Nama

Seorang utusan datang dan meminta agar saya mengganti nama. Masalahnya saya sedang dipromosikan untuk mendapatkan jabatan puncak. Kalau ingin mulus harus bertindak cepat.

"Kalau Bapak tidak mau mengganti nama sekarang, sulit sekali untuk memenangkan kompetisi menghadapi kandidat-kandidat yang lain. Mereka didukung oleh kekuatan yang menentukan."

Saya terhenyak. Berita itu agak membingungkan. Bagaimana tidak. Saya baru saja selesai memperbaiki pintu pagar dan mengganti papan nama. istri saya sudah menyisihkan uang belanja dan membeli sebuah papan vernikel. Sudah lama banyak orang mengeluh mencari-cari rumah saya. Dalam kawasan kami nomor rumah tidak bisa dipakai patokan. Tapi itu bukan alasan untuk menolak.

"Tinggal mengganti huruf o di belakang nama Bapak dengan huruf a sehingga bunyinya jadi netral. Itu akan banyak mengubah dukungan suara. Tidak sulit kan?"

Memang tidak sulit. Karena meskipun diganti dengan huruf a, bisa saja dibunyikan o. Tinggal mencopot papan nama itu dan minta pengertian dari istri. Bahwa ada hal-hal yang lebih prinsip, yang jauh lebih penting yang harus diperhatikan. Bukankah semua itu juga untuk kebaikan masa depan?

Tetapi saya menjawab : tidak.

"Tidak mungkin. Saya tak bisa mengganti nama saya. Lebih baik saya tidak usah dipromosikan. Atau tidak menang dalam kompetisi, tidak apa, daripada mengganti nama."

Utusan itu terkejut. Ia tak percaya apa yang ia dengar.

"Tetapi ini sudah diputuskan."

"Sudah diputuskan?"

"Benar. Kami yang mencalonkan Bapak, sudah berunding. Ini jalan satu-satunya. Kami harap Anda mengerti. Kedudukan itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Anda bertugas untuk merebutnya. Ini posisi yang amat strategis, Anda sudah kami tugaskan untuk mengupayakan merebutnya."

"Saya tidak keberatan untuk tugas itu. Tapi kalau harus mengganti nama saya tidak bisa."

Utusan itu memandangi saya dengan heran. Ia terdiam beberapa lama. Setelah ia menarik nafas panjang dan berdiri.

"Baiklah, jangan menjawab sekarang. Pikirkan saja apa yang kami minta itu dengan tenang. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Kita tidak boleh hancur karena masalah-masalah yang kecil. Besok kita bicarakan lagi."

Ia mengulurkan tangan. Saya sambut tangannya dan sekali lagi menegaskan bahwa apa pun akan saya lakukan, kecuali mengganti nama.

"Masalahnya, nama itu buat saya bukan main-main. Itu diberikan oleh orang tua saya. Nama itu sudah merupakan bendera kehormatan saya. Saya tidak pernah berani mengubahnya. Bahkan dulu ketika sakit-sakitan dan dukun menyuruh saya tukar nama, saya tetap membangkang. Mati pun saya sanggup untuk mempertahankan nama, apalagi cuma kehilangan kedudukan."

Utusan itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tetapi anggukan itu tidak berarti ya, itu isyarat tanda tidak setuju. Bahkan kemudian ia memberi saya beberapa instruksi untuk mempelajari beberapa sopan santun pimpinan. Seakan-akan saya memang akhirnya akan mau mengubah nama.

"Tata cara itu nanti akan sangat berguna, supaya tidak kagok kalau sudah menduduki kursi pimpinan," bisiknya.

Suaranya begitu percaya bahwa saya tak akan mungkin berani kehilangan kursi pimpinan, hanya karena soal mengganti nama. Itu karang aja namanya.

Sebelum menjalankan mobilnya, ia mengulurkan sekotak kartu nama. Isinya nama saya yang sudah diganti menurut ejaan yang tadi dianjurkannya. Saya langsung hendak membantah, tetapi kaca jendela mobil terkatup. Lalu kendaraan itu meloncat pergi.

Dengan kartu nama di tangan, saya masuk ke rumah. Istri saya tari ke kamar untuk membicarakan apa yang sudah terjadi. Saya minta dukungannya. Agar ia membenarkan sikap saya menolak ganti nama.

Tetapi seperti yang sudah saya duga, istri saya menentang. Malah saya dianggap goblok.

"Bodo! Cuma ganti o menjadi a, apa salahnya. Apa bedanya. Orang juga biasa membaca a menjadi o. Kan tidak ada yang berubah?"

Saya menghela nafas. Istri saya mengira saya akan membantah, ia langsung menyemprot saya dengan kuliah panjang, agar mental saya hambruk.

"Banyak orang yang dulu namanya ditulis pakai ejaan lama : oe, kemudian diubah menjad u. Juga banyak yang tadinya pakai dj diubah menjad j. Begitu juga yang pakai j lalu jadi y. Bintang film Mieke Wijaya juga dulu mengubah nama. Begitu juga Rudy Hartono. Orang-orang besar saja berani ganti nama, mengapa kamu keberatan. Kan itu semua untuk kebaikan? Lihat artis-artis itu. Kalau mereka tidak ganti nama, tidak akan komersil. Mengapa mesti fanatik kepada nama. Nama kan tidak mengubah apa-apa. Kamu tetap kamu meskipun namamu berubah. Apa salahnya? Apalagi hanya mengubah o menjadi a. Sudah, cepat telepon, bilang minta ma'af. Pakai a mulai besok, jangan o lagi!"

Saya tidak biasa mendebat apa yang dikatakan istri saya. Saya hanya mendengarkan. Tetapi mendengarkan dan tidak mendebat tidak berarti setuju. Dia juga tahu sekali, kalau saya diam, berarti saya tetap akan melakukan apa yang sudah saya putuskan. Saya terima semua argumentasinya. Tapi saya tetap menolak untuk mengubah nama.

Anak-anak saya mencoba ikut menyumbangkan pikiran. Mereka mengatakan bahwa mengubah nama itu tidak selamanya berarti kelemahan apalagi kekalahan. Atau tanda tidak punya pendirian.

"Hakekat sebuah perubahan adalah penyesuaian kepada keadaan. Jadi itu urusan strategi, sifatnya taktis. Justru kalau kita lentur untuk mengadakan perubahan-perubahan tandanya kita dapat mengantisipasi segala masalah dengan pas. Bapak tidak usah terlalu sensitif. Ini bukan masalah filosofis, ini masalah efisiensi dan efektivitas saja, masalah praktis, Pak."

Pendapat anak-anak saya itu langsung saya gebrak dengan mata melotot. Sebagai senior mereka, saya tetap punya keyakinan betapapun pintarnya mereka, saya tetap lebih berpengalaman. Saya tetap lebih tahu banyak tentang hidup dari mereka. Begitu ibunya masuk kamar, langsung saya damprat.

"Apa tahu kamu tentang efisiensi dan efektivitas. Kamu hanya meniup-niup teori. Ini kenyataan, bicara soal kenyataan, semua itu sudah aku makan puluhan tahun. Aku ahli tentang perjalanan hidupku dan jauh lebih tahu apa yang harus aku lakukan daripada kamu. Diam!"

Saya tidur menyendiri malam itu di sofa ruang tamu. Tak mau dipengaruhi oleh apa pun. Saya ingin mengendapkan diri. Saya tidak mau lagi dipengaruhi dan ditentukan oleh apapun. Bertahun-tahun saya bermimpi untuk menjadi pemimpin. Kini cita-cita itu sudah ada di depan hidung saya. Sebagai calon pemimpin saya mesti punya sikap. Punya keteguhan. Serta berani mengambil resiko bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemimpin harus rela berkorban. Termasuk rela mengorbankan kursi kepemimpinan --kalau perlu-- demi kepemimpinan itu sendiri.

Esok harinya, dalam rapat khusus dengan para pembina yang menuliskan skenario karir saya, saya siap untuk mengatakan tidak. Tetapi katupan mulut saya itu agaknya terbaca. Begitu saya mau pasang kuda-kuda, pimpinan lebih dahulu tersenyum.

"Tidak perlu mengganti o dengan a," katanya sambil menepuk-nepuk.

Saya jadi lega.

"Terima kasih."

"Tetapi...," pimpinan saya menggeleng.

Saya kembali cemas.

"Saudara tidak bisa hanya mengganti o menjadi a. Saudara harus punya huruf mati di akhir nama saudara. Terserah mau memakai nama yang lama plus satu atau dua huruf mati, atau mengganti dengan nama lain, asal tetap harus pakai satu atau dua huruf mati."

"Kalau begitu tetap harus mengubah nama, Pak?"

"Bukan mengubah tetapi... menyempurnakan. Tidak ada yang diubah, hanya sekedar dikembangkan agar sempurna."

Saya kontan mau membantah, tapi beliau cepat-cepat bicara dengan orang lain, sehingga saya tak punya kesempatan. Utusan yang kemarin datang ke rumah saya kemudian menyodorkan secari kertas. Saya harus berkenan membubuhkan nama yang saya pilih, karena akan segera dipesankan kartu nama, KTP dan paspor.

"Ingat harus berakhir dengan huruf mati. Karena nama seorang pemimpin akan sering dikutip serta diucapkan, jadi harus prima. Mantap kelihatan dan enak didengarkan. Masak nama pemimpin sama dengan nama Kromo atau Kroco atau Loyo. Itu kan dapat memberikan efek negatif!"

Saya membantah. Tapi utusan itu melambaikan tangannya, tanda bantahan apa pun yang saya ucapkan sia-sia. Karena memang bukan dia orangnya yang memberi kata putus.

Terpaksa saya tutup mulut, menerima saja formulir itu, lalu pulang. Begitu sampai di rumah, saya tarik kembali istri saya ke dalam kamar. Saya paparkan semuanya. Apakah layak seorang pemimpin, seorang calon pahlawan, tokoh masyarakat mengorbankan nama yang diwariskan oleh leluhur, hanya untuk mendapatkan kursi?

Istri saya serta-merta menjawab:

"Pantas dong! Habis siapa lagi yang harus berkorban kalau bukan pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang memikul kepentingan warga, orang yang bekerja untuk orang banyak. Segala sesuatu yang bersifat pribadi, apalagi hanya kebanggaan pribadi harus berani dikorbankan. Apalagi hanya nama. Pemimpin tidak perlu nama, seorang pemimpin hanya perlu berbakti kepada tugas-tugas dan kepentingan rakyat. Jangankan nama, nyawa pun harus diganti kalau perlu!"

Kata-kata istri saya terasa mengandung seratus porsen kebenaran, kalau saja tidak ditujukan kepada saya. Kalau ia mengumpat begitu kepada orang lain, saya kontan akan mem"back-up". Tetapi karena saya yang disemburnya, urusannya jadi lain. Kata-kata itu terlalu bombastis. Terlalu menggeneralisir. Isinya nampak benar, namun prakteknya penuh dengan kesalahan. Kenapa. Rakyat kan bukan dewa. Rakyat yang buta adalah sekumpulan bebek yang beriring-iring mencari makan. Dia harus digembalakan dengan pikiran waras. Nah, kalau saya pemimpinnya tidak waras, bagaimana nanti nasib orang-orang yang saya gembalakan itu?

