kaciran langsung tertawa.


“Adik-adik, di sini semua rata kebanjiran, tidak ada yang tidak. Kalau aku ketawa, tidak berarti senang. Orang mencoba senang-senang itu tidak berarti tidak perlu bantuan. Wah, wah, adik-adik ini pasti sudah salah kaprah. Kami ketawa bukan karena bahagia, tapi justru karena kami sedang kelaparan. Rumah, pakaian, barang-barang yang kami kumpulkan bertahun-tahun hancur dalam dua hari. Apalagi yang bisa kami lakukan kecuali ketawa. Kan cuma itu yang gratis. Kalau marah lagi, nanti tenaganya habis percuma. Ya terpaksa ketawa saja. Yang lain kan semua bayar. Betul nggak, Dul?”


Dul, tetangga Kaciran, kontan menjawab dibarengi tawa lebar.


“Bener, Dik, orang ketawa itu bukan seneng tapi susah. Kan ketawa itu sehat. Bikin awet muda lagi. Makanya meskipun tiap tahun dapat banjir kita ketawa terus, supaya awet muda terus. Pak Kaciran ini begini-begini udah tiga istrinya, sekarang udah mau kawin lagi!”


Kaciran ketawa.


“Jangan percaya, Dik. Siapa bilang bini gua tiga? Itu menghina!”


“Habis berapa?”


“Lima!”


Kaciran dan tetangganya ketawa lagi lebih seru.


Pelajar-pelajar itu bengong. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Semua pandang-pandangan dan bisik-bisik. Yang putri kelihatannya rish sekali. Ia cepat-cepat menarik teman-temannya untuk pergi.


“Cabut yuk, ngapain di sini mereka nggak apa-apa kok! Betul juga yang di koran itu!”


Melihat gelagat mereka sudah mau bergerak, Kaciran mencoba menahan.


“Lho adik-adik mau ke mana? Katanya mau lihat korban banjir. Kan mau ke rumah melihat nenekku yang aku gendong naik ke rakit? Yang kelihatan di teve itu lho!”


Para pelajar itu tak menjawab, terus bergegas naik ke dalam mobil.


“Kita tunggu bantuannya lho! Kalau nggak ada barang, mentahannya juga boleh!”


“Dua-duanya lebih baik lagi!”


Tapi seruan itu terhapus oleh suara knalpot mobil. Kaciran dan tetangganya memandang hampa.


“Anak-anak orang kaya sok tahu semua. Berlagak mau jadi pahlawan. Kalau mau nyumbang nggak usah ngomong gede! Kalau memang ikhlas nyumbang, bawa saja kemari, pakai ngintip-ngintip segala, paling juga cuma mie seduh yang bikin perut kita rusak! Dasar! Mana dia tahu kita kelaparan! Koran udah ribut gitu, dia masih ngetes kita!”



“Anak-anak sekarang mana baca koran, Cir, mereka nonton televisi!”


“Apalagi nonton televisi. Mesti lihat aku gendong nenek sampai negak air comberan, dong?!”


“Tapi bukan teve kita yang ditonton, MTV atau film kartun!”


Kaciran mencibir.


“O gitu? Makanya nggak heran koran jadi teriak-teriak terus supaya yang buta, yang budek itu mau sekali-sekali lihat nasib orang di bawah! Coba rasain sebentar di sini, jangan cuma duduk di kursi tinggi. Enak nggak jadi rakyat!”


Dul mikir.


“Kenapa memang dahi lhu nekuk?”


“Habis lhu bilang, enak kagak jadi rakyat? Gua pikir ya enak juga!”


“Enaknya?”


“Bisa maki-maki kayak lhu itu. Ngomong apa juga kagak salah. Tapi coba mereka? Salah dikit juga bisa putus nyawanya. Keceplosan ngomong seperti yang lhu bilang di koran itu, jadi bahan umpatan. Ya nggak?”


“Yang mana?”


“Itu yang lhu bilang nongol kepalanya di air dan berkoar: korban masih bisa tertawa, media jangan membesar-besarkan soal banjir!”


