Seorang utusan datang dan meminta agar saya mengganti nama. Masalahnya saya sedang dipromosikan untuk mendapatkan jabatan puncak. Kalau ingin mulus harus bertindak cepat.
"Kalau Bapak tidak mau mengganti nama sekarang, sulit sekali untuk memenangkan kompetisi menghadapi kandidat-kandidat yang lain. Mereka didukung oleh kekuatan yang menentukan."
Saya terhenyak. Berita itu agak membingungkan. Bagaimana tidak. Saya baru saja selesai memperbaiki pintu pagar dan mengganti papan nama. istri saya sudah menyisihkan uang belanja dan membeli sebuah papan vernikel. Sudah lama banyak orang mengeluh mencari-cari rumah saya. Dalam kawasan kami nomor rumah tidak bisa dipakai patokan. Tapi itu bukan alasan untuk menolak.
"Tinggal mengganti huruf o di belakang nama Bapak dengan huruf a sehingga bunyinya jadi netral. Itu akan banyak mengubah dukungan suara. Tidak sulit kan?"
Memang tidak sulit. Karena meskipun diganti dengan huruf a, bisa saja dibunyikan o. Tinggal mencopot papan nama itu dan minta pengertian dari istri. Bahwa ada hal-hal yang lebih prinsip, yang jauh lebih penting yang harus diperhatikan. Bukankah semua itu juga untuk kebaikan masa depan?
Tetapi saya menjawab : tidak.
"Tidak mungkin. Saya tak bisa mengganti nama saya. Lebih baik saya tidak usah dipromosikan. Atau tidak menang dalam kompetisi, tidak apa, daripada mengganti nama."
Utusan itu terkejut. Ia tak percaya apa yang ia dengar.
"Tetapi ini sudah diputuskan."
"Sudah diputuskan?"
"Benar. Kami yang mencalonkan Bapak, sudah berunding. Ini jalan satu-satunya. Kami harap Anda mengerti. Kedudukan itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Anda bertugas untuk merebutnya. Ini posisi yang amat strategis, Anda sudah kami tugaskan untuk mengupayakan merebutnya."
"Saya tidak keberatan untuk tugas itu. Tapi kalau harus mengganti nama saya tidak bisa."
Utusan itu memandangi saya dengan heran. Ia terdiam beberapa lama. Setelah ia menarik nafas panjang dan berdiri.
"Baiklah, jangan menjawab sekarang. Pikirkan saja apa yang kami minta itu dengan tenang. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Kita tidak boleh hancur karena masalah-masalah yang kecil. Besok kita bicarakan lagi."
Ia mengulurkan tangan. Saya sambut tangannya dan sekali lagi menegaskan bahwa apa pun akan saya lakukan, kecuali mengganti nama.
"Masalahnya, nama itu buat saya bukan main-main. Itu diberikan oleh orang tua saya. Nama itu sudah merupakan bendera kehormatan saya. Saya tidak pernah berani mengubahnya. Bahkan dulu ketika sakit-sakitan dan dukun menyuruh saya tukar nama, saya tetap membangkang. Mati pun saya sanggup untuk mempertahankan nama, apalagi cuma kehilangan kedudukan."
Utusan itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tetapi anggukan itu tidak berarti ya, itu isyarat tanda tidak setuju. Bahkan kemudian ia memberi saya beberapa instruksi untuk mempelajari beberapa sopan santun pimpinan. Seakan-akan saya memang akhirnya akan mau mengubah nama.
"Tata cara itu nanti akan sangat berguna, supaya tidak kagok kalau sudah menduduki kursi pimpinan," bisiknya.
Suaranya begitu percaya bahwa saya tak akan mungkin berani kehilangan kursi pimpinan, hanya karena soal mengganti nama. Itu karang aja namanya.
Sebelum menjalankan mobilnya, ia mengulurkan sekotak kartu nama. Isinya nama saya yang sudah diganti menurut ejaan yang tadi dianjurkannya. Saya langsung hendak membantah, tetapi kaca jendela mobil terkatup. Lalu kendaraan itu meloncat pergi.