Nasihat istri saya, rationya saya terima seratus porsen. Tetapi saya anggap tidak perlu dilaksanakan, karena kebenaran saja tidak cukup. Kepatutan lebih diperlukan dalam kasus saya ini. Nanti kalau waktunya sudah tepat, baru kebenaran yang berbahaya seperti itu bisa dipraktekkan.

Kertas formulir penyempurnaan nama itu saya robek. Robekannya saya bakar. Ide penggantian nama semacam itu harus disikapi dengan keras. Dibasmi seketika. Kalau kita lembek, ide itu akan membunuh setiap saat. Sama dengan PKI malam atau OTB.

Kalau pemberontakan saya untuk menolak menyempurnakan nama dianggap sebagai tindakan "mbalelo", tidak apa. Seorang pemimpin adalah seorang pemberontak yang menerobos ke depan, mula-mula untuk dirinya sendiri. Agar tercipta lubang yang bisa dilalui oleh masyarakat yang harus dibimbingnya. Saya siap menerima apa pun resikonya. Paling juga digeser.























Erosi


1
SETELAH SEPULUH TAHUN DI JAKARTA, BUDI berhasil memiliki telepon di rumahnya. Perjuangan yang cukup pendek, mengingat banyak orang seumur hidupnya di ibukota, jangankan punya telepon, makan saja berantakan.
Memiliki telepon berarti memiliki sebuah rumah terlebih dulu. Tapi sebuah rumah tak terlalu menuntut sebuah telepon seandainya tak ada kepentingan terlalu mendesak yang tak mungkin terselesaikan dengan kecepatan mobil. Dari sudut itu, orang boleh bilang Budi sudah berhasil. Jadi sudah sepantasnya, seluruh keluarganya di seberang bangga pada lelaki yang gigih dan teliti ini.
Walhasil baru setelah memiliki rumah, mobil dan urusan yang mendesak-desak, Budi memutuskan dan berjuang untuk memiliki telepon. Tapi untuk itu, sebagaimana juga selalu dilakukannya kalau membeli barang-barang baru, ia harus membuat pledoi yang panjang. Semacam upacara pembersihan. Untuk menenangkan perasaannya sendiri dan perasaan orang tua serta sebagian besar keluarganya yang masih menderita di seberang.
“Telepon buat saya bukan barang mewah, tetapi alat untuk bekerja, seperti sepeda atau pacul. Jadi masalah efektivitas dan efisiensi. Sebagaimana juga mobil dan rumah, atau kulkas, mesin cuci dan sebagainya, termasuk sound system, video, televisi maupun radio. Dulu itu merupakan kebutuhan sekunder, tapi sekarang dalam konteksnya dengan profesi saya, itu jadi primair. Kenapa? Dengan memiliki rumah, ketenangan terjamin dan biaya jatuhnya lebih irit, meskipun memang waktu membeli beratnya bukan main mengingat harga rumah di Jakarta seperti setan,” kata Budi kepada lima orang keluarganya yang kebetulan datang ke Jakarta.
Keluarga Budi yang baru pertama kali ke Jakarta untuk mengantarkan anaknya mencari sekolah itu, manggut-manggut tulus. Mereka berusaha untuk membenarkan apa saja yang dikatakan oleh tuan rumah, karena mereka merasa menumpang hidup beberapa hari. Tapi Budi tak suka melihat basa-basi itu. Ia terus mencoba memberikan penerangan. Ia ingin mereka benar-benar mengerti posisi dan sikap hidupnya, sehingga nanti dapat bercerita akurat kalau pulang.
Seperti kata istri Budi, “Supaya keluarga di rumah jangan mengharapkan yang tidak-tidak, agar mereka tahu, hidup kami di Jakarta masih terus terancam sehingga membutuhkan perjuangan, jadi kalau kami kurang ada waktu memperhatikan keluarga di daerah, jangan menyangka kami sudah lupa kepada mereka, karena kami sendiri sedang sibuk menolong diri kami untuk tetap hidup.”
“Telepon, sebagaimana juga mobil,” kata Budi melanjutkan, “adalah perangkat hidup di kota. Dengan telepon kita mengunjungi orang lain, membuat perundingan, atau saling sapa-menyapa. Karena kalau datang langsung mungkin kita tak punya waktu atau mereka yang tak punya waktu dengan kita. Lagi pula dengan telepon, karena kita tidak melihat muka masing-masing, kita bisa lebih bebas bicara. Kadang-kadang banyak urusan sulit bisa diselesaikan lewat telepon, karena kata orang lewat pesawat telepon biasanya pikiran bisa lebih cepat disampaikan, karena suaranya langsung dekat dengan otak. Lho, ini tidak main-main, banyak buktinya, kok.”
Semua tertawa. Budi menoleh istrinya, tapi wanita itu membuang muka.
“Maaf saya melucu sedikit,” sambung Budi cekatan, “supaya jangan terlalu tegang, silahkan makan kuenya. Ada yang mau nambah kopi? Atau mau coba minum bir? Ambil saja di kulkas, tak usah sungkan-sungkan, anggap saja di rumah sendiri. Di situ juga ada rambutan atau apa begitu, ambil saja. Tapi kembali pada soal telepon, ini sama sekali bukan barang mewah, seperti kalau kita punya pesawat telepon di pedalaman sana. Di kota seperti Jakarta ini telepon penting sekali. Penting saya katakan, karena bukan saja dengan satu atau dua juta rupiah yang kita keluarkan untuk mendapatkan nomor telepon, kita dapat melancarkan urusan-urusan lain kemudian hari yang mungkin nilainya jauh lebih mahal. Tapi juga dengan mengetahui rumah kita berisi telepon orang mau tak mau sedikit memperhitungkan diri kita. Semacam gertak begitu. Ha-ha-ha.”
Semua ikut tertawa. Kecuali nyonya rumah. Ia pura-pura tak mendengar.