“O yang di sampingnya ada tengkorak ketawa itu?”


“Itu dia!”


Kaciran dan Dul tertawa barengan.


“Gila, memang! Kali tengkoraknya ketawa karena lihat ada orang masih sempat-sempatnya kawin padahal air sudah selutut. Yang masak, yang kondangan, pengantennya basah semua, tapi terus aja kawin karena udah kebelet.”


“Salah! Bukan! Tengkoraknya ketawa karena airnya rasa gulai kepala ikan!”


“Sialan!”


Keduanya ketawa lagi lebih keras dari yang tadi.


Nenek Kaciran keluar dari dalam rumah. Dia memanggil Kaciran. Bujang tua itu terpaksa mengunci ketawanya, lalu berlari menghampiri satu-satunya keluarga yang masih hidup di sampingnya itu. Nenek itulah yang telah memberinya kekuatan untuk terus bertahan. Padahal seluruh keluarganya sudah ditelan oleh ombak waktu pulang ke kampung.


“Ada apa, Nek?”


“Ada kamu di televisi!”


Nenek Kaciran memberi isyarat supaya cucunya cepat masuk. Kaciran melompat masuk. Di televisi disiarkan kembali musibah banjir yang konon sudah menjadi makanan tahunan dan bonus 5 tahunan ibukota


Air naik dengan cepat dan lebih dahsyat dari banjir-banjir yang pernah terjadi sebelumnya. Banyak kawasan yang tidak pernah terjamah, kini tak berdaya. Toh banyak penduduk yang masih tetap bertahan di rumahnya. Mereka takut hartanya akan dimaling. Baru setelah air semakin mengancam dan persediaan makanan habis, orang mulai mau dievakuasi.



“Tadi kamu kelihatan di situ sama Nenek,” kata orang tua itu menunjuk ke televisi.


“Gendong Nenek?”


“Ya.”


“Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah masuk televisi.”


“Ya itulah gunanya banjir,” kata Kaciran melucu.


Tapi neneknya tidak tertawa.


“Kalau tidak ada banjir, aku tidak akan pernah jadi Naga Bonar.”


“Apa?”


“Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah gendong Nenek,” kata Kaciram sembari ketawa.


“Kenapa kamu tertawa?”


“Emang aku tertawa?”


“Ya! Karena Nenek kentut?!”


Kaciran ketawa.


“Memang Nenek kentut waktu itu?”


“Berkali-kali. Aku memang kentut kalau takut.”


“Jadi Nenek juga takut?”


“Siapa yang tidak takut. Biar sudah tua, biar tidak punya apa-apa, aku juga takut. Emangnya cuma orang kaya yang takut? Kamu tidak takut?”


“Aku juga takut, Nek! Aku kan nggak bisa berenang.”


“O jadi kamu juga takut?”


“Ya.”


“Kalau takut kenapa ketawa?”


Kaciran tersenyum, sebab ingat hari itu. Ia sudah terminum air comberan dan diledek. Tidak ada yang percaya dia tidak bisa berenang. Hanya waktu tentara yang menolong itu bilang Kaciran adalah Naga Bonar kecemplung kali, ia tidak bisa lagi menahan diri untuk menertawai dirinya dan sekaligus membunuh rasa takutnya.


Nenek Kaciran memandangi cucunya. Satu-satunya cucur darahnya yang diharapkan akan melanjutkan keturunannya, tetapi sampai sekarang masih belum berhasil. Masih saja Kaciran belum mampu mengangkat hidupnya supaya keluar dari kawasan kecoak.


“Kamu ngetawain Nenek ya?”


“Tidak.”


“Kalau begitu kamu ketawa, karena kamu bersyukur. Walau pun kena gempa, kena banjir kamu masih tetap hidup. Begitu?”


Kaciran tak menjawab.