Dengan kartu nama di tangan, saya masuk ke rumah. Istri saya tari ke kamar untuk membicarakan apa yang sudah terjadi. Saya minta dukungannya. Agar ia membenarkan sikap saya menolak ganti nama.
Tetapi seperti yang sudah saya duga, istri saya menentang. Malah saya dianggap goblok.
"Bodo! Cuma ganti o menjadi a, apa salahnya. Apa bedanya. Orang juga biasa membaca a menjadi o. Kan tidak ada yang berubah?"
Saya menghela nafas. Istri saya mengira saya akan membantah, ia langsung menyemprot saya dengan kuliah panjang, agar mental saya hambruk.
"Banyak orang yang dulu namanya ditulis pakai ejaan lama : oe, kemudian diubah menjad u. Juga banyak yang tadinya pakai dj diubah menjad j. Begitu juga yang pakai j lalu jadi y. Bintang film Mieke Wijaya juga dulu mengubah nama. Begitu juga Rudy Hartono. Orang-orang besar saja berani ganti nama, mengapa kamu keberatan. Kan itu semua untuk kebaikan? Lihat artis-artis itu. Kalau mereka tidak ganti nama, tidak akan komersil. Mengapa mesti fanatik kepada nama. Nama kan tidak mengubah apa-apa. Kamu tetap kamu meskipun namamu berubah. Apa salahnya? Apalagi hanya mengubah o menjadi a. Sudah, cepat telepon, bilang minta ma'af. Pakai a mulai besok, jangan o lagi!"
Saya tidak biasa mendebat apa yang dikatakan istri saya. Saya hanya mendengarkan. Tetapi mendengarkan dan tidak mendebat tidak berarti setuju. Dia juga tahu sekali, kalau saya diam, berarti saya tetap akan melakukan apa yang sudah saya putuskan. Saya terima semua argumentasinya. Tapi saya tetap menolak untuk mengubah nama.
Anak-anak saya mencoba ikut menyumbangkan pikiran. Mereka mengatakan bahwa mengubah nama itu tidak selamanya berarti kelemahan apalagi kekalahan. Atau tanda tidak punya pendirian.
"Hakekat sebuah perubahan adalah penyesuaian kepada keadaan. Jadi itu urusan strategi, sifatnya taktis. Justru kalau kita lentur untuk mengadakan perubahan-perubahan tandanya kita dapat mengantisipasi segala masalah dengan pas. Bapak tidak usah terlalu sensitif. Ini bukan masalah filosofis, ini masalah efisiensi dan efektivitas saja, masalah praktis, Pak."
Pendapat anak-anak saya itu langsung saya gebrak dengan mata melotot. Sebagai senior mereka, saya tetap punya keyakinan betapapun pintarnya mereka, saya tetap lebih berpengalaman. Saya tetap lebih tahu banyak tentang hidup dari mereka. Begitu ibunya masuk kamar, langsung saya damprat.
"Apa tahu kamu tentang efisiensi dan efektivitas. Kamu hanya meniup-niup teori. Ini kenyataan, bicara soal kenyataan, semua itu sudah aku makan puluhan tahun. Aku ahli tentang perjalanan hidupku dan jauh lebih tahu apa yang harus aku lakukan daripada kamu. Diam!"
Saya tidur menyendiri malam itu di sofa ruang tamu. Tak mau dipengaruhi oleh apa pun. Saya ingin mengendapkan diri. Saya tidak mau lagi dipengaruhi dan ditentukan oleh apapun. Bertahun-tahun saya bermimpi untuk menjadi pemimpin. Kini cita-cita itu sudah ada di depan hidung saya. Sebagai calon pemimpin saya mesti punya sikap. Punya keteguhan. Serta berani mengambil resiko bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemimpin harus rela berkorban. Termasuk rela mengorbankan kursi kepemimpinan --kalau perlu-- demi kepemimpinan itu sendiri.
Esok harinya, dalam rapat khusus dengan para pembina yang menuliskan skenario karir saya, saya siap untuk mengatakan tidak. Tetapi katupan mulut saya itu agaknya terbaca. Begitu saya mau pasang kuda-kuda, pimpinan lebih dahulu tersenyum.
"Tidak perlu mengganti o dengan a," katanya sambil menepuk-nepuk.