“Saya tidak melucu. Di masyarakat seperti Jakarta ini, gertak-gertak begitu semacam perangkat hidup yang mutlak. Kekayaan menjadi kebutuhan hidup bukannya kemewahan. Itulah yang menjadikan kegunaan barang-barang berbeda. Telepon misalnya harus selalu menunjukkan kegunaannya, karena kalau tidak, ia akan menggerogoti. Karena itu pesawat tidak kami bebas pakaikan pada anak-anak kami seperti orang-orang lain. Karena telepon bukan untuk main ngobrol-ngobrol kosong tapi untuk senjata hidup. Karena kami bukan orang kaya. Segala sesuatu harus dilihat dengan teliti berguna atau tidak. Banyak barang-barang berguna yang kemudian justru menjadi barang kemewahan yang memboroskan uang, karena kita tidak tahu mempergunakannya. Misalnya kamera. Banyak orang membeli kamera mahal, tetapi tidak dipergunakan, hanya untuk menghiasi rumah. Itu namanya mencari status sosial. Tapi coba lihat, fotographer tetangga kita itu misalnya, namanya Ali, meskipun rumahnya sederhana, tetapi dia memiliki beberapa kamera lengkap dengan segala macam ukuran lensa, bahkan dia punya alat untuk developing, yang harganya total puluhan juta. Tapi semua dia pergunakan untuk mencari nafkah, jadi bukan barang mewah. Ya seperti telepon saya ini sedikit banyak. Harganya dan kegunaannya membuat dia jadi barang murah. Itu yang biasanya tak diketahui oleh orang lain, sehingga begitu mendengar kami pasang telepon, semua kasak-kusuk mengatakan kami kaya. Ck-ck-ck!”
“Benar,” sambut istri Budi, “seperti waktu kami beli mobil dulu, semua menyangka kami ini kaya. Padahal mobil itu dibeli untuk kepentingan kerja. Masak kemudian ada yang mau pinjam untuk piknik. Ada juga yang mau pinjam untuk menjenguk keluarganya di bilangan Kebayoran. Lho mbok ya naik taksi atau naik bus. Ini mobil dibeli kan bukan untuk senang-senang tapi untuk kerja. Coba pikir, tetangga itu selalu begitu. Hanya melihat kulit saja. Dibaikin ngelunjak, dijauhin kita dianggap kita tak mau bermasyarakat. Bukannya tak mau, tapi bagaimana kalau hanya akan membuat salah paham. Wong kita juga masih susah mengurus anak mau sekolah, biaya ini, biaya itu, mereka malah melihat kita seperti bank. Susah deh hidup di sini. Ya kan pah?” Budi nyengir.
“Ini juga seperti waktu kami beli kulkas kami yang kedua, dulu. Ya kulkas itu kami beli karena kami tidak ingin setiap hari ke pasar, jadi menghemat tenaga begitu. Lho kok ada tetangga yang datang minta dibuatkan es mambo di sini. Itu lho, sirup warna-warni yang ditaruh di dalam plastik kecil-kecil, tahu, kan? Ya itu. Ya mula-mula kami terima. Tapi kemudian kok setiap hari minta dibikinin es mambo. Saya jadi curiga. Setelah dicek, lho es mambonya dijual. Curang nggak. Lucunya anak saya malah ada yang beli es mambo di ujung jalan itu, padahal esnya dari sini, curang kan?!”
Para tetangga menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
“Betul lho. Saya jadi marah. Tapi ya bagaimana? Mau menolak susah, dikira tidak mau bermasyarakat. Akhirnya kami bilang saja kulkas rusak. Tapi dasar nekat, orangnya tak percaya, mereka datang pura-pura mengantar kue kemari. Ya terpaksa kulkas kami matikan satu minggu. Baru sesudah mereka lihat kami beli es batu tiap hari, mereka kapok. Belakang kami lihat suaminya pulang membawa kulkas. Rupanya dia keki, mau menunjukkan gigi. Boleh saja. Itu malah baik. Kami yang ikut senang. Dia lalu meneruskan jual es mambo dengan kulkasnya sendiri. Malah di pintu rumahnya dipasang mereka es mambo berdikari, begitu. Ya kami tak keberatan, asal dia pakai kulkasnya sendiri. Tapi satu bulan kemudan dia mulai mengeluh, karena tagihan listriknya melonjak. Belum lagi tetangganya sendiri kemudian datang minta dibikinin es mambo. Persis seperti ketika mereka dulu minta dibikinin es di sini. Ha-ha-ha. Nah baru dia pusing tujuh keliling. Tak lama kemudian kulkasnya dijual lagi kepada tetangga yang lebih mampu. Nggak tahu apa pemilik baru itu kemudian juga mengkaryakan kulkas itu dengan es mambo. Ha-ha-ha. Ya kami tak ada waktu mengikuti semuanya. Lain dengan kalau kita di pedalaman, apa-apa kita kuntit terus, karena tak ada kesibukan lain. Di sini segalanya secukupnya saja diperhatikan. Jadi itu lho, jangan dikira barang-barang ini kemewahan, tidak, ini kan kebutuhan hidup. Just a tool, kata orang.”
“Kembali pada telepon,” potong Budi mengembalikan pokok pembicaraan, “waktu mereka tahu di sini ada telepon wah lucu-lucu kejadiannya. Kita sering terpaksa bangun pagi-pagi buta atau tengah malam, karena ada yang mau nelpon atau dapat telepon. Tanpa permisi-permisi lagi banyak tetangga yang memasang nomor telepon kami sebagai tempat kalau ada yang mau kirim pesan. Kalau ada yang sakit atau ada yang meninggal, tiba-tiba telepon mereka semua jatuh kemari. Waduh kami jadi amburadul. Jadi kami lebih banyak mengurusi keperluan orang daripada mengurusi keperluan sendiri. Kalau anak-anak sendiri yang mau pakai telepon sembarangan, kami bisa larang, tapi kalau tetangga ya kami sungkan. Habis ngakunya penting, padahal cuma mau gombal-gombalan janjian nonton bioskop. Kacau deh! Apalagi kalau giliran. Akhirnya kami beli boks koin, jadi setiap ada yang mau pakai telepon kami, harus bayar. Tapi … hal itu justru akan bikin kami tambah pusing. Bagaimana tidak. Langsung besoknya rumah ini seperti kantor telepon umum. Nggak pernah sepi. Kalau masih satu dua yang kita kenal sih nggak apa. Eh, lebih banyak datang para pembantu yang mau nelpun pembantu lain lalu ngobrol sampai satu dua jam. Kita bukan saja terganggu tapi juga sebel. Lihat aksinya waktu nelpun melebihi nyonya-nyonya gedean. Di tangannya pasti sudah ada segenggam coin. Kami tersiksa betul mendengar obrolannya yang murahan.”
“Masak banyak yang gombal-gombalan dengan tuan rumah. Makanya langsung saja kami bilang rusak!” sambung istri Budi ketus, “di depan dipasang telepon yang rusak, jadi tak ada lagi yang bisa pakai. Telepon yang bener kami umpetin di dalam kamar. Tapi ini rahasia, jangan bilang-bilang sama mereka, nanti kita dilemparin batu. Habis bagaimana lagi. Setelah dibilang rusak-rusak begitu, baru mereka sadar. Habis telepon umum kan ada di ujung jalan situ, ya jalan sedikit ke situ, masak telepon pribadi yang dirusuhi. Itulah mental bangsa kita. Selalu merasa hidup orang lain lebih enak, lalu maunya ngerecoki. Ini kan telepon untuk bisnis. Nah kalau sudah dikerasin sedikit seperti itu, baru diam, tak berani lagi pinjam-pinjam sembarangan. Memang hidup di Jakarta ini harus berani tegas-tegasan, kalau tidak wah, susah. Beda dengan di daerah. Beda sekali. Silahkan. Silahkan makan kuenya lagi!”
Semuanya menggeleng-geleng sambil mengucapkan terima kasih dan menunjuk perutnya tanda kenyang. Setelah mendengar berondongan moral hidup ibukota, orang-orang dari daerah itu merasa seperti tak punya selera. Mereka jadi kikuk dan segan, kalau-kalau menyalahi aturan.
Budi mencoba memecahkan suasana tegang itu. Dengan demonstratip ia meraih kue-kue dan melahapnya dengan buas, seakan-akan ingin mendorong keberanian orang-orang itu untuk mengganyang suguhan. Istrinya melengos lagi karena biasanya suaminya itu sama sekali tak suka kue.
“Ayo ganyang lagi,” kata Budi dengan mulut penuh kue. “Jadi semuanya barang-barang yang ada di sini boleh dikatakan terpaksa harus dibeli karena diperlukan. Televisi dan video misalnya sebagai contoh. Dengan menyewa sebuah film video seribu rupiah, seluruh keluarga sudah bisa nonton. Sedang kalau nonton bioskop seribu satu ribu buat satu orang, karcis saja belum cukup. Belum pengangkutan dan beli minum. Jadi dengan perhitungan semacam itu, segalanya lalu kami coba adakan di sini karena kami sadar betul bahwa kami ini miskin.”
“Betul,” potong istri Budi, “kalau kata orang kami ini kaya, kami tidak perlu beli rumah. Tinggal saja di hotel, atau di apartemen mewah yang sekarang banyak dibangun, seperti di hotel Hilton di Senayan atau di Ratu Plaza itu. Mewah dan tak usah repot membersihkan. Tak usah punya mobil. Naik taksi saja ke mana-mana. Nyuci, masak juga tak usah, bawa saja ke penatu dan beli makanan di restoran. Sekarang ini kalau ada uang apa saja gampang. Tapi karena kita tidak punya uang, terpaksa kita harus membeli semuanya untuk kebutuhan kita, supaya lebih murah, ya kan begitu? Kalau tidak pintar-pintar begitu nggak bisa, wah susah hidup di Jakarta ini.”
Kembali semuanya nyengir. Budi cekakakan sendiri, mencoba terus mengencerkan suasana, tapi tak berhasil.
“Jadi karena sadar akan kemiskinan kami, terpaksa kami beli semuanya ini,” ulang istri Budi kembali dengan suara jelas seakan-akan ia ingin agar setiap yang hadir mematri itu di kepalanya, “segalanya ini adalah perangkat hidup. Mahal sekali, kami sampai jatuh bangun untuk membelinya. Karena itulah sampai sekarang kami masih tetap hidup prihatin. Ya secukupnya, seadanya saja. Seperti inilah. Orang sudah punya rumah di Pondok Indah, di Simprug, di Bumi Serpong, kami masih saja di sini karena segalanya serba susah. Ingin sebetulnya membeli apa-apa di kampung atau membelikan ibu dan bapak apa-apa, sebagai balas jasa mereka membesarkan kami dulu. Tapi begitulah, kami masih sedang berjuang supaya bisa tegak. Mudah-mudahan nanti kami bisa berbuat sesuatu. Sekarang kami benar-benar sedang prihatin ini. Betul nggak Pak?”
Semuanya mengangguk. Ketika salah seorang menguap, yang lain ikut menguap. Lalu mereka minta diri untuk tidur. Budi dan istrinya menawarkan agar mereka ikut nonton film video silat yang baru saja dipinjam. Tapi semuanya memilih mundur ke dalam kamar, supaya beristirahat.
“Tapi video ini sengaja dipinjam untuk dilihat sama-sama, kalau cuma dilihat beberapa orang kan rugi kita. Listriknya itu lho, ayo nonton dulu!”
Mereka bisik-bisik. Akhirnya semua setuju untuk nonton dulu sebelum tidur. Mereka tak tega menerima desakan tuan rumah.
Ketika semua mulai merubung pesawat televisi, sementara tuan rumah menyiapkan kaset video, Susy anak Budi yang paling tua mendekati pesawat telepon, Budi langsung melirik.
“Mau nelpon siapa Susy?”
Susy yang sudah mengangkat gagang telepon menjawab acuh tak acuh. Suaranya tak jelas.
“Susy! Kalau mau nelpon kawan-kawan kamu urusan nonton pakai telepon umum saja di sana!”
Sekarang Susy tercengang. Ia menatap bapaknya seperti tak percaya.
“Apa Pah?”
“Urusan hura-hura pakai telepon umum! Ini pesawat untuk kerja!”
Susy tercengang, langsung membanting telepon itu.
“Ada apa sih di rumah ini sekarang? Kampungan!”
“Susy!”
Tapi Susy sudah kabur sambil menggerutu.
2