“Itu bagus. Kamu harus selalu mensyukuri semua karunia-Nya. Walau pun tiap tahun kena banjir, nyatanya kita masih tetap hidup. Kamu anak yang soleh, Kaciran, kamu masih bisa tertawa meskipun hidupmu tidak beruntung.”


Kaciran ketawa.


“Kok ketawa?”


“Aku nggak tahu, Nek. Mulutku udah ketawa saja duluan, sebelum aku bisa ngomong.”


“Kenapa?”


“Ya mungkin karena aku sudah terbiasa.”


“Siapa yang sudah melatihmu?”


Kaciran terkejut. ***


.


.


Jakarta 2007

Kucing

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 13 September 2009)

KAMI bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan Puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan. Katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi pada bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.


Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju. Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.


Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya saya beli juga sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi karena kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditas yang sebenarnya bermutu sampah.


Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya sebrangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki, ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh penjalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.


Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan maghrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah. Teh kental manis panas, pada bulan Puasa, lebih indah dari rubayat-rubayat Umar Khayyam. Puasa adalah bulan yang paling saya tunggu dalam setahun. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng dan kehidupan, betapa pun rewelnya adalah sebuah puisi.


Celakanya, rumah kosong. Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Tak apa. Hanya saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. Ada vas bunga dengan bunga mawar. Tapi saya tidak bisa menegak mawar. Saya memerlukan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokan setelah menahan nafsu selama 12 jam.


Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cirendeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.


Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap untuk kabur. Biar saya makan enak sendirian di PIM. Mengganyang bebek goreng yang harganya selangit itu. Seratus ribu melayang juga tak apa asal tidak kecewa. Dan kalau perlu terus nonton bioskop.


Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kuncing mengeong. Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukan ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan. Tapi itu ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu, tetapi tak berdaya.


Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan, di situ, di situ.


Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar reca-reca yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.


Ngeong, kucing itu nyeletuk, seperti mengatakan. Nah ya kan?!


Bener, kata saya sambil membelai kucing itu dengan sayang. “Kalau kamu tidak merintih-rintih, Kawan, aku tidak akan tahu, istriku sudah menyiapkan segala yang terbaik buat suaminya sebagaimana mestinya seorang istri yang bertanggung jawab. Terimakasih, Cing. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak pernah tahu, aku sudah punya semua ini. Kau sudah menyelamatkan seratus ribu, mungkin dua ratus ribu lebih yang mau disikat kas bebek goreng penganut neo liberalisme itu!”


Kucing menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya.


“Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!” kata saya sambil meletakkan kucing itu di lantai.


Saya buka sepatu. Kemudian menjerang teh tarik. Nikmatnya. Setelah marah-marah, tendangan rasa teh berlipat ganda. Apalagi istri saya tidak lupa menyediakan musuh yang serasi: singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng.



Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun. Tidak memberi jeda lagi, saya siap mengganyang ikan bakar reca-reca, untuk menghargai karya istri itu.


Tapi begitu menoleh, saya terperanjat. Reca-reca itu sudah lenyap. Pintu almari yang belum sempat saya tutup, seperti kecewa. Mata saya jelalatan mencari kucing. Ternyata sambil mengeram-ngeram, durjana itu mengganyang ikan saya di bawah meja, di depan mata si pemiliknya.


Darah saya langsung mendidih.


“Bangsat!”


Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Hewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca-reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.


Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman, waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.


Saya masuk ke dalam rumah. Lalu reca-reca itu saya campakkan ke tong sampah. Saya tidak sudi makan bekas kucing. Tapi kemudian saya ambil lagi. Saya bungkus baik-baik. Saya buang jauh-jauh, dalam perjalanan ke restoran bebek goreng di PIM. Saya bunuh rasa kecewa dengan berfoya-foya Rp 200 ribu, memperbaiki sore hari yang rusak itu. Tetapi rasa dongkol itu tak berkurang.


Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.


“Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak,” katanya.


“Maksud Pak Haji?”


“Saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga Bapak, Bapak sudah menzalimi mereka.”


“Menzalimi bagaimana?”


“Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?”