Saya jadi lega.
"Terima kasih."
"Tetapi...," pimpinan saya menggeleng.
Saya kembali cemas.
"Saudara tidak bisa hanya mengganti o menjadi a. Saudara harus punya huruf mati di akhir nama saudara. Terserah mau memakai nama yang lama plus satu atau dua huruf mati, atau mengganti dengan nama lain, asal tetap harus pakai satu atau dua huruf mati."
"Kalau begitu tetap harus mengubah nama, Pak?"
"Bukan mengubah tetapi... menyempurnakan. Tidak ada yang diubah, hanya sekedar dikembangkan agar sempurna."
Saya kontan mau membantah, tapi beliau cepat-cepat bicara dengan orang lain, sehingga saya tak punya kesempatan. Utusan yang kemarin datang ke rumah saya kemudian menyodorkan secari kertas. Saya harus berkenan membubuhkan nama yang saya pilih, karena akan segera dipesankan kartu nama, KTP dan paspor.
"Ingat harus berakhir dengan huruf mati. Karena nama seorang pemimpin akan sering dikutip serta diucapkan, jadi harus prima. Mantap kelihatan dan enak didengarkan. Masak nama pemimpin sama dengan nama Kromo atau Kroco atau Loyo. Itu kan dapat memberikan efek negatif!"
Saya membantah. Tapi utusan itu melambaikan tangannya, tanda bantahan apa pun yang saya ucapkan sia-sia. Karena memang bukan dia orangnya yang memberi kata putus.
Terpaksa saya tutup mulut, menerima saja formulir itu, lalu pulang. Begitu sampai di rumah, saya tarik kembali istri saya ke dalam kamar. Saya paparkan semuanya. Apakah layak seorang pemimpin, seorang calon pahlawan, tokoh masyarakat mengorbankan nama yang diwariskan oleh leluhur, hanya untuk mendapatkan kursi?
Istri saya serta-merta menjawab:
"Pantas dong! Habis siapa lagi yang harus berkorban kalau bukan pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang memikul kepentingan warga, orang yang bekerja untuk orang banyak. Segala sesuatu yang bersifat pribadi, apalagi hanya kebanggaan pribadi harus berani dikorbankan. Apalagi hanya nama. Pemimpin tidak perlu nama, seorang pemimpin hanya perlu berbakti kepada tugas-tugas dan kepentingan rakyat. Jangankan nama, nyawa pun harus diganti kalau perlu!"
Kata-kata istri saya terasa mengandung seratus porsen kebenaran, kalau saja tidak ditujukan kepada saya. Kalau ia mengumpat begitu kepada orang lain, saya kontan akan mem"back-up". Tetapi karena saya yang disemburnya, urusannya jadi lain. Kata-kata itu terlalu bombastis. Terlalu menggeneralisir. Isinya nampak benar, namun prakteknya penuh dengan kesalahan. Kenapa. Rakyat kan bukan dewa. Rakyat yang buta adalah sekumpulan bebek yang beriring-iring mencari makan. Dia harus digembalakan dengan pikiran waras. Nah, kalau saya pemimpinnya tidak waras, bagaimana nanti nasib orang-orang yang saya gembalakan itu?
Nasihat istri saya, rationya saya terima seratus porsen. Tetapi saya anggap tidak perlu dilaksanakan, karena kebenaran saja tidak cukup. Kepatutan lebih diperlukan dalam kasus saya ini. Nanti kalau waktunya sudah tepat, baru kebenaran yang berbahaya seperti itu bisa dipraktekkan.
Kertas formulir penyempurnaan nama itu saya robek. Robekannya saya bakar. Ide penggantian nama semacam itu harus disikapi dengan keras. Dibasmi seketika. Kalau kita lembek, ide itu akan membunuh setiap saat. Sama dengan PKI malam atau OTB.
Kalau pemberontakan saya untuk menolak menyempurnakan nama dianggap sebagai tindakan "mbalelo", tidak apa. Seorang pemimpin adalah seorang pemberontak yang menerobos ke depan, mula-mula untuk dirinya sendiri. Agar tercipta lubang yang bisa dilalui oleh masyarakat yang harus dibimbingnya. Saya siap menerima apa pun resikonya. Paling juga digeser.