SELURUH RUMAH SUDAH TIDUR, kecuali Budi. Ia duduk di ruang tengah menunggu Susy kembali. Anak itu sangat berbeda dengan anak gadis yang dibawa keluarganya untuk mencari sekolahan di Jakarta. Susy anak ibukota. Produk baru. Tingkah laku Susy juga amat berbeda dengan tingkah laku anak-anak di masa Budi remaja di kampung.
Susy memberontak terhadap apa saja. Ia benci kepada seluruh dunia. Dia merasa berhak berbuat segalanya. Kadangkala Budi sendiri takjub menghadapi perkembangan Susy. Kendati mengaku sanggup tatanan nilai hidup modern—sebagaimana yang telah diceramahkannya tadi—menghadapi manusia produk modern seperti Susy, ia kewalahan.
“Kamu sih yang selalu bikin gara-gara!” damprat istrinya di kamar tadi, setelah selesai nonton televisi. “Masak anak pegang telepon saja tidak boleh. Barangkali urusan penting. Ngabur deh sekarang. Ntar kalau tidak pulang, jangan dibiar, harus cari sampai ketemu. Sekarang banyak kasus anak hilang, nanti seperti Christine. Jangan seenak perut kamu Pah!”
Budi meraih majalah dari bawah meja. Ketika ia hampir tenggelam dalam kisah nyata tentang seorang ibu yang melahirkan anak dari benih lelakinya sendiri, salah seorang saudaranya dari kampung keluar mencari kamar kecil. Budi cepat melempar majalah itu, lalu meraih tas kantornya dan mengeluarkan map-map. Ia pura-pura asyik bekerja. Pura-pura tak mendengar saudaranya itu menyapa, mengucapkan selamat tidur. Sampai kemudian pundaknya dicolek.
“Sudah malam, kenapa tidak tidur. Jangan terlalu keras bekerja, nanti sakit.”
Budi pura-pura terkejut.
“Oh tak apa. Ini sudah biasa. Tidur sajalah, saya mau menyelesaikan ini dulu. Silahkan tidur saja.”
Saudaranya itu menggeleng-gelengkan kepala sambil melirik ke map-map bertumpuk di depan Budi dengan rasa kagum.
“Begitu rupanya tiap malam, makanya tak sempat pulang.”
Budi tersenyum, pura-pura tak terdengar, lalu meneruskan bekerja. Mukanya kelihatan berseri-seri dan dadanya berdebar karena senang. Ia juga masih mendengar bagaimana saudaranya itu bisik-bisik dalam kamar. Bahkan sempat diliriknya pintu terkuak sedikit dan saudaranya yang lain mengintip keluar. Budi makin tekun mencoret-coret.
Kemudian telepon berbunyi. Budi melonjak, langsung mengangkatnya sebelum sempat berbunyi untuk kedua kalinya.
“Susy?!”
Terdengar suara tertawa di sana.
“Siapa ini? Mamang ya!”
Budi menggerutu. Dengan segan ia meladeni kawan lamanya itu ngobrol. Kemudian ia menguap dan mengaku lelah. Tapi kawannya itu masih tak mau melepaskannya. Setengah jam kemudian baru dibiarkannya Budi meletakkan gagang telepon. Budi menghempaskan punggungnya kembali ke kursi. Ia menyesal mengapa tak mengikuti anjuran Amak. Sekarang ia banyak menerima telepon dari kawan-kawannya yang hanya ingin ngobrol.
“Punya telepon berarti memasuki hidup baru, ada suka dukanya,” kata Amak menasehatinya ketika ia belum memiliki telepon. “Sukanya tak usah diceritakan, alami saja nanti sedikit demi sedikit. Tapi dukanya, harus diketahui supaya tidak usah mengalami. Telepon itu ular di dalam rumah yang membelit kita dengan macam-macam kesulitan. Karena itu: jangan memberikan nomor telepon kepada semua orang. Jangan mencantumkan nama di buku telepon. Ini untuk ketenangan kamu sendiri. Itu syarat utama. Selanjutnya kalau terima telepon tanya dulu siapa yang bicara. Kalau orang itu ganti bertanya, jangan mengatakan siapa kamu. Ini untuk menjaga supaya tak usah bicara dengan orang yang tak kamu sukai. Paling tidak kalau ada yang mencari kamu, lebih baik kalau umumnya bilang tak ada, kecuali kalau kemudian ternyata orang itu berguna untuk kamu. Sementara itu kalau menghubungi orang ingat, orang ingin menghubungi itu pasti ada meskipun orang yang menerima telepon mengatakan ia tidak ada di tempat. Kalau memberikan pesan, berikanlah pesan sebagaimana kamu bicara kalau dia itu ada di sekitarmu. Mungkin dia ikut mendengarkan suaramu dengan pesawat lain. Jadi ….”
Telepon berdering lagi. Budi membiarkannya sampai berdering tiga kali, baru mengangkatnya.
“Hallo!”
“Hallo, ini Papa ya?!”
Sebelum Budi sempat menjawab, Susy langsung menyerang.
“Papah, Susy nggak ngerti mengapa Papa tidak boleh pakai telepon. Gara-gara saudara-saudara dari kampung itu, semuanya jadi brengsek. Suruh mereka pulang cepat. Susy tidak mau pulang sebelum mereka pergi!”
Ceklek.
Budi langsung menelepon sebuah nomor. Ia tahu Susy pasti ada di rumah pacarnya. Tepat.
“Susy, Papa ini sedang pusing memikirkan pekerjaan. Kalau orang pusing, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya, seperti Papa Mary juga kan. Tapi Papa kan tidak sampai main pukul seperti Papanya Mary itu, kan?! Papa hanya minta jangan memakai telepon di depan tamu. Ini maksud Papa supaya tamu-tamu kita mengerti bahwa telepon itu adalah alat untuk bekerja. Ngerti nggak maksudnya. Kalau tidak bagaimana kalau mereka nanti pakai telepon kita seharian. Namanya orang dari daerah, belum biasa lihat telepon. Kalau ada telepon pasti akan mereka pakai terus. Ngerti nggak?”
Susy membantah. Percakapan jadi seru. Setengah jam lamanya Budi berdebat dan membujuk. Setelah satu jam baru Susy dapat ditaklukkan. Ia tidak jadi minggat. Ia akan pulang pakai taksi, dengan syarat ia boleh memakai telepon kapan saja dan nelpon ke mana saja, dalam waktu yang tak terbatas.
Budi menarik nafas dalam-dalam. Dadanya plong ketika meletakkan gagang telepon. Ia tak perlu mondar-mandir ke seluruh kota, menelpon sederetan nama mencari Susy, sebagaimana biasanya. Ia merasa hidupnya sudah seperti pelawak.
Sebuah suara berat terlempar dari samping.
“Ck-ck-ck, jangan terlalu berat bekerja. Ini sudah malam.”
Budi terkejut, lalu menoleh. Di sana tamunya yang tadi ke kamar kecil. Ia tersenyum menggeleng-geleng kagum.
“Jadi Jakarta begitu ya? Sampai malam masih terus urusan bisnis. Kasihan. Pantas saja punya telepon. Tapi jangan sampai terlalu capai. Tidurlah sedikit, sudah malam. Besok lanjutkan lagi usahanya.”
Budi tersenyum langsung memutar lagi nomor. Bicara keras-keras, padahal tidak ada lawan bicaranya.
“Alung ya? Bagaimana surat-suratnya sudah beres? Permintaannya harus banyak menunjukkan referensi yang masuk akal. Sebab di dalam lokakarya nanti ada ….”
Saudara Budi yang dari kampung itu menggeleng-gelengkan. Ia melangkah ke kamar sambil berbisik, “Kasihan.”
3
LEBIH CEPAT DARI YANG DIRENCANAKAN, tiba-tiba tamu keluarga Budi minta diri. Budi dan istrinya terkejut, karena tujuan mereka, mencarikan anak gadisnya sekolah, belum tercapai.
Khawatir kalau-kalau mereka tersinggung Budi mencoba menjajaki. Ia menahan.
“Tidak, cukup sudah, kami pulang saja,” kata orang tua gadis itu.
“Tapi kenapa? Kan belum dapat sekolah?”
“Tidak jadi sekolah, kami mau pulang saja.”
“Kenapa?”
Tak ada penjelasan. Semuanya hanya tersenyum-senyum saja, tapi keputusannya tak bisa diganggu gugat lagi. Budi mencoba menanyakan apa mereka mempunyai kesulitan. Mereka hanya menggeleng-gelengkan, bahkan menetapkan bahwa mereka akan pulang hari itu juga.
Budi jadi kelabakan. Ia menerangkan dengan bernafsu bahwa untuk berangkat pulang tak bisa begitu saja, harus pesan karcis terlebih dahulu dan sebagainya. Tapi rombongan itu sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Mereka mau pulang dan harus hari itu juga. Alasannya tak ada. Mereka hanya mau pulang. Titik.
“Tapi ini Jakarta, semuanya harus direncanakan, dipesan, tidak bisa tubruk begitu saja, lain dengan di daerah. Kalau besok masih kita coba, tapi kalau tidak juga ada tempat, kita harus pesan dulu. Coba biar saya tanya dulu, jangan memutuskan dulu,” kata Budi sambil bergegas hendak mengangkat telepon.
Tapi orang-orang itu tetap tak mau ditawar, mereka sudah keluar dari kamar dengan kopor-kopornya.
“Tak usah menelpon lagi. Kami berangkat ke stasiun saja sekarang. Di Surabaya nanti kami cari kapal. Sudah kami tanyakan dulu waktu sampai di sana dulu.”
Budi meletakkan gagang telepon kembali dengan kesal. “Ya sudah kami tanya dulu semuanya, waktu sampai dulu, tidak usah ditanyakan lagi. Nanti pukul lima ada kereta. Besok pagi begitu sampai di Surabaya langsung ke pelabuhan. Ada kapal besok. Sudah kami tanyakan dulu. Jangan khawatir, kami akan sampai dengan selamat, semuanya sudah ditanyakan dulu.”
Budi mengangguk-angguk.
“Tapi coba tanyakan lagi,” katanya kemudian sambil meraih telepon lagi.
“Tak usah, sudah kami tanyakan. Nanti ada kereta jam sepuluh dari Gambir. Kalau tak bisa naik bus malam jam dua. Sudah kami tanyakan dulu semua waktu kami datang.”
Budi tercengang lalu meletakkan lagi gagang telepon. Keluarga yang hendak pulang itu satu per satu menyalami Budi.
“Kami pulang mendadak, terus terang sebenarnya karena takut. Di sini semuanya ternyata lain. Kami belum siap, anak kami tidak akan sanggup tinggal di sini. Dia masih belum bisa meninggalkan alam desa. Biar dia sekolah di rumah saja seadanya. Biaya hidup di sini juga terlalu mahal. Jangankan beli telepon, untuk makan saja mungkin hasil panen kami tidak cukup. Jadi biar kami pulang saja, pokoknya sudah melihat Jakarta, sudah untung.”
Semuanya mengucapkan terima kasih banyak atas penerimaan Budi sekeluarga serta minta maaf karena mereka berbuat kesalahan selama menumpang. Sambil secara basa-basi menganjurkan supaya Budi sekeluarga sekali-sekali pulang kalau ada waktu terluang. Lalu mereka angkat kopor-kopor keluar rumah.
Budi dan istrinya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan tegang mereka mengantarkan tamunya ke depan rumah untuk menghadang taksi, karena mereka juga menolak diantar.
“Ini hari kerja, kasihan Budi nanti capai, biar jangan menganggu, kami bisa kok naik taksi sendiri. Nanti kalau sesat paling banter ditangkap polisi, he-he-he,” kata mereka sambil tersenyum lebar untuk menenangkan tuan rumah.
Pundak Budi ditepuk-tepuk supaya tenang.
“Teruskan berjuang, dik Budi,” kata yang paling tua mewakili yang lain-lain. “Memang perlu sekali kita mulai berjuang dari sekarang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Orang belum terlambat. Kita bisa mengejar sekarang. Ya setidak-tidaknya kalau dik Budi berhasil, kami ikut bangga!” Budi tersenyum pahit.
“Ya harus begitu. Kita memang sudah terlambat. Orang-orang lain sudah dari dulu masuk Jakarta. Mereka sekarang sudah punya mobil, telepon, video, punya semuanya. Gampang saja mereka menarik sanak keluarganya untuk sekolah di sini. Kalau sudah ada satu memang di Budi ini berhasil terus. Berjuang terus Dik, kami semua kasihan memang, tapi kalau mau merintis memang harus berani jatuh bangun. Ini semua sudah bagus. Teruskan saja. Terima kasih Dik Murni. Permisi.”
Tangan Budi dan istrinya dijabat lagi dan digenggam kuat-kuat.