“O, ya, kalau itu betul!”


“Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri.”


“O begitu?”


“Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat shock oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak.”


“Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.”


“Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja.”


“Dia curi dari almari!”


“Apa kucing bisa membuka almari, Pak?”


“Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup.”


“Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak.”


“Salah siapa? Salah saya?”


“Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah.”


“Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!”


“Memang begitu, Pak.”


“Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terimakasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?!”


“Memang itu maksud beliau.”


“Apa?”


“Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya.”


Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.


“Kami bukannya tidak punya duit Pak RT,” kata istri saya yang memang cepat naik darah, “tapi ini soal keadilan. Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!”


Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.


“Baiklah,” kata Pak RT kemudian, “demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusukan bulan Ramadan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?”



“Kenapa jadi begitu, Pak RT?”


“Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga.”


Saya dan istri saya bisik-bisik.


“Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kami malu juga,” bisik saya.


“Memang. Habis Pak RT terlalu baik sih. Seperti nabi saja.”


“Jadi kita bayar saja?”


“Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!”


Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Pak RT memuji kekompakan kami. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang saya masih cakar-cakar dengan istri soal tiga kali sekali atau dua minggu sekali.


Kami terpaksa mengeluarkan Rp 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh,


Sekali pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam. Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.


“Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa, usir saja!” kata saya mengindoktrinasi anak saya yang baru berusia 5 tahun.


“Kenapa?”


“Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!”


“Kalau nggak mau?”


“Hajar dengan batu!”


“Semua kucing?”


“Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bijaksana. Pukul rata saja, semuanya maling.”


“Kenapa?”


“Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian .”


“Kenapa?”


“Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan Rp 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi.”


Lalu saya tunjukkan bagaimana saya mengajari kucing itu dengan melempar buku. Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan aku beli untuk menghajar maling.


“Jangan mengajari anak kamu kejam!” protes istri saya.


“Lho, hidup ini sudah kejam, kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!”


“Itu kan teori kamu!”


“Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak reca-reca lagi!”


Istri saya melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Dia tidak sampai hati membiarkan dendam saya pada reca-reca berkelanjutan. Sehari setelah saya sambat, ikan reca-reca itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu buka.


Dengan tak sabar saya tunggu ceramah Pak Quraish Shihab di televisi yang dipandu oleh si cantik Inneke Koesherawati. Sekali ini rasanya lama sekali. Bau reca-reca itu sudah mencabik-cabik.


“Lihat kucing itu sudah bengong di situ!” kata istri saya menunjuk keluar jendela. “Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!”


Saya ngintip. Kucing itu memang lagi termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau reca-reca yang sudah sempat membuat kakinya pincang.


“Tutup jendelanya, Pak!”


“Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?!”


Sebaliknya dari menutup jendela, daun jendela saya kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Saya pura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan reca-reca itu saya pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.


“Aneh!” kata istri saya.


Saya tidak peduli. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu.


Begitu azan magrib terdengar, kucing itu makin gelisah. Ia tak putus-putusnya melongok ke arah meja di teras. Kelihatan nafsunya bergolak. Tapi pelajaran yang sudah diterimanya tak membiarkan dia bergerak lebih jauh dari pagar. Sebaliknya, meninggalkan pagar pun dia tidak mau. Reca-reca itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.



“Mau makan atau mau ngurus kucing makan?!” bentak istri saya kesal.


“Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati teritorial kita!”


“Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!”


“Nggak bakalan!”


“Namanya juga kucing!”


“Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!”


Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu, sesuai dengan yang saya ajarkan. Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dia membungkuk menanti serangan. Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan.


Dan kucing itu menerjang.


“Pak!” teriak istri saya.


Saya langsung nongol di jendela. Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka saya. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.


Saya terpaku. Takjub melihat pemilik mobil itu, sudah membunuh piaraan kesayangannya. Untung saya belum sempat teriak. Cepat-cepat saya beri isyarat istri saya supaya membawa Dede masuk.