"Kalau Bapak tidak mau mengganti nama sekarang, sulit sekali untuk memenangkan kompetisi menghadapi kandidat-kandidat yang lain. Mereka didukung oleh kekuatan yang menentukan."
Saya terhenyak. Berita itu agak membingungkan. Bagaimana tidak. Saya baru saja selesai memperbaiki pintu pagar dan mengganti papan nama. istri saya sudah menyisihkan uang belanja dan membeli sebuah papan vernikel. Sudah lama banyak orang mengeluh mencari-cari rumah saya. Dalam kawasan kami nomor rumah tidak bisa dipakai patokan. Tapi itu bukan alasan untuk menolak.
"Tinggal mengganti huruf o di belakang nama Bapak dengan huruf a sehingga bunyinya jadi netral. Itu akan banyak mengubah dukungan suara. Tidak sulit kan?"
Memang tidak sulit. Karena meskipun diganti dengan huruf a, bisa saja dibunyikan o. Tinggal mencopot papan nama itu dan minta pengertian dari istri. Bahwa ada hal-hal yang lebih prinsip, yang jauh lebih penting yang harus diperhatikan. Bukankah semua itu juga untuk kebaikan masa depan?
Tetapi saya menjawab : tidak.
"Tidak mungkin. Saya tak bisa mengganti nama saya. Lebih baik saya tidak usah dipromosikan. Atau tidak menang dalam kompetisi, tidak apa, daripada mengganti nama."
Utusan itu terkejut. Ia tak percaya apa yang ia dengar.
"Tetapi ini sudah diputuskan."
"Sudah diputuskan?"
"Benar. Kami yang mencalonkan Bapak, sudah berunding. Ini jalan satu-satunya. Kami harap Anda mengerti. Kedudukan itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Anda bertugas untuk merebutnya. Ini posisi yang amat strategis, Anda sudah kami tugaskan untuk mengupayakan merebutnya."
"Saya tidak keberatan untuk tugas itu. Tapi kalau harus mengganti nama saya tidak bisa."
Utusan itu memandangi saya dengan heran. Ia terdiam beberapa lama. Setelah ia menarik nafas panjang dan berdiri.
"Baiklah, jangan menjawab sekarang. Pikirkan saja apa yang kami minta itu dengan tenang. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Kita tidak boleh hancur karena masalah-masalah yang kecil. Besok kita bicarakan lagi."
Ia mengulurkan tangan. Saya sambut tangannya dan sekali lagi menegaskan bahwa apa pun akan saya lakukan, kecuali mengganti nama.
"Masalahnya, nama itu buat saya bukan main-main. Itu diberikan oleh orang tua saya. Nama itu sudah merupakan bendera kehormatan saya. Saya tidak pernah berani mengubahnya. Bahkan dulu ketika sakit-sakitan dan dukun menyuruh saya tukar nama, saya tetap membangkang. Mati pun saya sanggup untuk mempertahankan nama, apalagi cuma kehilangan kedudukan."
Utusan itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tetapi anggukan itu tidak berarti ya, itu isyarat tanda tidak setuju. Bahkan kemudian ia memberi saya beberapa instruksi untuk mempelajari beberapa sopan santun pimpinan. Seakan-akan saya memang akhirnya akan mau mengubah nama.
"Tata cara itu nanti akan sangat berguna, supaya tidak kagok kalau sudah menduduki kursi pimpinan," bisiknya.
Suaranya begitu percaya bahwa saya tak akan mungkin berani kehilangan kursi pimpinan, hanya karena soal mengganti nama. Itu karang aja namanya.
Sebelum menjalankan mobilnya, ia mengulurkan sekotak kartu nama. Isinya nama saya yang sudah diganti menurut ejaan yang tadi dianjurkannya. Saya langsung hendak membantah, tetapi kaca jendela mobil terkatup. Lalu kendaraan itu meloncat pergi.
Dengan kartu nama di tangan, saya masuk ke rumah. Istri saya tari ke kamar untuk membicarakan apa yang sudah terjadi. Saya minta dukungannya. Agar ia membenarkan sikap saya menolak ganti nama.