“Jangan mundur Dik Bud, ini semua juga nanti akan dinikmati oleh keluarga akhirnya. Sekarang memang masih sulit, tapi teruskan saja, justru karena sulit harus diteruskan. Sulit karena memang ini penting, kalau tidak penting tidak akan sulit. Sekarang tinggal dik Budi dan dik Murni saja, harus tabah. Ya kami hanya bisa mendoakan dari kampung. Kasihan juga, kalau melihat caranya begini berjuang, tapi namanya perjuangan ya harus dilanjutkan. Tapi kami yakin kok, pasti akan berhasil. Kita harus membuktikan bahwa keluarga kita juga mampu. Kita juga bangga kalau ada di antara kita yang bisa berhasil, bukan hanya mereka. Kita tidak boleh kalah, kita harus ikut memiliki ibukota ini, paling tidak satu rumahlah, begitu. Ya kan?”
Budi dipeluk dan ditepuk-tepuk. Budi bertambah heran. Ketika taksi muncul, saudaranya itu berbisik di telinga Budi, “Kami ikut terharu atas perjuanganmu merintis jalan di Jakarta. Kasihan sampai tak ada waktu tidur. Tapi kami tak bisa membantu apa-apa, kami doakan saja dari jauh. Kami nitip surat di atas meja makan!”
Budi dan istri melambai-lambai.
Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah dengan penuh tanda tanya. Di atas meja makan di dalam rumah, tergeletak sebuah amplop. Dengan tergesa-gesa karena ingin tahu, istri Budi membukanya.
Ternyata isinya selembar lima ribu rupiah. Keduanya terkesima.
4
BUDI DAN ISTRINYA BERTENGKAR, tak sepaham menanggapi lembaran lima ribu itu. Sementara Budi terharu dan merasa bersalah, istrinya justru tersinggung keras.
“Kurang ajar betul! Sudah diladeni baik-baik. Diterima, disambut lebih dari tamu agung, kok malahan menyindir. Ini penghinaan. Apa mereka pikir kita semua melakukan ini karena butuh duit?!” teriak wanita itu kalap. “Butuh sih butuh, tapi yang benar dong, masak kita disangka mau minta duit. Lima ribu lagi. Bisa beli apaan dengan ini di sini. Memangnya kampung ini? Gila juga. Kalau memang mau duit dari dulu juga sudah kita bilang. Ditolong malah menghina. Dasar kampungan!”
Budi berusaha memberikan penjelasan.
“Sebetulnya ini bukan menghina, justru mereka ingin ikut meringankan penderitaan kita, habis kita mungkin agak terlalu juga menjelaskan kepada mereka hidup di sini susah. Mereka percaya dan ini akibatnya. Justru mengharukan sekali bagaimana mereka dengan tulus ikhlas memberikan lima ribu, padahal mungkin uang ini amat mereka perlukan. Jangan-jangan nanti di jalan mereka kekurangan uang. Ini tulus ikhlas kan?”
“Ikhlas apaan! Kalau dasar kampungan begini. Keluargaku jelek-jelek kagak ada yang kasar begini. Sekalian hutang budi ya sudah diam saja terima, kan keluarga harus tolong-menolong. Ini kok ngasih tip, memangnya pelayan restoran apa kita? Sialan bilangin keluarga kamu itu, tidak usah bawa adat-adat kampung kemari!”
“Kamu salah paham!”
“Aku punya harga diri, mentang-mentang keluarga kamu dibela terus ya! Biar keluarga siapa kalau salah ya salah, jangan dihalus-haluskan. Gila juga. Inilah hasilnya kalau terlalu baik sama keluarga, di situ malah ngelonjak terus terang saja sama semua orang!”
Budi tersinggung. Ia langsung membantah, tetapi istrinya makin senewen karena dibantah. Perang tidak bisa dicegah lagi.
Mereka main hantam-hantaman mulut, sambil membeberkan kejelekan keluarga masing-masing. Istri Budi melemparkan lembaran lima ribu itu dengan sengit ke bawah meja. “Lima ribu, gila! Dikiranya bisa beli apa lima ribu di Jakarta!”
Tak cukup melempar, ia juga menginjaknya. Hati Budi hancur.
“Ya Tuhan,” jerit Budi di dalam hati. “Ini bukan istriku lagi. Ini bukan seorang wanita, tetapi ini mesin yang sedang rusak onderdilnya. Apakah Jakarta sudah membuat orang tidak manusiawi lagi?”
Sebagaimana biasa kemudian, perang itu diakhiri dengan bantingan pintu keras. Istri Budi masuk ke dalam kamar dan menangis. Sedangkan Budi menghunus rokok dan menggebul-gebulkannya seperti kepalanya yang terbakar.
“Pertengkaran adalah bagian dari perangkat hidup kota, selain rumah, mobil, rapat-rapat, gosip, telepon dan sebagainya,” bujuk Budi pada dirinya, “Di desa orang memang jarang bertengkar, karena tak berani mengucapkan perasaannya. Karena itu banyak keluarga yang kelihatannya utuh tetapi sebenarnya remuk di dalam. Sedangkan di kota, setiap perselisihan selalu diucapkannya terus terang, kelihatannya memang perang, tetapi sesudah itu tak ada lagi apa-apa lagi. Pertengkaran justru menjadi penyelamat rumah tangga dan kebosanan. Aku harus mengerti perbedaan-peredaan nilai ini.”
Sambil menyambung rokoknya, Budi mengunyah kata-kata itu, untuk menenangkan perasaannya. Tetapi kekuatannya tidak sedahsyat dulu lagi, ketika pertama kali ia rumuskan. Sekarang ia hampir tak percaya lagi kata-kata itu mampu membuat ia dan istrinya tetap sabar. Ia mencari kata-kata baru. Tapi sulit sekali.
Dadanya mendebur-debur memandang lembaran lima ribu itu terletak di bawah meja. Uang itu seperti tersenyum kepadanya lalu bicara. “Tenang dik Budi. Tetaplah jadi pahlawan di dalam keluarga kamu. Perang ini terlalu kecil buat mendapat uang lima ribuan itu.” Ia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh keluarganya. Itu ungkapan solidaritas pedesaan yang ditemukan lagi di kota. Di kampung ungkapan rasa itu menjadi bahasa pergaulan. Bahkan semacam ritus. Di Jakarta sebaliknya, bukan saja aneh, ganjil tetapi justru berubah jadi sumber malapetaka.
Ia tak bisa terima hal-hal polos seperti itu dianggap penghinaan. Itu kasar sekali. Tetapi ia juga tak mungkin memaksa istrinya untuk bereaksi sama seperti dia. Pertama karena wanita dan lelaki ternyata tak hanya berbeda phisik, tetapi berbeda secara emosional. Belum lagi perbedaan latar belakang. Dan ia sejak semula sudah mencoba menghadapi perbedaan itu dengan adil. Siapa tahu, istrinya benar. Dalam hal ini wanita itu justru rasional dan ia sendiri yang emosional.
Tapi makin lama dipikirnya, makin marah ia pada sikap istrinya. Tangannya terkepal dan gemetar. Perlahan-lahan ia bangkit dan lalu menunduk untuk menjemput uang lima ribuan itu dengan rasa hormat.
Ditaruhnya uang itu di atas meja. Dikaguminya perasaan-perasaan yang mengulurkan uang itu. Ia dapat merasakan nilai-nilai yang mendorongnya. Begitu polos, tetapi justru begitu melukai orang yang tak mengertinya. Ia mecoba merumuskan kejadian itu.
“Bila lima ribu di matamu sudah mulai berbeda dengan lima ribu di mata istrimu. Berarti ada virus dalam rumah tangga. Aku melihat uang kecil ini dengan rasa hormat, tetapi dia menerimanya dengan rasa hina. Kenapa? Karena aku melihatnya sebagai kepala rumah-tanga, aku tak boleh hanya memikirkan perasaan-perasaanku. Sebagai godfather aku harus berjiwa besar. Tetapi aku juga tidak boleh membiarkan kebesaran jiwa itu membuatku terjepit. Itu baru namanya lihai. Kebesaran jiwa saja tak cukup, seorang kepala harus lebih lihai. Ya Tuhan, inilah yang menyebabkan para kepala perlahan-lahan jadi penipu.” Budi mengapung.
“Aku harus bertindak. Harus tegas. Nilai apa yang berlaku di rumah ini. Penilaian terhadap lima ribu ini harus sama, baik aku, istriku dan anak-anakku. Kalau tidak rumah ini akan runtuh!”
Tiba-tiba telepon berdering. Sampai empat kali baru diambilnya dengan kasar.
“Hallo!”
“Hallo, ini pak Budi? Bisa bicara dengan ibu?”
Budi kontan mengerti suaranya. Lembut, ramah dan baik. Rasa kecut di mukanya kontan hilang. Ia jadi jinak dan ramah-tamah lagi.
“Oh Bu Slamet. Apa kabar Bu. Baik-baik, ada-ada Bu, sebentar saya panggil. Kapan datang dari Paris Bu?”
Budi menutup telepon itu dengan tangannya. Mukanya kembali mengkerut, lalu berteriak memanggil istrinya keras.
“Telepon dari Bu Slamet! Mau diterima nggak!”
Belum selesai teriakan itu, pintu kamar itu terbuka, istrinya bergegas keluar. Ia menggosok mukanya, lalu merebut telepon. Mukanya berseri-seri. Ia tersenyum simpul ketika bicara.
“Hallo, Bu Slamet! Ha-ha-ha, aduuuuuuh apa kabar, apa oleh-olehnya Bu? Sudah kangen ini, ha-ha-ha!”—sambil menghindari pandangan mata Budi yang melotot—“Waduh Bu, kita kehilangan ini. Kalau tidak ada ibu jadi rusak semuanya. Arisan belum ditarik, habis menunggu ibu. Jadi kapan ini. Minggu ini saja bagaimana, di rumah ibu sambil mendengar ceritanya Paris. Sempat lihat itu tidak? Bawa kan? Ha-ha-ha!”
Budi mengambil tas untuk berangkat.
“Sebentar Bu,” istri Budi menutup telepon dengan tangannya, lalu melabrak Budi.
“Pokoknya mulai sekarang kita harus tegas kepada siapa saja tidak pandang bulu. Tidak aku tidak mau dihina orang di rumahku sendiri!”
Budi kontan mau menjawab, tetapi sebelum mulutnya terbuka, istrinya mengangkat telepon lagi langsung berdialog.
“Maaf Bu, biasa, suami kalau mau berangkat mesti rewel. Mau dibawain tas, mau disun pipinya ha-ha-ha seperti masih muda saja. Ha-ha-ha. (Menoleh suaminya) Sudah-sudah berangkat sekarang! (kembali ke telepon) Ha-ha-ha, jadi bagaimana Paris. Sempat naik ke Eifell nggak, wah mode-modenya hebat-hebat mestinya kan, ha-ha-ha!”
Budi menutup mulutnya yang mudah menganga, lalu diam-diam pergi. Istrinya terus mengobrol di telepon dengan gembira, “Ya, hallo, apa. Sebentar Bu, sebentar ini ada tetangga mengetuk pintu.”
Wanita itu menutup moncong telepon, lalu mendorong kursi dan melihat ke bawah meja. Ia menggapai-gapai. Tapi tak menemukan apa-apa. Mukanya langsung berubah cemberut.
“Rokiiiii!”
Roki pembantunya keluar dari dapur.
“Yaaa?”
Wanita itu melotot.
“Kamu tadi sudah nyapu?”
“Belum!”
“Kemarin ada duit di sini, siapa yang ngambil?”
“Di mana?”
“Di bawah meja!”
Roki bingung.
“Jangan bengong, ayo cari!”
“Berapa Nya?”
“Lima ribuan! Itu belanja satu hari! Ayo cari jangan sampai hilang! Memangnya gampang cari duit!”
Roki langsung berlutut dan mencari di bawah meja.
“Hallo, hallo, maaf ini Bu. Si Roki ngaco lagi ini. Masak duit diberantakin. Kayak orang bisa bikin duit saja, padahal suami kita yang sampai bungkuk-bungkuk mencarinya. Ha-ha-ha. Sama ya! Betul, betul! Pembantu memang tambah kurang ajar sekarang.”
Tiba-tiba ia melihat lima ribuan menggeletak di atas meja. Cepat-cepat diambilnya lalu dimasukan ke balik kutang.
“Hallo, apa? Ya betul, harus begitu Bu. Ha-ha-ha. Kan suami kita sendiri, siapa lagi kalau bukan kita. Bener. Kalau dibiar nanti tuman. Sebagai partnernya, kita harus selalu memberikan pengarahan. Lelaki memang terlalu lemah, mereka sering emosional dan tidak praktis. Apalagi terhadap keluarganya. Masak dikasih uang lima ribu sama keluarganya, padahal itu hanya basa-basi, sopan santun orang daerah e-e-e …. Dia malah tersinggung. Dia bilang keluarganya kurang ajar! Susah memang! Kita harus mengarahkannya. Mereka kan baby kita. Ya kan! Ha-ha-ha!”
Roki terus menyusuri lantai mencari lima ribuan itu.
Wesleyan, 21 Desember 1986