Malam hari kami lebih cepat menutup pintu dan mematikan lampu. Saya tahu Pak Michael pasti sedang uring-uringan. Saya menghindari pertengkaran. Masa bulan suci harus berkelahi karena soal kucing.


Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegor.


“Bulan Ramadan tidak boleh mengumbar emosi kan Pak RT?”


Pak RT tersenyum seperti kena sindir.


“Betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat.”


“Lho boleh?”


“Habis kalau nyolong melulu?!”


Saya tertegun.


“Siapa Pak RT?”


“Siapa lagi! Almarhum!”


“Almahum siapa?”


“Kucing yang Bapak bunuh itu.”


Saya tertegun. Pat RT tersenyum.


“Saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!”


“Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya.”


Saya tidak menjawab.


“Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya. Sekarang kita aman….”


“O ya?”


Pak RT senyum lagi.


“Ya.”


“Kalau begitu bagus dong.”


“Bagus.”


“Jadi kita aman sekarang. Tidak ada pencuri, tidak ada tai kucing?”


“Ya. Untuk sementara.”


“Sementara?”


“Untuk sementara.”


“Kenapa?”


“Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya.”


Saya terhenyak.


“Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?”


Pak RT tertawa.


“Tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur.”


“Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?!”


“Betul!”


“Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!”


“Betul.”


Saya tertawa.


“Kalau begitu kita cs Pak RT.”


Saya mengulurkan tangan. Lalu kami berjabatan.


“O ya, saya lupa,” kata Pak RT sambil merogoh kantungnya, lalu mengulurkan selembar kuitansi. Darah saya tersirap.


“Apa ini?”


“Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu, Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu.”


Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran Pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga. Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikkan yang kacau itu.


Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya sobek kuitansi itu di depan matanya. Perlahan-lahan menjadi potongan-potongan kecil. ***


.


.


Jakarta, 6 September 2009

.

Balikui

 Cerpen Putu Wijaya (Suara Pembaruan, 03 November 2002)

DI hadapan sekitar tiga ratus mahasiswa di Hunter College, New York, Wayan harus bercerita tentang Bali. Claudia Orenstein, pengajar teater Asia di perguruan tinggi negeri itu, meminta Wayan tampil sekitar satu jam.

“Boleh ngapain saja. Menari, menyanyi, menjelaskan sesuatu, membaca cerpen, yah apa sajalah, asal Bali,” kata Claudia.


Wayan jadi ngeper. Pertama bahasa Inggrisnya berantakan.


Membaca ia bolehlah, tetapi berbicara di depan orang-orang yang berbahasa Inggris, ia bisa mati kutu. Di samping itu, apa yang mesti diceritakannya tentang Bali. Dalam daftar buku wajib para mahasiswa tercantum buku yang sudah komplet menjelaskan Bali. Di antaranya buku Kaja-Kelod yang ditulis oleh Doktor I Made Bandem dan Doktor Fritz de Boer. Beberapa malam Wayan nyap-nyap. Ia mencoba membongkar-bongkar slide yang dibawanya. Itu bisa mengisi waktu sekitar seperempat jam. Kemudian mungkin ia akan memutar video pertunjukan sendratari Ramayana, kecak dance atau legong keraton.


Selanjutnya ia dapat menunjukkan beberapa gerakan tari Bali. Sisanya menjawab pertanyaan kalau ada. Tapi begitu berdiri di podium, melihat ratusan pasang mata menatapnya, ia jadi kelengar. Tidak hanya mata Amerika, juga ada mata Hong Kong, Jepang, Thailand, Filipina, bahkan terselip satu dua mata orang Indonesia. Rencana Wayan buyar. Semuanya berantakan.


“Saya minta maaf karena bahasa Inggris saya, bahasa hancur lebur. Tetapi barangkali karena itu saya terpilih berbicara di depan Anda semua. Karena paling tidak saya bisa menjadi tontonan konyol,” kata Wayan membuka kelas.