Tetapi seperti yang sudah saya duga, istri saya menentang. Malah saya dianggap goblok.
"Bodo! Cuma ganti o menjadi a, apa salahnya. Apa bedanya. Orang juga biasa membaca a menjadi o. Kan tidak ada yang berubah?"
Saya menghela nafas. Istri saya mengira saya akan membantah, ia langsung menyemprot saya dengan kuliah panjang, agar mental saya hambruk.
"Banyak orang yang dulu namanya ditulis pakai ejaan lama : oe, kemudian diubah menjad u. Juga banyak yang tadinya pakai dj diubah menjad j. Begitu juga yang pakai j lalu jadi y. Bintang film Mieke Wijaya juga dulu mengubah nama. Begitu juga Rudy Hartono. Orang-orang besar saja berani ganti nama, mengapa kamu keberatan. Kan itu semua untuk kebaikan? Lihat artis-artis itu. Kalau mereka tidak ganti nama, tidak akan komersil. Mengapa mesti fanatik kepada nama. Nama kan tidak mengubah apa-apa. Kamu tetap kamu meskipun namamu berubah. Apa salahnya? Apalagi hanya mengubah o menjadi a. Sudah, cepat telepon, bilang minta ma'af. Pakai a mulai besok, jangan o lagi!"
Saya tidak biasa mendebat apa yang dikatakan istri saya. Saya hanya mendengarkan. Tetapi mendengarkan dan tidak mendebat tidak berarti setuju. Dia juga tahu sekali, kalau saya diam, berarti saya tetap akan melakukan apa yang sudah saya putuskan. Saya terima semua argumentasinya. Tapi saya tetap menolak untuk mengubah nama.
Anak-anak saya mencoba ikut menyumbangkan pikiran. Mereka mengatakan bahwa mengubah nama itu tidak selamanya berarti kelemahan apalagi kekalahan. Atau tanda tidak punya pendirian.
"Hakekat sebuah perubahan adalah penyesuaian kepada keadaan. Jadi itu urusan strategi, sifatnya taktis. Justru kalau kita lentur untuk mengadakan perubahan-perubahan tandanya kita dapat mengantisipasi segala masalah dengan pas. Bapak tidak usah terlalu sensitif. Ini bukan masalah filosofis, ini masalah efisiensi dan efektivitas saja, masalah praktis, Pak."
Pendapat anak-anak saya itu langsung saya gebrak dengan mata melotot. Sebagai senior mereka, saya tetap punya keyakinan betapapun pintarnya mereka, saya tetap lebih berpengalaman. Saya tetap lebih tahu banyak tentang hidup dari mereka. Begitu ibunya masuk kamar, langsung saya damprat.
"Apa tahu kamu tentang efisiensi dan efektivitas. Kamu hanya meniup-niup teori. Ini kenyataan, bicara soal kenyataan, semua itu sudah aku makan puluhan tahun. Aku ahli tentang perjalanan hidupku dan jauh lebih tahu apa yang harus aku lakukan daripada kamu. Diam!"
Saya tidur menyendiri malam itu di sofa ruang tamu. Tak mau dipengaruhi oleh apa pun. Saya ingin mengendapkan diri. Saya tidak mau lagi dipengaruhi dan ditentukan oleh apapun. Bertahun-tahun saya bermimpi untuk menjadi pemimpin. Kini cita-cita itu sudah ada di depan hidung saya. Sebagai calon pemimpin saya mesti punya sikap. Punya keteguhan. Serta berani mengambil resiko bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemimpin harus rela berkorban. Termasuk rela mengorbankan kursi kepemimpinan --kalau perlu-- demi kepemimpinan itu sendiri.
Esok harinya, dalam rapat khusus dengan para pembina yang menuliskan skenario karir saya, saya siap untuk mengatakan tidak. Tetapi katupan mulut saya itu agaknya terbaca. Begitu saya mau pasang kuda-kuda, pimpinan lebih dahulu tersenyum.
"Tidak perlu mengganti o dengan a," katanya sambil menepuk-nepuk.
Saya jadi lega.
"Terima kasih."