LOP

Seorang mantan bromocorah meninggal sebagai orang pintar. Desa Sepi yang biasa tenang itu mendadak jadi hiruk-pikuk dikerubuti mereka yang ingin memberi penghormatan terakhir. Nama Bolong memang telah melambung menembus mancanegara sebagai pakar pengobatan alternatif.

Puluhan tahun yang lalu, Bolong pernah tersohor sebagai momok yang paling biadab. Karena ia telah memakan manusia hidup-hidup.

Apakah itu hanya kemasan bahasa, bagian dari sihirnya untuk menghipnotis penduduk agar tak berani melawan, entahlah. Tak ada yang pernah buka mulut mengungkapkan misterinya.

Ketika keluar dari penjara, Bolong sempat kelimpungan beberapa tahun. Terpental ke sana-kemari bersama keluarganya mencari tempat berteduh. Tapi di mana-mana, ia ditolak. Siapa yang berani mengambil risiko, hidup memelihara macan?

Aku sudah putus asa! Saat itu, kami nyaris mau bunuh diri. Istri dan kedua anakku yang masih kecil, sudah setuju. Habis daripada tak ada harapan, katanya menceritakan masa lalunya.

Tapi malam itu, mendadak ada tsunami. Kami tunda dulu bunuh diri untuk menolong mereka.

Ternyata banyak anak kecil jadi yatim piatu. Tidak ada yang peduli, karena semua sibuk ngurus nasibnya sendiri. Akhirnya terpaksa kami ngurus dan keterusan sampai sekarang.

Untung juga ada tsunami, kalau tidak, kami sudah mati. Berkat itulah, kami diizinkan tinggal setelah bersumpah tobat. Aku diawasi terus siang-malam agar tidak kambuh. Memang dulu bekas-bekas anak buahku sering datang mengajak membahas proyek. Kontan aku tolak. Aku tak suka proyek-proyekan lagi. Aku sudah kenyang makan batu.

Sekarang anak-anak itu sudah waktunya ngisi perut. Mereka berhak kenyang, menentukan nasibnya sendiri. Jangan sampai aku gondeli. Aku tidak mau mereka makan manusia seperti aku.

Mereka tidak boleh nyontek aku. Untuk tidak menambah dosaku yang sudah tidak bisa ditebus, aku ajari mereka kebajikan. Bukan karena aku ingin diampuni, tapi untuk mencegah mereka mengikutiku.

Tapi apa yang terjadi? Saat kepergianku justru jadi momentum reuni, mengumpulkan mereka kembali yang sudah berserak dalam masyarakat. Balik lagi menyulut api untuk mengibarkan bendera hitam.

2
Entah datang dari mana kepintarannya, Bolong telah banyak menyembuhkan orang. Memberikan solusi yang tepat yang dengan jitu membukakan pintu mereka yang minta dibantu. Dan untuk itu, ia tak minta imbalan apa-apa. Tidak juga berharap akan dipuji atau menuntut dihormati sakti.

Semua itu kebetulan yang lebih banyak diciptakan oleh kesungguhan kalian sendiri, yang bertekad keluar dari perangkap itu, kata Bolong selalu dengan rendah hati.

Bukan hanya itu yang membuat kehadiran Bolong makin seru. Bolong sama sekali tak pernah menarik riak ombak ketenarannya untuk mencuci masa lalunya.

Aku dulu bandit. Sekarang pun tetap bandit. Meskipun sudah sempat menjalani hukuman, tidak berarti aku jadi bersih. Aku tetap bekas bromocorah. Hukuman itu pembayar dosa bukan membuat mentalku suci! Aku tidak mungkin menghapus yang sudah terjadi. Aku juga bukan orang pintar. Aku hanya bola polos di atas meja bilyar, untuk menggasak bola bernomor masuk lubang.

Tapi apa daya semua keterangan Bolong itu jadi tak penting. Karena yang kemudian berkibar, ketenaran Bolong jadi katrol pamor pemutih semua kejahatannya Mantan anak buahnya pun keluar dari sarangnya dan dengan berani unjuk gigi bahwa mereka tetap ada dan tak takut untuk terus beraksi.

3
Saya hadir tetapi terpaksa minggir. Hormat saya pada Bolong berbeda dengan luapan magma yang menggelegak mendobrak dada para sahabat lamanya. Mereki terbakar oleh kobaran solidaritas satu nasib dalam penjara. Mereka bukannya sedih, tapi malah beringas. Ingin bangkit lagi setelah menahun tersekap kebekuan mendalam.

Entah dapat halusinasi, lamat-lamat kuping saya menangkap senandung Bendera Hitam. Itu lagu anonim yang dinyanyikan oleh seorang superstar dangdut yang melejit jadi lagu kebangsaan para narapidana.

Nampaknya mantan anak buah Bolong serasa berada di rimba Sherwood bersama Robin Hood. Mungkin mereka mengidentifikasi dirinya sebagai begal budiman yang merampok orang kaya, untuk derma bagi kaum miskin.

Para mantan narapidana itu juga tak rela duka kami, sahabat-sahabat baru almarhum, terlalu dekat. Seakan takut kebangkitan mereka bisa terkontaminasi oleh pikiran kami yang mereka anggap lawan. Tapi saya tak ingin mengganggu. Saya memahami perasaan mereka yang tak mau membuang peluang itu. Tapi meskipun menyisih, saya tak ingin dihapuskan. Karena kita semua bersama bagian dari nasi rames dalam satu piring untuk selamanya.

Lalu saya cari istri Bolong. Dia sedang melipat pakaian-pakaian yang ditinggalkan suaminya. Sesuatu yang sebetulnya bisa dilakukan lain waktu. Kenapa mesti dilakukan saat penguburan suaminya? Pasti ada sesuatu.

Saya yakin dia sedang menghindar. “Maaf,” katanya mendahului, “Saya sudah tegur mereka. Ini bukan penjara, tapi mereka tetap saja menyanyikan itu. Saya kan jadi malu pada tamu-tamu yang layat.”

“Kami maklum, Bu. Persahabatan itu lebih kuat dari persaudaraan. Saudara belum tentu sahabat.”

“Tapi itu kan dulu. Bapak sudah bukan pengusung bendera hitam lagi, Mas tahu, itu, kan?”

“Ya.”

“Kami sudah tua. Almarhum selalu bilang mau menghabiskan sisa hidupnya untuk menolong orang. Kenapa mereka selalu datang?”

“Berarti pengaruli Bapak masih kuat, Bu.”

“Almarhum pernah bilang mereka semua berharap balikan mendesak dia jadi corong.”

“Bapak, Bu?”

“Ya. Tapi almarhum tidak meladeni.”

“Sekarang kesempatan mereka memaksakannya.”

Perempuan yang sedang duka itu mengusap air matanya. Aku tak sanggup melihat. Tapi mencoba menenangkannya, sebelum melangkah mundur.

“Kami paham, Bu.”

4
Seorang yang tak mau disebutkan namanya, tapi mudah diduga siapa dia, menulis surat pembaca:

“Saya tak mewakili siapa pun. Tapi saya merasa saya memaparkan apa yang ingin disampaikan oleh banyak orang. Terutama oleh mereka yang sudah sempat ditolong oleh almarhum. Saya beruntung belum pernah berutang budi oleh kebaikannya, jadi tak bisa dicurigai sebagai iklan murahan. Tetapi seorang manusia biadab yang telah menganibal manusia tak berdosa meskipun alasannya sedang kerasukan setan, hanya pantas dihukum mati.

Dan memang sudah dipenalti begitu. Tapi keajaiban terjadi. Setelah dia dieksekusi dan tim dokter sudah menyatakan dia secara medis, klinis, mati, tetapi ketika liang lahatnya mau diuruk, mendadak dia bangun dan hidup lagi. Setelah perdebatan bertahun-tahun dengan hasil tetap buntu, apakah dia perlu ditembak mati sekali lagi, dia mati secara alami.

Kebingungan kita pun senyap. Tapi mendadak sekali lagi terjadi keajaiban. Malam hari ada yang mendengar suara dari kuburnya. Ketika dibongkar ternyata dia masih hidup. Sejak itu, hukum tidak lagi menyentuhnya. Dia hidup bebas seperti kita semua. Dan yang sangat mengagumkan, almarhum dari makhluk biadab yang menyantap manusia hidup-hidup, berubah total, menjadi warga yang santun, kooperatif, selalu membantu, menolong, mendorong kita semua untuk berbuat baik, toleran, mengamalkan gotong-royong dan hidup damai dalam berbeda.

Almarhum sama sekali bukan bajingan biadab yang sudah makan orang hidup-hidup itu. Hanya tubuhnya memang itu-itu juga. Tapi jangan salah, almarhum adalah orang pintar yang sudah menolong nyawa ribuan orang. Satu kalimat saja yang ingin saya ucapkan dengan lirih supaya jangan berbau provokasi: “Mbok jangan melupakan sejarah, Bo!”

Wakyat

Bu Amat tiba-tiba menodong suaminya.
“Sejatinya Wakyat itu siapa, Pak?”

Amat tertegun. Berpikir, lalu menggeleng.

“Bapak tidak tahu.”

“Ah, masak tidak? Kita kan yang memilihnya?”

“Memilih? Memilih siapa?”

“Wakyat.”

“Siapa dia?”

“Pilihan kita, kan!”

“Kita siapa?”

“Kita yang memilih!”

“Kita ini?”

“Ya dan tidak.”

Amat ketawa.

Ibu ini dulu kan guru bahasa indonesia, sekarang kok bahasanya mundur sekali! Ngomongnya yang bener dong! Jangan seperti orang bingung. Ya, ya, ya! Tidak, ya, tidak. Tidak bisa ya dan tidak.”

Bu Amat tersenyum.

Amat berdiri mau cari angin di teras.

“Tunggu dulu, Bapak belum menjawab itu karena tidak tahu atau setuju?”

“Ya dan tidak!”

Bu Amat cemberut. Amat ketawa besar lalu ke teras. Tapi belum sempat duduk, pikirannya seperti menyengat. Ia cepat kembali masuk.

“O, maksud Ibu….”

Tapi Bu Amat sudah ngeloyor ke dapur. Amat jadi penasaran. Ia sekarang ingat sama Pak Wakyat.
Orang itu sempat dipilih oleh pengurus lingkungan untuk mengaspal ulang jalan di seluruh kompleks yang rusak tergerus hujan. Soalnya, proposal penawarannya yang terbilang paling murah.

Hanya saja ia memberi persyaratan. Sebelum jalanan diaspal, selokan air harus diperbaiki.

“Sebab kalau selokan rusak seperti sekarang ini, perbaikan jalan tidak ada gunanya,” katanya tegas waktu itu. “Biar kata dibeton sekali pun, kalau hujannya gila seperti sekarang ini, sekali byur saja, pasti banjir lagi, banjir lagi sampai satu bulan. Karena airnya tidak tahu harus pergi ke mana! Jalan yang baru diaspal pasti hancur lagi. Nanti kami yang merenovasi kena getahnya. Dianggap korupsilah atau kurang profesional! Ya, enggak?”

Warga menganggap alasan itu masuk akal. Tapi siapa yang paling tepat memperbaiki selokan?