Para mahasiswa langsung tertawa berderai. Wayan terkejut. Ia tambah kecut hati, karena pengakuan jujurnya ditertawakan. “Waduh saya jadi grogi, maaf mungkin saya harus permisi ke belakang dulu,” kata Wayan sambil menoleh kepada Claudia yang ikut duduk di deretan mahasiswa, menembakkan kamera untuk dokumentasi. Para mahasiswa tertawa lebih keras.


Wayan jadi bingung. Akhirnya ia nekat. “Tapi kalau saya ke belakang, saya takut Anda ikut semua. Jadi lebih baik saya tahan saja, mudah-mudahan saja tidak kebablasan di sini di depan Anda.”


Para mahasiswa semakin seru ketawa.


“Maaf saya tidak melucu.”


Beberapa mahasiswa bertepuk tangan gembira.


“Lho sungguh. Sebagai orang Bali, saya tidak pintar berbicara, apalagi dalam bahasa Inggris. Terus-terang, sebenarnya tak ada yang perlu saya bicarakan kepada Anda. Anda sudah tahu semuanya. Coba apa yang tidak Anda ketahui? Tidak ada. Justru yang tidak saya ketahui, banyak sekali. Misalnya, lho kenapa Anda semua harus mendengarkan cerita orang yang tidak tahu seperti saya. Sebetulnya saya yang lebih pantas mendengarkan cerita Anda. Orang Bali yang harus banyak belajar dari orang Amerika.”


“Lihat saja dari kepala sampai ke kaki, saya sudah mencoba jadi orang Amerika. Saya memakai celana jins buatan Amerika. Sweater saya ini juga saya beli di loakan di sini. Dan tadi saya baru makan Burger King. Apalagi saya sekarang mencoba bicara dalam bahasa Inggris yang membuat saya sudah stres selama satu minggu. Tapi saya kok jadi tambah Balikui rasanya. Lucu kan?”


Wayan tertawa, menyangka apa yang dikatakannya lucu. Tapi tak ada mahasiswa yang ikut tertawa. Wayan jadi berkeringat.


“Ya, terus terang saya sudah habis-habisan mencoba menjadi orang Amerika. Tetapi sudah dua bulan di sini, makan, berpakaian, berbicara dan hidup seperti orang New York, tetap saja saya tidak pernah bisa berhasil jadi orang Amerika. Ternyata sekali saya lahir sebagai orang Bali, saya sudah dikutuk jadi orang Bali. Apa pun yang saya coba lakukan, berbohong atau menipu sekali pun, tetap saja masih bernapas, berjalan, berpikir, bekerja, tidur, pacaran, bahkan berak sekalipun, saya tetap berak orang Bali.”



Para mahasiswa tertawa. Wayan kembali heran.


“Jadi bukan pakaian, bukan makanan, bukan juga pikiran yang membuat saya menjadi orang Bali, tapi takdir. Dan saya tidak bisa memilih takdir. Saya dipilihkan. Saya pernah mencoba mengusut apa saja takdir saya itu yang menjadikan saya berbeda dengan Anda semua orang Amerika, termasuk juga Anda yang berasal dari belahan dunia yang lain. Tapi saya tidak berhasil menemukan jawabannya.


Saya hanya punya contoh. Waktu saya mendarat pertama kali di Amerika, bahkan datang pertama kali di New York sini, selama satu minggu, bahkan sampai satu bulan saya sulit membedakan kalian satu sama lain. Nampaknya kalian orang Amerika sama semua. Padahal rambut, tinggi, potongan badan, kelakuan, pakaian, nama serta usia dan watak kan lain-lain. Tapi sebaliknya juga terjadi pada turis Amerika yang datang ke Bali. Selama satu minggu atau sebulan, semua orang Bali buat mereka sama. Wayan semuanya. Jadi kalau begitu, pertanyannya adalah: apa yang sama pada semua orang Bali?”


Beberapa orang mahasiswa bergerak, siap menulis di atas catatannya.


“Maaf jangan ditulis, jangan percaya pada saya, siapa tahu saya bohong atau menipu kalian,” kata Wayan. Para mahasiswa tertawa cekakan.