"Tetapi...," pimpinan saya menggeleng.
Saya kembali cemas.
"Saudara tidak bisa hanya mengganti o menjadi a. Saudara harus punya huruf mati di akhir nama saudara. Terserah mau memakai nama yang lama plus satu atau dua huruf mati, atau mengganti dengan nama lain, asal tetap harus pakai satu atau dua huruf mati."
"Kalau begitu tetap harus mengubah nama, Pak?"
"Bukan mengubah tetapi... menyempurnakan. Tidak ada yang diubah, hanya sekedar dikembangkan agar sempurna."
Saya kontan mau membantah, tapi beliau cepat-cepat bicara dengan orang lain, sehingga saya tak punya kesempatan. Utusan yang kemarin datang ke rumah saya kemudian menyodorkan secari kertas. Saya harus berkenan membubuhkan nama yang saya pilih, karena akan segera dipesankan kartu nama, KTP dan paspor.
"Ingat harus berakhir dengan huruf mati. Karena nama seorang pemimpin akan sering dikutip serta diucapkan, jadi harus prima. Mantap kelihatan dan enak didengarkan. Masak nama pemimpin sama dengan nama Kromo atau Kroco atau Loyo. Itu kan dapat memberikan efek negatif!"
Saya membantah. Tapi utusan itu melambaikan tangannya, tanda bantahan apa pun yang saya ucapkan sia-sia. Karena memang bukan dia orangnya yang memberi kata putus.
Terpaksa saya tutup mulut, menerima saja formulir itu, lalu pulang. Begitu sampai di rumah, saya tarik kembali istri saya ke dalam kamar. Saya paparkan semuanya. Apakah layak seorang pemimpin, seorang calon pahlawan, tokoh masyarakat mengorbankan nama yang diwariskan oleh leluhur, hanya untuk mendapatkan kursi?
Istri saya serta-merta menjawab:
"Pantas dong! Habis siapa lagi yang harus berkorban kalau bukan pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang memikul kepentingan warga, orang yang bekerja untuk orang banyak. Segala sesuatu yang bersifat pribadi, apalagi hanya kebanggaan pribadi harus berani dikorbankan. Apalagi hanya nama. Pemimpin tidak perlu nama, seorang pemimpin hanya perlu berbakti kepada tugas-tugas dan kepentingan rakyat. Jangankan nama, nyawa pun harus diganti kalau perlu!"
Kata-kata istri saya terasa mengandung seratus porsen kebenaran, kalau saja tidak ditujukan kepada saya. Kalau ia mengumpat begitu kepada orang lain, saya kontan akan mem"back-up". Tetapi karena saya yang disemburnya, urusannya jadi lain. Kata-kata itu terlalu bombastis. Terlalu menggeneralisir. Isinya nampak benar, namun prakteknya penuh dengan kesalahan. Kenapa. Rakyat kan bukan dewa. Rakyat yang buta adalah sekumpulan bebek yang beriring-iring mencari makan. Dia harus digembalakan dengan pikiran waras. Nah, kalau saya pemimpinnya tidak waras, bagaimana nanti nasib orang-orang yang saya gembalakan itu?
Nasihat istri saya, rationya saya terima seratus porsen. Tetapi saya anggap tidak perlu dilaksanakan, karena kebenaran saja tidak cukup. Kepatutan lebih diperlukan dalam kasus saya ini. Nanti kalau waktunya sudah tepat, baru kebenaran yang berbahaya seperti itu bisa dipraktekkan.
Kertas formulir penyempurnaan nama itu saya robek. Robekannya saya bakar. Ide penggantian nama semacam itu harus disikapi dengan keras. Dibasmi seketika. Kalau kita lembek, ide itu akan membunuh setiap saat. Sama dengan PKI malam atau OTB.
Kalau pemberontakan saya untuk menolak menyempurnakan nama dianggap sebagai tindakan "mbalelo", tidak apa. Seorang pemimpin adalah seorang pemberontak yang menerobos ke depan, mula-mula untuk dirinya sendiri. Agar tercipta lubang yang bisa dilalui oleh masyarakat yang harus dibimbingnya. Saya siap menerima apa pun resikonya. Paling juga digeser.