“Terserah,” kata Wakyat, “asal orangnya punya track record bener-bener dan bukan cuma mahal tapi kerjanya betul! Soalnya untuk apa murah tapi sebentar-sebentar jebol, jatuhnya bisa 2 kali lipat mahal. Mending mahal sekalian, hasilnya bisa diwariskan ke anak cucu. Tapi ini hanya sekadar masukan dari orang lapangan. Keputusan 100 persen di tangan owner, bapak-bapak warga di sini. Ya, enggak?”

Warga manggut-manggut menyimak Wakyat lantas mendesak.

“Tapi karena ini jelas akan langsung menyangkut keselamatan proyek jalan, menyangkut langsung kredibilitas kami sebagai pelaksana proyek, mohon ada jaminan jangan sampai pekerjaan kami terganggu karena proyek saluran air got tidak beres. Karena itu kami ingatkan, ramalan cuaca sekarang sudah bingung karena perubahan cuaca yang ekstrim. Kita tidak tahu kapan hujan akan turun. Kelihatan terang, tahu-tahu mendadak hujan besar menggempur kita habis! Ya, enggak?! Ya kami blak-blakan saja bicara pahitnya, sebelum nasi keburu jadi bubur! Ya, enggak!”

Pengurus kompleks terpaksa rapat lagi. Akhirnya dengan suara bulat memutuskan: perbaikan selokan juga dipercayakan pada Wakyat sendiri.

“Wah kami kok jadi seperti telor di ujung tanduk. Kami terus terang bilang, kunci perbaikan jalan ini bukan terletak pada renovasi jalannya, bukan, Pak. Tapi pada penyebab yang merongrong jalan rusak. Ya got-got brengsek itu. Konsentrasikan alokasikan dana harus diprioritaskan ke situ dulu! Karena biayanya memang sangat, sangat mahal! Tapi itu bukan dimaksudkan agar proyek itu diserahkan ke kami! Bukan! Sama sekali bukan! Tapi kalau memang begitu keputusannya, ya apa boleh buat. Oke, oke saja. Sebagai profesional saya bersedia. Tapi dengan satu syarat mutlak. Kekuatannya harus sesuai dengan tuntutan kami, kami yang akan merenovasi jalan! Karena sekali lagi, itu akan langsung menyangkut keselamatan proyek renovasi jalan! Ya, enggak?”

Semua membenarkan. Lalu Wakyat mengulurkan sebuah proposal yang nampak sudah dipersiapkannya dengan rapi. Di proposal itu diuraikan dengan teliti bagaimana air akan digiring keluar hunian begitu jatuh ke tanah. Sangat profesional, tetapi biayanya juga tak terbayangkan.

Dua bulan warga dan pengurus lingkungan membahas proposal got dari Wakyat itu. Mula-mula hampir semua menentang hingga nyaris ditolak. Karena itu terasa terlalu pesimistik, ketakutan dan didramatisir.

Tapi tiba-tiba seorang warga vokal sekali membela sampai menggebrak meja.

“Kita sekarang sudah memasuki era kota metropolitan dengan berbagai problem milenial! Waktu dan berbagai perubahan terjadi sangat cepat di kampung, apa yang terjadi 50 tahun lalu sekarang masih sama. Tapi di era milenial besok itu bukan 24 jam yang akan datang tapi keadaan yang dulu 5 tahun baru datang, sekarang, besok begitu kita bangun tidur, sudah di sebelah kita. Nah! Kalau kita lalai, telat tidak cepat tanggap kita akan mati konyol, dilalap perubahan zaman! Kita akan tenggelam hidup-hidup! Karena itu jangan berhitung dengan uang yang bisa kita cari setiap hari. Berhitunglah dengan nyawa yang hanya satu kita punya. Jangan sayangi duit, sayangi nyawa! Berapa pun biayanya kalau menyangkut nyawa, ikhlaskan! Duit bisa dicari tapi nyawa?”

Warga itu tak sanggup melanjutkan. Tubuhnya gemetar. Ia menangis lalu pingsan. Semua jadi syok. Sejak itu skors mulai bergeser. Dan pada bulan ketiga, proposal Wakyat. baik mengenai renovasi jalan maupun pembangunan got di-acc.

Tapi Wakyat menghilang. Sementara langit mulai cenderung muram-muram seakan memberi isyarat akan curah hujan gila.

Warga cemas. Pengurus lingkungan terpaksa rapat lagi. Keluar gagasan untuk mencari pemborong baru. Ide awal dihidupkan. Lupakan got, jalan diprioritaskan jangan sampai keburu dijegal hujan. Tender pun dibuka, beberapa pemborong berebutan mau mencaplok. Terjadi perebutan untuk memilih yang terbaik.

Tetapi warga yang dulu sempat dicurigai sebagai sekutu di bawah selimut, kembali mempertahankan Wakyat.

“Inilah akibatnya kalau demokrasi itu dijadikan hobi. Berunding lagi berunding lagi sampai mati! Bikin keputusan untuk arsip sudah kerja, padahal tidak ada karya. Apa gunanya dulu berunding berbulan-bulan, meniru DPR ya! Cari Pak Wakyat. Dia orang profesional, pasti tidak mau menunggu kita selesai pidato! Dia ada di proyek! Saya ada WA-nya! Jangan tunggu banjir merendam permukiman kita! Aduh, apa saya perlu nangis lagi?”

Tapi dia sudah menangis. Dan hampir saja pingsan. Untung rapat memutuskan membatalkan tender. Dan memanggil kembali Wakyat!

“Oke, oke empati kami sepenuhnya untuk warga di sini,” kata Wakyat dalam rapat bersama warga pengurus lingkungan.

“Kita sudah ada histori. Tetapi sayang waktu tidak mau menunggu. Sebagai profesional kami tidak bisa melawan kewajiban. Sekarang kami sedang terikat proyek dengan investor asing. Tapi sebagai profesional yang kreatif, kita masih bisa memungkinkan yang tak mungkin. Hanya itu perlu biaya. Kalau kami bisa mengontrak orang untuk mengawasi proyek di situ, kami bisa kembali kepada kesepakatan kita dulu. Kami akan lakukan dengan cepat. Nah sekarang solusinya tinggal, cepat turunkan dananya, besok juga kita bisa mulai. Tapi kalau masih menunggu hasil rapat, maaf, sorry, kami tak sanggup. Jam 20.00 kami take off. Ini nomor rekening kami.”

Wakyat menyerahkan nomor rekening, lalu bersalam-salaman. Setelah itu pergi, takut dijegal kemacetan rush hour orang pulang kerja. Pengurus hunian masih perlu rapat kilat. Tapi kemudian membuka kas dan mengirim dana sejumlah yang tertulis di bawah nomor rekening yang diberikan Wakyat.

Itulah yang kemudian membuat nama Wakyat melangit, jadi sangat populer. Ia jadi “man of the year”, karena sejak itu menghilang, entah ke mana. Warga yang suka nangis dan pingsan itu pun ikut kabur.

Begitu memalukannya lakon penipuan yang canggih, dramatis, tertata rapih, lucu dan mengobarkan marah itu, sehingga seluruh warga berusaha melupakannya. Karena setiap teringat, semua orang jadi merasa dirinya begitu konyol.

Amat pernah diam-diam minta Ami menelusuri di dunia maya, siapa itu Wakyat. Soalnya kasus sejenis beberapa kali terjadi di banyak tempat. Dan reaksi masyarakat hampir sama. Karena malu, mereka mencoba mengalihkan dengan melupakannya. Kasus itu jadi tenggelam.

Jadi kalau Bu Amat mencoba mengorek lagi, “Berarti malu kita sudah mulai hampir kikis. Sekarang kita berangsur sembuh dan harus mengusut peristiwa kriminal itu tuntas! Kita harus potong mati. Kalau tidak, percuma kita mengaku negara hukum! Percuma! Kebangkitan memang biasa dimulai dari kaum perempuan,” bisik Amat dalam hati. “Malu itu konyol, kita harus bertindak sekarang!”

Amat bergegas menyusul istrinya ke dapur.

“Bu! Bapak baru sadar, baru mengerti sekarang!”

Bu Amat menjawab acuh tak acuh.

“Sadar apa? Bapak kok semangat sekali!”

“Habis bagaimana tidak, kaum perempuan selalu jadi pelopor kebangkitan!”

Bu Amat melengos sinis.

“Kalau sudah memuji pasti ada maunya. Bilang saja mau apa. Tapi kan semalam sudah?!”

“Bukan! Ini soal Pak Wakyat! Menurut Ami modus itu adalah…”

“Sudah tahu! Wak Kiat itu sudah ditangkap!”

Amat terkejut.

“Lho sudah ditangkap?”

“Sudah! Bapak selalu ketinggalan!”

“Kapan?”

“Bulan lalu!”

“Siapa bilang?”

“Ami. Anakmu, Pak! Di koran juga ada!”

Amat bengong.

“Lho, kalau sudah tahu. Ibu kok tadi nanya?”

“Habis. Wakyat itu kan sejatinya wakil rakyat, wakil seluruh rakyat! Tapi kenapa prakteknya hanya wakil partai, wakil kelompok yang kurang peduli nasib rakyat keseluruhannya?!”

Amat terpukau.


Amnesti


Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 16 September 2018)

Di zaman baheula, ada seorang bromocorah yang divonis hukuman mati. Ulahnya membunuh, menjarah, menyiksa, sangat biadab. Seluruh warga mengutuk dan berdoa supaya bajingan itu cepat mati. Dia dianggap iblis yang memberi isyarat hari kiamat sudah tiba.

Tak hanya terbatas menjarah orang kaya, bandit itu juga tak segan-segan merampok, memperkosa, membantai rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan darah dingin, saraf baja, ia hirup nikmat kutukan biadab bagai pujian, sembari nyengir gila. Ia meyakini dapat kepercayaan untuk menyelamatkan dunia dan kehidupan dengan dana dari perdagangan narkoba.

“Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Untuk menggembalakannya perlu macan,” kata bajingan itu bangga. “Maka, aku jadi Raja Rimba. Hukum sudah tak bertaring lagi. Hukum hanya sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban, bukan pasukan pengawal-pengaman kehidupan, bukan Robin Hood dari rimba Sherwood. Hukum hanya ular kobra, black mamba, bagi rakyat kecil. Hukum hanya pilar kekuasaan untuk mengamankan keangkaraan kesewenang-wenangan kekaisaran yang hanya bercita-cita tunggal: membekukan kita sebagai abdi Kaisar! Berhala yang mencincang kebebasan-kemerdekaan itu harus dicincang rata dengan tanah. Di atasnya kita bangun kerajaan masa depan yang tanpa batas. Itulah kemerdekaan sejati yang asli. Dan, aku yang akan menjamin tak seorang pun yang akan berani melanggar aturan ketertiban dan kedamaian. Karena baru sampai ada getaran niat saja di dadanya sudah langsung aku sikat musnah tandas zonder basa-basi permisi lagi yang isinya cuma bau tai!!”

Semua orang mengurut dada. Takjub juga bingung pada komentarnya yang digeber obral seluruh medsos secara mencolok besar-besaran hampir sebulan penuh. Seakan-akan tak ada kabar lain yang lebih layak dimakan rakyat.

Masyarakat jadi terteror. Gelisah, resah, gerah.