Wayan kembali berkeringat. “Orang bilang, orang Bali itu balikui,” lanjut Wayan, “artinya lugu, polos begitu. Dalam bahasa Inggrisnya apa ya? Apa ya Claudia?”


Claudia mengucapkan satu kata. Tapi Wayan tak mendengarnya. Namun para mahasiswa mencatat.


“Banyak orang mencoba belajar kesenian Bali, tari Bali, gamelan Bali dan sebagainya, dengan meniru pakaian, langkah, gerak dan agemnya,” kata Wayan menyambung, “tetapi meskipun secara matematika sudah persis, benar begitu, selalu saja hasilnya kaku. Belajar gamelan dan tari Jawa juga sama saja begitu. Tidak pernah pas. Kadang berlebih-lebihan, kadangkala kurang. Masalahnya, saya kira karena mereka mencoba mendekati dari bentuknya. Ya tidak akan pernah klop.



Karena itu, mempelajari Bali, mengajarkan Bali, sebaliknya juga mempelajari Amerika dan mengajarkan Amerika, yang selama ini dimulai dari bentuknya saja, harus dihentikan. Takdirnyalah yang harus dipegang. Baru kalau itu dipahami, tanpa belajar pun Anda semua bisa menjadi penari Bali, dan tahu tentang Bali.”


Claudia memberi isyarat pada Wayan dengan menunjuk jam tangannya, tanda waktu sudah berlalu. Para mahasiswa berdiri siap-siap untuk pergi.


Wayan kontan berkeringat. “Lho, saya belum sempat lagi mulai, kok waktunya keburu habis? Ya sudah, maaf saja, sekian dulu,” kata Wayan menyesal, sambil memandang Claudia seperti orang kalah perang.


Para mahasiswa bertepuk tangan. *** Balikui.


.


.


Jakarta, 17-5-02

Guru (3)

 Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 04 Desember 2022)

SEORANG Profesor Doktor yang telah mengantongi berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri penasaran. Ia yang tetap masih ingin menambah ilmunya serta agar dapat meresapi lebih mendalam apa yang sudah dikuasainya, kecewa. Karena ia tak menemukan seorang guru lagi.

“Aku sudah mencari keliling dunia. Blusukan ke berbagai pelosok. Menghubungi hampir semua orang pintar. Tak terkecuali para dukun. Tapi hasilnya nihil,” keluhnya.


“Semua tak memenuhi persyaratan yang kuajukan. Padahal aku cuma minta mereka mengajukan satu pertanyaan. Satu saja. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Bahkan, kalau ternyata pertanyaan itu juga tidak bisa dijawabnya sendiri, tak apa. Siapa tahu nanti kami bisa patungan menjawabnya. Sesuai dengan jiwa gotong-royong kita.”


Setelah 5 tahun pecaharian yang sia-sia, ia mulai tidak sabar. Akhirnya pasang iklan.


“Dicari guru yang dapat memberikan pertanyaan yang tak bisa dijawab! Tawaran gaji sesuai kesepakatan”


Iklan itu menjadi viral. Ribuan orang mendaftar. Untuk menjaga agar tak ada masalah di belakang hari, Prof menunjuk 3 orang juri untuk menetapkan siapa yang pas jadi gurunya. Tapi apa lacur, ternyata tak ada hasilnya.


“Kami sudah mencoba melakukan penyaringan dalam tiga tahap,” lapor sidang juri. “Mula-mula menyisihkan mereka yang hanya coba-coba. Separuhnya gugur. Di babak kedua kami membersihkan mereka yang lihai dan cerdik serta tangkas bersilat lidah. Dua per tiga tumbang. Di tingkat final baru kami cecer pengetahuan dan kepribadian mereka. Ternyata jangankan nanti mampu membuat Prof mati langkah, menghapi kami saja mereka sudah swak. Jadi maaf Prof. Kami tak berhasil menemukan bibit unggul untuk mentor Prof. Tapi itu juga berarti Prof masih di puncak segala puncak kami. Selamat Prof. Dari lubuk hati kami yang paling dalam, kami mengucapkan salut! Bravo, Prof!!!!”


Prof mulai kesal. Ia uring-uringan di rumah


Semua jadi salah. Ia begitu kecewa.


“Bullshit! Kenapa kita semuanya sekarang jadi stereotype begini? Bebek bengil semua!


Mereka pikir aku senang dapat salut gombal begitu. Aku serius cari guru bukan untuk dinobatkan jadi Dewa di puncak Gunung Semeru yang setiap saat bisa disambar petir. Salah kaprah semua! Begini jadinya kalau tujuan hidup sudah tergiring ke satu arah untuk meningkatkan kenikmatan diri sendiri. Tai kucing semua! Semua!!!!!!!!”


Prof uring-uringan. Ngamuk di rumah. Semua disalahkannya dan dianggapnya palsu. Ketika Prof mau membuat konferensi pers dan memberi pernyataan sarkastik bahwa masyarakat sedang terserang kebodohan sehingga cepat atau lambat akan masuk ke lubang keruntuhan, istrinya langsung mendamprat.


“Jangan! Kalau setiap orang seperti kamu, tiap kali sembelit langsung menuduh masyarakat sedang mengalami keruntuhan moral, itu artinya kamu menyamakan masyarakat itu dengan kamu, Prof. Yang sakit itu bukan masyarakat tapi kamu. Yang tidak kamu tahu itu hanya kamu yang benar-benar tahu. Cuma kamu tidak mau tahu. Sebab kamu pikir kamu sudah tahu semua. Guru kamu hanya satu. Kamu sendiri. Tak ada orang lain.


Bukan karena tidak ada yang bisa tapi karena kamu sebenarnya tak mau tak ingin lagi belajar karena percaya kamu sudah tahu semua. Tahu?”


Prof terkejut. Istrinya tambah berani.


“Guru itu tidak selalu orang yang lebih pintar. Bukan juga selamanya orang. Tapi semua yang bisa membuat pencerahan agar mata telinga pikir dan rasa kamu lebih terbuka. Semakin ngeh. Aku istrimu, anakmu, bahkan pembantumu. Juga kucing dan burungmu bisa sekali tempo seperti guru, tapi bukan guru. Begitu juga sakit, penderitaan, amarah, sedih, kekecewaan dan seks. Termasuk musuh-musuhmu dan segala macam kejahatan. Semua itu bisa jadi guru. Itu bisa jadi guru kalau kamu gurukan. Yang paling pokok adalah, apakah kamu siap menjadi murid menerima pembelajarannya? Apakah nuranimu sendiri masih bisa terbuka? Kamu sendirilah guru kamu seumur hidup, Profesor Doktor!! Kenapa mesti pasang iklan mengundang wartawan mau bersaing dengan para Youtuber main judi konten?”


Profesor berteriak histeris


“Bravoooo!!!”


Istrinya terkejut.


“Bravo?”


Profesor berseru lebih keras


“Bravoooooooooooo!!!! Salut!!!!!”


Istrinya tambah bingung. Dan kemudian semakin percaya suaminya bukan orang yang dulu merayunya untuk hidup bersama, tapi seorang maniak. Tapi guru TK itu lebih kaget lagi ketika teman tidurnya setiap malam itu, berbisik:


“Lima puluh tahun aku menunggu kamu untuk mengucapkan semua itu, Sayang. Konsep guru kita harus direvisi total! Selamat Hari Guru!!”


Istri Prof tertegun. Ia sudah hapal betul semua tikungan dalam lubuk hati suaminya yang suka nyeleneh itu. Ia yakin suaminya akan tersenyum lalu berbisik sarkastik.


“Tetapi hati-hatilah menjalankan fungsi guru karena Mama bukan hanya guru TK tapi guru suamimu yang Profesor Doktor ini!”


Tetapi ternyata tidak. ***


.


.


Hari Guru 261122