“Kenapa pernyataannya tak sedikit pun menunjukkan kegentaran ketakutan menghampiri saat eksekusi, seperti umumnya kita manusia normal? Apakah dia binatang? Itu menakjubkan. Apakah sarafnya sudah putus? Atau di dasar jiwanya ada iblis membisikkan ia berada di jalan Tuhan, yang menjadikan dia gagah berani, bahkan bahagia meninggalkan timbunan dosanya dalam kehidupan. Tidak gentar berpisah dengan sanak saudara dan handai taulannya karena percaya ia sudah disediakan lapak di surga? Alasan seperti itukah yang menyebabkan orang jadi nekat jahat, bejat, tidak toleran, antikemanusiaan, dan radikal? Atau, atau mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah sesungguhnya dialah sebenar-benarnya yang adil, betul dan benar?”

Pertanyaan itu beranak pertanyaan, bercucu pertanyaan. Dan, akhirnya melahirkan kepasrahan. Rakyat terlalu sibuk dikepung begitu banyak masalah tiap hari. Terjadilah apa yang harus terjadi.

“Berpikir bukan tugas kami. Bukan juga urusan kami. Dan, sama sekali bukan kesenangan kami,” kata massa awam, “kami wajib bekerja, itulah fitrah kami. Mendapat sandang-pangan-papan saja sulitnya lebih dari mengasah paku jadi jarum, hidup kami akan runyam habis kalau mesti ikut-ikutan pula memandang jauh ke depan, pada kehidupan yang belum ada. Mustahil, Bro! Tiga hari keroncongan tanpa sebutir nasi, kami bukannya nanti jadi ahli, tapi satu per satu mati konyol. Jadi silakan saja di situ para dewa selesaikan merangkai peta kehidupan yang harus kami tempuh. Biarlah kami yang jelata ini mengalir saja mengikuti arus dengan mengandalkan lekukan-lekukan bumi! Asal bisa hidup walau melata, kami sudah bahagia!”

Rakyat tak sabar lagi menanti kapan eksekusi dilaksanakan. Pesta dangdut selama sepekan sudah disiapkan. Para pengusaha siap membagikan duit pada masyarakat miskin karena kematian sang terpidana mati merupakan jaminan amannya bidang usaha.

Menteri Pemuda juga sudah mendatangkan wakil-wakil kawula muda dari seluruh wilayah. Siap untuk menyambut lembaran baru, bebasnya kerajaan dari sekapan narkoba.

Tetapi apa lacur, tiba-tiba Kaisar dilaporkan mendapat mimpi buruk. Seorang kakek tua datang dan memberikan wejangan:

“Anakku hukuman mati itu adalah warisan masa lalu. Ketika manusia masih primitif. Manusia yang berbudaya berhak menerapkan ganjaran hukuman seberat-beratnya bagi bromocorah. Tapi seberat-berat hukuman, manusia tidak memiliki hak mencabut nyawa manusia lain, apa pun alasannya. Itu hak prerogatif-Nya….”

Sejak mimpi itu, kesehatan Kaisar mundur. Para pendeta dan istri sudah mendesaknya untuk membatalkan putusan mati pada Sang Bromocorah. Tapi Kaisar menolak.

“Mimpi adalah permainan tidur, yang bisa diatur orang lain. Aku ingin menegakkan hukum bukan firasat otak yang sedang lelah,” katanya tegas.

Sakit Kaisar bertambah parah. Namun, ia tetap tak mau membatalkan keputusan mati. Pada suatu hari yang sudah diduga banyak orang, Kaisar mangkat.

Kaisar digantikan oleh putra mahkota. Begitu memegang takhta, kaisar muda kontan dihadapkan pada dilema yang sulit.

Ibu suri, bundanya sendiri mendapat giliran bermimpi yang ajaib. Karena mimpi itu seakan sambungan mimpi suaminya almarhum.

“Orang tua yang datang ke dalam mimpi ayahandamu almarhum masuk ke mimpi ibu. Ia mengulang apa yang dikatakannya pada ayahmu. Kita boleh menghukum kejahatan seberat-beratnya, tetapi mencabut nyawa seseorang adalah hak-Nya. Atau …”

Raja muda adalah fotokopi ayahnya. Walaupun para menteri kerajaan memberikan masukan bulat, menyetujui apabila ia memberikan amnesti, tetapi dia menolak.

“Rakyat menginginkan orang yang sangat jahat itu mati. Karena, kalau dia masih hidup, tidak akan kurang 50 orang akan mati jadi korban narkobanya saja. Belum lagi ….”

Rakyat bersorak gegap gempita menyambut keputusan Kaisar muda. Hanya para pejuang HAM dengan dukungan berbagai kelompok dari luar negeri menyerang Kaisar Muda yang mereka nobatkan sebagai Batara Kala yang haus darah.

Perang urat saraf berlangsung gencar. Antara Kaisar yang dianggap terpasung oleh semangat ingin berbakti kepada orangtuanya dan nilai pembaruan dalam citra kemanusiaan. Perang itu disambut dengan bersemangat oleh medsos.

Namun, sebuah kejutan meletus. Sebelum menjalani hukuman, terpidana itu menulis sebuah surat. Sebuah wasiat tak langsung, untuk istri dan anak-anaknya yang bersembunyi entah di mana.

Surat itu ditujukan ke hadapan Yang Mulia Baginda Kaisar. Tapi ditembuskan ke semua medsos. Akibatnya jadi surat terbuka yang menggedor batin semua orang.

“Yang Mulia Baginda Kaisar. Tuanku, perbuatan hamba yang terkutuk, memang sudah merugikan kerajaan dan menyengsarakan rakyat. Hukuman mati ini sebenarnya terlalu ringan untuk dosa hamba. Seharusnya hamba disiksa sampai mati agar merasakan buah kejahatan hamba setimpal dengan pedih yang sudah hamba timpakan kepada rakyat. Jangan maafkan hamba. Nanti generasi muda akan meniru perbuatan hamba. Karena betapa pun laknat dosanya, toh, akan dimaafkan jangan! Kutuklah hamba agar masuk ke dalam neraka yang paling jahanam. Hanya satu permintaan hamba, janganlah keluarga hamba dibawa-bawa. Sebab mereka adalah kertas putih yang belum bernoda. Mereka jangan sampai ikut menanggung dosa hamba. Itulah permohonanku. Tak usah repot-repot memberikanku amnesti!”

Surat itu sampai ke tangan Kaisar Muda, hari itu juga. Dibaca baginda detik itu juga. Serta kontan dibalas langsung. Sementara berjuta-juta surat-dari seluruh kerajaan, yang ditulis oleh orang jompo, anak-anak papa, orang cacat, yatim-piatu dan para perempuan yang menderita masih bertahun-tahun bertumpuk, antre untuk dibuka tangan baginda.

Selesai membaca, baginda termenung, tetapi hanya sebentar. Kemudian baginda langsung menjawab dengan menulis sendiri jawabannya.

“Bung, suratmu ditulis oleh hati nuranimu yang sudah sadar, terhadap dosa besar yang sudah kamu lakukan. Hukuman yang paling berat sebenarnya memang bukan kematian, tetapi rasa bersalah yang mendalam. Maka dengan ini, aku perintahkan agar Yang Mulia Para Hakim, yang sudah menetapkan hukuman mati padamu, aku minta mencabut kembali hukumannya. Aku membebaskan kamu untuk kembali ke masyarakat. sebagai kesempatan merasakan kesalahan serta sesal dan kepedihanmu seumur hidup. Itulah hukuman yang aku anggap lebih pantas untuk menyiksamu nyahok! Agar kesakitan orang lain oleh perbuatanmu yang super biadab itu, sedikit demi sedikit, kembali, melumatmu bagai bumerang. Kamu harus menikmati karma-palamu! Digerogoti, dicabik-cabik, diiris-iris, agar batinmu perlahan membusuk setiap hari sambil kau rasakan perihnya!”

Seluruh kerajaan bergolak ketika surat balasan itu disampaikan dan dibacakan di depan umum. Rakyat meraung-raung karena merasa itu tidak adil. Sementara pers yang tadinya memakai alasan kemanusiaan cenderung membela bromocorah itu terkesima. Mereka kalang-kabut dan saling tuding-menuding menyalahkan satu sama lain. Mereka yakin, karena desakan dan ejekan merekalah, keadilan jadi terbalik.

“Ya, tapi kami sebenarnya, kan, hanya mengolah berita agar jadi menarik. Bukan maksud kami agar bromocorah itu dibebaskan. Berita, kan, barang komoditi yang harus dibuat kontroversial supaya laris dijual,” teriak satu di antaranya.

Tapi keputusan baginda raja adalah perintah. Siapa berani membantah? Maka, eksekusi dibatalkan.

Bromocorah itu menjerit kegirangan. Dia berlari melompat-lompat keliling penjara meneriakkan keputusan baginda yang membuat seluruh penghuni lapas setengah mati iri dan keki. Media sosial mengaum di seluruh negeri dengan berbagai cara.

“Keadilan keblinger! Kebenaran sesat! Hukum mencla-mencle!”

Baginda Kaisar pun diejek habis. Dianggap tak mampu menyerap kehendak zaman. Masih berkutat pada timbang rasa kuno di zaman yang kian mengeras.

“Rakyat jelata yang bodoh, awam, miskin boleh tertipu seratus kali dan masih layak dimaafkan karena kekonyolannya itu akibat keterbatasannya. Tapi seorang pejabat yang memangku nasib berjuta-juta rakyat, satu kata, satu langkah saja keliru, negeri bisa hancur lebur dan malu!”

“Mundur! Kita perlu Kaisar baru!”

“Baginda kebakaran jenggot! Inilah akibat terbiasa mengukur keadilan dari perasaan sendiri. Baginda sudah membuat hukum tak bergigi dan sekarang terpaksa gigit jari sendiri! Kaisar amatiran! Mundur! Mundurrrr!!”

“Inilah bukti kebodohan dimanjakan, belas kasihan diberhalakan, rakyat jadi korban!”
Terpidana mati yang dibebaskan menyelenggarakan pesta perpisahan dengan kroni-kroninya. Kepada mereka, ia janjikan segala balas jasa bagi yang sudah memanjakannya selama di penjara.

“Ada di antara kamu punya musuh yang harus aku bereskan?” tanyanya di depan para petugas kepada bajingan-bajingan sahabatnya sambil mengejapkan mata.

Para petugas tertawa, merasa itu lelucon. Tetapi esoknya, entah siapa sumbernya, berita itu muncul di banyak koran, membuat masyarakat heboh.

Begitu pintu penjara dibuka dan bromocorah yang dianugerahi “kewajiban untuk merasakan kesakitan buah dosanya” itu bebas, ribuan rakyat menyerbu. Bromocorah itu hanya sempat jalan tiga langkah. Keburu ribuan pasang tangan menggasak mencabik-cabiknya jadi daging cincang.

Tak hanya bromocorah itu, semua yang berbau dia disikat. Tangan rakyat tidak terkendali lagi. Ngamuk, tak terbendung oleh apa pun! Dahsyat.

Ketika kemudian para pejuang HAM protes keras, Kaisar Muda menjawab: “Siapa bilang negara membunuh orang? Kami justru sudah membebaskan dia.”



Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon